• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan untuk

Kesejahteraan Rakyat

1

Benyamin Lakitan dan I Wayan Budiastra 2

Kementerian Riset dan Teknologi

Pangan merupakan kebutuhan paling asasi bagi setiap manusia, sehingga persoalan tentang pangan tidak hanya merupakan persoalan yang sangat mendasar dan universal, tetapi juga dapat dilihat dari berbagai perspektif. Saat ini, pangan tak lagi hanya sebagai bahan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan manusia melalui serangkaian proses fisiologis. Jenis pangan yang dikonsumsi sekarang sering diasosiasikan dengan status sosial ekonomi masyarakat. Pangan juga tidak jarang dijadikan sebagai komoditas politik, karena isu pangan akan selalu menyangkut hajat hidup orang banyak.

Persoalan dalam proses produksi pangan segar dan olahan juga mempunyai banyak dimensi, mulai dari persoalan penyusutan luas lahan produksi akibat konversi penggunaannya untuk usaha non-pertanian pangan sampai pada petani yang tidak termotivasi untuk meningkatkan produktivitas lahannya karena tidak berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatannya. Spektrum persoalan ini tak semuanya berada dalam koridor teknologi.

Namun demikian, kompleksitas persoalan pangan tak boleh menyurutkan optimisme untuk meningkatkan peran dan kontribusi teknologi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan pangan untuk seluruh rumah tangga Indonesia. Selain itu, tidak boleh juga melupakan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dengan demikian maka pembangunan iptek di bidang pangan, selain menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat, perlu dipastikan pula bahwa pilihan teknologi yang diaplikasikan dan kebijakan yang diberlakukan harus berdampak positif bagi upaya menyejahterakan petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan.

Amanah konstitusi pasal 31 ayat 5 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditujukan untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa. Amanah ini tentunya termasuk untuk pengembangan teknologi dalam rangka mendukung pembangunan ketahanan pangan.

1

Dipresentasikan pada Seminar Hari Pangan Sedunia XXXI, Jakarta, 29 September 2011

2

(2)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan pentingnya pembangunan untuk

kesejahteraan pada 7 Desember 2009. Pe a gu a harus ersifat i klusif ...

Keberhasilan pembangunan perekonomian harus berdampak pada peningkatan

kesejahteraa para stakeholder a g terli at se ara erkeadila . Kabinet Indonesia

Bersatu II juga telah menetapkan visi yatu I do esia a g “ejahtera, De okratis, da

Berkeadilan .

Beberapa Kementerian khususnya yang terkait dengan pembangunan ketahanan pangan juga menyatakan dalam visi atau programnya bahwa pembangunan adalah untuk kesejahteraan. Kementerian Riset dan Teknologi telah menetapkan visinya untuk periode

2010-2014 ya g sejala de ga a a ah ko stitusi, yak i: iptek u tuk kesejahteraa da

ke ajua peradaba . Ke e teria Perta ia telah e etapka e pat target e pat

sukses) untuk periode 2010- 4, satu dia tara ya adalah Pe i gkata Kesejahteraa

Peta i . Ke e terian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan misinya untuk

e i gkatka kesejahteraa asyarakat kelauta da perika a . Visi 2010-2014

Ke e teria Kehuta a adalah Huta Lestari u tuk Kesejahteraa ‘akyat ya g Berkeadila .

Meskipun pemerintah telah menggarisbawahi bahwa pembangunan untuk kesejahteraan, namun upaya pemerintah ini belum seluruhnya berhasil, khususnya untuk kesejahteraan petani. Tingkat kesejahteraan petani tidak beranjak naik bahkan nilai tukar petani cenderung menurun. Oleh karena itu, pembangunan ketahanan pangan harus dilakukan secara komprehensif dan sinergis antar sektor terkait. Pembangunan ketahanan pangan tidak hanya dilakukan oleh sektor pertanian, tetapi juga perlu didukung oleh sektor lainnya.

