• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Pragmatik

Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti pragmatik. Beberapa pengertian yang relevan disampaikan pada bagian ini agar didapatkan gambaran yang jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik itu. Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Batasan Levinson itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut. “Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized or encoded in the structure of a language” (Levinnson, 1983: 9).

Parker (1986: 11) memiliki definisi yang senada dengan sebelumnya yaitu “ Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used in communicate”. Menurut Parker dalam bukunya Linguistics for Non- Linguists menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Parker ini membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang

(2)

dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal. Menurutnya, studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Berkenaan dengan itu studi tata bahasa dapat dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent). Sebaliknya studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatar belakangi dan mewadahinya. Studi bahasa yang demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent).

Tidak jauh berbeda dengan pengertian yang disampaikan oleh Levinson (1983) dan Parker (1986) yang terdapat di halaman 8, Jacob L. Mey (1993: 42) mendefinisikan pragmatik sebagai berikut. “Pragmatics is the study of the condition of human language uses as these are determined by the context of society”.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Jacob L. Mey pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi bahasa itu. Konteks yang dimaksud mencangkup dua macam hal yaitu konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada

(3)

di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini yaitu dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power) sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity).

Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang dikaji dalam pragmatik adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal, sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat diadik, sedangkan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat triadik.

Pragmatik mengkaji bentuk bahasa untuk memahami maksud penutur, sedangkan semantik mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu. Berkenaan dengan makna diadik dan makna triadik dalam linguistik itu, Wijana (1996: 3) menyebutkan bahwa makna jenis pertama dapat dirumuskan dengan pertanyaan “apa makna x itu?”, sedangkan makna jenis kedua dirumuskan dengan pertanyaan “apakah yang kamu maksud dengan berkata x itu?”. Makna diadik dapat dirumuskan dengan pertanyaan what does x mean?, sedangkan makna triadik dapat dirumuskan dengan pertanyaan what do you mean by x?.

(4)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks artinya bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik itu bersifat terikat konteks. Berikut dijelaskan mengenai konteks selengkapnya.

2.2 Konteks

Konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996: 10-11) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur ( speech situational context). Konteks situasi tutur, menurutnya mencangkup aspek-aspek berikut (penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal).

Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur dan H (hearer) yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencangkup ragam bahasa tulis.

(5)

2. Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencangkup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. Berkenaan dengan hal itu Leech (1983:13) telah menyatakan sebagai berikut “I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by S and H and which contributes to H‟s interpretation of what s means by a given utterance”.

3. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta

(6)

tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.

5. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

Selain itu, konteks juga telah didefinisikan oleh Brown dan Yule (1983:25) sebagai lingkungan (environment; circumstances) dimana bahasa itu dipakai dan digunakan. Lingkungan yang dimaksud dapat saja mencangkup lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik atau lingkungan sosial. Pemahaman konteks yang demikian ini sejalan pula dengan apa yang disampaikan oleh Kridalaksana (1993), yakni bahwa konteks itu adalah aspek- aspek lingkungan fisik atau lingkungan sosial yang berkaitan dengan tuturan. Lingkungan fisik tuturan itu dapat disebut dengan koteks (co-text), sedangkan lingkungan sosial tuturan dapat disebut dengan konteks (context).

Kesimpulannya bahwa konteks mempunyai peranan penting dalam pemahaman tindak tutur. Karena jika lawan tutur tidak memahami konteks ketika berkomunikasi dengan penutur, maka proses tersebut tidak berjalan dengan baik. Itu karena tidak ada koneksi diantara mereka sehingga mereka tidak memahami tuturannya satu sama lain. Berikut dijelaskan mengenai tindak tutur selengkapnya.

(7)

2.3 Tindak Tutur

John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu yaitu tindak lokusioner (locutionary acts), tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan tindak perlokusioner (perlocutionary acts).

Tindak tutur lokusioner dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur. Contoh tuturan It‟s hot in here! [1] (Thomas, 1995: 49) semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu mitra tutur bahwa pada saat itu penutur sedang merasa kepanasan.

Tindak ilokusioner dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan [1] di atas yang di ucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa saat itu penutur sedang merasa kepanasan, akan tetapi lebih dari itu bahwa penutur menginginkan udara yang lebih segar “I want some fresh air” (Thomas, 1995: 49).

Tindak perlokusioner adalah tindak yang menumbuhkan sebuah pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan [1] di atas artinya meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu seperti membuka jendela atau menyalakan AC.

