• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BUDAYA, KEARIFAN LOKAL, DAN NILAI PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BUDAYA, KEARIFAN LOKAL, DAN NILAI PENDIDIKAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN BUDAYA, KEARIFAN LOKAL, DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER NOVEL NAWUNG KARYA GALUH LARASATI

SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA

DI SMA

Ratih Kumala Sari, Herman J. Waluyo, Muhammad Rohmadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FKIP Universitas Sebelas Maret

email : malaratih@gmail.com Abstract

The goals of this research are to explore and explain 1) what cultural elements are in Nawung novel, 2) what local wisdom are in Nawung novel, 3) what moral values are in Nawung novel, 4) the relevance of Nawung novel as learning material of literature subject in senior high school. This research is descriptive qualitative research which is used anthropological literature approach. The source of this research is Nawung novel as the main source and some supporting books and information about Nawung novel. This research uses content analysis to collect the data and interactive analysis (data reduction, analysis and conclusion) to analyze the data; while triangulation theory is used to check the validity of the data. The results of this research are 1) the cultural elements in the Nawung novel are daily life stuffs, occupations, arts, knowledge and religious values. 2) the local wisdoms in the Nawung novel are unen-unen (proverb), pitutur (adivice), sedulur papat lima

pancer (philosophy), 3) moral values as the character buildings in the Nawung

novel are honest, disciplined, creative, responsible, religious, reading spirit and strong willing to help others, 4) Nawung novel is relevant as one of literature learning material in senior high school.

Keywords: novel, cultural elements, cultural values, local wisdoms, moral values, character building

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan unsur budaya dalam novel Nawung, wujud kearifan lokal dalam novel Nawung, nilai pendidikan karakter dalam novel Nawung, dan relevansi novel Nawung sebagai bahan ajar apresiasi sastra di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan kenyataan yang ada berdasarkan konsep, kategori, dan tidak berdasarkan angka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) unsur budaya yang terdapat dalam novel

Nawung ini meliputi peralatan kehidupan, mata pencaharian, kesenian, sistem

pengetahuan dan sistem religi; (2) wujud kearifan lokal dalam novel Nawung ini meliputi unen-unen (pepatah), pitutur (nasihat), dan filosofi sedulur papat lima

(2)

commit to user

pancer; (3) nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Nawung

meliputi nilai karakter religius, jujur, disiplin, kreatif, gemar membaca, tanggung jawab dan peduli sosial; (4) novel Nawung relevan sebagai bahan ajar apresiasi sastra di SMA.

Kata Kunci: novel, unsur budaya, kearifan lokal, nilai pendidikan karakter PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia sejatinya telah memiliki nilai-nilai karakter yang tercermin dalam tradisi budaya dan adat istiadat yang dianut masyarakat hingga sekarang. Nilai-nilai hidup yang diajarkan dalam lokalitas setempat menjadi landasan moral dalam setiap tindakan dan perilaku masyarakat.

Menurut Alwasilah (2009: 50-51), pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal sangat penting dilaksanakan mengingat praktik pendidikan kita selama ini terlalu berorientasi ke Barat dan melupakan nilai-nilai keunggulan yang ada di bumi Nusantara ini. Seperti yang dikemukakan oleh Kartadinata bahwa di antara kita selama ini silau dengan sistem pendidikan Barat sehingga buta terhadap keunggulan lokal yang lama terpendam dalam bumi kebudayaan Indonesia.

Kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas, dipelihara dan dilaksanakan dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia. Nilai-nilai itu dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru atau asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, sesamanya, dan alam sekitar. Selain itu, kearifan lokal dapat menjadi benteng kokoh dalam menghadapi arus modernisasi tanpa kehilangan nilai-nilai tradisi lokal yang telah mengakar dalam sebuah komunitas masyarakat atau daerah.

Pada dasarnya, nilai-nilai kearifan lokal dapat menentukan kualitas tindakan anak. Sebagai sebuah kriteria yang menentukan, nilai-nilai kearifan lokal bisa menjadi sebuah pijakan untuk pengembangan sebuah pembelajaran yang lebih berkarakter. Kebermaknaan pembelajaran dengan lingkup kearifan lokal akan menampilkan sebuah dimensi pembelajaran yang selain memacu keilmuan seseorang, juga sekaligus bisa mendinamiskan keilmuan tersebut menjadi kontekstual dan ramah budaya daerah.

Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pembelajaran dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerah sendiri sebagai upaya membangun identitas bangsa dan sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh budaya luar. Nilai-nilai kearifan lokal itu memiliki peran dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa karena pendidikan yang menaruh kepedulian terhadap nilai-nilai kearifan lokal akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, santun dan kreatif.

Salah satu bentuk implementasi pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal dapat dilakukan melalui pembelajaran apresiasi sastra. Pembelajaran apresiasi sastra tidak sekadar mengenalkan sastra kepada siswa tetapi juga mendekatkan sastra yang mempunyai nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi kehidupan. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam karya sastra diresapi oleh siswa dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.

(3)

commit to user

Adapun unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (dalam Ratna, 2011: 395), yaitu:

1) Peralatan kehidupan manusia, seperti: rumah, pakaian, alat-alat rumah tangga, dan berbagai bentuk peralatan dikaitkan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari,

2) Mata pencaharian, seperti: pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya dengan sistem ekonomi dan produksinya masing-masing,

3) Sistem kemasyarakatan, seperti: kekerabatan, organisasi sosial, politik, hukum, dan sebagainya,

4) Sistem bahasa (dan sastra), baik lisan maupun tulisan,

5) Kesenian dengan berbagai jenisnya, seperti: seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya,

6) Sistem pengetahuan, meliputi berbagai bentuk pengalaman manusia dalam kaitannya dengan hakikat objektivitas, fakta empiris, dan

7) Sistem religi, berbagai bentuk pengalaman manusia dalam kaitannya dengan subjektivitas, keyakinan, dan berbagai bentuk kepercayaan.

Sartini (2004: 28) mengatakan bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat.

Kearifan lokal dari segi bahasa lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas

malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan sebagainya (Setiyadi,

2012: 75). Dalam bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya.

Ajaran budaya Jawa mengenai nilai-nilai kearifan dalam kehidupan banyak disampaikan melalui suatu ungkapan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa di dalam ungkapan Jawa terdapat adanya suatu sistem tanda atau simbol budaya, yang maknanya dapat diinterpretasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan (Nugroho, 2011: 2).

Sartini (2009: 32) menyatakan bahwa sehubungan dengan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan budaya, dalam bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan budaya masyarakatnya. Biasanya berbagai maksud itu merupakan (1) gambaran akan adanya Tuhan, (2) gambaran mengenai sikap dan hidup, (3) cara memberi nasihat, kritik, peringatan, (4) gambaran mengenai tekad yang kuat. Di samping itu, ada juga ungkapan yang

(4)

commit to user

mencerminkan sifat tidak baik pada orang Jawa dan tidak perlu dikembangkan oleh siapa pun.

Peneliti memilih novel berjudul Nawung sebagai objek penelitian. Novel tersebut sangat menarik untuk diteliti karena sarat akan nilai-nilai kearifan lokal Jawa yang berasal dari daerah tempat tinggal tokoh utama, yaitu Desa Kenayan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengeksplorasi dan menjelaskan unsur budaya dalam novel Nawung karya Galuh Larasati. 2) Mengeksplorasi dan menjelaskan wujud kearifan lokal dalam novel Nawung karya Galuh Larasati. 3) Mengeksplorasi dan menjelaskan nilai pendidikan karakter dalam novel Nawung karya Galuh Larasati. 4) Mengeksplorasi dan menjelaskan relevansi novel Nawung karya Galuh Larasati sebagai bahan ajar apresiasi sastra di SMA.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang mengumpulkan data berupa kata-kata yang bertujuan menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan objek.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi yaitu menganalisis teks novel Nawung karya Galuh Larasati. Data dan sumber data didapat dari teks novel tersebut dan hasil wawancara dengan beberapa informan.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling karena data yang diambil hanya yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Validitas data dengan menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber data. Triangulasi metode dengan memeriksa kebenaran data hasil analisis dengan menggunakan metode wawancara, sedangkan triangulasi sumber data dengan memeriksa kebenaran data hasil analisis dengan data pustaka.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Unsur-unsur Budaya Novel Nawung Karya Galuh Larasati

Ada lima unsur budaya dalam novel Nawung karya Galuh Larasati, yaitu peralatan kehidupan, mata pencaharian, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.

