• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi

Konseling

Psikologi Konseling

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Psikologi

13

61033 Agustini, M.Psi., Psikolog

Abstract

Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai Proses Konseling, definisi konsep proses, proses konseling dari awal dan akhir.

(2)

Latar Belakang

Proses Konseling Awal

Sebelum proses konseling dilakukan, konselor telah memperoleh data mengenai klien yang diambil melalui wawancara pendahuluan (intake interview) yang dapat dilakukan oleh konselor atau orang yang ditugaskan dan terlaltih untuk melakukan hal tersebut (misal:

social warker atau para profesional). Pada wawancara pendahuluan akan diperoleh data

pribadi atau hasil pemeriksaan termasuk hasil pemeriksaan psikologis melalui tes psikologis. Data pribadi meliputi berbagai hal yang bisa memberikan keterangan memgenai diri klien secara lengkap dan mendalam dan biasanya dikenal dengan data riwayat kasus (case

history).

Data ini dapat diperoleh secara langsung dari klien yang bersangkutan (autoanamnesis) melalui lembar isian yang bentuknya berdasarkan orientasi pemakainya. Data riwayat kasus juga dapat diperoleh melalui wawancara biasa, baik wawancara bebas atau wawancara yang berstruktur dan dapat juga diperoleh dari orang lain yang dianggap mengetahui dan dapat memberikan informasi mengenai klien dan juga yang berkepentingan dengan klien, misal: orangtua atau saudara. Data atau keterangan yang diberikan oleh orang lain disebut

alloanamnesa.

Proses konseling selanjutnya dilakukan dengan wawancara permulaan (initial interview) yaitu suatu pertemuan yang di dahului dengan percakapan berbasa-basi untuk menciptakan

rapport. Rapport adalah suatu percakapan yang membutuhkan beberapa waktu untuk

meredakan ketegangan dan mempersiapkan klien memasuki suasana konseling yang lebih serius. Wawancara permulaan dan penciptaan rapport akan lebih lancar dan lebih cepat terjadi apabila konselor telah mempersiapkan diri menghadapi klien, antara lain dengan mempelajari apa yang telah diperoleh melalui wawancara pendahuluan dan daftar atau lembaran riwayat kasus yang sudah tersusun.

Wawancara permulaan dianggap oleh para ahli sebagai sesuatu yang sangat penting karena proses selanjutnya benar-benar sangat bergantung dari apa yang terjadi pada saat dilakukan pertemuan pertama kali, dan suasana pada waktu wawancara permulaan dilakukan. Jika wawancara permulaan bisa berlangsung dengan baik, maka klien tumbuh kepercayaan terhadap konselor

(3)

Tujuan Wawancara Permulaan

Menurut Tyler (1969) dari sudut konselor terdapat tiga tujuan permulaan dalam proses konseling yaitu sebagai berikut:

1. Suasana bahwa proses konseling dimulai.

2. Membuka aspek-aspek psikis pada diri klien seperti kehidupan perasaan dan sikapnya.

3. Menjelaskan struktur mengenai proses bantuan yang akan diberikan.

Bucheimer dan Balager (1961) yang diikuti oleh Stewart (1986) membagi wawancara permulaan dalam tiga fase yaitu:

1. Pernyataan mengenai masalah. 2. Penjajagan.

3. Penutupan untuk rencana yang akan datang.

Wawancara permulaan ternyata banyak tujuannya, seperti yang dikemukakan oleh George dan Cristiani (1981) sebagai berikut:

1. Merancang adanya sikap keterbukaan, kejujuran, dan komunikasi secara penuh agar kebutuhan yang dirasa perlu untuk dikemukakan serta faktor-faktor dan latar belakang yang berkaitan dapat dibicarakan.

2.Melakukan kegiatan untuk menaikkan tigkat pemahaman, harga diri, dan kepercayaan antara dirinya dengan klien.

3. Memungkinkan klien meperoleh ganbaran bahwa sesuatu yang berguna akan dapat diperoleh selama mengikuti konseling.

4. Perumusan masalah dan memperhatikan apa yang perlu diperhatikan dan dikerjakan selanjutya.

5. Membentuk suatu keseluruhan (gestalt) bahwa konseling adalah proses dimana kedua belah pihak harus bekerja keras untuk menjajagi dan memahami klien demi kepentingan klien sendiri.

