• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABORSI DAN TALASEMIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABORSI DAN TALASEMIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ABORSI DAN TALASEMIA

Oleh Nurcholish Madjid

Pertimbangan keagamaan tentang aborsi (pengguguran kandungan) sebagai tindakan medis untuk mengatasi talasemia — penyakit kela-inan darah turunan yang ditandai oleh adanya sel darah merah yang abnormal, dengan sendirinya melibatkan faktor-faktor bukan agama an sich dan berbagai implikasinya:

1. Pengetahuan yang mendekati kepastian tentang hakikat tala-semia, baik sebagai penyakit maupun “linkage”-nya ke depan dan ke belakang.

2. Pengetahuan seberapa jauh kemungkinan talasemia dapat atau tidak dapat disembuhkan.

3. Pengetahuan memadai tentang berbagai implikasinya, baik implikasi medis, ekonomis, psikologis, dan sosial; maupun implikasinya bagi penderita sendiri, orangtua, masyarakat, bahkan mungkin negara.

Persoalannya menjadi semakin rumit dan kompleks, karena pertimbangan keagamaan akan menyangkut pula berbagai faktor atau variabel lain yang luas sekali, jika tidak bisa dikatakan tak terbatas.1 “Agama” mengasumsikan “ajaran” dengan isyarat kepada

1 Ini lebih-lebih lagi benar jika agama dipahami sebagai “teori” atau

“ilmu” Tuhan Yang Mahaesa. Karena kemutlakan Tuhan, maka terdapat nilai kemutlakan pula dalam “ilmu”-Nya, baik dalam kualitas maupun kuantitas (keluasan) ilmu itu. Dalam bentuknya yang kompak, wahyu Ilahi merupakan

(2)

“keinginan” atau “ketentuan” Tuhan. Karena itu variabel utama da lam pertimbangan keagamaan ialah pengetahuan tentang “ke-inginan” Tuhan itu sehingga keputusan tindakan apa pun yang kita lakukan akan mendapat “perkenan” atau rida-Nya karena sejalan dengan “keinginan”-Nya itu.

Ajaran, “keinginan” dan ketentuan Tuhan itu dapat diketahui dari fi rman-fi rman yang merupakan wahyu kepada Rasul-Nya seba-gaimana telah termuat dalam Kitab Suci, dan dari tindakan Rasul yang sesuai dengan wahyu itu, yakni sunnah. Tetapi penarikan kesimpulan langsung tentang ajaran Tuhan itu baik dari Kitab Suci maupun sunnah hanya ada secara teoretis. Dalam praktik, penarikan kesimpulan itu akan lebih banyak mempertaruhkan keabsahan suatu tafsiran terhadap bunyi wahyu dan materi sunnah, dan ini berarti menyangkut persoalan tingkat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia. Selanjutnya, pada urutannya ini menyangkut masalah ijtihad (ijtihād), suatu pranata dalam

“representasi” ilmu Tuhan (maka dalam pandangan Muslim Sunni, Kalam Allah itu abadi atau qadīm, karena itu disebutkan bahwa Kitab Suci merupakan keterangan tentang segala sesuatu (Q 16:89). Tetapi sebagai “dokumen yang kompak”, Kitab Suci hanyalah memuat prinsip-prinsip persoalan dan isyarat-isyarat kepadanya saja.