Unsur yang pertama adalah peralatan kehidupan. Peralatan kehidupan yang muncul dalam novel Nawung masih sederhana dan cukup beragam, yaitu berupa: tempat tinggal (rumah limasan), pakaian (kain batik, kain lurik, topi caping), makanan (soto resah, nasi gudeg), alat produktif (lumpang batu, tungku), dan alat penerangan (lampu minyak).

Unsur yang kedua adalah mata pencaharian. Mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Kenayan dalam novel Nawung adalah bertani dan berdagang. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani karena didukung oleh adanya lahan pertanian yang luas di sekitar lereng Pegunungan Menoreh. Selain itu,

(5)

commit to user

berdagang juga menjadi mata pencaharian penting bagi penduduk Desa Kenayan karena wilayahnya yang berada di lingkungan objek wisata Candi Borobudur.

Unsur yang ketiga adalah kesenian. Ada beberapa kesenian yang tumbuh di Desa Kenayan, yaitu seni ketoprak, wayang kulit, gamelan, dan tarian Jawa. Kakek Nawung adalah pemain ketoprak yang cukup populer pada masanya dan ternyata darah seninya pun mengalir dalam tubuh Nawung. Hal ini terbukti ketika Nawung masih kecil, ia mampumenguasai berbagai macam tarian tradisional Jawa.

Unsur yang keempat adalah sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan yang ditemukan dalam novel Nawung adalah pengetahuan penduduk Desa Kenayan mengenai pergantian musim dan alam fauna. Pengetahuan tentang musim berkaitan erat dengan kegiatan bercocok tanam penduduk Desa Kenayan. Mereka mengetahui kapan datangnya musim kemarau dan musim penghujan, sehingga mereka dapat mempersiapkan tindakan ketika menghadapi pergantian musim agar kegiatan bercocok tanamnya tetap berhasil tanpa terpengaruh kondisi cuaca.

Unsur yang kelima adalah sistem religi. Sistem religi berupa kepercayaan terhadap Tuhan, kepercayaan terhadap makhluk halus, dan kepercayaan terhadap mitos. Hampir seluruh penduduk Desa Kenayan memeluk agama Islam. Namun demikian, mereka tidak menjalankan ajaran Islam secara murni melainkan dicampur dengan ajaran-ajaran leluhur Jawa, misalnya mempercayai mitos-mitos dari para leluhur yang belum tentu kebenarannya (drum band setan, kabotan jeneng, pakaian dan perhiasan yang dipercaya membawa keberuntungan) serta melakukan ritual-ritual yang tidak ada tuntunannya dalam agama Islam (puasa mutih, selapanan, midodareni).

Kearifan Lokal Novel Nawung Karya Galuh Larasati

Ada tiga kearifan lokal dalam novel Nawung karya Galuh Larasati, yaitu

unen-unen (pepatah), pitutur (nasihat), dan filosofi sedulur papat lima pancer.

Pertama, unen-unen (pepatah) meliputi mulat sarira hangrasa wani,

ngundhuh wohing pakarti, dan narima ing pandum. Mulat sarira hangrasa wani

bermakna bahwa seseorang harus bersedia secara terbuka untuk melihat kesalahan yang terjadi dalam dirinya. Ngundhuh wohing pakarti bahwa nasib yang dialami seseorang dipengaruhi, ditentukan, dan disebabkan oleh perbuatannya sendiri, sedangkan narima ing pandum memiliki makna menerima dengan ikhlas apa yang dimiliki.

Kedua, pitutur (nasihat) meliputi cegah dhahar lan guling, ngelmu iku

kelakone kanthi laku, ajining diri saka lathi, aja adigang adigung adiguna, dan ngalah iku luhur wekasane. Cegah dhahar lan guling mengandung perintah bahwa

seseorang harus mengurangi makan dan tidur. Ngelmu iku kelakone kanthi laku mengandung arti bahwa ilmu apa pun itu bisa terlaksana dengan baik melalui usaha yang sungguh-sungguh. Ajining diri saka lathi mengandung arti bahwa seseorang dapat dihargai itu berdasarkan ucapannya. Aja adigang adigung adiguna mengandung perintah agar seseorang tidak membanggakan kekuatan, kekayaan, dan kepandaiannya. Yang terakhir, ngalah iku luhur wekasane mengandung arti bahwa seseorang yang mengalah akan luhur pada akhirnya.