6. Memperoleh keterangan tentang klien yang berkaitan dengan kepentingan dan pemecahan masalah secara efektif.

(4)

Wawancara permulaan juga dapat berfungsi sebagai ikhtiar untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki klien, bahkan bisa mempunyai arti diagnostik yang benar-benar valid. Banyak ahli menyadari tentang hal ini yakni apa yang diberikan pada pertemuan pertama adalah keterangan yang asli dan penting. Hal ini dikemukakan oleh Bordin (1968) tentang pentingnya wawancara permulaan dalam rangka melakukan diagnosis terhadap kemampuan-kemampuan yang dimiliki klien. Untuk memperoleh gambaran tentang reaksi klien ketika ia mengemukakan masalah pertama kali. Karena ketika kontak berlangsung terus, materi menjadi lebih rinci dan lebih sulit untuk menjaring hal-hal yang penting. Maka sangat penting untuk mengembangkan kepekaan yang nyata terhadap masalah klien pada pertemuan pertama.

Nilai diagnostik pada wawancara permulaan atau pada fase permulaan masa konseling dapat diperoleh secara tidak sengaja dan sesuatu berkembang dari percakapan dan pertemuan pada awal konseling, termasuk juga pada wawancara pendahuluan dalam rangka penyusunan daftar riwayat kasus. Sesuai dengan pendekatan psikodinamik yang menitikberatkan adanya latar belakang dan sesuatu yang menjadi sebab dan selanjutnya berkembang atau muncul menjadi masalah, maka penentuan diagnostik yang menjawab tentang apa dan mengapa sesuatu persoalan muncul, dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian dapat ditentukan rencana penanganan untuk mengatasi masalah dan memberikan bantuan yang direncanakan dan disesuaikan dengan masalahnya.

Counseling Session

Memasuki masa konseling sagat penting diperhatikan karena banyak menentukan keberhasilan atau kegagalan pada keseluruhan konseling yang direncanakan. Emmerick (1969) menyusun serangkaian saran yang perlu diperhatikan khususnya bagi konselor pemula untuk menghadapi orangtua yang menghadapi masalah anaknya. Saran-saran dibawah ini ini juga dapat dipakai secara umum, antara lain:

1. Hindari pertanyaan yang jawabannya hanya ''ya'' atau ''tidak''. Usahakan meyususn pertanyaan agar jawabannya akan diberikan lebih lengkap.

2. Hindari pertanyaan yang meghambat kebebasan kebebasan untuk menjawab.

3. Hindari berbicara terlalu banyak. Lebih baik mengulang apa yang telah diucapkan oleh klien atau membuat komentar singkat, seperti ''Oh ya?'' atau ''Tolong jelaskan lebih lanjut!!''.

(5)

4. Hindari keinginan memperoleh keterangan terlalu cepat. 5. Ajukan pertanyaan secara langsung dengan menatap mata.

6. Hindari terlalu mempercayai pada daya ingat, sebaiknya buatlah catatan segera.

Setelah melalui masa wawancara permulaan ini, maka konselor perlu menyusun suatu program yang disesuaikan dengan latar belakang konselor dengan pendekatannya dan kondisi khusus klien atau tujuan dilaksanakannya konseling. Pentingnya menyusun semacam program yang berstruktur untuk melakukan konseling, ditekankan oleh Shertzer dan Stone (1980) yang mengatakan bahwa dengan struktur, memungkinkan hubungan yang terjadi memperoleh kemajuan dan produktf. Brammer (1979) berpendapat bahwa struktur mendasari peranan, tanggung jawab dan kemungkinan keterlebitan yang diperlukan baik antara yang membantu maupun yang dibantu. Dalam membuat struktur untuk melakukan konseling Stewart (1986) membuat suatu model yang diperkenalkan sebagai ''Stewart model'', terdiri dari enam tahap secara berurutan sebagai berikut:

1. Penentuan Tujuan Konseling

Konseling bersama klien menentukan tujuan konseling setelah klien mengungkapkan keinginannya memperoleh bantuan. Hal ini penting untuk menunjukkan adanya motif yang jelas dari pihak klien dan arah bantuan yang akan diberikan oleh konselor. Pada tahap ini konselor menjadi pendengar yang aktif dan berusaha meyakinkan klien bahwa ia adalah seorang yang punya makna sebagai pribadi.

2. Perumusan Konseling

Konselor dan klien menyetujui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan. Pada tahap ini klien membutuhkan bantuan untuk mengembangkan pendapatnya tentang fungsi dari konseling dan dicapai kesepakan mengenai tujuannya.