Untuk kelengkapan pemahamannya, diperlukan penalarannya yang sangat banyak menuntut ijtihad manusia, dengan menggabungkan pemahamannya tentang diri manusia sendiri dan tentang lingkungan hidupnya dalam arti yang seluas-luasnya. Sebab dalam memahami diri sendiri dan lingkungan hidup itu tersediakan pula tanda-tanda — seperti halnya dengan al-Qur’an, diri manusia dan alam raya disebut sebagai ayat-ayat atau bukti-bukti — kebenaran Tuhan (Q 41:53). Tetapi, betapapun, manusia tidak mampu menguasai ilmu Tuhan itu sedemikian luasnya, sehingga “seandainya semua pepohonan yang ada di bumi menjadi pena dan seluruh lautan disediakan untuknya sebagai tinta serta ditambah lagi tujuh kali lautan itu, kalimat-kalimat Tuhan tidak akan habis (ditulis). Sesungguhnya Tuhan itu Mahamulia dan Mahabijaksana,” (Q 31:27). Ini semua melukiskan betapa luasnya cakupan ilmu Tuhan (agama), sehingga percobaan memahaminya akan tidak pernah sempurna. Namun justru usaha memahami itu adalah salah satu perintah Allah, dan kita diberi wewenang untuk bertindak sesuai dengan pemahaman kita, betapapun tidak sempurnanya pemahaman itu. Dan inilah hakikat ijtihad yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw.

(3)

sistem pemahaman ajaran agama (Islam) yang prinsipnya ialah berpikir secara optimal memahami sumber-sumber standar ajaran keagamaan dan mengambil kesimpulan yang sedikit mungkin dengan kebenaran.

Karena kenisbian manusia dan kemampuan-kemampuannya, termasuk di sini kemampuan intelektualnya, maka hasil suatu ijtihad tidak pernah mutlak mengikat secara umum. Hanya saja, suatu yang bernada optimistik tentang ijtihad ialah bahwa ia bisa, atau harus dilakukan, tanpa perlu takut membuat kesalahan. Sebab, seperti disebutkan dalam sebuah hadis, ijtihad yang membawa ke pada kesimpulan yang benar akan berpahala ganda, dan jika ia membawa kepada kesimpulan yang salah masih tetap akan ber-pahala juga, meski hanya tunggal.

Seperti halnya dengan ijtihad, maka begitulah kedudukan suatu fatwa — yang merupakan hasil suatu ijtihad — dalam sistem keagamaan Islam. Maka seseorang, dalam hubungannya dengan suatu pandangan keagamaan, terikat hanya kepada apa yang diyakini sebagai benar, setelah ia sendiri melakukan ijtihad dengan menggunakan bahan yang tersedia di hadapannya, tanpa kehilangan kesadaran akan kenisbian hasil ijtihadnya itu.

Menghormati Hidup

Berdasarkan prinsip-prinsip itu, dan dengan mempertimbangkan berbagai informasi memadai tentang talasemia di atas, beberapa ketentuan keagamaan dapat dipertimbangkan untuk menetapkan sikap dan melakukan tindakan-tindakan. Dengan asumsi bahwa semua studi tentang talasemia dan segala sesuatu yang menjadi sangkutannya sampai pada tingkat sekarang telah meliputi semua (exhaustive), dan bahwa yang exhaustive itu telah membawa kita kepada pertimbangan tentang kemungkinan aborsi sebagai cara (terakhir) mengatasi permasalahan yang akan ditimbulkannya, maka berbagai ketentuan keagamaan harus dipertimbangkan

(4)

de-ngan matang, antara lain, bahwa agama menghormati kehidupan manusia. Kitab Suci menyebutkan bahwa tindakan seseorang, baik positif maupun negatif berkenaan dengan kehidupan itu selalu mem punyai dampak yang lebih luas daripada yang bisa dirasakan oleh individu pelaku tindakan itu sendiri, karena dampak itu akan menyangkut keseluruhan kemanusiaan.2

Maka, misalnya, pikiran untuk melakukan aborsi terhadap isi kandungan yang telah diketahui (dengan pasti) menderita talasemia akan berhadapan dengan prinsip menghormati hidup itu. Hanya saja hal ini pada urutannya, menyangkut persoalan apakah yang dinamakan hidup itu dan — berkenaan dengan masalah aborsi — kapan kehidupan (dalam kandungan) itu mulai.