Iptek memegang peranan penting dalam upaya pembangunan ketahanan pangan. Namun teknologi tak dapat menyelesaikan semua persoalan pangan. Bahkan untuk persoalan yang berada dalam koridor teknologipun, jika tanpa dukungan kebijakan lain (non iptek) yang tepat, maka solusi teknologi yang ditawarkan tak selalu dapat mujarab menyelesaikan persoalan pangan.

Oleh karena itu, Kementerian Riset dan Teknologi pada 2010-2014 menetapkan program utama yaitu penguatan sistem inovasi nasional. Pengembangan Inovasi tidak dapat dilakukan secara individu oleh masing aktor (pengembang, pengguna teknologi), tetapi harus melibatkan kelembagaan pengembang dan pengguna teknologi, sumberdaya iptek, jaringan kelembagaan, riset dan difusi iptek yang terarah dan regulasi yang kondusif secara bersistem.

Adopsi Teknologi versus Kesejahteraan Petani. Perlu dipahami bahwa mengakselerasi

proses difusi (adopsi) teknologi pertanian tidak selalu berimplikasi pada peningkatan

kesejahteraan, khususnya kepada petani (Feder and Umali 1993). Hal ini dapat kita lihat

(3)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

mekanisasi diimplementasikan baru sebatas meningkatkan produktivitas tetapi belum dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu adopsi teknologi pertanian di tingkat petani di Indonesia berjalan lambat karena kurang menguntungkan mereka. Padahal alasan utama petani melakukan adopsi teknologi adalah

karena adanya peningkatan produktivitas tanaman dan keuntungan (Kremer et al. 2001).

Faktor seperti resiko, ketidakpastian dan pembelajaran memainkan peranan nyata dalam proses adopsi teknologi baru oleh petani. Ada beberapa elemen inti yang mendorong

petani melakukan adopsi teknologi baru (Marra, Pannell, and Ghadim, 2003) yaitu ;

- Far er s a ilit to i ple e t the new technology,

- Allows the farmer to make better decisions

- Present and future probability of economic returns

- Economic returns between new and old technologies,

- Strength and direction of risk attitudes of the farmer (i.e. risk averse, risk neutral, risk preferring), dan

- Option value from delaying of adoption.

Praktisi pertanian tidak hanya bergantung pada kajian riset ilmiah semata untuk membuat

keputusan menerima teknologi baru (Wheeler, 2008).

Inovasi Teknologi yang meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan sumberdaya lainnya

merupakan perangkat (tools) yang paling berharga sama halnya seperti mengelola

keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan memelihara ekosistem global (Burgess

and Morris , 2009). Gambar 1 menunjukkan bagaimana petani menggunakan lahan, tenaga kerja, keuangan, perbaikan genetik, dan metode budidaya pengelolaan sebagai input kunci dalam sistem produksi pertanian untuk menghasilkan produk, limbah, dampak lingkungan dan informasi. Ada tujuh (7) area kunci dimana teknologi dapat mempengaruhi sistem pertanian dan penggunaan lahan yaitu perbaikan genetik, pengurangan stress, tenaga kerja, lahan, modal, hasil, limbah, lingkungan dan informasi.

Oleh karena itu, pengembangan sistem pertanian seyogyanya berlandaskan pada potensi agroekosistem (Gambar 2). Potensi agroeksistem setidaknya tergantung pada empat (4) faktor input yaitu lahan, teknologi, iklim dan ekonomi. Faktor yang menentukan dalam pengelolaan lahan adalah adalah luas, kesuburan, konversi dan degradasi. Input Teknologi sangat dipengaruhi oleh relevansi teknologi yang diintroduksikan dan kapasitas adopsi teknologi dari pengguna. Faktor ekonomi yang penting dalam pengelolaan potensi agroekosistem adalah biaya pengelolaan dan harga komoditas. Sedangkan faktor iklim yang berpengaruh terhadap potensi agroekosistem adalah kesesuaian agroklimat,

(4)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Gambar 1. Model penerapan teknologi pada sistem produksi pertanian

Gambar 2. Sistem Pertanian berbasis potensi agroekosistem

Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan. Inovasi serta riset dan pengembangan

(5)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

sistematis untuk mengakumulasi pengetahuan, termasuk pengetahuan manusia, budaya dan masyarakat dan menggunakan akumulasi pengetahuan untuk membuat aplikasi baru dari pengetahuan itu.