3. Pemahaman Kebutuhan Klien

Pada tahap ini masalah klien diperjelas dan dicari pengertian di dalam diri klien yang masih bisa dikembangkan. Konselor memperhatikan tanggapan klien tentang kesulitan pribadi dan perasaan-perasaan yang ada disekelilingnya. Konselor bekerja sama dengan klien, berupaya memeriksa faktor-faktor yang berkaitan dengan munculnya kesulitan sebanyak mungkin agar rencana tindakan lebih lanjut yang tepat dapat dirumuskan. Berbagai hal yang berhubungan dengan pemahaman juga empati dikomunikasikan dengan klien agar klien merasa dimengerti mengenai perasaan tertentu yang mungkin menjadi masalah dalam kehidupan pribadi sehari-harinya.

(6)

4. Penjajagan Berbagai Alternatif

Konselor bertanggung jawab untuk menunjukkan berbagai kemungkinan dan alternatif penyelesaian masalah dan meyakinkan adanya kemajuan. Kadang-kadang konselor tidak memutuskan sesuatu langkah yang perlu diambil oleh klien tetapi klien sendiri yang menentukan (dalam hal ini mengikuti pendekatan terpusat pada klien). Klien harus belajar mempekirakan akibat-akibat dari setiap langkah dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh termasuk pengorbanan yang mungkin harus diberikan karena soal waktu dan mungkin biaya serta risiko yang akan terjadi.

5. Perencanaan suatu Tindakan

Seiring dengan tumbuhnya pengertian dan kestabilan kehidupan perasaan pada klien dengan bantuan dari konselor, klien mulai bisa melangkah untuk melakukan ke arah tercapainya tujuan dari konseling. Dalam melaksanakan tindakan, biasanya akan lebih mudah kalau klien memilih sendiri tindakan mana yang sebaiknya akan dilakukan. Namun faktor pribadi pada klien akan mempengaruhi hal ini. Pada tahap ini konselor mengamati, menilai terhadap apa yang telah terjadi pada klien, apakah konseling masih perlu diteruskan atau dihentikan sementara karena tujuan sudah tercapai. Seandainya konseling akan dihentikan, klien diminta merumuskan mengenai pengalaman-pengalaman selama menjalani konseling terutama yang berkaitan dengan perkembangan dirinya selanjutnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai cara untuk mengetahui apakah klien telah tumbuh pemahaman-pemahaman baru atau tidak, yang harus dilihat sebagai pribadi secara keseluruhan (gestalt) dan dalam kehidupannya sehari-hari secara umum.

6. Penghentian Masa Konseling

Menghentikan konseling (terminasi) dapat dilakukan untuk semrntara dan selama itu klien masih bisa berhubungan kembali kalau dibutuhkankan atau dihentikan samasekali karena tujuan konseling sudah tercapai. Mengenai terminasi ini, Ward (1984) menunjukkan adanya penilaian yang seringkali keliru dan penghentian konseling ini bukan hanya penting pada proses konseling, melainkan juga memiliki tiga fase fungsi yakni:

a. Memeriksa kesiapan klien dalam menghadapi berakhirnya konseling dan mengkonsolidasi proses belajarnya.

b. Mengatasi bersama faktor afeksi (perasaan) yang tersisa dan menyelesaikan dengan baik hal-hal yang punya arti penting dan mungkin intensif dalam hubungan konselor dan klien.

(7)

c. Memaksimalkan pengalihan proses belajar dan menigkatkan kepercayaan diri pada klien mengenai kemampuannya untuk mempertahankan perubahan yang telah diperoleh selama menjalani konseling karena konseling diperhentikan.

Pentingnya memperhatikan masalah terminasi khususnya pada konseling dan psikoterapi jangka pendek dikemukakan oleh Strupp dan Binder (1984).

Menurut Brammer (1979) pandangan Dasar Pertahapan pada Proses Konseling: Tahap I: Penciptaan Hubungan

1. Memasuki fase konseling: Mempersiapkan klien dan membuka hubungan.

2. Penjelasan: Mengenai masalah dan yang ada kaitannya dengan masalah serta sebab mencari bantuan.

3. Menyusun struktur: Merumuskan kesepakatan apa yang akan dilakukan. 4. Membinan hibungan yang bersifat bantuan.

Tahap II: Pengadaan Fasilitas untuk Memungkinkan Dilakukan Langkah yang Positif

5. Menjajagi masalah, merumuskan masalah, merencanakan strategi, mengumpulkan fakta, mengungkapkan perasaan yang mendalam dan mempelajari ketrampilan baru.