(6)

commit to user

Ketiga, filosofi sedulur papat lima pancer yang merupakan gambaran batin dan pikiran yang harus senantiasa dilatih agar selaras.

Nilai Pendidikan Karakter novel Nawung Karya Galuh Larasati

Ada tujuh nilai pendidikan karakter dalam novel Nawung, yaitu religius, jujur, disiplin, kreatif, gemar membaca, tanggung jawab, dan peduli sosial.

Nilai karakter religius tampak pada keseharian Ibu yang selalu pasrah pada kehendak Gusti Allah. Ibu pun mengajarkan kepada Nawung untuk selalu berdoa kepada Gusti Allah dan berbuat baik kepada sesama. Nawung pun patuh terhadap setiap nasihat Ibu. Ketika Ibu menasihati Nawung untuk tidak mengorbankan keyakinannya hanya demi seorang lelaki, Nawung pun mematuhinya dan memilih untuk menjaga jarak dengan Jonathan.

Nilai karakter jujur juga dapat dilihat pada tokoh Ibu yang selalu jujur dalam bekerja. Selama bekerja di warung Bulik Samirah, Ibu tidak pernah mengambil sepeser uang pun yang bukan haknya meskipun ia jauh dari pantauan Bulik Samirah. Tidak hanya berlaku jujur, Ibu juga mengajarkan tentangkejujuran. Apa yang diajarkan Ibu sama dengan yang dinasihatkan kepada Bapak, yaitu jangan sekali-kali berbohong karena sekali berbohong akan melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain.

Nilai karakter disiplin tampak pada perilaku Nawung yang sangat menghargai waktu. Ia sangat pandai mengatur waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan ilmu. Ia selalu disiplin dengan jadwal belajar yang ia buat sendiri. Jika waktu belajar sudah ia tetapkan, maka tidak akan ada hal lain yang ia lakukan selain belajar.

Nilai karakter kreatif tampak pada saat Nawung dan teman-temannya masih berusia kanak-kanak. Mereka gemar memainkan permainan-permainan tradisional dengan alat-alat sederhana yang mereka buat sendiri, mulai dari boneka dan pakaiannya yang dibuat dari kain perca, lingkaran-lingkaran yang menyerupai papan dakon yang digambar sendiri, pecahan genting yang disusun, dan lain sebagainya.

Nilai karakter gemar membaca tercermin dalam tokoh Nawung sejak ia masih kecil hingga tumbuh dewasa. Ia gemar membeli buku-buku bekas yang sangat murah untuk stok bacaan di rumah, bahkan di kemudian hari ia mampu mendirikan perpustakaan gratis untuk anak-anak di desanya. Nawung sangat suka membaca, mulai dari buku-buku cetak hingga catatan-catatan kosakata yang ia buat sendiri. Dimanapun dan kapanpun Nawung selalu memanfaatkan waktu untuk membaca, baik saat dalam perjalanan maupun di sela-sela waktu berjualan. Bahkan pada saat bekerja sebagai pembantu rumah tangga, waktu istirahatnya banyak dimanfaatkan untuk membaca.

Nilai karakter tanggung jawab sudah ditanamkan dalam diri Nawung dan kakak-kakaknya sejak mereka masih kecil. Nawung menunjukkan perilaku tanggung jawab dengan merawat barang yang ia pinjam dan mengembalikannya tepat waktu. Selain itu, ia juga sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaannya meskipun tidak ada yang mengawasi. Ibu dan Bapak tidak pernah secara langsung menyuruh Nawung dan kakak-kakaknyauntuk bertanggung jawab, melainkan

(7)

commit to user

dengan cara memperlihatkan akibat yang diperoleh jika mereka tidak bertanggung jawab, misalnya barang yang hilang karena tidak diletakkan pada tempatnya ataupun nilai jelek yang didapat akibat malas belajar.