Selain itu, Keith Allan (1986:10) mengatakan bahwa bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial

(8)

lainnya, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Berikut gagasan menurut Allan (1986:10) dalam buku R. Kunjana Rahardi (2005:52) selengkapnya “ Speaking to others is a societal activity, and like other social activities (e.g. dancing, playing in an orchestra, playing cards or football) it can only take place if the people involved.” Artinya bahwa agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, maka haruslah dapat saling bekerja sama. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu salah satunya dapat dilakukan dengan berprilaku sopan kepada pihak lain. Sehubungan dengan itu ia menyatakan bahwa being cooperative is being polite (mostly). Berprilaku sopan itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan muka si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.

Agar pesan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, maka komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini: prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam Prinsip kerja Sama Grice (1975). Prinsip Kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim hubungan (maxim of relation), dan maksim cara (maxim of manner). Berikut Prinsip Kerja Sama Grice (1975) tersebut selengkapnya.

(9)

2.4 Prinsip Kerja Sama

Dalam percakapan, penutur dan mitra tutur harus saling bekerja sama agar percakapan tersebut berlangsung. Prinsip kerja sama terjadi ketika penutur dan mitra tutur berbicara jujur, pembicaraan berada dalam topik yang sama, dan ujarannya tidak ambigu. Agar pesan dapat disampaikan dengan baik terhadap peserta tutur, maka komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip- prinsip berikut ini: (1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (directness). Prinsip- prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam Prinsip Kerja Sama Grice (1975). Menurut Grice (1975) dalam buku Jenny Thomas (1995:61) mengungkapkan bahwa prinsip kerja sama itu yaitu“ Make your contribution such as required at the stage at which is occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engage” yang artinya buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang Anda ikuti. Sebagai contoh pentingnya prinsip kerja sama dalam percakapan adalah sebagai berikut:

Man : Does your dog bite? Woman: No

(The man reaches down to pet the dog. The dog bites the man‟s hand)

Man : Ouch! Hey! You said yoyr dog doesn‟t bite. Woman: He doesn‟t. But that‟s not my dog.

(10)

Konteks percakapan di atas adalah seorang wanita yang sedang duduk sendiri di bangku taman dan seekor anjing besar yang sedang tidur di depan bangku. Kemudian, seorang pria mendekati dan duduk di bangku yang sama. Pria tersebut berasumsi bahwa anjing itu milik seorang wanita yang duduk tersebut.

Salah satu permasalahan dalam contoh di atas adalah wanita tersebut telah memberikan informasi yang tidak lengkap, sehingga pria tersebut berasumsi bahwa wanita tersebut bersama anjing peliharaannya yang ternyata bukan dan anjing tersebut menggigitnya.

Oleh sebab itu, sebuah percakapan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh prinsip kerjasama dalam empat maksim seperti yang diungkapkan Grice (1975) dalam buku Jenny Thomas (1995: 63-64) berikut ini:

“The maxims:

1. Quantity : make your contribution as informative as is required ( for the current purpose of the exchange). Do not make your contribution more informative tha is required.

2. Quality : do not say what you believe to be false. Do not say that for which you lack edequate evidence.

3. Relation : be relevant.

4. Manner : Avoid obscurity of expression. Avoid ambiguity. Be breif (avoid unnecessary prolixity). Be orderly”.

Untuk lebih memudahkan dalam memahami kutipan di atas, penulis membuat uraian dari masing-masing maksim tersebut dalam sebuah tabel berikut ini:

(11)

Tabel 1: Empat Maksim dalam Prinsip Kerja Sama

No Maksim Uraian

1 Maksim kuantitas menyarankan kita supaya memberikan informasi yang tepat, maksudnya agar penutur dapat memberikan informasi yan seinformatif mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan, tidak kurang atau lebih. 2 Maksim kualitas menyarankan kita agar memberi informasi

kepada lawan tutur sebagai informasi yang benar, maksudnya agar penutur tidak memberikan informasi yang salah kepada lawan tutur serta tidak memberikan informasi yang tidak cukup atau memiliki bukti.

3 Maksim hubungan menyarankan kita supaya tetap menjaga kerjasama dalam berinteraksi dengan mitra tutur, maksudnya penutur memberikan informasi yang relevan dengan pembicaraan sebelumnya.

