• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk biologis senantiasa menjalankan serta mempertahankan kehidupannya. Dalam menjalankan serta mempertahankan kehidupannya, manusia cenderung menjaga kesehatannya dari berbagai penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Kesehatan merupakan bagian penting dari kehidupan, faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah faktor sosial, faktor budaya, dan ekonomi di samping biologi dan lingkungan (WHO, 1992:16). Bila penyakit sudah diderita maka manusia mencari upaya penyembuhan.

Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat tersebut atau sesuai dengan kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi masalah-masalah di dalam hidup, diantaranya sakit, maka manusia tersebut berusaha untuk mencari obat bagi penyembuh penyakit itu. Seorang yang sakit beserta keluarganya akan berusaha mencari obat dengan berbagai cara untuk kesembuhan penyakitnya tersebut (Hastuti, 2006: 1). Bukan hanya pengalaman, faktor sosial budaya dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari pengobatan, namun juga organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern maupun tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku mencari pengobatan (Lumenta, 1989: 87-88).

Secara umum, sistem medis dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia Barat) dan sistem medis tradisional yang hidup aneka warna kebudayaan-kebudayaan manusia (Kalangie,1976:15). Pengobatan modern adalah pengobatan yang dilakukan secara ilmiah (Samsunjaya, 2007: 1). Pengobatan tradisional merupakan suatu sistem pengobatan yang (pengetahuan) pada pengalaman dan keterampilan turun temurun (Handoko, 2008: xxxii).

(2)

Menurut UU RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pengobatan tradisional diartikan sebagai salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, mencakup cara (metoda), obat dan pengobatanya yang mengacu kepada pengetahuan, dan keterampilan turun temurun baik yang asli maupun yang berasal dari luar Indonesia dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 halaman 2 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, menyatakan bahwa pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Di Indonesia, obat dan pengobatan tradisional sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi bangsa Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan beragam suku bangsa serta tersedianya flora dan fauna yang sedemikian banyak jumlahnya. Pengobatan seperti ini merupakan salah satu upaya yang digunakan dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Pengobatan tradisional pada saat ini merupakan salah satu pengobatan alternatif yang hingga kini makin diminati oleh masyarakat, terlebih lagi dengan kesadaran untuk kembali ke alam atau Back to Nature (Nafisah, 2000: 335-336 dalam Lestari, 2004:2).

Berbagai jenis dan cara pengobatan tradisional terdapat dan dikenal di Indonesia. Hal ini sesuai dengan keanekaragaman susunan masyarakat yang ada (Agoes, 1992: 61), yaitu :

1. Pengobatan tradisional dengan ramuan obat:

 Pengobatan tradisional dengan ramuan asli Indonesia;  Pengobatan tradisional dengan ramuan obat Cina;  Pengobatan tradisional dengan ramuan obat India. 2. Pengobatan tradisional spiritual/kebatinan:

(3)

 Pengobatan tradisional atas dasar agama;  Pengobatan dengan dasar getaran magnetis.

3. Pengobatan tradisional dengan memakai peralatan/perangsangan:

 Akupuntur, pengobatan atas dasar ilmu pengobatan tradisional Cina yang menggunakan penusukan jarum dan penghangatan moxa (Daun Arthemesia vulgaris yang dikeringkan);

 Pengobatan tradisional urut pijat;  Pengobatan tradisional patah tulang;

 Pengobatan tradisional dengan peralatan (tajam/keras);  Pengobatan tradisional dengan peralatan benda tumpul.

4. Pengobatan tradisional yang telah mendapat pengarahan dan pengaturan pemerintah:

 Dukun beranak;

 Tukang gigi tradisional.

Melalui praktek-praktek perdukunan yang berbeda satu sama lain, terjadi interaksi yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan sosial, khususnya perubahan sosial dalam bidang kesehatan dan lebih khusus lagi yang menyangkut bagaimana corak praktek-praktek perdukunan dikemudian hari (Sobary, 2003: 141). Menurut Boedhihartono, pengobat tradisional dapat dikelompokkan berdasarkan kekhususannya antara lain: dukun bayi, dukun pijet, dukun sangkal putung (dukun patah tulang), dukun jamu, dukun ramal, dukun pawang, dukun sunat, dukun suwuk dan dukun sembur, dukun jiwa, dukun sihir (dukun pelet, dukun santet, dukun tuji, dukun klenik, dukun tenung), dan dukun susuk (Boedhihartono. et al, 1982: 23-24). Dukun patah tulang merupakan suatu bentuk pengobatan tradisional yang masih cukup banyak dipakai oleh penderita sebagai alternatif terhadap cara pengobatan yang diberikan oleh ilmu kedokteran (Mangunsudirdjo, 1992: 76)