Yang terakhir adalah nilai karakter peduli sosial. Nilai karakter ini tampak pada perilaku Nawung sejak masih kanak-kanak. Pada saat duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, ia sering membagikan bekal makanannya kepada Dik To karena ia merasa iba melihat temannya itu tidak pernah membawa bekal. Hingga Nawung dewasa, rasa kepedulian itu masih ada bahkan lebih besar. Nawung sangat prihatin dengan nasib anak-anak di desanya yang sehari-hari hanya bekerja sebagai pedagang asongan. Ia ingin anak-anak itu memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka dapat memperoleh masa depan yang lebih baik.

Relevansi Novel Nawung Karya Galuh Larasati sebagai Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA

Menurut Rahmanto (1988: 27), agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan yaitu dari sudut bahasa, dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan dari sudut latar belakang kebudayaan siswa.

Novel apapun bisa dijadikan bahan ajar di sekolah. Hal itu bukan berarti saya menyetujui jika semua novel pantas dijadikan bahan ajar. Namun, pilihan tersebut lebih didasarkan pada kemampuan novel membawa pengaruh positif untuk siswa. (Budiyono: III)

Aspek yang pertama adalah dari segi bahasa, novel Nawung karya Galuh Larasati termasuk novel yang mudah dipahami. Berikut ini adalah pernyataan Yant Mujiyanto mengenai bahasa yang digunakan dalam novel Nawung.

Bahasanya, kata-katanya sangat indah, halus, mengandung irama, juga nuansa alam pedesaan yang murni, filsafat Jawa yang kaya makna. Meski demikian cukup mudah dipahami, bisa dirasakan keindahannya, kaya idiom-idiom Jawa yang sarat simbol dan arti. (Mujiyanto: I)

Bahasa memiliki pengaruh terhadap minat dan ketertarikan siswa untuk membaca sebuah novel. Biasanya siswa akan mengeluh apabila disodori bahan bacaan yang bahasanya rumit dan sulit dimengerti, sehingga mereka malas membaca apalagi mempelajari isinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitria Rahmawati berikut ini.

Bahasanya gampang dimengerti, nggak susah, jadi enak bacanya. Di sini kan banyak pepatah-pepatah Jawa tapi dijelaskan juga artinya pakai bahasa Indonesia, jadi paham maksudnya (Rahmawati: V).

Selain bahasa, pemilihan bahan pembelajaran juga harus memperhatikan segi kematangan jiwa atau psikologi siswa. Novel Nawung sangat cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMA karena novel ini berkisah tentang

(8)

commit to user

kehidupan seorang gadis kecil bernama Nawung yang gigih dalam meraih impiannya. Sejak kecil Nawung gemar sekali membaca, bahkan ia sengaja menyediakan stok bacaan berupa buku-buku bekas yang ia beli dengan harga yang sangat murah. Hal ini menunjukkan bahwa Nawung selalu haus akan ilmu. Meskipun keluarganya memiliki keterbatasan dalam hal keuangan, Nawung tetap semangat mencari ilmu meski bukan melalui pendidikan formal. Semangat Nawung ini terlihat ketika ia ingin bisa berbahasa Jepang, ia pun datang kepada seorang Jepang bernama Kato-San untuk kursus bahasa Jepang. Waktu itu Nawung tidak mempunyai uang untuk membayar biaya kursus, tetapi semangatnya untuk bisa berbahasa Jepang sangat tinggi sehingga ia memohon kepada Kato-San agar bersedia memberikan kursus dengan bayaran berupa seikat bayam dan Kato-San pun setuju.

Jika dilihat dari aspek psikologis, kisah Nawung ini sangat dekat dengan keseharian siswa. Perjuangannya mencari ilmu dengan segala keterbatasannya sama sekali tidak membuatnya patah arang. Hal ini dapat menginspirasi siswa untuk melakukan hal yang sama seperti Nawung.

Saya jadi ingin seperti Nawung, punya semangat yang tinggi untuk belajar dan meraih impian. Nawung juga sangat peduli dengan teman-temannya, saya juga ingin seperti Nawung yang suka menolong temannya tanpa membeda-bedakan (Rahmawati: V).

Dengan membaca novel ini, siswa diharapkan dapat mengambil keteladanan dari berbagai cara yang dilakukan Nawung untuk memperoleh ilmu. Hal ini sesuai dengan pendapat Galuh Larasati berikut.