4 Maksim cara menyarankan kita agar menajamkan pikiran, maksudnya agar informasi yang disampaikan tidak menjadi ambigu dan

(12)

menghindari ungkapan yang membingungkan serta penutur menyampaikan informasi dengan singkat dan teratur

Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang terjadi antara penutur dan mitra tutur akan berjalan dengan baik dan mudah untuk dipahami apabila masing-masing dari penutur maupun mitra tutur dapat bekerja sama dalam menaati maksim-maksim tersebut. Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat jenis maksim tersebut.

2.4.1 Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Maksim kuantitas mengharapkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya atau penutur memberikan informasi yang cukup, relatif dan seinformatif mungkin.

Menurut Grice (1975), seperti yang diungkapkan oleh Cutting (2003:35), “...the maxim of quantity, which says that speakers should be as informative as is required, that they should give neither too little information nor too much” yang artinya bahwa maksim kuantitas mengharapkan penutur untuk tidak memberikan informasi yang kurang atau lebih dari yang dibutuhkan. Di dalam

(13)

maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai dan seinformatif mungkin. Informasi tersebut tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.

Kesimpulannya bahwa dalam maksim kuantitas penutur diharapkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dengan tidak berlebihan atau kurang terhadap mitra tuturnya.

2.4.2 Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Dalam maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta tersebut harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Menurut Grice (1975), seperti juga yang diungkapkan oleh Cutting (2003: 35), “The second maxim is that of quality, which says that speaker are expected to be sincere, to be saying something that they believe corresponds to reality” yang artinya bahwa maksim kualitas mengharapkan penutur untuk jujur, mengatakan sesuatu yang sebenarnya dan sesuai kenyataan. Dengan kata lain, maksim ini mengharuskan penuturnya untuk memberikan informasi yang benar, tidak memberikan informasi yang salah atau tidak cukup bukti.

(14)

Ada contoh yang menyebutkan bahwa beberapa penutur dalam sekian banyak peristiwa percakapan ingin dianggap berkata sesuai dengan kenyataan oleh mitra tuturnya, seperti pada contoh percakapan yang diungkapkan Cutting (2003: 35) berikut ini

A: I‟ll ring you tomorrow afternoon then.

B: Erm, I should be there as far as I know, and in the meantime have a word with Mum and Dad if they‟re free. Right, bye- bye then sweatheart.

C: Bye.

Menurut Cutting, B berkata as far as I know, maksudnya „saya tidak yakin itu benar‟, jadi jika A menelpon dan ternyata B tidak ada, B terhindar dari tuduhan berbohong karena dia sudah menyatakan ketidakyakinannya.

Kesimpulannya bahwa dalam maksim kualitas seorang penutur diharapkan untuk berbicara jujur dan sesuai dengan kenyataan.

2.4.3 Maksim Hubungan (Maxim of Relation)

Dalam maksim hubungan, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.

(15)

Seperti yang diungkapkan Grice (1975) dalam buku Cutting (2003: 35) “ The third is maxim relation, which says that the speakers are assumed to be saying something that is relevant to what has been said before” yang artinya bahwa maksim hubungan mengharapkan pengujar untuk mengatakan sesuatu yang relevan dengan dengan apa yang telah dikatakan sebelumnya.

Kesimpulannya bahwa dalam maksim hubungan segala yang diucapkan harus memiliki relevansi dengan ujaran yang diucapkan sebelumnya.

2.4.4 Maksim Cara (Maxim of Manner)

Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang yang bertutur dengan mengabaikan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim cara.

Menurut Grice, seperti juga yang diungkapkan oleh Cutting (2003:35) “The last is the maxim of manner, which says we should be brief, and orderly and avoid obscurity and ambiguity”, yang artinya maksim cara menyarankan kita untuk memberikan informasi secara langsung, jelas dan tidak kabur atau bermakna ganda.

Kesimpulannya bahwa dalam maksim cara seseorang dikatakan telah menaati aturan maksim cara apabila penutur maupun mitra tuturnya berbicara ringkas, efisien dan menghindari dari ketidak-jelasan dan ambiguitas.

(16)

Berikut adalah contoh dari maksim kuantitas, kualitas, hubungan dan cara:

Husband : Where are the car keys?

Wife : They‟re on the table in the hall. Thomas (1995: 64)

Pada percakapan di atas sangat jelas bahwa seorang istri itu sudah menjawab pertanyaan suaminya dengan jelas (maksim cara), juga dapat dipercaya (maksim kualitas), memberikan informasi sesuai yang dibutuhkan oleh suaminya (maksim kuantitas), dan jawaban yang diberikan seorang istri sesuai atau relevan dengan pertanyaan yang diberikan oleh suaminya (maksim hubungan). Ia berbicara dengan tepat apa yang ia maksud, tidak kurang dan tidak lebih, juga tidak menghasilkan sebuah implikatur dalam percakapannya (artinya bahwa disini tidak ada perbedaan yang dibuat antara apa yang seorang istri katakan dengan apa yang seorang istri tersebut maksud). Apa yang istri katakan sama dengan apa yang istri maksud.

