• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN INTENTION TO LEAVE PADA PERAWAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN INTENTION TO LEAVE PADA PERAWAT"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN

INTENTION TO LEAVE PADA PERAWAT

(The Relationship between Psychological Capital and Intention to

Leave among Nurses )

SKRIPSI

EKOTYAS ELASTRINA A.

0806344692

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN

INTENTION TO LEAVE PADA PERAWAT

(The Relationship between Psychological Capital and Intention to

Leave among Nurses )

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

EKOTYAS ELASTRINA A.

0806344692

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

(3)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Ekotyas Elastrina

NPM : 0806344692

Tanda Tangan :

(4)

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Ekotyas Elastrina A.

NPM : 0806344692

Program Studi : Psikologi

Judul Skripsi : Hubungan antara Psychological Capital dan Intention to Leave pada Perawat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Program Studi Reguler, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dra. Bertina Sjabadhyni, M.Si. ( ) NIP. 196109101987032001

Penguji 1 : Dra. B.K. Indarwahyanti Graito M.Psi. ( ) NIP. 194802291975012001

Penguji 2 : Dra. Derry Busriati, M.Psi. ( ) NIP. 195402271980032002

Ditetapkan di : Depok Tanggal : 14 Juni 2012

DISAHKAN OLEH

(Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong Siahaan, M.Ed.) NIP. 195408291980032001

(Dr. Wilman Dahlan Mansoer, M.Org.Psy.) NIP. 194904031976031002 Ketua Program Sarjana Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

(5)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala karunia dan hidayah yang diberikan sehingga saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dra. Bertina Sjabadhyni, M.Si. sebagai pembimbing skripsi saya yang telah meluangkan waktu dan daya upaya untuk membimbing saya dan teman-teman di payung penelitian Psychological Capital sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

2. Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi, M.Psi. sebagai pembimbing akademis saya yang memberikan arahan dan dukungan kepada saya selama perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

3. Dosen penguji, yaitu Dra. B.K. Indarwahyanti Graito M.Psi. dan Dra. Derry Busriati, M.Psi. yang telah banyak memberikan arahan dan masukan terhadap skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya Drs. S.E.T. Supriyanto dan Dra. Istyas Endang Sri A. yang selalu memberikan dukungan, doa yang tiada henti, dan materi yang cukup kepada saya hingga saya dapat menuntaskan perkuliahan ini. Serta adik saya Settyas Tedy Andrassukma, terimkasih untuk canda tawa yang mengahapus semua penat.

5. Teman-teman peer ―Para Cungils‖ (Junita, Anggit, Riri, Junisi, Devy, dan Lita ) yang selalu memberikan semangat, canda, tangis, dan tawa selama perkuliahan. Terimakasih telah menerima saya apa adanya dan menjadikan saya berarti bersama kalian.

6. Teman-teman payung (Monika, Reyna, Miko, Vira, Daniel, Adit, Riri, dan Yudhis) yang saling membantu satu sama lain sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

(6)

yang telah menjadi orang –orang terdekat selama saya menjalani perkulihan di Universitas Indonesia. Terimakasih untuk segala sesuatu yang telah kalian berikan selama ini.

8. Teman – Teman FUSI 12 dan FUSI 13, yang selalu memberikan doa dan dukungan sehingga saya memiliki keluarga baru di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia/

9. Teman – teman ―Geng Wasior‖ yang telah memberikan dukungan, doa, dan inspirasi bagi saya dalam menjalani kehidupan perkuliahan. Terimakasih untuk pengalaman tak terlupakannya selama sebulan ada di bumi cendrawasih.

10. Teman – teman PERHIMAK UI yang telah mendampingi saya dari awal perkuliahan hingga menyelesaikan perkuliahan. Tanpa kalian saya tidak tau bagaiman caranya bertahan di tanah perantauan.

11. Partisipan-partisipan penelitian yang membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman Psikologi UI angkatan 2008 (Psikomplit) yang memberikan berbagai pengalaman selama menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Skripsi ini dibuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampun saya, tapi tidak menutup kemungkinan jika terdapat kekurangan di dalamnya. Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan atau didiskusikan lebih lanjut, bisa menghubungi ekotyas.elastrina@gmail.com. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, 14 Juni 2012

(7)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ekotyas Elastrina

NPM : 0806344692

Program Studi : Reguler Fakultas : Psikologi Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

―Hubungan antara Psychological Capital dam Intention to Leave pada Perawat‖ beserta perangkat (jika ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagia penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 14 Juni 2012 Yang menyatakan

(Ekotyas Elastrina) NPM : 0806344692

(8)

Nama : Ekotyas Elastrina A. Program Studi : Psikologi

Judul : Hubungan antara Psychological Capital dan Intention to Leave pada Perawat

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara psychological capitaldan intention to leave pada perawat. Pengukuran psychological capital menggunakan alat ukur psychological capital questioner (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) dan pengukuran intention to leave menggunakan alat ukur anticipated turnover scale (Atwood, 1985). Partisipan berjumlah 187 orang perawat yang bekerja di rumah sakit umum swasta. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat (r = -0,169; p = 0.010, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya, semakin tinggi psychological capital yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah intention to leave yang dimiliki. Berdasarkan hasil tersebut, psychological capital pada perawat perlu dikembangkan untuk menurunkan intention to leave sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat.

Kata Kunci:

(9)

Name : Ekotyas Elastrina A. Program of Study : Psychology

Title : The Correlation between Psychological Capital and Intention to Leave among Nurses.

This research was conducted to find the correlation between psychological capital; and intention to leave among nurses.Psychological capital was measured using a modification instrument named psychological capital questioner (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007 ) and intention to leave was measured using a modification instrument named anticipated turnover scale (Atwood, 1985). The participants of this research are 187 nurseswho are working in private hospital. The main results of this research show that psychological capital has negative correlatio significantly with intention to leave (r = -0.169; p = 0.010, significant at L.o.S 0.05). That is, the higher psychological capital of one’s own, the lower showing intention to leave. Based on these results, psychological capital among nurse need to be developed to reduce intention to leave so they can give the best health service to the people.

Keyword:

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Masalah Penelitian ... 6 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Sistematika penulisan ... 7

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 9

2.1 Psychological Capital ... 9

2.1.1 DefinisiPsychological Capital ... 11

2.1.2 Komponen Psychological Capital ... 12

2.1.3 Pengukuran Psychological Capital ... 15

2.2 Intention to Leave ... 16

2.2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Intention to Leave ... 17

2.2.2 Pengukuran Intention to Leave ... 19

2.3 Rumah Sakit ... 20

2.4 Perawat ... 23

2.4.1 Karateristik Perawat berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 24

2.5 Dinamika Hubungan antara Psycghological Capital dan Intention to Leave ... 25

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Masalah Penelitian ... 28

3.1.1 Masalah Konseptual ... 28

3.1.2 Masalah Operasional ... 28

3.2 Hipotesis Penelitian ... 28

3.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha) ... 28

3.2.2 Hipotesis Nol (Ho) ... 29

3.3 Variabel Penelitian ... 29

3.3.1 Variabel Pertama: Psychological Capital ... 29

(11)