Lebih jelasnya Bank Dunia (2010) mengatakan bahwa teknologi atau produk yang tidak terdesiminasi dan digunakan bukanlah inovasi. Dengan demikian, hasil litbang terbaru dari lembaga litbang pemerintah dan swasta yang belum digunakan dan dimanfaatkan oleh pengguna (pemerintah, masyarakat dan industri) bukanlah inovasi, melainkan hanya sebatas invensi.

Sistem Inovasi nasional ketahanan pangan pada dasarnya terdiri dari 2 aktor penting yaitu pengembang teknologi pangan dan pengguna teknologi pangan (Gambar 3) yang saling berinteraksi sehingga aliran teknologi pertanian/pangan dari lembaga pengembang ke pengguna teknologi serta aliran informasi dari lembaga pengguna ke pengembang teknologi berjalan lancar. Pengembang teknologi harus mempunyai sensitivitas terhadap kebutuhan pengguna dan mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna. Pengguna teknologi harus secara terbuka memberikan informasi kebutuhan teknologi kepada pengguna. Kesenjangan interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat dijembatani oleh fasilitator, intermediator dan regulator. Pemerintah (pusat dan daerah) dapat menjadi fasilitator dan regulator. Sedangkan intermediator dapat dilakukan oleh penyuluh, lembaga swadaya masyarakat maupun swasta.

Pengembangan teknologi pada saat ini umumnya masih kental bersifat supply-push.

Mengembangkan dulu teknologinya, baru kemudian mengupayakan agar digunakan oleh para pelaku produksi pangan. Pendekatan ini sangat sering membuahkan kegagalan. Walaupun secara teknis terkesan sesuai, namun tetap tidak diadopsi oleh petani. Sebagai contoh alat pengering gabah memang dibutuhkan oleh petani padi, terutama untuk panen pada musim hujan. Namun demikian adopsi alat pengering ini banyak terkendala, antara lain karena mahalnya harga bahan bakar yang dibutuhkan untuk pemanas udara dan keterbatasan kemampuan finansial petani untuk investasi pembelian alat ini, selain persoalan teknis lainnya.

Untuk pencapaian target-target yang telah ditetapkan, terutama pemenuhan amanah konstitusi untuk menyejahterakan rakyat, maka pengembangan teknologi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi (calon) penguna potensial. Pendekatan yang beroreintasi

kebutuhan (demand-driven) ini lebih sesuai untuk menguatkan Sistem Inovasi Nasional

(SINas) di semua sektor, tentunya termasuk untuk pembangunan ketahanan pangan.

(6)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

seyogyanya menjadi sasaran yang lebih penting dibandingkan sasaran penguatan ketahanan pangan. Karena dengan petani sejahtera maka dengan sendirinya ketahanan pangan akan menguat. Sebaliknya, apabila petani tidak sejahtera, maka ketahanan pangan akan semakin rapuh.

Gambar 3. Unsur esensial Sistem Inovasi

(7)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Amanah konstitusi yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harusnya ditujukan untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa belum kentara dipanut dalam pengembangan teknologi bidang pangan. Teknologi yang dikembangkan dan diimplementasikan lebih banyak mengarah pada upaya peningkatan produksi pangan dengan semangat untuk mencapai status swasembada pangan, tetapi mengabaikan kesejahteraan aktor yang paling berjasa dalam proses tersebut, yakni petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan (Gambar 5).