6. Mengkonsolidasi dalam rangka menjajagi alternatif-alternatif, bekerja dengan perasaan, dan mempratikkan ketrampilan baru.

7. Menyusun rencana untuk melakukan langkah-langkah dengan mempergunakan strategi untuk mengatasi konflik, mengurangi perasaan yang menyakitkan, dan mengkonsolidasi serta menghimpun ketrampilan dan perilaku aktivitas-aktivitas yang terarah untuk diri sendiri.

8. Menghentikan konseling dengan melakukan penilaian terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh.

Brammer (1979) menambahkan bahwa urutan tersebut diatas tidak bergantung pada gaya atau teori tertentu, melainkan sebagai dasar umum dari proses biasa untuk menghadapi dan mengatasi masalah. Tahapan-tahapannya juga merupakan proses yang biasa terjadi, namun bukan merupakan sesuatu urutan, jadi tidak semua urutan harus ada

(8)

karena satu dan lain bergantung pada klien yang mempengaruhi urutan maupun lamanya sesuatu tahapan dijalani.

Ivey dan Simek (1980), mengemukakan dengan model pemecahan persoalan (problem

solving model). Mereka mengemukakan mengenai perlunya kreatvitas untuk menentukan

suatu keputusan, baik pada konselor maupun klien. Model pemecahan persoalan yang terdiri dari tiga tahapan adalah sebagai berikut:

Tahap I: Fase Perumusan Masalah

Pada tahap ini ada tiga aktivitas yang berurutan yakni: 1. Perumusan masalah oleh klien.

2. Penjabaran alternatif perumusan masalah oleh konselor dan klien. 3. Keputusan untuk memilih satu perumusan masalah untuk diskusi awal.

Setelah tahap ini selesai, jika klien dapat menerima perumusan, kemudian dilanjutkan pada tahap berikutnya. Sebaliknya jika klien tidak mau menerima, maka akan diulang (mengikuti siklus dari permulaan).

Tahap II: Fase Bekerja

Pada tahap ini terdapat tiga kegiatan yang berurutan, yakni:

1. Konselor mempertimbangkan macam-macam teori sebagai dasar alternatif pemecahan masalah dan bergantung orientasi teoritis yang dimiliki oleh konselor untuk dipergunakannya. Kegiatan pada tahap ini adalah untuk memeriksa permasalahan agar memperoleh lebih banyak dan lebih mendalam mengenai kenyataan yang berhubungan dengan kondisi, pikiran, maupun perasaan yang terjadi.

2. Konselor memilih cara yang utama untuk pelaksanaannya, didasari oleh teori dan ketrampilan yang dimiliki. Kemungkinan memilih lebih dari satu teori dapat terjadi.

3. Konselor bersama klien memeriksa perumusan masalah dan menjabarkan cara-cara baru dalam menghadapi hal-hal yang muncul, menghadapi jawaban, dan penyelesaian masalah serta kemungkinan menciptakan hal-hal baru untuk diskusi selanjutnya.

Pada akhir tahap ini ada beberapa kemungkinan:

(9)

2. Kalau berhasil bisa diakhiri atau kembal ketahap sebelumnya untuk memungkinkan menghadapi hal-hal baru atau meneruskan ke tahap selanjutnya.

Tahap III: Keputusan Melakukan Tindakan Pada tahap ini ada tiga kegiatan, yakni:

1. Konselor dan klien telah memeriksa masalah dan sudah menjabarkan beberapa penyelesaian. Proses ini berlanjut dengan penjabaran terhadap sejumlah penyelesaian masalah.

2. Konselor dan klien memeriksa sederetan cara penyelesaian masalah dan membuat kesepakatan untuk melakukan kegiatan didasarkan pada cara pemecahan masalah yang telah dipilih dan mempertimbangkan kemungkinan akibat-akibatnya. Cara pemecahan persoalan dapat diprioritaskan secara sistematik dengan memperhatikan penilaian mengenai akibat-akibatnya.

3. Klien menentukan cara penyelesaian masalah yang mana yang paling sesuai dan diuji di dalam lingkungan rumah.

Pada akhir tahap ini, jika gagal maka diulang dari awal atau pada tahapan yang telah dilewati dan jika berhasil dapat dihentikan atau pengulangan pada tahap tertentu untuk menghadapi masalah atau kejadian yang lain yang diperlukan. Dalam proses konseling masih ada beberapa model yang berorentiasi pada pendekatan behavioristik dan penanganan langsung terhadap masalah yang dihadapi dan penanaman ketrampilan untuk segera melakukan tindakan yang nyata.