2.5 Tidak Menaati Maksim (Non- Observance of The Maxims)

Menurut Grice dalam buku Jenny Thomas (1995: 64) mengatakan bahwa bentuk tidak menaati maksim atau kegagalan seseorang dalam menaati maksim itu ada lima jenis yaitu flouting a maxim, violating a maxim, infringing a maxim, opting out a maxim, dan suspending a maxim.

(17)

Seseorang gagal dalam menaati maksim karena mereka tidak mampu berbicara dengan jelas atau karena mereka sengaja memilih untuk berbohong. Berikut ini penjelasan mengenai kelima jenis yang tidak menaati maksim.

2.5.1 Flouting a Maxim

Flouting merupakan dimana penutur secara terang-terangan gagal dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya. Biasanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pun disengaja oleh penutur dengan harapan mendorong mitra tutur untuk mendapatkan bentuk yang berbeda dari sebuah maksud dalam menerima suatu ujaran atau penutur menginginkan mitra tuturnya untuk mencari makna lain dari perkataannya. Seperti yang diungkapkan Thomas (1995: 65) “A flout accurs when a speaker blatantly fails to observe a maxim at the level of what is said, with the deliberate intention of generating an implicatire”. Yang artinya sebuah pelanggaran terjadi ketika seorang penutur dengan sengaja melanggar sebuah maksim saat penutur tersebut menyampaikan informasi dan bermaksud untuk menghasilkan sebuah implikasi atau makna yang tersembunyi. Penutur melakukan flouting ketika penutur tersebut melakukan percakapan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah implikatur atau terkadang bertujuan untuk memberikan pernyataan yang tidak langsung.

(18)

Dalam flouting maxims terdapat empat jenis maksim yang dapat mengandung flouting maxims. Berikut penjelasan tentang keempat jenis maksim tersebut.

2.5.1.1 Flouting a Maxim of Quality

Flouting a maxim of quality terjadi ketika penutur tidak mengatakan hal yang sebenarnya, dengan kata lain berbohong. penutur bisa saja mengatakan sesuatu yang sangat bertentangan atau kebalikan dari yang penutur sebenarnya harus katakan. Di dalam „ambulancemen‟, sebuah contoh yang telah diberikan oleh Grice (1975) dalam buku Thomas (1995: 67) mengungkapkan bahwa sebuah implikatur telah dihasilkan oleh penutur secara sengaja dengan mengutarakan sesuatu yang jelas salah. Pada saat pengujar mencoba untuk tidak terlihat membohongi lawan tutur dalam berbagai cara, mitra tutur terpaksa mencari penafsiran lain yang lebih masuk akal dan hal tersebut bisa di analisis menggunakan proses deduktif. Menurut Grice (1975) dalam buku Thomas (1995: 67), menyebutkan bahwa proses deduktif akan bekerja seperti berikut:

(i) The ambulancemen has expressed pleasure at having someone vomit over him.

(ii) There is no example in recorded history of people being delighted at having someone vomit over him.

(iii) I have no reason to believe that the ambulancemen is trying to decieve us in any way.

(iv) Unless the ambulancemen‟s utterance is entirely pointless, he must be trying to put across some other proposition.

(19)

(vi) The most obviously related proposition is the exact opposite of the one he has expressed.

(vii) The ambulancemen is extremely annoyed at having the drunk vomit over her.

Contoh di atas dapat disimpulkan bahwa petugas ambulan tersebut telah memberikan sebuah implikatur dengan mengutarakan kesenangan terhadap seseorang yang telah memuntahinya. Tetapi, dalam kenyataannya bahwa kejadian itu tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia saat seseorang menjadi sangat gembira saat orang lain memuntahinya. Berikutnya, tidak adanya alasan untuk mempercayai bahwa petugas ambulan tersebut mencoba untuk berbohong dalam berbagai cara. Walaupun setidaknya petugas tersebut telah menyampaikan ungkapan kekecewaannya, ia telah mencoba untuk mempunyai rencana atau saran yang lain, dan ini harus menjadi sesuatu yang jelas berhubungan dengan rencananya.