3.3.2.1 Definisi Konseptual ... 30

3.3.2.2 Definisi Operasional ... 30

3.4 Tipe dan Desain Penelitian ... 30

3.4.1 Tipe Penelitian ... 30

3.4.2 Desain Penelitian ... 30

3.5 Partisipan Penelitian ... 31

3.5.1 Karakteristik Partisipan Penelitian ... 31

3.5.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 31

3.5.3 Jumlah Sampel ... 32

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.7 Instrumen Penelitian ... 32

3.7.1 Alat Ukur Psychological Capital ... 32

3.7.1.1 Metode Scoring ... 32

3.7.1.2 Uji Coba Alat Ukur ... 34

3.7.2 Alat Ukur Intention to Leave ... 35

3.7.2.1 Metode Scoring ... 35

3.7.2.2 Uji Coba Alat Ukur ... 36

3.8 Prosedur Penelitian ... 37

3.8.1 Tahap Persiapan ... 37

3.8.2 Tahap Pelaksanaan ... 38

3.8.3 Tahap Pengolahan Data ... 38

3.9 Metode Pengolahan Data ... 38

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS ... 40

4.1 Gambaran Umum Partisipan ... 40

4.1.1 Gambaran Demografis Penyebaran Partisipan Penelitian ... 40

4.1.2 Gambaran Psychological Capital ... 43

4.1.3 Gambaran Intention to Leave ... 43

4.2 Hasil Utama Penelitian ... 44

4.2.1 Hubungan antara Psychological Capital dan Intention to Leave ... 45

4.3 Hasil Tambahan Penelitian ... 46

4.3.1 Sumbangan Komponen Psychological Capital terhadap Intention to leave ... 47

4.3.2Perbedaan Skor Intention to Leave berdasarkan data Demografis ... 48

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Diskusi ... 53

5.2.1 Diskusi Hasil Utama Penelitian ... 54

5.2.2 Diskusi Hasil Tambahan Penelitian ... 55

5.2.3 Diskusi Metodologis ... 57 5.3 Saran ... 58 5.3.1 Saran Metodologis ... 58 5.3.2 Saran Praktis ... 59 DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN ... 67

(12)

Tabel 3.1 Komponen Psychological Capital ... 33

Tabel 3.2 Item pada Alat UkurIntention to Leave ... 36

Tabel 4.1 Gambaran Demografis Partisipan ... 40

Tabel 4.2 Kategori TingkatPsychological Capital ... 44

Tabel 4.3 Kategori Tingkat Intention to Leave ... 42

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Korelasi Psychological Capital dan Intention to Leave ... 45

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Korelasi Psychological Capital dan Intention to Leave pada Perawat dengan Status Pegawai Tetap ... 46

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Korelasi Psychological Capital dan Intention to Leave pada Perawat dengan Status Pegawai Kontrak ... 47

Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Regresi Komponen Psychological Capital dan Intention to Leave ... 47

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Regresi Ganda Komponen Psychological Capital dan Intention to Leave ... 48

Tabel 4.9 Gambaran Skor Intention to Leave berdasarkan Data Demografis ... 49

(13)

Gambar 2.1 Sturktur Organisasi Rumah Sakit X ... 22 Gambar 2.2 Alur Berpikir Hubungan Psychological Capital dan Intention

(14)

LAMPIRAN A (Hasil Uji Coba Alat Ukur Psychological Capital dan

Intention to Leave) ... 62

A.1 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Psychological Capital ... 62

A.1.1 Hasil uji reliabilitas ... 62

A.1.2 Hasil uji validitas item psychological capital ... 62

A.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Intention To Leave ... 63

A.2.1 Hasil uji reliabilitas ... 63

A.2.2 Hasil uji validitas item intention to leave... 63

LAMPIRAN B (Hasil Uji Alat UkurPsychological Capital dan Intention to Leave Pada Saat Field) ... 64

B.1 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Psychological Capital ... 61

B.1.1 Hasil uji reliabilitas ... 64

B.1.2 Hasil uji validitas item psychological capital ... 62

B.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Intention To Leave ... 65

B.2.1 Hasil uji reliabilitas ... 65

B.2.2 Hasil uji validitas item intention to leave ... 66

LAMPIRAN C (Hasil Utama Penelitian) ... 66

C.1 Hasil Korelasi antara Psychological Capital dan Intention to Leave ... 66

LAMPIRAN D (Hasil Tambahan Penelitian) ... 67

D.1 Hasil Regeresi Komponen Psychological Capital dan Intention to Leave ... 67

D.2 Hasil Regeresi Ganda Komponen Psychological Capital dan Intention to Leave ... 67

D.3 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 68

D.4 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Kelompok Usia ... 69

D.5 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Pendidikan Terkahir ... 70

D.6 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Masa Kerja ... 70

D.7 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Status Kepegawaian ... 71

D.8 Gambaran Intention to Leave Ditinjau dari Penghasilan ... 72

(15)

1.1 Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan aset penting bagi organisasi. Organisasi membutuhkan sumber daya manusia untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya. Hal ini didukung oleh definisi organisasi menurut Mc Shame dan Glinow (2010) yang menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu kelompok yang terdiri dari sekumpulan orang yang saling bekerjasama untuk mencapai satu tujuan. Dari definisi tersebut terlihat jelas bahwa sumber daya manusia merupakan komponen utama sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia, salah satu faktor yang signifikan adalah kesehatan. Menurut pasal 1 ayat 1 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan menjadi penting karena mempengaruhi produktivitas seorang individu dalam menjalankan peran dan fungsinya. Kesehatan sangat ditunjang oleh sarana dan prasarana yang ada dalam memelihara stabilitas kesehatan individu.

Salah satu sarana dan prasarana yang penting terhadap kesehatan individu adalah rumah sakit. Menurut UU Republik Indonesia No 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan, yang menyelenggarakan pelayanankesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Di sisi lain, rumah sakit adalah sebuah organisasi dimana individu-individu di dalamnya saling bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pasal 12 ayat 1 UU Republik Indonesia No 44 tahun 2009 tentang rumah sakit menjelaskan bahwa rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan.

Salah satu tenaga kesehatan yang penting adalah perawat. Definisi perawat menurut Permenkes RI No.HK.02.02/Menkes/148/I/2010 pasal 1 adalah

(16)

sesorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perawat dapat melaksanakan praktik keperawatan yang meliputi asuhan keperawatan, promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat pada fasilitas kesehatan yang meliputi tingkat individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (pasal 8 dalam Permenkes RI No.HK.02.02/Menkes/148/I/2010). Tiga komponen penting dalam profesi keperawatan adalah perawatan, pengobatan, dan koordinasi (Potter & Perry, 2005). Dalam rumah sakit, pelayanan keperawatan beroperasi selama 24 jam per hari dan 7 hari seminggu. Perawat memiliki peran penting dalam rumah sakit karena perawat merupakan penjalin kontak pertama dan terlama dengan pasien dan keluarganya. Oleh sebab itu, upaya penyelenggaraan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak terlepas dari peran penting profesi perawat.