Dalam hal ini, fi rman Tuhan yang biasanya diacu untuk mencari keterangan ialah yang menyebutkan terjadinya tahap-tahap terbentuknya janin, dalam surat-surat al-Hajj dan al-Mu’minūn. Penggabungan antara fi rman-fi rman dalam kedua surat itu akan menghasilkan “teori” proses penciptaan atau perkembangan janin menurut al-Qur’an sebagai berikut:

a. Mula-mula ialah sperma (nuthfah, manī). b. Kemudian segumpal darah (‘alaqah).

c. ‘Alaqah menjadi segumpal daging (mudlghah).

(1) Mudlghah yang belum berbentuk (ghayr mukhallaqah). (2) Mudlghah yang telah berbentuk (mukhallaqah).

d. Mudlghah tumbuh berkerangka tulang.

e. Kemudian Tuhan menjadikannya makhluk yang lain (khalq-an ākhar).

f. Dan Tuhan mengeluarkannya sebagai bayi.3

2 “...Barangsiapa membunuh seseorang tanpa yang dibunuh itu bersalah

membunuh orang lain, dan tanpa ia bersalah membuat kerusakan di bumi, maka orang itu bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menghidupinya, maka ia bagaikan menghidupi seluruh umat manusia,” (Q 5:32).

3 “Wahai sekalian manusia, jika kamu berada dalam keraguan tentang

(5)

men-Yang menjadi kontroversi ialah pada tahap proses kejadian atau penciptaan yang mana “benda” dalam rahim wanita itu harus dipandang sebagai makhluk hidup, sebagai seorang manusia dan, karena itu, terkena prinsip perlakuan keagamaan terhadap seorang manusia hidup, yaitu perlindungan akan haknya untuk hidup. Berkenaan dengan ini ada beberapa isyarat yang sering diacu sebagai permulaan kehidupan. Pertama ialah istilah “makhluk yang lain” (khalq-an ākhar), yang mengisyaratkan adanya perbedaan kualitatif kemakhlukan antara tahap-tahap sampai (d) dengan tahap-tahap sesudahnya.

Ini dengan mudah ditafsirkan bahwa tahap-tahap terbentuknya janin sampai dengan (d) belum menghasilkan manusia (sehingga perubahannya menjadi manusia membuatnya menjadi “makhluk lain”). Dan ini, untuk beberapa ahli menjadi semakin jelas dalam gabungannya dengan fi rman Tuhan di tempat lain yang bisa ditafsirkan bahwa terbentuknya “makhluk yang lain” itu, yakni perubahan “benda” dalam rahim dari tidak berkehidupan menjadi berkehidupan setelah melewati tahap (d), ialah ketika Tuhan meniupkan ruh (rūh) atau “nyawa” kepadanya, baik langsung oleh Tuhan sendiri ataupun oleh Malaikat yang diutus untuk meniupkannya.4 Dan seakan hendak memperjelas batasan-batasan

ciptakan kamu sekalian dari tanah (turāb), kemudian dari sperma (nuthfah), ke mudian dari segumpal darah (‘alaqah), kemudian dari segumpal daging (mudlghah), yaitu yang telah berbentuk dan yang (sebelumnya) belum berbentuk (mukhallaqah) agar Kami dapat menjelaskan (kemahakuasaan Kami) kepadamu sekalian. Kemudian Kami biarkan (mudlghah) itu dalam rahim-rahim sampai saat tertentu, kemudian Kami keluarkanlah kamu sekalian sebagai bayi...,” (Q 22:4). Dan “Sungguh Kami (Tuhan) telah menciptakan manusia dari bahan halus dari tanah, kemudian Kami jadikannya sperma (nuthfah) dalam tempat yang terlindung, kemudian Kami jadikan nuthfah itu segumpal darah (‘alaqah), kemudian ‘alaqah itu Kami jadikan segumpal daging (mudlghah), kemudian mudlghah itu Kami jadikan (kerangka) tulang, kemudian Kami bentuklah ia menjadi makhluk yang lain (khalq-an ākhar). Maka Mahasuci Tuhan, sebaik-baik Pencipta,” (Q 23:12-14).