Kementerian Riset dan Teknologi sudah menetapkan visi pembangunan iptek dalam

Rencana Strategis periode 2010- 4, yak i Iptek u tuk Kesejahteraa da Ke ajua

Peradaba . Visi i i sudah sesuai dengan amanah konstitusi. Selanjutnya juga sedang disiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Inovasi Nasional yang diharapkan mampu menjadi landasan hukum yang kuat dalam rangka pengembangan teknologi yang

sesuai kebutuhan (demand-driven) sehingga adopsi teknologi oleh pihak pengguna tidak

lagi diposisikan sebagai keharusan, tetapi didasarkan atas kebutuhan nyata.

Disadari betul bahwa kalaupun semua kendala teknis adopsi bisa diatasi, teknologi tidak akan memberikan kontribusi yang maksimal jika tidak didukung oleh peraturan dan kebijakan yang kondusif. Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional yang akan dilahirkan, diharapkan bisa memenuhi harapan ini, yakni mewujudkan suasana yang kondusif untuk pengembangan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna untuk diadopsi dalam proses produksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, sehingga berkontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

Menyejahterakan petani dan aktor produsen pangan lainnya bukanlah sasaran ikutan dari upaya mencapai swasembada pangan, tetapi ia menjadi prasyarat utama agar upaya tersebut dapat dicapai dan terjamin keberlanjutannya. Swasembada beras yang (mungkin) dicapai pada beberapa tahun terakhir ini dirasakan sangat rapuh, karena dicapai dengan subsidi yang sangat besar.

Mempersenjatai petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan dengan teknologi yang tepat (sesuai dengan kapasitas adopsinya: teknis, finansial, dan sosio-kultural) merupakan sebuah keharusan, tetapi bekal teknologi semata tetap tidak cukup. Upaya sisi teknologi harus bergandengan dengan upaya dukungan kebijakan. Jika dan hanya jika keduanya dilakukan maka inovasi pertanian yang menyejahterakan petani dan pelaku produksi pangan lainnya dapat menjadi kenyataan. Dengan dibayang-bayangi oleh ambisi untuk mewujudkan swasembada untuk beberapa jenis pangan pokok, maka pengembangan

tek ologi di bida g pa ga terlalu fokus pada tek ologi ya g la gsu g e duku g

(8)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Gambar 5. PETA KETERKAITAN STRATEGI DAN TARGET PEMBANGUNAN PERTANIAN 2010-2014

Tujuh strategi yang dipilih lebih dominan ditujukan untuk peningkatan produksi pangan dalam rangka pencapaian swasembada pangan, kecuali strategi revitalisasi teknologi dan industri hilir yang diharapkan memberi nilai tambah bagi produk pertanian yang diasumsikan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani.

Upaya mendorong diversifikasi pangan kelihatannya belum didukung dengan strategi yang spesifik ditujukan untuk itu, malah terkesan diversifikasi pangan diposisikan sebagai bagian dari skenario untuk pencapaian swasembada pangan, karena akan mengurangi demand terhadap pangan pokok utama, yakni beras.

Di antara empat target yang ditetapkan, upaya peningkatan kesejahteraan petani yang paling belum kentara kaitan langsungnya dengan tujuh strategi yang dipilih.

Pengembangan teknologi untuk petani wajib memperhatikan dua dimensi penting, yakni: [1] sebagai solusi untuk persoalan teknis yang secara langsung dihadapi petani (kualitas lahan yang rendah atau sub optimal, kehilangan hasil, pemenuhan kebutuhan air); dan [2] sesuai kapasitas adopsi petani (investasi awal dan biaya aplikasi rendah, teknis operasionalnya sederhana). Koridor fleksibilitas pengembangan teknologi menjadi sangat

(9)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

yang dikembangkan harus handal dan sesuai kebutuhan, sekaligus juga murah dan

e gu tu gka bagi peta i .