Perawat di rumah sakit menjadi salah satu faktor penentu kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Ketika pelayanan yang diberikan kepada pasien baik, maka kualitas sumber daya kesehatan dan psikologis pasien menjadi baik. Secara tidak langsung kualitas sumber daya manusia di tingkat masyarakat ikut membaik. Oleh karena itu, terlihat bahwa kualitas pelayanan perawat berpengaruh kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia secara luas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat merupakan salah satu bentuk performa kerja. Pelayanan yang diberikan perawat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah intention to leave. Intention to leave merupakan pertimbangan yang serius untuk meninggalkan pekerjaan saat ini (Mor barak, Nissli, dan Levin 2001). Perawat dengan intention to leave yang tinggi tidak akan memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Perawat yang memiliki intention to leave yang tinggi akan menunjukan perilaku seperti tidak masuk kerja, terlambat masuk kerja, dan tidak bersungguh – sungguh dalam bekerja. Intention to leave yang disertai perilaku keluar dari organisasi, dalam hal ini perawat yang keluar dari rumah sakit, dapat mengacaukan keberlangsungan pelayanan yang diberikan, khususnya kualitas pelayanan (Barddock dan Mitche, 1992, dalam Mor barak, Nissli, & Levin 2001).

(17)

Sebuah perilaku diawali dengan adanya intention. Lebih lanjut, menurut Fishbein dan Ajzen (1975) intention terbentuk setelah adanya belief (keyakinan) dan attitude(sikap). Belief, attitude, dan intention tidak selalu tampak jelas dalam perilaku, tetapi ketiga hal tersebut akan diwujudkan dalam sebuah tindakan. Demikian pula dengan perilaku keluar dari pekerjaan yang diawali dengan adanya intention to leave. Pembentukan intention diawali dengan adanya belief akan akibat perilaku keluar dari pekerjaan yang merupakan komponen dari pengetahuan tentang keluar dari pekerjaan, yaitu akibat positif dan akibat negatif yang didapat bila perawat keluar dari rumah sakit. Semakin banyak segi positif yang diperoleh perawat tentang akibat perilaku keluar dari rumah sakit, maka semakin positifattitude perawat terhadap perilaku keluar dari rumah sakit. Intention seseorang untuk melakukan perilaku keluar dari rumah sakit didasari oleh attitude perawat terhadap perilaku keluar dari pekerjaan yang akan diwujudkan dengan perilaku keluar dari pekerjaan. Intention to leave menjadi penting karena intention to leave merupakan prediktor yang kuat terhadap turnover (Wolpin & Burke, 1985, dalam Krausz, Koslowsky, Shalom, dan Elyakim, 1995).

Turnover adalah keluarnya karyawan dari organisasi (Spector, 2000).Tingginya turnover telah diakui sebagai masalah penting dalam lembaga kesejahteraan masyarakat dalam beberapa dekade ini karena menghalangi pelayanan yang efektif dan efisien (Powell dan York, 1992 dalam Mor barak Nissli, & Levin 2001). Selanjutnya Mor barak Nissli, dan Levin (2001) memaparkan penelitian yang dilakukan oleh Tollen di tahun 1960 pada direksi sebuah perusahaan. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa turnover pada karyawan merupakan sesuatu yang merugikan perusahaan dalam menyediakan pelayanan yang efektif kepada kliennya. Hal ini sebabkan oleh dua alasan, (1)Tingginya biaya yang dikeluarkan dan memakan waktu, (2) Menyebabkan kelelahan dalam siklus perekrutan kerja yang menurunkan reputasi organisasi.

Tingginya turnover memiliki implikasi yang negatif , terutama dalam hal kualitas, konsistensi, dan stabilitas pelayanan yang disediakan kepada masyarakat. Turnover juga dapat memiliki dampak yang tidak menyenangkan

(18)

pelayanankarena masyarakat tidak percaya kepada organisasi. Hal ini karena kekosongan jabatan yang ada, diisi oleh karyawan baru yang belum berpengalaman (Powell and York 1992 dalam Mor barak, Nissli, & Levin 2001). Turnover dapat mengecilkan hati karyawan yang ada karena meningkatkan ketidakpercayaan klien kepada organisasi (Todd & Deery-Schmitt1996; Geurts et al. 1998, dalam Mor barak, Nissli, & Levin 2001 ). Tunrnover sangat berkorelasi dengan kapasitas produksi organisasi, terutama pada organisasi yang terkonsentrasi pada sumber daya manusia yang meliputi, skills, abilities, dan knowledge (Balfour and Neff 1993 dalam Mor barak, Nissli, & Levin 2001 ). Selain itu, organisasi juga menanggung kerugian materi yang cukup besar, dimana banyak biaya yang harus dikeluarkan. Pengeluran tersebut dikelompokkan dalam tiga jenis kategori, yaitu : separation cost (wawancara keluar, administrasi, uang perpisahan, dan asuransi), replacement cost (pemasangan iklan dan rekrutmen), dan training cost ( biaya pelatihan dalam kelas dan pelatihan lapangan) (Braddock and Mitchell 1992; Blankertz and Robinson 1997 dalam Mor barak, Nissli, & Levin 2001).

Dari pemaparan di atas, peneliti berasumsi bahwa dampak negatif intention to leave yang diikuti dengan turnover dapat terjadi di rumah sakit, dalam hal ini turnover pada perawat. Intention to leave yang diikuti dengan turnover dapat mereduksi keefektifan rumah sakit dan produktivitas perawat. Jika intention to leave dan turnover pada perawat tinggi, maka fokus rumah sakit dalam menyediakan pelayanan kesehatan menjadi terpecah dengan masalah internal di dalamnya, seperti rekrutmen, seleksi, dan pelatihan bagi perawat baru. Rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh.

Untuk mengatasi permasalahan individu di dalam rumah sakit, dibutuhkan sumber daya psikologis yang disebut dengan psychological capital. Menurut Luthans, Yousef, dan Avolio (2007;3) Psychological capital adalah suatu keadaan psikologis positif yang berkembang pada individu dengan karakteristik : (1) Memiliki kepercayaan diri untuk memilih dan mengarahkan upaya yang diperlukan agar berhasil pada tugas yang menantang (self efficacy); (2) Membuat atribusi positif tentang keberhasilan dimasa kini dan mendatang (optimism); (3)

(19)

Tekun dalam mencapai tujuan dan, bila diperlukan mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan (hope); dan (4) Ketika dilanda masalah, dan kesulitan, individu dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resiliency) (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Psychological capital menjadi penting karena dapat memprediksi intention to leave dan turnover pada karyawan(Avey, Luthans, & Jensen, 2009). Semakin tinggi psychological capital seorang individu semakin rendah intention to leave yang dimilikinya (Avey, Reichard, Luthans, & Mhatre, 2011; Avey, Yousef & Jensen, 2009; Avey, Luthans & Yousef, 2006).