Flouting a maxim of quality juga dapat terjadi saat penutur memperlihatkan bahwa dia tidak tertarik dalam pembicaraan yang sedang berlangsung dengan mengatakan sesuatu yang sangat terbukti tidak mungkin adanya. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh Thomas (1995: 68) sebagai berikut:

A: What do you do? B: I‟m a teacher

A: Where do you teach? B: Outer Mongolia A: Sorry I asked!

(20)

Percakapan tersebut terjadi di dalam sebuah kereta yang menempuh perjalanan jauh. B berada dalam kereta tersebut, hendak membaca buku yang dibawa olehnya dan A adalah penumpang lain yang ingin mengajak berbicara kepada B. Seperti yang diketahui bahwa sekitar Mongolia itu merupakan suatu tempat yang sangat terpencil dan tidak memungkinkan, sehingga B menunjukan respon yang tidak mungkin atau tidak benar dengan terdorong oleh mitra tuturnya untuk menghasilkan sebuah implikatur untuk mengakhiri percakapan tersebut.

Flouting a maxim of quality terjadi dengan maksud untuk meyakinkan mitra tutur, melindungi dan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penutur bahwa mitra tuturnya tidak perlu untuk mengetahui yang sebenarnya.

2.5.1.2 Flouting a Maxim of Quantity

Flouting a maxim of quantity terjadi ketika penutur memberi informasi yang terlalu sedikit atau terlalu banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tuturnya. Seperti yang diungkapkan Thomas (1995: 69) yaitu “A flout of the maxim of quantity occurs when blatantly gives more or less information than the situation requires”. Artinya bahwa flouting a maxim of quantity terjadi ketika secara sengaja penutur memberikan informasi yang kurang atau lebih dari yang dibutuhkan. Seperti contoh berikut:

A: How are we getting there?

B: Well we’re getting there in Dave’s car. (Thomas, 1995: 69)

(21)

Secara sengaja B memberikan informasi yang kurang dari yang dibutuhkan oleh A, penggunaan kata we‟re menghasilkan sebuah implikatur yang belum tentu A menyetujuinya. Sementara B yang ingin menumpang menggunakan mobil Dave untuk sampai ke tempat tujuan, A tidak ingin bepergian dengan mereka atau tidak ingin menumpang menggunakan mobil Dave.

Flouting a maxim of quantity terjadi dengan maksud (1) untuk menjelaskan lebih lanjut tentang sesuatu; biasanya seseorang mencoba untuk menjelaskan tentang sesuatu dengan memberikan banyak informasi dan mengharapkan bahwa mitra tuturnya akan lebih mengerti tentang topik yang sedang dibicarakan, (2) untuk menekankan sesuatu; orang menggunakan banyak kata-kata ketika mereka ingin menekankan sesuatu untuk membuat makna yang dimaksudkan lebih jelas dan dapat diikuti oleh mitra tuturnya, (3) untuk mengharapkan sesuatu; kadang-kadang orang bertindak dan mengucapkan kata-kata yang lebih untuk menunjukkan sesuatu. Mereka menggunakan kondisi ini untuk mengharapkan sesuatu dari orang lain.

2.5.1.3 Flouting a Maxim of Relation

Flouting a maxim of relation terjadi ketika penutur maupun mitra tutur mengatakan sesuatu yang tidak relevan atau tidak berhubungan. Menurut Thomas (1995: 70) flouting a maxim of relation ialah “The maxim of relation is exploited by making a response or observation which is very obviously

(22)

irrelevant to the topic in hand”. Artinya bahwa flouting a maxim of relation bertujuan untuk membuat respon atau pengamatan yang secara jelas sangat menyimpang dari topik yang dibicarakan. Contoh seperti yang diungkapkan oleh Thomas (1995: 70):

I finished working on my face. I grabbed my bag and a coat. I told my mother I was going out... She asked me where I was going. I repeated myself. „Out.’

Dalam contoh tersebut, penutur memberikan sebuah respon dengan mengatakan yang sebenarnya dan penutur telah menjawab apa yang menjadi pertanyaan Ibunya. Akan tetapi, permasalahannya yaitu jawaban yang diberikan penutur tidak relevan dengan topik yang dibicarakan. Ibunya bisa lihat bahwa penutur pergi tetapi ibunya ingin tahu kemana perginya atau tujuan penutur tersebut.

Kesimpulannya bahwa seseorang dikatakan melakukan Flouting a maxim of relation ketika dia memberikan jawaban yang tidak relevan dengan topik yang sedang dibicarakan. Tujuan dari flouting a maxim of relation yaitu untuk mengubah topik pembicaraan karena dalam percakapan orang biasanya mengubah topik pembicaraan untuk menghindari berbicara tentang sesuatu yang memalukan atau hanya untuk mengakhiri percakapan.