Banyak sekali sebenarnya karena kompleks semua ada disini. Yang pertama itu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membaca, itu yang utamanya karena disitu kan dari awal sampai akhir cuma buku, buku, dan buku, bagaimana Nawung ini bergelut dengan buku. Harapan saya, masyarakat mengidolakan Nawung yang suka buku. Jadi, nanti entah itu yang membaca ibunya atau anaknya dia akan ikut-ikut saran Nawung. Di sana juga diberi tahu cara mendapatkan buku dengan cara yang murah, tidak perlu mahal. Selain itu ada juga mengenai kebebasan belajar. Kebebasan belajar ini saya lihat biasanya sekarang kan orang selalu terpaku dengan uang,uang, dan uang. Kalau nggak ada uang nggak bisa belajar. Nah, kisah Nawung ini memberikan wawasan bahwa belajar apa saja itu mudah sebenarnya dan nggak harus memakai uang, contohnya belajar bahasa Jepang pakai bayam, itu juga bisa. Jadi banyak cara hanya sekarang kan orang malas nggak mau mencoba. (Larasati: II)

Aspek ketiga yang harus diperhatikan dalam memilih bahan pembelajaran sastra adalah latar belakang kebudayaan siswa. Menurut Rahmanto (1988: 31), siswa akan mudah tertarik pada karya-karya yang berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka.

(9)

commit to user

Awal membaca Nawung, saya menikmati benar budaya Jawa yang tertanam begitu manis dalam tiap kejadian. Keteduhan dan kebersahajaan budaya Jawa mengakar kuat dalam sanubari Nawung dan tokoh lainnya (Budiyono: III).

Novel ini sangat menarik. Ada banyak sekali latar budaya Jawa yang disajikan begitu apik dan menggelitik hati untuk dipahami. Perilaku sosial kemasyarakatan yang tercermin pada tiap detil cerita tanpa sadar membawa saya pada ranah kehidupan yang (seharusnya) mengakar dalam tiap manusia Jawa (Budiyono: III).

Bagi saya, membaca novel ini berarti belajar memahami dasar-dasar filosofi budaya Jawa. Novel ini sangat tepat dijadikan alternatif bacaan di tengah kemerosotan budaya yang tengah menjangkiti kehidupan masyarakat Jawa (Budiyono: III).

Novel Nawung merupakan novel dengan latar belakang kebudayaan Jawa yang kental. Berdasarkan pendapat Budiyono, novel ini dapat dijadikan alternatif bacaan di tengah kemerosotan budaya yang menjangkiti kehidupan masyarakat Jawa, terutama kaum remaja yang lebih menyukai hal-hal yang berbau modern. Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya Barat dan menganggap budaya sendiri sebagai budaya yang ketinggalan zaman.

Dewasa ini, secara pribadi saya melihat ada pergeseran budaya yang seakan tidak terbendung. Saya melihat berbagai ketimpangan budaya yang menjangkiti banyak masyarakat Jawa, khususnya remaja. Remaja banyak yang telah terkontaminasi doktrin-doktrin modernisasi yang disampaikan lewat menjamurnya teknologi. Mereka cenderung meniru budaya Barat dengan cara konyol yang bagi saya adalah “bahagia dibodohi modernisasi”.Lihat saja, berapa banyak orang yang berbicara tidak saling memperhatikan satu dengan yang lain? Mereka lebih memperhatikan layar

gadget dengan medsos dan berbagai aplikasi kerennya. Mereka lebih peduli

terhadap orang yang jauh daripada yang dekat. Banyak juga para gadis yang tampak nyaman memakai celana seperti, maaf, celana renang pria. Bukankah mereka tengah menjatuhkan harga diri mereka dengan mengobral gratis bagian tubuh yang mestinya tertutupi? (Budiyono: III)

Novel Nawung yang berlatar belakang budaya Jawa sangat cocok apabila dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA khususnya di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena siswa sudah tidak asing lagi dengan latar belakang budaya Jawa yang disajikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitria Rahmawati berikut.

Banyak pepatah-pepatah Jawa dan nasihat-nasihat dalam novel Nawung yang sering diucapakan oleh masyarakat di daerah tempat tinggal saya,

(10)

commit to user

seperti ngalah iku luhur wekasane, ajining diri gumantung ana lathi, narima

ing pandum (Rahmawati: V).