Psychological capital penting dimiliki oleh perawat karena perawat dengan psychological capital yang tinggi akan memiliki energi dan memberikan usaha yang termanifestasi dalam performa yang lebih baik untuk memberikan pelayanan kesehatan pada jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan tingginya efficacy diaplikasikan dalam usaha untuk mencapai tujuan individu, dan mereka percaya dapat mencapainya. Selain itu perawat dengan psychological capital yang tinggi memiliki willpower dan alternatif solusi untuk pemecahan masalah. Mereka membuat atribusi positif dan memiliki harapan terhadap hasil yang baik. Perawat dengan psychological capital yang tinggi akan tetap gigih dalam menghadapi tantangan dan dapat kembali ke keadaan semula setelah menghadapi masalah. Secara menyeluruh psychological capital dapat memfasilitasi motivasi dan intensi tingkah laku untuk sukses dalam memenuhi tujuan dan mengarahkan tugas untuk menghasilkan pelayanan yang lebih baikpada individu dengan psychological capital yang tinggi daripada individu yang memiliki psychological capital yang rendah. Psychological capital memiliki hubungan positif dengan performancepada perawat, yaitu pelayanan yang diberikan kepada pasien (Avey, Reichard, Luthans, & Mhatre, 2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological capital yang tinggi dapat berpengaruh pada sumber daya manusia yang meliputi aspek intention to leave, performance, kesuksesan individu, dan kesuksesan organisasi. Demikian juga halnya pada perawat, psychological capital yang tinggi dapat berpengaruh pada intention to leave pada perawat, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Meskipun demikian, sejauh ini belum

(20)

banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara psychological capital dan intention to leave, halini didukung dari hasil pencarian di website (uideepwebacsess.com) yang menghasilkan 388 artikel berdasarkan ranking dengan kata kunci ―psychological capital and intention to leave among nurse‖. Dari 388 artikel yang ditemukan, tidak ada yang secara langsung penelitian yang mengemukakan hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat.

Dari penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat. Hal ini dilakukan mengingat penelitian antara psychological capital dan intention to leave pada perawat di Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu peneliti memiliki asumsi bahwa perawat memiliki peran cukup penting dalam dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini menjadi penting karena dapat memberikan gambaran psychological capital dan intention to leave pada perawat sehingga dapat dijadikan landasan acuan pada penelitian selanjutnya.

1.2. Rumusan Permasalahan

Permasalahan utama yang diteliti dalam penelitian ini adalah ―Apakah terdapat hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat?‖

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat. Selain itu, akan diperoleh hasil tambahan mengenai gambaran psychological capital pada perawat dan gambaran intention to leave pada perawat.

1.4 Manfaat Penelitian

(21)

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah teori dalam bidang psikologi industri dan organisasi khususnya mengenai psychological capital dan intention to leave pada profesi perawat.

2. Merangsang munculnya penelitian-penelitian dengan topik serupa karena penelitian psychological capital pada perawat di Indonesia masih perlu dikembangkan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitain ini diharapkan dapat memberikan gambaran awal mengenai psychological capital pada rumah sakit X yang ingin mengetahui gambaran psychological capital dan intention to leave pada perawat di rumah sakitnya.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap pihak rumah sakit dalam menetapkan langkah – langkah yang akan di ambil mengenai peningkatan psychological capital dan pengurangan intention to leave agar dapat memberikan layanan terbaik dalam rangka peningkatan sumber daya manusia.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka membahas definisi dari variabel penelitian yaitu psychological capital dan intention to leave , dimensi-dimensi dari setiap variabel, penelitian sebelumnya terkait kedua variabel, pengukuran psychological capitaldan intention to leave, hubungan psychological capital dengan intention to leave, dan penjelasan mengenai perawat.

Bab 3 Metode Penelitian menjelaskan metodologi penelitian hubungan antara psychological capital dan intention to leave, yang terdiri dari permasalahan penelitian, hipotesis penelitian, variabel penelitian, tipe dan desain

(22)

penelitian, partisipan penelitian, metode pengambilan data, instrument penelitian, prosedur penelitian dan teknik statistik yang digunakan.

Bab 4 Hasil dan Analisis akan menguraikan mengenai hasil penelitian, analisis hasil penelitian, dan hubungan antara psychological capital dan intention to leave

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran merupakan bagian penutup yang akan menjelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari penelitian yang telah dilakukan, serta saran untuk penelitian berikutnya.

(23)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang akan digunakan pada kedua variabel penelitian ini. Teori yang akan diuraikan yaitu mengenai psychological capital, intention to leave, serta hal-hal lain yang terkait dengan kedua variabel tersebut.

2.1 Psychological Capital

Positive psychology merupakan studi ilmiah mengenai bagaimana manusia dapat berfungsi dengan optimal (Sun et al., 2011). Tren terbaru mengenai positive psychology fokus pada kekuatan serta fungsi optimal manusia (Sun et al., 2011). Pendekatan yang sering digunakan saat ini adalah pendekatan psikologis positif untuk mereduksi kekurangan dari pendekatan psikologi negatif. Dalam psikologi positif terdapat Positive Organizational Scholarship (POS)pada konteks makro dan level organisasi dan Positive Organizational Behavior (POB) pada level individu (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).Positive Organizational Behavior (Perilaku Positif Organisasi) didefinisikan sebagai sebuah studi dan aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif untuk meningkatkan performa di lingkungan kerja (Luthans, 2002). Perilaku postif organisasi merupakan perluasan dari psikologi positif yang memiliki pendekatan untuk menemukan kekuatan manusia, membuat seorang individu semakin kuat dan produktif sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Untuk dapat digolongkan ke dalam perilaku positif organisasi, harus memenuhi kreteria sebagai berikut :1) Merupakan suatu konstruk kriteria yang positif dan unik, 2) Berdasarkan teori dan penelitian akademik, 3) Dapat diukur dengan valid, 4) Merupakan kriteria yang merupakan state-like dan dapat dikembangkan, serta 5) Memiliki dampak yang positif terhadap kinerja (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

Salah satu syarat untuk dapat digolongkan menjadi perilaku positif organisasi harus merupakan state-like. State-like memiliki karakteristik terbuka,

(24)

dapat berubah, dan dapat dikembangkan melalui pelatihan dan aktivitas kerja. Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan jika konstruk tersebut dapat berubah berdasarkan kondisi dan intervensi. Pengukuran konstruk state-like dinilai lebih baik karena kondisi di tempat kerja tidak selamanya sama, terkadang terdapat situasi yang menguntungkan individu , guncangan pekerjaan, atau hal-hal yang dapat memicu timbulnya masalah. Sebaliknya konstruk yang berupa trait like cenderung stabil sehingga tidak memungkinkan HRM (Human Resources Management) untuk mengembangkannya(Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Dalam konteks ini psychological capitaldapat digolongkan dalamPerilaku Positif Organisasi.

Psychological capital merupakan sejenis teori yang mengembangkan sumber daya manusia, terdapat cara lain untuk lebih memahami psychological capital sebagai sebuah konstruk yang penting untuk dipelajari. Psychological capital dikembangkan setelah adanya human capital dan social capital. ―Human‖ mengacu pada seseorang yang bekerja pada suatu organisasi, sedangkan kata ―capital‖ mengacu pada sumber daya yang diinvestasikan pada sebuah organisasi. Human capital terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pekerja yang ditampilkan pada kompetensi khusus. Social Capital terdiri dari kepercayaan, hubungan dengan pekerja yang lain, dan jariangan yang dimiliki (Luthans, Luthans, &Luthans, 2004). Dengan kata lain human capital lebih menitik beratkan pada ‖what you know/ apa yang anda tahu?‖ sedangkan social capital lebih menekankan pada ‖who you know/ siapa yang anda tahu?‖). SementaraPsychological capital lebih menitik beratkan pada ( ―who are you/ siapa kamu”) dan mengembangkan ―who are you becoming/ akan menjadi siapa kamu nanti‖). Psychological capital dapat mencakup pengetahuan, keterampilan, kemampuan teknikal, dan pengalaman. Psychological capital mengacu pada empat kapasitas positif psikologis yaitu, self efficafcy, hope, optimism, dan resiliency. Psychological capital memberikan gambaran konseptual yang lebih komprehensif dalam memahami dan mengembangkan aset organisasi, dalam hal ini sumber daya menusia dalam lingkungan kerjanya (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

(25)

2.1.1 Definisi Psychological Capital

Pada bagian ini akan dijelaskan definisi psychological capital yang digunakan pada penelitian ini. Berikut adalah definisi psychological capital :

―is an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3) persevering toward goals and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed; and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency) to attain success.”