2.5.1.4 Flouting a Maxim of Manner

Flouting a maxim of manner terjadi ketika penutur memberikan secara sengaja informasi yang kabur dan bermakna lebih dari satu (ambigu),

(23)

memberikan informasi yang berbelit- belit atau penyampaian informasi yang tidak teratur. Seperti contoh yang diberikan oleh Thomas (1995: 71) sebagai berikut:

This interaction occured during a radio interview with an unnamed official from the United States Embassy in Port-au-Prince, Haiti:

Interviewer: Did the US Goverment play any part in Duvalier‟s departure? Did they, for example actively encourage him to leave?

Official: I would not try steer you away from that conclusion.

Dari contoh dialog di atas, official tersebut memberikan informasi yang berbelit-belit atau singkatnya bahwa ia bisa saja memberikan pernyataan „Yes‟, dan pernyataan yang diberikannya telah gagal atau melanggar maksim cara karena dengan sengaja memberikan informasi yang kabur atau bermakna ganda.

Kesimpulannya bahwa flouting a maxim of manner terjadi ketika penutur mengatakan sesuatu yang ambigu. Respon atau jawaban yang ambigu dari penutur membuat mitra tutur harus menggali lebih dalam lagi apa maksud sebenarnya dari penutur. Lalu, mitra tutur bisa saja berasumsi yang sama sekali berbeda dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh penutur. Walaupun terkadang penutur tidak bermaksud hal tersebut terjadi.

2.5.2 Violating a Maxim

Violating a maxim terjadi ketika penutur mengatakan sesuatu yang memang benar dan jujur untuk menyembunyikan kebohongannya atau sesuatu

(24)

yang dia ingin sembunyikan. Yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dari mitra tutur yang mempercayai apa yang dikatakan oleh penutur. Banyak orang yang salah dalam menggunakan istilah “violate” untuk semua pelanggaran terhadap maksim. Thomas (1995: 72) menyatakan bahwa violating ialah “Grice defines „violation‟ very specifically as the unostentatious non observance of a maxim”. Yang artinya bahwa Grice memberikan definisi „violation‟ yang sangat spesifik sebagai upaya penyederhanaan dari sebuah maksim. Seperti yang diungkapkan Grice (1975: 49) dalam bukunya Jenny Thomas (1995: 72) “If a speaker violates a maxim she or he will be liable to mislead.” Yang artinya bahwa jika seorang penutur menyederhanakan suatu maksim maka besar kemungkinan penutur tersebut memberikan informasi yang tidak benar atau berbohong.

Berikut merupakan contoh yang diberikan oleh Jenny Thomas (1995:73). Sebuah petikan interaksi yang bersifat fiksi antara Martin dan istrinya Alice seperti yang terjadi dalam kondisi berikut ini:

Alice has been refusing to make love to her husband. At first he attibutes this to post- natal depression, but then he starts to think she may be having an affair.

Martin :„Allie. I‟ve got to ask you this.‟ He stopped.

Alice :„Ask me then‟

Martin :„will you give me a truthful answer? However much you think it‟ll hurt me?

Alice‟s voice had a little quaver. Alice :„I promise.‟

(25)

Martin come back to his chair and put his hands on its back and looked ather.

Martin :„Is there another man?‟

Alice raised her chin and looked at him squarely. Alice :„No,’ she said. ‘There isn’t another man.’

And then Martin gave a long, escaping sigh, and grinned at her and said he thought they had better finish the champagne, didn‟t she?

Contoh di atas menyatakan bahwa pernyataan Alice yang menyatakan bahwa ia tidak selingkuh dengan laki-laki lain itu adalah benar, akan tetapi tidak semuanya benar ( she is, in fact, having an affair with a woman). Tetapi, dalam respon yang diberikan Alice itu tidak ada yang akan memungkinkan Martin untuk menyimpulkan bahwa ia telah menyembunyikan informasi.

Contoh berikutnya telah diungkapkan Jenny Thomas (1995: 73) dalam bukunya yang berjudul “meaning in interaction: an introduction to pragmatics” berikut ini:

An English athlete, Dianne Modahl, the defending commonwealth Games 800 metres champion, pulled out of her opening race and returned to England. Caroline Searle, press officer for the England team, said:

‘She has a family bereavement; her grandmother has died.’

The next day it was annaonced that Ms Modahl had been sent home following a positive test for drug.