Dalam perspektif yang lebih operasional, teknologi yang dikembangkan harus diyakini mampu meningkatkan produktivitas petani, baik produktivitas secara agronomis yang berorientasi pada hasil komoditas pangan, maupun produktivitas secara ekonomi yang bermakna peningkatan pendapatan bersih petani. Lebih sempurna jika kedua ukuran produktivitas tersebut dapat dipenuhi.

Selayaknya (dan sangat logis jika) produktivitas petani diposisikan sebagai pemicu dan titik awal dari semua upaya untuk menggapai empat target pembangunan pertanian. Aliran proses menuju keempat target disajikan pada Gambar 6. Saat ini, yang sangat dominan adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas agronomis yang bermuara pada pencapaian status swasembada pangan, tetapi dalam konteks penyejahteraan petani, maka produktivitas ekonomi menjadi lebih penting.

Peran teknologi akan menjadi sangat strategis dalam upaya meningkatkan produktivitas petani, terutama produktivitas agronomis. Jika teknologi dipadukan dengan regulasi dan kebijakan teknis yang tepat, maka akan efektif pula untuk meningkatkan produktivitas ekonomi petani. Kebijakan yang dibutuhkan termasuk untuk: [1] menjaga kesesuaian dan stabilitas harga pangan, terutama kebijakan subsidi output yang tepat dan efektif; [2] mengurangi beban ongkos produksi yang ditanggung petani, terutama kebijakan subsidi input langsung pada petani produsen pangan; [3] meningkatkan nilai tukar petani, melalui regulasi harga untuk barang/jasa non-pangan yang dibutuhkan petani [lihat blok kanan-bawah diagram Gambar 6].

Kebijakan [1] dan [2] diharapkan bermuara pada peningkatan pendapatan petani, yang secara langsung juga akan meningkatkan kapasitas adopsi teknologi oleh petani pangan. Jika kapasitas adopsi yang meningkat ini dipadankan dengan ketersediaan teknologi yang sesuai kebutuhan, maka diyakini akan mampu meningkatkan produktivitas petani secara agronomis. Selanjutnya jika peningkatan produktivitas agronomis ini dibarengi dengan peningkatan nilai tukar petani [kebijakan 3], maka target meningkatkan kesejahteraan petani dapat diharapkan untuk tercapai.

(10)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

GAMBAR 6. SKENARIO PERAN TEKNOLOGI UNTUK PENCAPAIAN TARGET PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN

Inti dari skenario peran teknologi dalam upaya mencapai empat target pembangunan ketahanan pangan adalah peningkatan produktivitas petani.

Produktivitas petani mempunyai dua dimensi, yaitu: [1] produktivitas agronomis – volume pangan yang dihasilkan per satuan luas lahan yang dikelola; dan [2] produktivitas ekonomi

– pendapatan bersih petani dari usaha tani.

Teknologi akan memberikan kontribusi jika digunakan. Penggunaan teknologi tergantung pada kesesuaian dengan kebutuhan dan kapasitas adopsi petani.

Produktivitas agronomi akan mendukung swasembada dan penyediaan bahan baku industri untuk peningkatan nilai tambah, sedangkan produktivitas ekonomi akan berbuah kesejahteraan.

(11)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Peningkatan kesejahteraan petani selain sebagai target, juga dapat ditranslasi menjadi aset, karena kesejahteraan akan berbuah sumberdaya manusia yang lebih berkualitas, diindikasikan dari peningkatan jenjang pendidikan dan derajat kesehatan. Pemahaman yang benar tentang gizi dan kesehatan diyakini akan meningkat dan pola tindak juga diyakini akan lebih rasional. Kondisi ini diharapkan akan memperlancar upaya mendorong diversifikasi pangan sehingga target pembangunan pangan ini juga dapat dicapai. Selanjutnya diversifikasi pangan yang berhasil akan mengurangi konsumsi pangan pokok yang selama ini sangat diidolakan, yakni beras; sehingga tentu akan ikut mengamankan status swasembada beras [lihat sisi kiri Gambar 6].