Mereka akan mudah memahami isi novel dan perlahan akan menghubung-hubungkan isi novel dengan kenyataan budaya yang ada di lingkungannya. Beberapa ungkapan dan istilah-istilah Jawa yang muncul dalam novel juga menjadi mudah untuk dipahami karena dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat Jawa. Hal ini diperkuat oleh pendapat Budiyono berikut.

Banyak sekali kelebihan yang terdapat dalam novel ini. Pengajaran filosofi Jawa, budi pekerti, budaya, semangat untuk selalu menuntut ilmu, kemandirian, keuletan, dan sebagainya tertanam begitu erat. Bagi saya nyaris komplit seperti apa-apa yang disampaikan orang tua zaman dahulu tentang falsafah Jawa. (Budiyono: III)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Nawung sangat relevan untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA khususnya SMA di Jawa Tengah dan DIY. Novel Nawung telah memenuhi kriteria pemilihan bahan pembelajaran dari segi bahasa, kematangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa. Dengan banyaknya nilai pendidikan karakter yang ditampilkan, maka semakin memperkuat pendapat bahwa novel ini memang layak dan relevan untuk dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA. Berikut pendapat Yant Mujiyanto tentang kelebihan novel Nawung sehingga relevan untuk dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yant Mujiyanto berikut.

Saya sendiri ingin merekomendasikan novel yang sangat bagus ini untuk dijadikan bahan ajar di SMA, khususnya di Jawa Tengah dan DIY. Alasannya, bukan sekadar novel ini memenuhi persyaratan dulce et utile, indah menyenangkan dan berguna, membawa nikmat dan hikmah, tapi juga cukup inspiratif menggugah perasaan dan daya cipta, memperkaya hati, memperluas wawasan, memperdalam penghayatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, mempertajam pendidikan karakter yang dibutuhkan para siswa di berbagai sekolah (Mujiyanto: I).

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada pembahasan di atas peneliti dapat mengambil beberapa simpulan bahwa unsur-unsur budaya Jawa yang ditemukan dalam novel Nawung karya Galuh Larasati meliputi peralatan kehidupan, mata pencaharian, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Wujud Kearifan Lokal yang ditemukan dalam Novel Nawung Karya Galuh Larasati meliputi unen-unen (pepatah), pitutur (nasihat), dan filosofi sedulur papat

(11)

commit to user

Nawung karya Galuh Larasati meliputi nilai karakter religius, jujur, disiplin, kreatif,

gemar membaca, tanggung jawab, dan peduli sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur

Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nugroho, Arie. 2011. Analisis Paribasan mengenai Kerukunan dalam Kajian

Semantik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat, Agustus 2004, jilid 37, nomor 2.

Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasan). Jurnal Ilmiah Bahasa dan

Sastra. V (1): 28-37.

Setiyadi, Putut. 2012. Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam Tembang Macapat dan Pemanfaatannya sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bangsa. Jurnal Magistra. 79 (24): 71-85.

Referensi

Dokumen terkait

Susunatur elemen rekaan visual mengambil kira aspek-aspek prinsip grafik untuk menghasilkan karya yang menarik. Melalui organisasi dan perhubungan antara elemen dan prinsip

Pada bagian ini dijelaskan mengenai identifikasi kekuasaan untuk setiap komunitas melalui aktor yang berperan, kepentingan terhadap hutan, mekanisme akses dan bundle of

Risiko kredit Kelompok Usaha terutama terhadap piutang dagang. Perusahaan dan Entitas Anak memiliki kebijakan, hanya akan bertransaksi dengan pihak ketiga yang memiliki

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyidangkan pelanggaran etika dan dapat menyidangkan pelanggaran disiplin profesi dokter di wilayah yang belum terdapat

[r]

Dalam rangka mencetak siswa yang berkualitas sangat tergantung pada proses pembelajaran dimana para guru berperan penting dalam proses tersebut, untuk meningkatkan mutu

“Bagaimanakah asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien An.N dengan kekurangan volume cairan pada kasus DCA (Diare Cair Akut) di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas?”..

Their maturity is being tested and the writer wants to show that conflicts do not always have to be faced pathetically, but people have to face the conflicts as one way to the