Menurut Stewart (1978) model pengambilan keputusan (decision making model) sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi Masalah

Langkah ini meliputi jawaban terhadap persoalan-persoalan seperti: Apa masalahnya? Apa yang menghambat penyelesaian masalah? Dalam keadaan seperti apa masalah tersebut terjadi?

2. Identifikasi Nilai-Nilai dan Tujuan

Pada fase ini sistem nilai yang dimiliki klien diperiksa sehingga penyelesaian masalah akan konsisten dengan sistem nilai pada klien dan tujuan jangka panjangnya.

(10)

3. Identifikasi alternatif.

Perumusan berbagai kemungkinan alternatif. 4. Pemeriksaan alternatif

Memerlukan pertimbangan-pertimbangan mengenai keuntungan atau kerugian berdasarkan fakta.

5. Menyusun rancangan keputusan yang akan diambil dan pekiraan hasilnya. 6. Mengambil tindakan berdasarkan keputusan.

7. Menilai hasilnya.

Sedangkan Krumboltz (1966) mengajukan model yang disebut Model Krumboltz sebagai berikut:

1. Menyusun suatu daftar dengan berbagai kemungkinan untuk melakukan tindakan. 2. Mengumpulkan keterangan yang relevan dari setiap alternatif yang mungkin dilakukan untuk selanjutnya melakukan tindakan.

3. Membuat perkiraan kemungkinan berhasil pada setiap alternatif, mendasarkan pada pengalaman orang lain dan memproyeksikan keadaan sekarang.

4. Berhubungan dengan nilai-nilai pribadi yang mungkin bisa menambah atau mengurangi setiap kegiatan.

5. Mempertimbangkan fakta-fakta, kemungkinan hasil dan nilai-nilai pada setiap alternatif.

6. Membuang tindakan-tindakan yang tidak memuaskan.

7. Merumuskan rancangan untuk melakukan tindakan berdasarkan perkembangan baru dan kesempatan-kesempatan yang ada.

8. Merangkum proses pengambilan keputusan untuk masalah-masalah yang akan datang.

Berbagai hal mengenai proses konseling telah dibicarakan pada bab ini termasuk beberapa model yang dikemukakan oleh beberapa ahli untuk melaksanakan proeses konseling. Munculnya macam-macam model dilatar belakangi oleh landasan teori yang

(11)

dengan corak dan kualitas masalahnya sendiri, serta jangka waktu yang tersedia atau direncanakan untuk melaksanakannya samapi selesai. Dipihak lain, keseragaman masih terlihat pada penekanan perlunya ada persiapan, kerjasama antara konselor dengan klien, perumusan masalah, dan alternatif penyelesainnya, pentahapan melalui fase-fase dan peninjauan ulang seta terminasi.

(12)

Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Representasi stereotip perempuan dalam roman Papua Isinga karya Dorothea Rosa Herliany termanifestasikan melalui nasihat-nasihat orang-orang tua baik di perkampungan Aitubu

Allianz tidak menanggung risiko yang terjadi atas diri Tertanggung akibat penyakit, perawatan dan pengobatan, serta biaya yang dikecualikan dalam program Asuransi

4..2 Jumlah Sekolah Dasar dan Ruang Kelas Menurut Status Sekolah Dirinci per Kelurahan di Kecamatan Kota Baru , 2013……… Number of Elementary School and Classroom by Status of

Pada penelitian ini, Peran Istri buruh tani disini dalam upaya peningkatan prestasi belajar anak adalah dilihat dari banyaknya ibu yang memberikan motivasi kepada anaknya

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang indeks fungsi seksual wanita pada pengguna implan satu batang

Pelaksanaan kegiatan yang mendukung outcome 14 IKU tersebut berasal dari program peningkatan pelayanan Badan Layanan Umum Daerah di RSUD Dr.. Soetomo tahun 2015, maka dapat

Kajian terhadap kondisi atmosfer ini perlu dilakukan agar dapat diketahuilebih lanjut gangguan cuaca yang berperan dalam menyebabkan banjir serta intensitas curah hujan pada

Aplikasi yang dirancang ini dapat digunakan untuk memberikan kemudahan kepada dokter untuk mendeteksi dan mengetahi suatu gejala penyakit epilepsi yang dialami