Peningkatan produksi pangan segar membuka peluang untuk tumbuh-kembang industri pengolahan pangan, baik karena secara alami komoditas pangan tergolong gampang rusak (perishable) sehingga perlu diawetkan atau diolah menjadi produk olahan yang lebih tahan-simpan, maupun karena kelimpahan produk pangan segar yang dihasilkan yang dapat dijadikan bahan baku industri pengolahan pangan. Skenario ini akan mengarah pada pencapaian target untuk meningkatkan nilai tambah produk pangan yang dihasilkan petani (lihat sisi kanan-atas Gambar 6); baik untuk tujuan ekspor, terlebih lagi untuk pemenuhan permintaan pasar domestik agar tidak dibanjiri oleh produk serupa yang diimpor.

Pengembangan industri kecil berbasis bahan baku lokal (baik pangan maupun non-pangan) di perdesaan dapat merupakan sumber tambahan pendapatan. Teknologi untuk

menyejahterakan petani dan masyarakat perdesaan tak harus selalu terkait kegiatan

on-farm, tetapi juga perlu diperluas cakupannya untuk memberikan dukungan terhadap

kegiatan-kegiatan off-farm, agar ada nilai tambah komoditas pangan yang dihasilkan.

Hanya sekitar 18 persen lahan pertanian Indonesia yang tergolong subur, selebihnya dapat digolongkan sebagai lahan-lahan sub-optimal dengan kendala agronomis yang beragam, termasuk miskin hara, terlalu kering, beresiko tergenang/banjir, atau kendala spesifik lainnya. Lahan-lahan yang terdegradasi kualitasnya akibat tercemar atau salah-kelola, secara teknis dapat pula diklasifikasikan sebagai lahan sub-optimal. Karena peningkatan produktivitas akan semakin sulit secara teknis dan ekonomi, maka perluasan lahan produksi menjadi opsi yang lebih rasional, walaupun nyatanya perluasan tersebut berarti melakukan budidaya pada lahan-lahan sub-optimal.

Berhadapan dengan persoalan teknis yang dihadapi pada lahan-lahan sub-optimal, maka teknologi menjadi tumpuan harapan. Perlu dikembangkan solusi teknologi untuk masing-masing karakteristik lahan sub-optimal. Solusi teknologi yang ditawarkan (belajar dari pengalaman masa lalu) harus tidak hanya mujarab secara teknis, tetapi juga sesuai dengan kapasitas adopsi petani Indonesia.

(12)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

yang dilaporkan mampu beradaptasi pada kondisi lahan sub-optimal. Tantangan yang

dihadapi sekarang adalah menjadikan teknologi-teknologi tersebut affordable secara

ekonomi dan applicable secara teknis oleh petani Indonesia dengan segala

keterbatasannya, serta tetap mempunyai prospek untuk memberikan keuntungan bagi petani yang mengadopsinya.

Komunitas dan kelembagaan pengembang teknologi dalam negeri cenderung berhenti hanya sampai pada posisi menghasilkan teknologi yang secara teknis dapat diaplikasikan

pada lahan-lahan sub-optimal, selanjutnya terkesan enggan untuk menghadapi the e t

level of halle ge: menjadikan teknologi tersebut sesuai dengan kapasitas adopsi petani Indonesia.

Walaupun banyak ragam teknologi yang dibutuhkan terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, tetapi ada tiga kelompok yang patut diunggulkan untuk produksi pangan asal tanaman, yakni: [1] teknologi budidaya tanaman di lahan sub-optimal, [2] teknologi pengurangan kehilangan hasil, dan [3] teknologi pengelolaan air untuk tanaman.