4 “Dia (Tuhan) yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang

(6)

cipta-waktu dalam periodisasi terbentuknya manusia dalam rahim itu, sebuah hadis mengatakan bahwa masa terjadinya masing-masing tahap sampai (d) adalah empat puluh hari dan pada tahap keempat ruh ditiupkan ke dalamnya. Maka “benda” dalam rahim itu, setelah lewat 3 x 40 hari (120 hari atau 4 bulan), harus dianggap sebagai “makhluk yang lain”. Yakni, manusia yang lengkap, dan harus dihormati sesuai dengan ketentuan Tuhan yang telah diajarkan-Nya, betapapun keadaan manusia itu.5

Kontroversial

Berdasarkan itu, para fuqahā’ (ulama ahli hukum Islam) berpendapat bahwa perubahan janin menjadi manusia terjadi setelah bulan ke-empat kehamilan. Sebagai akibatnya, kebanyakan fuqahā’ tidak mengizinkan aborsi setelah kehamilan empat bulan itu. Para fuqahā’ mazhab Hanafi membolehkan aborsi sampai habisnya bulan keempat. Mereka malah memberi hak kepada kaum wanita untuk melakukan aborsi, meskipun tanpa izin suami, dengan syarat harus disertai alasan yang jelas untuk apa aborsi itu dilakukan.

Sebaliknya para fuqahā’ mazhab Maliki secara mutlak melarang aborsi. Seperti yang lain-lain, mereka ini juga berpendapat bahwa janin bukanlah manusia sebelum ditiupkan ruh ke dalamnya. Ken dati begitu, karena sperma, sekali tertuangkan dan terwadahi dalam rahim, ditumbuhkan dan ditentukan untuk kemudian

men-kan keturunannya dari bahan halus dari air yang menjijikmen-kan, kemudian Dia sempurnakan dan ditiupkan kepadanya ruh daripada-Nya. Dan Dia pun menciptakan untuk kamu sekalian (manusia) pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran...,” (Q 32:9).

5 Hadis itu ialah sabda Nabi, “Masing-masing kamu terbentuk dalam rahim

ibumu selama empat puluh hari sebagai nuthfah, kemudian berkembang menjadi ‘alaqah selama masa itu pula, kemudian menjadi mudlghah selama itu pula, kemudian seorang Malaikat diutus, dan ia meniupkan ruh (nyawa) ke dalamnya”. (Dikutip oleh B.F. Musallam dalam Sex and Society in Islam [Cambridge: Cambridge University Press, 1983], h. 54).

(7)

dapatkan ruhnya (melalui peniupan oleh Tuhan atau Malaikat-Nya), maka ia harus dilindungi sepenuhnya. Di luar mereka yang secara mutlak melarang aborsi, juga terdapat sekelompok kecil dari kalangan para fuqahā’ mazhab Maliki yang membolehkan aborsi janin yang umurnya masih di bawah empat puluh hari. Sementara itu kalangan para fuqahā’ mazhab Syafi ’i (mazhab anutan Indonesia) dan mazhab Hambali, banyak yang sejalan dengan mazhab Hanafi dalam membolehkan aborsi, kecuali perbedaan pendapat dalam menetapkan batasan umur kandungan yang boleh digugurkan: sebagian membatasi pada umur 40 hari, sebagian 80 hari, dan yang lainnya 120 hari.6

Dari seluruh uraian di atas jelas bahwa dalam Islam, tidak seperti halnya dengan masalah kontrasepsi atau usaha pencegahan keha-milan yang umum diterima dan dibenarkan oleh para sarjana klasik (dan modern), masalah aborsi lebih kontroversial. Namun dapat disimpulkan, dengan tetap memperhatikan beberapa pendapat yang melarang, sebagian besar para ulama atau fuqahā’ membolehkan aborsi dengan variasi tentang batas umur kandungan.