(Luthans, Youssef, & Avolio, 2007 : 3) Psychological capital yang dimaksud adalah suatu keadaan psikologis positif yang berkembang pada individu dengan karakteristik : (1) Memiliki kepercayaan diri untuk memilih dan mengarahkan upaya yang diperlukan agar berhasil pada tugas yang menantang (self efficacy); (2) Membuat atribusi positif tentang keberhasilan dimasa kini dan mendatang (optimism); (3) Tekun dalam mencapai tujuan dan, bila diperlukan mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan (hope); dan (4) ketika dilanda masalah, dan kesulitan, individu dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resiliency).

Avey, Youssef, dan Luthans (2009) menjelaskan bahwa karakteristik yang membangun psychological capital saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga konstruk ini lebih baik diukur sebagai satu kesatuan. Pengukuran psychological capital, menjadi tidak memadai apabila hanya menganalisis satu atau beberapa karakteristik psychological capital dan hubungannya dengan performa karyawan (Luthans, Yousef & Avolio, 2007). Pada bagian selanjutnya, peneliti akan membahas mengenai komponen – komponen yang membentuk konstruk psychological capital tersebut. Definisi psychological capital yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi psychological capital milik Luthans, Youssef, dan Avolio (2007).

(26)

2.1.2 Komponen Psychological Capital

Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) menjelaskan terdapat empat kapasitas psikologis yang memiliki sifat positif , yang unik, dapat diukur, terbuka serta dapat dikembangkan, dan dapat diterapkan di dunia kerja. Empat komponen tersebut masuk ke dalam konstruk psychological capital, yaitu: self efficacy, hope, optimism, dan resiliency.

2.1.2.1 Self Efficacy

Definsi self efficacy yang digunakan dalam penilitian ini adalah suatu keyakinan atau kepercayaan diri seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan motivasi, sumber – sumber kognisi, dan melakukan sejumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas pada konteks tertentu (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) menjelaskan bahwa individu yang memiliki self efficacy memiliki karakteristik :

1. Mereka membuat target yang tinggi untuk diri mereka dan mengerjakan tugas – tugas yang sulit.

2. Menyukai dan mengembangkan diri dengan adanya tantangan. 3. Memiliki motivasi diri yang tinggi.

4. Berusaha untuk mencapai target yang telah dibuat. 5. Tetap gigih meskipun menemui hambatan.

Individu yang memiliki self efficacy tinggi tidak menunggu untuk menetapkan sebuah tujuan, meskipun penuh dengan tantangan. Bagi individu dengan self efficacy rendah, keragu – raguan, umpan balik yang negatif, kritik sosial, halangan, kegagalan yang berulang, memiliki dampak yang signifikan, tetapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang memiliki self efficacy tinggi (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

(27)

2.1.2.2 Optimism

Optimism menurut Seligman (1998 dalam Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007) adalah suatu cara menginterpretasi kejadian – kejadian sebagai suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan terjadi hanya pada situasi tertentu saja. Definisi lain mengenai optimism adalah sebuah gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang positif dan terbuka pada perkembangan diri yang menetap (Carver & Scheier, 2002, dalam Avey, Reichard, Luthans, Mhatre, 2011). Definisi optimism yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi yang dikembangkan oleh Seligman (1998 dalam Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007)

Individu dengan optimism yang tinggi akan mampu merasakan implikasi kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu tersebut juga mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa diremehkan orang lain. Individu ini juga akan memberikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang terkait ketika individu tersebut mencapai kesuksesan (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007) .

2.1.2.3 Hope

Definisi hope yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan oleh Snyder, Irving, & Anderson ( 1991, dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) sebagai suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh proses interaksi antara agency (energi untuk mencapai tujuan)dan pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan).Agency atau willpower merupakankondisi kognitif atau kondisi berpikir dimana individu mampu untuk menetapkan tujuan dan ekspektasi yang realistis tetapi menantang serta berusaha mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan determinasi diri, energi, dan persepsi kontrol internal. Sedangkan pathway atau waypower merupakan kondisi dimana individu mampu menemukan langkah alternatif untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami kendala pada aplikasi langkah awal.

(28)

Individu yang memiliki hope akan mempunyai berbagai alternatif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, walaupun sesungguhnya terdapat hambatan untuk mencapainya. Ada beberapa cara untuk mengembangkan hope di dalam diri individu, yaitu dengan menginternalisasi tujuan dan komitmen ke dalam diri dan membuat stepping dengan memecah tujuan menjadi langkah – langkah kecil dan lebih dekat dengan keadaan saat ini secara lebih teratur. Selain dua cara yang telah dijelaskan di atas, terdapat sistem reward (penghargaan). Penghargaan bagi karyawaan akan meningkatkan keinginan dan memotivasi karyawan untuk mencapai tujuan (will power).

2.1.2.4 Resiliency

Resiliency merupakan kemampuan untuk memantul kembali atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pada peristiwa positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab (Luthans 2002, dalam Luthans, Yousef, & Avolio, 2007). Menurut Masten and Reed (2002, dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mendefinisikan resiliency sebagai suatu fenomena yang memiliki karakteristik pola adaptasi positif dalam konteks situasi yang menyulitkan dan berisiko. Secara spesifik, individu dapat mengidentifikasi kemampuan kognitifnya, tempramen, persepsi positif terhadap dirinya, pandangan positif terhadap hidupnya, stabilitas emosional, regulasi diri, selera humor, dan daya tarik termasuk attractiveness sebagai aset yang potensial sehingga dapat berkontribusi terhadap tingkat resiliency yang lebih tinggi. Masten dan Reed ( 2001 dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menjelaskan bahwa resiliency bergantung pada dua faktor yaitu resiliency assets dan reslience risk (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Resiliency assets adalah karateristik yang dapat diukur pada suatu keompok atau individu yang dapat memprediksi keluaran positif dimasa yang akan datang dengan kriteria keluaran yang spesifik. Resilience risk adalah sesuatu yang dapat meningkatkan keluaran yang tidak diinginkan, seperti pengalaman yang tidak mendukung perkembangan diri, seperti kecanduan alkolhol, obat – obatan terlarang, dan terpapar trauma kekerasan. Berdasarkan penjelasan di atas, definisi resiliency yang diunakan dalam penelitian ini adalah yang dijelaskan oleh Luthans 2002 (dalam Luthans, Yousef, & Avolio, 2007).