Seorang atlit Inggris, Dianne Modahl, juara lari bertahan 800 meter Commonwealth, meninggalkkan perlombaan dan kembali ke Inggris. Caroline Searle, pegawai untuk tim Inggris berkata:

(26)

Hari berikutnya diumumkan bahwa Ms Modhal dipulangkan ke rumah karena telah positif menggunakan obat terlarang. Apa yang Ms Searle katakan bahwa Modhal pulang ke rumah adalah benar, akan tetapi implikasi (bahwa alasan Modhal untuk pulang karena kematian neneknya) adalah salah.

Sepintas terlihat bahwa violating a maxim berlawanan dengan flouting maksim. Pada contoh pertama di atas yang mengatakan apa yang telah Alice katakan adalah benar, akan tetapi, di sisi lain bahwa itu bisa dikatakan salah. Apa yang dikatakan Alice bisa memungkinkan untuk benar dan salah. Akan tetapi, dalam contoh fouting maxim yang diberikan Jenny Thomas (1995: 55), penutur secara jelas telah gagal dalam menaati maksim kualitas, tetapi kendatipun demikian tetap berimplikasi sesuatu yang benar.

Late on Christmas Eve 1993 an ambulance is sent to pick up a man who collapsed in Newcastle city centre. The man is drunk and vomits all over the ambulanceman who goes to help him. The ambulanceman says:

‘Great, that’s really great! That’s made my Christmas!’ Jenny Thomas (1995: 55)

Pada contoh tersebut, penutur mengatakan sesuatu yang sama sekali atau secara sengaja tidak benar atau disebut implikatur. Sebuah implikatur telah dihasilkan oleh penutur secara sengaja dengan mengutarakan sesuatu yang jelas salah.

(27)

2.5.3 Infringing a Maxim

Infringing a maxim terjadi ketika terdapat kesalahan-kesalahan dalam percakapan yang melanggar maksim dikarenakan oleh penutur tidak berbahasa dengan sempurna, contohnya adalah jika penutur merupakan anak yang masih kecil dan tidak bisa berbicara dengan lancar. Contoh lainnya adalah ketika penutur adalah orang asing dan tidak menguasai bahasa yang sedang dipergunakan dalam percakapan. Selain itu, contoh lainnya adalah ketika penutur sedang dalam kondisi yang tidak stabil, seperti tegang, mabuk, shock, atau terlalu gembira. Pelanggaran maksim ini pun terjadi karena penutur memang tidak bisa berbicara dengan jelas sehingga informasi yang disampaikan tidak dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur yang disebabkan penutur tidak cukup untuk berbicara dalam menyampaikan informasi tersebut, seperti yang di ungkapkan Thomas (1995: 74):

“This type of non-observance could occur because the speaker has an imperfect command of the language (a young child or a foreign learner), because the speaker‟s performance is impaired in some way (nerveousness, drunkenness, excitement), because of some cognitive impairment or simply because the speaker is constitutionally incapable of speaking clearly to the point.”

Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa infringing a maxim dapat terjadi karena penutur tidak menguasai bahasa dengan baik (seorang anak kecil atau pelajar), karena sikap penutur yang terganggu dengan beberapa hal (gugup, mabuk, perasaan gembira), karena beberapa kesalahan yang dapat

(28)

disadari, atau sederhananya karena penutur tidak dapat berbicara dengan jelas untuk langsung menuju kepada intinya.

2.5.4 Opting Out of a Maxim

Opting out of a maxim biasanya terjadi ketika sedang berada didepan banyak orang. Pelanggaran maksim ini terjadi dikarenakan penutur tidak berkenan untuk memberikan informasi kepada mitra tuturnya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh informasi yang memang tidak etis atau ilegal untuk dipublikasikan. Namun biasanya dalam kasus pelanggaran makim ini penutur tidak bermaksud untuk membuat pelanggaran. Contohnya seperti yang diungkapkan oleh Thomas (1995: 75)

The conservative M.P., Teddy Taylor had been asked a question about talks he had had with Colonel Gadaffi.

‘Well, honestly, I can’t tell you a thing, because what was said to me was told me in confidence’.

Dari contoh di atas jelas sekali bahwa penutur tidak dapat memberikan informasi yang dikarenakan adanya peraturan atau kode etik yang mengharuskannya untuk merahasiakan informasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa penutur berharap untuk menghindari sebuah kesalahan dalam menghasilkan implikatur atau kelihatan tidak bekerjasama.