Tentu tetap harus ada usaha menemukan cara menanggulangi talasemia tanpa harus menempuh jalan akhir seperti aborsi. Na mun jika usaha belum sampai, sementara tantangan gawat telah menghadang kehidupan, maka, “al-Dlarūrat-u tubīh-u

’l-6 Pembahasan Islam klasik tentang masalah ini terdapat dalam Ibn Nujaim, Bahr al-Rā’iq Syarh Kanz al-Daqā’iq, Jil. 3, h. 214; Muhammad Amin Ibn Abidin, Minhat al-Khāliq, (dalam Hāshiyah Ibn Nujaim, Bahr), Jil. 3, h. 215; `Ala al-Din Ibn Abidin, al-Hadīyah al-`Alā’iyah, h. 246; Ibn Abidin, Radd al-Muhtār `alā al-Durr al-Mukhtār fī Syarh Tanwīr al-Abshār, h. 622; ‘Ulaish, Fath al-`Alī al-Mālik fī al-Fatwā `alā Madzhab al-Imām Mālik, Jil. 1, h. 398; Dardir, Syarh al-Kabīr (dalam hāshiyah Dasuqi, Hāshiyāt), Jil. 2, h. 267; Kasadawi, Badr Zawjayn, h. 263-4; Ibn Juzayy, Kitāb Qawānīn al-Fiqhīyah, h. 212; Dasuqi, Hāshiyāt al-Dasūqī `alā al-Syarh al-Kabīr, Jil. 2, h. 267; Ibn al-Humam, Syarh al-Fath al-Qadīr, Jil. 2, h. 495; Ali ibn Sulayman al-Mardawi, al-Insāf fī Ma`rifāt al-Rājih min al-Khilāf, Jil. 1, h. 386; al-Ghazali, Ihyā `Ulūm al-Dīn, Jil. 2, h. 41. Cf. makalah tentang “Ijhād” dalam Mausū`at Jamāl Abd al-Nāshir fī al-Fiqh al-Islāmī (Cairo, 1388 H), Jil.3, h. 158-71. Lihat B.F. Musallam, h. 37-59 untuk pembahasan ini.

(8)

mahzhūrāt” (Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang) dan “Idzā ta‘āradlat-u ‘l-mafsadatān-i rū’iya a‘zhamuhumā dlarar-an bi irtikāb-i akhaffi himā” (Jika dua keburukan menghadang, maka harus dihindari yang lebih berat bahayanya dengan menempuh yang lebih ringan). Tinggal bagi kita menetapkan tingkat kedaru-ratan itu, dan di sinilah tanggung jawab kita kepada Tuhan, Sang Pemberi Hidup. [™]

Referensi

Dokumen terkait

Distilasi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah distilasi campuran biner, dimana zat yang digunakan adalah campuran kloroform dan aseton dengan komposisi yang variasi.Suatu

Hasil dari penelitian adalah dengan melihat pola sebaran pengunjung sehingga dapat dilihat bagaimana fasilitas pendukung dapat menjadi salah satu obyek pasif ataupun

 Swing adalah API (Application Programming Interface) untuk membuat GUI (Graphical User Interface) untuk aplikasi yang dibuat dengan Java... JFrame : Class yang dapat

Judul Skripsi : Strategi Komunikasi Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita (Studi Kasus Pada SLB River Kids Malang).. Telah dipertahankan

Menurut Sutiarti & Edi (2017:26) Media Interaktif adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan software dan hardware yang bisa digunakan sebagai perantara dalam

Kerangka penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi perilaku perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dimana perilaku perawat terdiri pengetahuan, sikap, keterampilan, dan

Aliran lurus: Dari hasil simulasi yang dilakukan terlihat bahwa, ketika diberikan variasi kedalaman awal yaitu h=0.1 sampai h=0.5 dengan kecepatan awal aliran v yang sama

Tercatat dalam skripsi yang dilakukan peneliti Rumondang Agustina Tampubolon bahwa hasil observasi awal di SMP Swasta Parulian 1 Medan mengobservasi siswa kelas VII