Patah tulang menurut ilmu kedokteran adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang, yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang mendadak. Patahan tadi mungkin lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan bagian tipis dari luar tulang, biasanya patahan itu lengkap dan fragmennya bergeser dari posisinya. Kalau kulit di atasnya robek atau

(4)

berhubungan dengan bagian tulang yang patah, disebut patah tulang terbuka yang cenderung mengalami infeksi (Hasan, 2002: 3). Patah tulang pada garis besarnya ada dua jenis, yakni pertama patah tulang tertutup, artinya tulang tidak sampai mencuat keluar menembus jaringan kulit, dan yang kedua patah tulang terbuka, yakni tulang menembus jaringan kulit sehingga tulang yang patah itu terlihat (Machfoedz, 2005: 72). Tujuan umum dari penanganan patah tulang (fraktur) adalah mengusahakan penyembuhan tulang dalam posisi dimana tidak ada kelainan fungsional, dan patah tulang umumnya akan sembuh bila dilakukan reposisi yang adekuat dan fiksasi yang memadai. Cara pengobatan yang diberikan yakni mengusahakan reposisi dengan cara “mengurut” dan fiksasi dengan karton atau kayu (Mangunsudirdjo, 1992: 82).

Pengobatan tradisional patah tulang bukanlah suatu hal yang baru untuk dibahas, seperti yang sudah dilakukan oleh Muhastiningsih dalam penelitiannya mengenai tinjauan terhadap peran serta dukun patah tulang dalam program upaya kesehatan tradisional di desa Cimande, Kecamatan Caringin Bogor, memaparkan bahwa lima belas (100%) dukun patah tulang berjenis kelamin laki-laki. Tiga (20,01%) orang berusia antara 35-44tahun; lima (33,33%) orang berusia antara 45-54 tahun; dan tujuh (46.66%) orang berusia lebih dari 55 tahun. Tiga belas orang bekerja sebagai petani dan dua orang berdagang. Tiga orang bepengalaman 3-5 tahun menjadi dukun patah tulang, tiga orang berpengalman 6-10 tahun menjadi dukun patah tulang, dan sembilan orang berpengalaman lebih dari 10 tahun menjadi dukun patah tulang. Berdasarkan pendidikan terakhir dukun patah tulang: satu orang tidak sekolah, dua belas orang SD, satu orang SMP, dan satu orang SMA (Muhastingingsih, 1990: 47-48). Pada umumnya kegiatan pelayanan dukun patah tulang didesa Cimande adalah pengobatan patah tulang, kegiatan rujukan dan pemberian nasehat dalam rangka penyembuhan patah tulang. Kegiatan pemberian nasehat yang diberikan kepada pasien sebagian besar adalah menyangkut perawatan patah tulang, pantang makan karena itu peranan dukun dalam menunjang penyuluhan kesehatan tradisional lebih banyak ditujukan kepada upaya peningkatan kesehatan penelitian patah tulang yang selanjutnya memberikan dampak terhadap penurunan angka kesakitan dan kecacatan (Muhastiningsih, 1990: 87).

(5)

Mulyono Notosiswoyo dalam tesisnya yang berjudul “Pengobatan Tradisional Patah Tulang Cimande”, ia meneliti tentang mengapa dan bagaimana pengobatan tradisional patah tulang dapat bertahan sebagai suatu profesi dan pelayanan pengobatan pada masyarakat Indonesia (1995: 8). Dalam tulisannya, ia menjelaskan bahwa masyarakat masih mempercayai adanya kekuatan supernatural yang dimiliki oleh dukun patah tulang tersebut beserta do’a dan minyaknya. Selain itu kharisma yang tadinya dimiliki oleh gurunya atau orang tuanya ikut mendukung pengakuan masyarakat terhadap kemampuan mereka mengobati patah tulang dan sejenisnya (Notosiswoyo, 1995: 130).

Purnawati memaparkan dalam penelitiannya mengenai peran serta dukun patah tulang dalam menunjang program upaya kesehatan tradisional di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali, bahwa dari sebelas dukun patah tulang, dua orang berusia 45-50 tahun, enam orang berusia 55-60 tahun, dan tiga orang berusia diatas 65 tahun, serta sebelas orang tersebut berpengalaman lebih dari sepuluh tahun menjadi dukun patah tulang (Purnawati, 2000: 71-78) .