(29)

2.1.3 Pengukuran Psychological Capital

Pengkuruan psychological capitaldapat dilakukan dengan obervasi, wawancara, dan skala sikap (Kumar, 2005). Skala sikap digunakan dalam penelitia ini karena psychological capital merupakan state-like dan perilaku yang covert sehingga dibutuhkan pemicu untuk mengukurnya. Item dalam skala sikap ini merupakan pemicu untuk memunculkan perilaku covert individu. Sedangkan pengukuran perilaku menggunakan obeservasi digunakan pada tingkah laku overt seperti, absenteeism, perliaku terlambat kerja, dan memobolos dari pekerjaan (Gravetter & Forzano, 2009). Pengukuran dengan observasi dapat dilakukan dengan membuat indikator –indikator tingkah laku yang mencerminkan

psychological capital. Wawancara tidak digunakan dalam penelitian ini karena

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan data (Kumar, 2005). Pengukuran psychological capital menggunakan skala sikap Psychological Capital Questionare (PCQ) yang terdiri 24 item. PCQ terdiri dari empat komponen yaitu self efficacy, optimism, hope, dan resiliency. Komponen self efficacy pada PCQ mengacu pada alat ukur self efficacy milik Parker (1998), yang telah berbentuk skala likert dan relevan dengan keadaan di tempat kerja. Item komponen hope pada PCQ berasal dari alat ukur Synder (2003) yang telah mengalami adaptasi karena alat ukur tersebut lebih sering digunakan pada ranah klinis dari pada ranah organisasi. Komponen optimism pada PCQ dikembangkan dari alat ukur Scheier dan Carver (1985), dan kompenen resilience dikembangkan dari alat ukur Wagnild dan Young (1993), yang masing – masing telah diubah menjadi 6 item pada PCQ. Pengukuran psychological capital terlihat memiliki efek sinergis yang lebih besar dari pada pengukuran pada masing – masing bagiannya (self efficacy, optimism, hope, dan resiliency) (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Penelitian ini , menggnakan alat ukur PCQ yang terdiri dari 24 item yang dikembangkan oleh Luthans, Youssef, dan Avolio (2007).

(30)

2.2 Intention to Leave

Miller (2007) menyebutkan bahwa intention to leave pada beberapa literatur juga disebut sebagai turnover intention (Chaaban, 2006), anticipated turnover (Hinshaw & Atwood, 1985) dan intention to quit (Mowday, Strees, & Porter, 1979). Penelitian ini menggunakan istilah intention to leave yang didefinisikan oleh Mor barak, Nissli, dan Levin (2001).

Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan timbal balik antara belief, attitude, dan intention.Belief dikategorikan sebagai komponen kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapat, dan pandangan individu terhadap objek. Attitude dikategorikan sebagai komponen afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukannya. Sedangkan intention dipandang sebagai komponen konasi dari attitude yang menunjukan keinginan individu untuk bertingkah laku dan bertindak ketika berhadapan langsung dengan objek. Intention dapat terbentuk, setelah adanya belief dan attitude yang muncul terlebih dahulu.

Fishbein & Ajzen (1975) mendefinisikan intention sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk menampilkan suatu perbuatan. Sedangkan definisi intention to leave yang digunakan dalam penelitian ini adalah

―Seriously considering leaving one’s current job‖

(Mor barak, Nissli, dan Levin , 2001 : 633)

Intention to Leave yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertimbangan yang serius untuk meninggalkan pekerjaan saat ini (Mor barak, Nissli, dan Levin 2001). Individu yang memiliki intentionto leave tinggiakan diwujudkan dengan perilaku keluar dari pekerjaan. Intention to leave merupakan prediktor terkuat terhadap turnover (Alexander, Lichtensteinm Oh & Ullman, 1998 dalam Mor barak, Nissli, dan Levin 2001).

(31)

2.2.1 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Intention to Leave

Mor barak, Nissli, dan Levin (2001) menambahkan tiga kategori yang menjadi turnover antecedent yaitu, faktor demografis (personal dan work-related), profession perception (komitmen organisasi dan kepuasan kerja), dan organizational condition (keadilan dalam memberikan kompensasi dan budaya organisasi).

1. Faktor Demografis

Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, masa kerja, dan level jabatan menjadi prediktor turnover. Individu yang muda dan memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki keinginan yang lebih besar untuk meninggalkan pekerjannya. Hal ini sejalan dengan temuan Leontaridi dan Ward (2002). Pekerja minoritas yang berbeda gender, etnik, jenis kelamin, atau usia dengan lingkungan tempatnya bekerja memiliki intention to leave yang lebih besar. Sedangkan individu yang memiliki masa kerja lebih lama dan jabatan yang lebih tinggi cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Mor barak, Nissli, dan Levin (2001) menambahkan bahwa faktor demografis merupakan prediktor intention to leave.

2. Professional Perception

Individu yang memiliki konflik nilai dengan organisasi tempatnya bekerja akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaanya. Sedangkan individu yang memiliki kecocokan dengan nilai organisasi tempatnya bekerja cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Komitmen organisasi merupakan salah satu prediktor intention to leave. Mowday, Steers, dan Porter (1979 dalam Mor barak, Nissli, & Levin, 2001) menjelaskan bahwa individu yang memiliki komitmen terhadap oraganisasi, nilai organisasi, dan belief yang sama dengan organisasi cenderung untuk tetap berada pada organisasi tersebut. Semakin tinggi komitmen organisasi semakin rendah intention to leave pada karyawan.Job satisfaction juga merupakan prediktor yang konsisten terhadap intention to leave dimana semakin tinggi job satisfaction

(32)

seorang karyawan, semakin rendah intention to leave yang dimiliki, dan sebaliknya. Miller (2007) dan Cabigao (2009) juga menemukan hasil serupa bahwa terdapat hubungan negatif antara job satisfaction dan intention to leave.

3. Kondisi Organisasi

Sebagian besar karyawan pada berbagai sektor organisasi cenderung mengasosiasikan kondisi organisasi dengan job stress. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat jobstress yang tinggi akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaanya. Jobstress sangat berkorelasi dengan turnover, role overload, dan ketidakjelasan deskripsi kerja. Dukungan kerja dari karyawan lain dan atasan dapat mereduksi tingkat jobstress pada karyawan. Leontaridi dan Ward (2002) menambahkan bahwa job stress merupakan determinan dari turnover pada pekerjaan. Hal ini lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Avey, Luthans, dan Jensen (2009) memiliki hasil penelitian yang serupa, yaitu job stress memiliki hubungan positif yang signifikan dengan intention to leave. Semakin tinggi job stress pada individu, semakin tinggi pula intention to leave pada individu.American Psychological Association (2007, dalam Avey, Luthans, dan Jensen 2009) mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang menjadi sumber utama stres adalah beban kerja yang berat, harapan kerja yang tidak menentu, dan panjangnya jam kerja.

Cabigao (2009) menambahkan dua faktor yang mempengaruhi intention to leave yaitu recognition dan resource.

1. Recognition

Recognition merupakan pengakuan organisasi terhadap karyawannya. Kurangnya recognition yang diberikan oleh rumah sakit menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi keputusan perawat untuk tetap bekerja dalam rumah sakit tersebut (Alexander, 2004 dalam Cabigao, 2009). Semkain tinggi recognition yang diberikan semakin rendah keinginan

(33)

perawat untuk keluar dari rumah sakit. Menurut Helmer dan McKnight (1989 dalam Cabigao, 2009) menjelaskan bahwa perawat secara terus - menerus merasa dipandang sebagai sub ordinat dan merasa bukan bagian utama dari tim rumah sakit.