Penutup. Mungkin saja banyak pihak yang terkejut jika dinyatakan bahwa tantangan

terbesar peningkatan kontribusi teknologi dalam rangka menyejahterakan rakyat

sebagaimana yang diamanahkan konstitusi adalah mengubah mindset para pengembang

teknologi itu sendiri dan para pihak pembuat kebijakan pendukungnya. Bukan utamanya karena keterbatasan anggaran, bukan pula karena kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang rendah, dan tidak juga karena keterbatasan sarana dan prasarana riset. Tiga keterbatasan yang disebut belakangan hanya merupakan persoalan sekunder.

Pengembangan teknologi yang berpijak pada realita dan berorientasi kebutuhan

/persoalan nyata (demand-driven) perlu dijadikan budaya kerja baru. Perlu didefinisi-ulang

tentang apa yang dianggap sebagai tekonologi yang hebat, yakni adalah teknologi yang

secara nyata bermanfaat, bukan semata teknologi ultra- aju hasil kreasi para de a

iptek . Sesu gguh ya Siste I o asi Nasio al SINas erupaka la gkah strategis u tuk

menyediakan wadah yang pas untuk budaya kerja baru tersebut bagi para pengembang teknologi.

Teknologi bidang pangan tentu perlu ikut mentranformasi diri agar cocok dengan skenario besar penguatan SINas. Walaupun benar pemerintah telah membuat pernyataan kebijakan dalam Rencana Strategis kementerian teknis yang membidangi, namun jika

dibedah a oto i kegiata ya asih belu ke tara be a g erah a tara aksi ya g

dilakukan dengan dampak positifnya bagi kesejahteraan rakyat.

Pengubahan mindset dan penumbuhan kultur baru memang tidak dapat dilakukan secara

(13)

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

perlu upaya konsisten dan persisten untuk mengawal perubahan agar selalu berada pada arah dan koridor yang benar. Insentif perlu disiapkan agar laju perubahan dapat mengalami akselerasi. Regulasi dan kebijakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar viabilitas proses perubahan kultur komunitas teknologi terus terjaga.

Sesuatu yang menggembirakan dan menumbuhkan optimisme adalah pembentukan Komite Inovasi Nasional oleh Pemerintah dengan salah satu tugas penting dan strategisnya, yakni menyiapkan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional. Penyiapan produk legislasi ini dilakukan bersama Kementerian Riset dan Teknologi.

Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dilengkapi dengan beberapa peraturan pemerintah yang mengikutinya, ternyata masih belum efektif. Regulasi yang dirancang agar hasil riset dan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri dipergunakan oleh dunia usaha ternyata masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Belum banyak teknologi domestik yang diadopsi dalam proses produksi barang dan jasa di Indonesia. Kondisi ini dapat menjadi pertanda bahwa SINas belum tumbuh sesuai harapan.

Proyeksinya, Undang-Undang SINas yang sedang disiapkan tersebut dapat efektif menumbuhkan kondisi yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas, membuka peluang bagi teknologi untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional, termasuk di dalamnya kontribusi terhadap upaya bersama untuk menyejahterakan rakyat. Amanah konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945) agar ilmu pengetahuan dan teknologi dibangun dalam rangka menyejahterakan rakyat diharapkan dapat terlaksana.

Perubahan mindset dan budaya kerja komunitas teknologi yang lebih berorientasi

demand-driven yang dipadu dengan regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas akan menjadi landasan yang kokoh untuk membangun iptek yang menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2010a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi

Indonesia – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2010b. Data Strategis BPS – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik,

Jakarta.

Burgess, PJ. And J. Morris. 2009. Agricultural Technology and Land Use Future: the UK case.

Land Use Policy 26S:222-229

Calverley, D.J.B. 1994. Programme for the prevention of food losses: a study of eleven

(14)

ki

ta

n

&

B

u

d

ia

st

ra

:

S

IN

a

s

P

a

n

g

a

n

u

n

tu

k

K

e

se

ja

h

te

ra

a

n

R

a

ky

a

t

Feder, G. And D.L. Umali. 1993. The Adoption of Agricultural Innovations: a review.