Dalam contoh „opting out‟ yang lainnya adalah memilih keluar dari maksim dikarenakan untuk menghindari pemberian informasi yang dapat menyakiti pihak ketiga atau menempatkannya dalam bahaya.

(29)

Ruth Rendell, a famous crime novelist, was being interviewed by an equally famous psychiatrist, Professor Abthony Clare. Clare asked Rendell about her husband.

AC: You married him twice, you‟ve been interviewed many times, but I‟ve never seen a satisfactory explanation for that very interesting fact.

RR: well (pause) I don’t think I can give you one . that is not to say that I don’t know it but I do know it but I cannot give it. I don’t think that to give it would be a very good idea, particularly for my husband (Thomas, 1995, 75).

Dari contoh di atas, bisa kita simpulkan bahwa Ruth telah berimplikatur dengan tidak memberikan informasi tentang suaminya kepada Anthony walaupun sebenarnya Ruth mempunyai informasi tersebut, dikarenakan Ruth tidak ingin menempatkan suaminya dalam bahaya atau menyakiti perasaannya.

Opting out of a maxim terjadi dikarenakan penutur tidak berkenan untuk memberikan informasi kepada mitra tuturnya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh informasi yang memang tidak etis atau ilegal untuk dipublikasikan atau dikarenakan peraturan atau kode etik dan pada akhirnya disepakati oleh penutur dan mitra tutur untuk tidak membicarakan hal tersebut. Namun biasanya dalam kasus pelanggaran maksim ini penutur tidak bermaksud untuk membuat pelanggaran.

2.5.5 Suspending a Maxim

Suspending a maxim terjadi ketika ada beberapa kata atau kalimat yang tidak pantas atau taboo untuk diucapkan. Biasanya hal ini terjadi dalam kasus penyebutan nama, tempat atau suatu benda. Lalu kebudayaan, tempat, waktu, dan situasi juga berpengaruh akan terjadinya pelanggaran maksim ini. Biasanya

(30)

mitra tutur pun tidak mengharapkan penutur untuk memperjelas apa sebenarnya yang penutur maksud, karena mitra tutur sudah mengetahui maksudnya. Untuk membuat mitra tuturnya mengerti, si penutur akan mencari kata ganti untuk kata-kata taboo tersebut. Seperti yang diungkapkan Keenan (1976: 70) dalam buku Thomas (1995: 76) “...regularly provide less information than is required by their conversational partner, even though they have access to the necessary information”. Yang artinya biasanya mereka memberikan informasi yang kurang dari yang dibutuhkan oleh lawan tutur mereka, padahal mereka mempunyai jalan untuk informasi yang penting. Contohnya seperti yang diungkapkan oleh Thomas (1995:76)

The speaker in this example is the daughter of a murdered man. She is talking to Officer Jim Chee of the Navajo Tribal Police:‟last time you were with that FBI man asking about the one who got killed,‟she said, respecting the Navajo taboo of not speaking the name of the dead. „You find out who killed that man?‟

Pada contoh di atas menunjukan bahwa penyebutan nama dari pria yang dibunuh itu merupakan hal yang tabu. Oleh sebab itu, ia mengganti dari sebutan pria tersebut dengan the one who got killed dan that man.

Gambar

Tabel 1: Empat Maksim dalam Prinsip Kerja Sama
Tabel  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  komunikasi  yang  terjadi  antara  penutur dan mitra tutur akan berjalan dengan baik  dan mudah untuk dipahami  apabila  masing-masing  dari  penutur  maupun  mitra  tutur  dapat  bekerja  sama  dalam    menaati

Referensi

Dokumen terkait

Meyer & Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota

Dengan demikian, motivasi berprestasi siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran IPA mengingat pembelajaran IPA banyak melibatkan predisposisi untuk merespon

Penanganan krisis kesehatan akibat bencana memerlukan rencana aksi yang disusun berdasarkan koordinasi Instansi yang tergabung dalam organisasi Pusat Penanggulangan Krisis

[r]

Pelayanan perawatan kesehatan rumah diberikan kepada individu dan keluarga sesuai kebutuhan mereka, dengan perencanaan dan koordinasi yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan

Dengan menggunakan batas signifikansi 0,05, maka nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis ketiga dapat diterima Arah koefisien regresi

Adalah statistik yang menggunakan dan mengolah sumber data dari pelayanan kesehatan di rumah sakit untuk menghasilkan informasi, fakta, dan pengetahuan berkaitan

Feeder yang terpisah diharapkan dapat memberikan pelayanan ke panel dan grup control board melayani peralatan bantu pada kamar mesin dan perlengkapan pendingin yang