2. Resource

Resource yang dimaksud dalam rumah sakit adalah individu yang berada di dalamnya, informasi, program yang disediakan oleh rumah sakit untuk perawat, dan aksesibilitas yang dapat digunakan perawat dalam menjalankan tugasnya. Resource merupakan prediktor yang kuat untuk intention to leave pada perawat (Cabigao, 2009). Semakin baik resource yang diberikan rumah sakit, semakin rendah intention to leave pada perawat.

2.2.2 Pengukuran Intention to Leave

Pengukuran intention to leave dapat dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan skala sikap. Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala sikapanticipated turnover scale yang dikembangkan oleh Hinshaw dan Atwood (1985 dalam Miller, 2007). Intention to leave pada penelitian ini sama dengan anticipated turnover yang pernah diteliti oleh Hinshaw dan Atwood (1985). Contoh alat ukur yang pernah digunakan pada penelitian intention to leave sebelumnya, dikembangkan oleh Bailod (1992, dalam Gutknecht , 2007) yang terdiri dari tiga item dan memiliki lima rentang skala pilihan jawaban dan alat ukur intention to leave yang dikembangkan oleh Kim, Price, Mueller, dan Watson (1996 dalam Hazel, 2010) terdiri dari empat item dengan lima rentang skala pilihan jawaban. Penelitian ini menggunakan alat ukur Hinshaw dan Atwood (1985) karena alat ukur ini memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,84 dan validitas konstruk yang baik(Miller, 2007). Penelitian Miller (2007) dilakukan pada empat belas negara. Anticipated turnover scale memiliki jumlah item yang lebih banyak, yaitu 12 item, sehingga diharapkan dapat lebih merepresentasikan intention to leave pada perawat. Beberapa penelitian pada perawat yang menggunakan alat ukur anticipated turnover scale adalah Cabigao (2009),

(34)

Chabaan (2006), dan Miller (2007). Jadi penelitian ini menggunakan alat ukur anticipated turnover scale yang dikembangkan oleh Hinshaw dan Atwood 1985 yang berjumlah 12 item.

2.3 Rumah Sakit

Menurut UU no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan rumah sakit khusus, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Sedangkan pembagian rumah sakit berdasarkan pengelolanya dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit privat yaitu rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Berdasarkan uraian di atas, karakteristik rumah sakit tempat dilakukan penelitian adalah adalah rumah sakit umum milik privat atau yang lebih sering disebut dengan rumah sakit umum swasta.

Rumah sakit tempat dilakukannya penelitian memiliki sebuah lembaga pendidikan yaitu STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan), dimana terdiri dari program S1 Keperawatan dan D3 Kebidanan. Banyak mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya di sekolah tinggi tersebut kemudian bekerja di

(35)

rumah sakit ini. Upah Minimum Regional di kabupaten rumah sakit ini berada sebesarRp 800.000,00.

(36)
(37)

2.4 Perawat

Pada sub bagian ini, akan dijelaskan definisi perawat dan karakteristik perawat. Berikur ini definisi perawat menurut ANA (American Nurse Association):

"Nursing is the protection, promotion, and optimization of health and abilities, prevention of illness and injury, alleviation of suffering through the diagnosis and treatment of human response, and advocacy in the care of individuals, families, communities, and populations."

Potter dan Perry (2004 :7) Definisi perawat yang dimaksud adalah melindungi, mempromosikan, dan mengoptimalisasi kesehatan dan kemampuan, pencegahan dari penyakit, pengurangan penderitaan berdasarkan diagnosis dan treatmen dari respon individu, serta mengadvokasi dalam rangka peduli kepada individu, keluarga, komunitas, dan populasi (Potter & Perry, 2004). Sedangkan definisi perawat menurut Permenkes RI No.HK.02.02/Menkes/148/I/2010 pasal 1 adalah sesorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Perawat dapat melaksanakan praktik keperawatan. Praktik keperawatan meliputi asuhan keperawatan, promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat pada fasilitas kesehatan yang meliputi tingkat individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (pasal 8 dalam Permenkes RI No.HK.02.02/Menkes/148/I/2010). Dua definisi yang dikeluarkan oleh ANA dan keputusan menteri kesehatan memiliki intisari yang sama, hanya saja pada keputusan menteri kesehatan, pendefinisian perawat dan praktik keperawatan di pecah ke dalam beberapa pasal. Dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwa seorang pasien, perawat berwenang untuk melakukan palayanan kesehatan diluar kewenangan (Pasal 22, ayat 1 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001, Tentang Registrasi Dan Praktik Perawat). Jadi definsi perawat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001, Tentang Registrasi Dan Praktik Perawat.

(38)

2.4.1 Karakteristik Perawat berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berikut ini akan dijelaskan karakteristik perawat berdasarkan tingkat pendidikan SPK, diploma, sarjana, profesi, dan master.

1. Program pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang menggunakan Kurikulum SPK Tahun 1998 sebagai pengganti Kurikulum SPK Tahun 1987, diharapkan dapat menghasilkan tenaga perawat kesehatan yang memiliki tugas melaksanakan asuhan keperawatan dasar. Bertitik tolak dari pandangan ini, lulusan SPK tersebut merupakan tenaga keperawatan non-profesional dan mempunyai kompetensi sebagai perawat pelaksana keperawatan dasar. Lulusan SPK diharapakan dapat melaksanakan tugas keperawatan dasar dan keperawatan terentu di bawah supervisi perawat profesional (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1534/ MENKES/SK/X/2005, tentang Kurikulum Pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan). Untuk saat ini lulusan SPK sudah bekerja di berbagai instansi kerja baik di rumah sakit, puskesmas maupun institusi pelayanan lainnya

2. Perawat dengan pendidikan DIII (Diploma III) merupakan perawat generalis sebagai perawat vokasional yang diharapkan mampu untuk mengelola praktik keperawatan dengan tuntutan kebutuhan klien serta memiliki kemampuan untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan (Nursalam & Efendi, 2008). Potter dan Perry (2004) menjelaskan lebih lanjut bahwa perawat dengan pendidikan diploma memiliki fokus pada ilmu – ilmu dasar, teori, serta klinis kesehatan yang berkaitan dengan praktik keperawatan.

3. Perawat dengan pendidikan sarjana (S1) lebih berfokus pada ilmu- ilmu dasar, teori, klinis kesehatan, ilmu – ilmu sosial, seni, dan kemanusiaan untuk menunjang teori keperawatan Potter dan Perry (2004). Hal – hal penting lainnya yang harus dimiliki oleh calon sarjana keperawatan adalah pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, kualitas diri, dan perilaku professional. Nursalam dan Efendi (2008) menambahkan perawat dengan jenjang pendidikan sarjana, disebut sebagai perawat ilmuwan dan diharapkan mampu melaksanakan riset keperawatan dasar dan penerapan

(39)

yang sederhana. Lulusan profesi (gelar Ners) mengahasilkan perawat profesional yang melakukan asuhan praktik keperawatan dasar.

4. Seorang perawat dengan tingkat pendidikan master (S2) penting bagi keperawatan dalam menjadi peran pendidik perawat atau praktisi perawat (Potrey & Perry, 2004), Nursalam dan Efendi (2008) menambahkan perawat dengan tingkat pendidikan master dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan cara penelitian dan pengembangan.