Technological Forecasting and Social Change 43:215-239

Kremer, K.S., M. Carolan, S. Gasteyer, S.N. Tirmizi, P.F. Korsching, G. Peter, and P. Tong.

2001. Evolution of an Agricultural Innovation: the N-Trak Soil Nitrogen Test – Adopt

and Discontinue, or Reject? Technology in Society 23:93-108

Lakitan, B. 2010a. Kebijakan Riset dan Teknologi untuk Pencapaian Ketahanan Pangan dan

Peningkatan Kesejahteraan Petani. Makalah Seminar Hari Pangan Sedunia XXX, Senggigi, Lombok, 6-8 Oktober 2010

Lakitan, B. 2010a. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung

Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010

Lakitan, B. 2010b. Mewujudkan Sistem Inovasi Pertanian Daerah. Makalah utama pada

Se i ar Nasio al Me ggali Pote si Daerah Dala ‘a gka Me ujudka Ketaha a

Pa ga Nasio al , U i ersitas Jambi, 19 Februari 2011

Lakitan, B. 2010b. National Innovation System in Indonesia: Present Status and Challenges.

Paper presented at The Annual Meeting of Science and Technology Studies, GRIPS-Tokyo, 10-12 Juni 2011

Marra, M. DJ. Pannell, and AA. Ghadim. 2003. The Economic of Risk, Uncertainty and

Learning in The Adoption of New Agricultural Technologies: where are we on the learning curve? Agricultural Systems 75:215-234

Mejia, D.J. 2003. An Overview of Rice Post-harvest Technology: use of small metallic silos

for minimizing losses. In: Dat Van Tran (editor), Sustainable Rice Production for Food Security. Food and Agriculture Organization, Rome.

Sumarno. 2010. Masalah Pokok Kecukupan Produksi Tanaman Pangan dan Kebutuhan

Teknologi. Bahan FGD Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta, 15 September 2010.

Supadi dan S.H. Susilowati. 2004. Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia.

ICASERD Working Paper No.41. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Wheeler, S.A. 2008. What Influences Agricultural Professionals Views Towards Organic

Agriculture? Ecological Economics 65:145-154

Gambar

Gambar 1.  Model penerapan teknologi pada sistem produksi pertanian
Gambar 3.  Unsur esensial Sistem Inovasi
Gambar 5.   PETA KETERKAITAN STRATEGI DAN TARGET PEMBANGUNAN PERTANIAN 2010-2014
GAMBAR 6.   SKENARIO PERAN TEKNOLOGI UNTUK PENCAPAIAN TARGET PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN

Referensi

Dokumen terkait

Data primer dalam penelitian ini adalah informasi verbal yang berasal dari hasil.. wawancara dengan para informan, yang kemudian dicatat melalui catatan tertulis

Keterangan : Chromodoris lochi memiliki warna putih kebuan dengan garis hitam melingkar pada bagian tubuhnya dengan bagian tubuh terdiri dari rhinophore (a), mantel

Berdasarkan pada perancangan serta pengujian yang sudah dilakukan pada sistem diagnosis penyakit hati menggunakan metode. Naïve Bayes, maka dapat ditarik

pengendalian, manipulasi , eksploitasi , kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang

1) UU ini akan semakin membebani hidup rakyat khususnya kelompok menengah ke bawah. UU SJSN telah mewajibkan seluruh rakyat untuk terlibat dalam kepesertaan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kinerja jaringan syaraf tiruan dengan metode pelatihan Levenberg Marquardt dengan penambahan regularisasi untuk

BPRS Bhakti Sumekar disajikan dalam beberapa jenis laporan terdiri dari laporan bulanan ke Bank Indonesia (BI) diantaranya (laporan neraca, laporan laba rugi,

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nihataa, et all (2017) menggambarkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisis memiliki