Berdasarkan uraian di atas, karakteristik partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seseorang yang sudah menyelesaikan pendidikan keperawatan baik di jenjang Sekolah Perawat Kesehatan (setara SLTA), jenjang diploma, jenjang sarjana, jenjang profesi, maupun jenjang master yang sedang bekerja di rumah sakit umum swasta.

2.5 Dinamika Hubungan antara Psychological Capital dengan Intention to Leave

Berdasarkan teori mengenai variabel – variabel yang diteliti dalam penelitian, pada subbab ini akan dirumuskan hubungan teoritis antara kedua variabel tersebut, yaitu psychological capital dan intention to leave pada perawat. Mor barak, Nissli, dan Levin (2001) mendefinisikan intention to leave sebagai pertimbangan yang serius untuk meninggalkan pekerjaan saat ini.

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), intensi diawali dengan adanya pembentukan sikap. Intention to leave diawali dengan adanya pengetahuan, pendapat, dan pandangan individu terhadap pekerjaan dan lingkungan pekerjaan, yang menimbulkan sikap untuk keluar. Perawat yang memiliki intention to leave yang tinggi akan memiliki perilaku terlambat masuk kerja dan absen dari pekerjaan. Perilaku – perilaku ini merupakan prediktor dari perilaku keluar dari pekerjaan (Wolpin & Burke, 1985, dalam Kraysz, Koslowsky, Shalom, dan Elyakim, 1995).

Psychological capital terdiri dari empat komponen yaitu self efficacy, optimism, hope, dan resilience adalah kunci untuk mengerti dengan lebih baik variasi gejala stres dan intention to leave (Avey, Luthans, & Jensen, 2009).Hasil

(40)

penelitian tersebut menunjukan bahwa individu dengan psychological capital yang tinggi akan memiliki intention to leave yang rendah. Peneliti berasumsi bahwa perawat yang memiliki psychological capital yang tinggi akan tetap bertahan pada pekerjaannya meskipun terdapat banyak terdapat tantangan dalam melaksanakan tugasnya.

Individu dengan psychological capital yang tinggi akan memiliki target, menetapkan tujuan yang tinggi meskipun penuh dengan tantangan, dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa diremehkan orang lain, memiliki berbagai alternatif penyelesaian masalah, dan dapat bangkit kembali setelah menghadapi masalah. Sedangkan individu dengan psychological capital yang rendah akan menyerah pada tantangan – tantangan pekerjaan sehingga memiliki keinginan serius untuk keluar dari rumah sakitnya bekerja.

Perawat memiliki peran strategis dalam memberikan pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, dan kuratif, dimana dalam menjalankan tugasnya terdapat banyak tantangan dalam menjalankan tugasnya. Contohnya, dalam menangani pasien di ruang gawat darurat yang membutuhkan pertolongan cepat; seorang perawat yang memiliki psychological capital yang tinggi akan memiliki alternatif cara untuk memberikan pertolongan yang tepat untuk diberikan kepada pasien tersebut dan yakin bahwa pasien tersebut dapat sembuh kembali. Perawat dengan psychological capital yang tinggi akan yakin saat memberikan resusitasi jantung paru (RJP) bahwa organ jantung dan paru – paru nya dapat berfungsi kembali. Perawat dengan psychological capital yang tinggi akan mampu melakukan RJP dengan benar, meskipun situasi pemberian pertolongan pertama di ruang gawat darurat penuh dengan tekanan. Sedangkan perawat dengan psychological capital yang rendah tidak yakin bahwa dirinya mampu melakukan RJP dengan benar, tidak memiliki alternatif cara untuk memberikan pertolongan kepada pasien sehingga dapat berakibat fatal. Pekerjaan tersebut terjadi secara berulang dan hampir setiap hari. Beban kerja yang berlebih menjadi pemicu perawat untuk keluar dari pekerjannya.

Perawat dengan psychological capital yang tinggi akan tetap bertahan pada pekerjaannya meskipun terdapat banyak tantangan. Sedangkan perawat dengan psychological capital yang rendah akan memiliki pertimbangan yang

(41)

serius untuk keluar dari pekerjaannya. Hal ini sangat dipengaruhi dengan lingkungan kerja dan pekerjaan perawat yang membutuhkan psychological capital. Asumsi tersebut juga didasarkan pada pernyataan Avey, Luthans, dan Jensen (2009) bahwa psychological capital adalah kunci untuk mengerti dengan lebih baik variasi gejala stres dan intention to leave. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat.

Gambar 2.2 Alur Berpikir Hubungan Psychological Capital dan Intention to Leave

BAB 3

METODE PENELITIAN Perawat di Rumah Sakit

Self Efficacy Optimism Hope Resiliency Psychological Capital

Intention

to

Leave

(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan mengenai masalah penelitian, hipotesis penelitian, variabel-variabel yang akan diteliti termasuk definisi konseptual dan operasional dari masing-masing variabel. Terdapat pula metode penelitian yang terdiri dari tipe dan desain penelitian, partisipan penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis.

3.1. Masalah Penelitian

Masalah penelitian yang dijelaskan dalam bagian ini terdapat dua jenis yaitu masalah konseptual dan masalah operasional.

3.1.1 Masalah Konseptual

Permasalahan utama yang diteliti dalam penelitian ini adalah ― Apakah terdapat hubungan antara psychological capital dan intention to leave pada perawat?‖

3.1.2 Masalah Operasional

Masalah operasional penelitan adalah ―Apakah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor total psychological capital dari alat ukur Psychological Capital Questioner (PCQ) dengan skor total intention to leave dari alat ukur Anticipated Turn over Scale (ATS)pada perawat?‖

3.2. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan di dalam penelitian adalah sebagai berikut.

3.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis alternatif pada penelitian adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor total psychological capital yang didapat dari perhitungan Psychological Capital Questioner (PCQ)dan skor total intention to leave yang didapat dari perhitungan Anticipated Turnover Scale (ATS)pada perawat.

Gambar

Gambar 2.1   Sturktur Organisasi Rumah Sakit X ................................................
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit X
Gambar  2.2  Alur  Berpikir  Hubungan  Psychological  Capital  dan  Intention  to  Leave

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-MU sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Penerapan Metode Balanced

Pada tahap measure defect, dilakukan perhitungan kerugian perusahaan yang diakibatkan oleh adanya defect, kerugian perusahaan didapatkan dari mengalikan banyaknya granul

Tepi potong, permukaan lembaran dan bidang potong lembaran dari hasil pengamatan secara visual terhadap tepi potong permukaan lembaran dan bidang potong Tabel 1

Faktor dorongan tersebut pada umumnya berkaitan dengan ciri habitat: ini termasuklah kebergantungan mereka kepada persekitaran fizikal sehingga membentuk kearifan

Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi pemasalahan mitra adalah sebagai berikut: (1) belum adanya kegiatan ekstrakurikuler untuk melatih kemampuan mahasiswa debat

Untuk dapat memenuhi hal tersebut, diperlukan informasi data perumahan disertai dengan perangkingan yang akan membantu mengetahui kelayakan dalam berbagai

Pada kasus ini, penulis tidak menemukan tanda-tanda infeksi atau komplikasi yang mungkin akan terjadi pada ibu maupun janin karena penanganan ibu bersalin

HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN KEPUASAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT INAP RSI