Dari beberapa hasil penelitian tentang pengobat tradisional patah tulang yang dilakukan di Yogyakarta, di Kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan, di Kabupaten Minahasa dan di Kabupaten Barru, dapat dikemukakan bahwa jenis kelamin para pengobat tradisional adalah laki-laki dan perempuan. Umur mereka dari 25 tahun sampai 61 tahun. Dengan mengacu pada umur tersebut nampaknya mereka yang melakukan pengobatan tradisional patah tulang bukan hanya mereka yang masih usia produktif, tetapi juga yang sudah usia manula (manusia lanjut usia). Pada umumnya mereka sudah berpraktek cukup lama, rata-rata antara lima sampai dua puluh tahun, meskipun ada yang kurang dari lima tahun, dan ada juga yang sudah berpraktek lebih dari 25 tahun. Profesi sebagai pengobat tradisional patah tulang pada umumnya bukan merupakan satu-satunya profesi yang dijalankannya. Mereka ada juga yang berprofesi lain misalnya sebagai petani, tukang kayu, bahkan ada yang berprofesi sebagai kepala dusun. Tingkat pendidikan mereka cukup bervariasi dari yang berpendidikan sekolah dasar tidak tamat sampai dengan yang berpendidikan tinggi. Namun sebagian besar mereka adalah berpendidikan SD dan SLTP (Notosiswoyo, dkk., 2001: 17).

(6)

Prinsip praktek pengobatan tradisional patah tulang mencakup pemberian sugesti atau penguatan psikis, reposisi, relaksasi, dan fiksasi. Sugesti dilakukan dengan cara memberi minum air yang sudah diberi doa’-do’a dan dimotivasi. Tetapi adakalanya diberi benda tertentu yang bersifat spiritual. Setelah diketahui jenis patah tulangnya, kemudian dilakukan reposisi dengan cara tekan dan urut menggunakan minyak. Untuk mengetahui apakah tulang yang patah sudah kembali pada posisi semula, pengobat tradisional memanfaatkan getaran panas dan dingin yang dapat dirasakan lewat perabaan tangannya, setelah reposisi dilakukan relaksasi untuk mengendorkan otot-otot yang tegang, dengan cara membasuh air hangat. Selanjutnya dilakukan fiksasi yang bertujuan agar tulang yang telah direposisi tidak berubah lagi posisinya. Sebelum fiksasi dilakukan pada beberapa bagian sekitar daerah yang cidera diberi minyak ramuan khusus yang bersifat menghangatkan dan ditaburi talk (bedak) untuk menghindari lecet kulit. Alat untuk fiksasi biasanya digunakan bambu atau kayu dengan kapas atau kain bersih/perban. Bagi penderita patah tulang dengan luka terbuka, biasanya langsung dirujuk ke Rumah Sakit setelah dilakukan reposisi (Notosiswoyo, dkk., 2001: 21).

Jasa pengobatan pijat urut atau bengkel tulang tradisional kerap menjadi pilihan sebagian masyarakat untuk memperbaiki kasus patah tulang (fraktur) atau penyambungan tulang1. Salah satu bengkel patah tulang yaitu Yayasan Pengobatan Patah Tulang Guru Singa. Pengobatan tradisional yang didirikan oleh Prof(HC). DR(HC). Ngulih Rusli Guru Singa ini menggunakan metode pengobatan yang menarik2 yaitu dengan menerapkan teknik Traksi Luar (daya cengkram) lalu dibaluri oleh minyak dan sop khusus ramuan tradisional lalu diimmobilisasi (diistirahatkan)3. Pengobatan patah tulang Guru Singa berlokasi di daerah Pondok Kelapa Jakarta Timur dengan melibatkan pihak-pihak diantaranya yaitu pengobat, pasien, dan keluarga pasien. Pengobat melakukan pengobatan kepada pasiennya disertai dengan perbincangan mengenai pengobatan maupun bukan pengobatan. Di dalam perbincangan tersebut, adanya informasi yang disampaikan pengobat kepada pasiennya pada saat pengobatan berlangsung. 1 http://www.kompas.com/read/xml/2008/01/24/17160290/patah.tulang.tak.perlu.disambung 2 http://thedoctornotes.blogspot.com/2008/02/guru-singa.html 3 http://thedoctornotes.blogspot.com/search/label/The%20Alternative%20Medicine

(7)

1.2 Permasalahan Penelitian

Proses penyampaian informasi dari ahli kepada pasien mempengaruhi kualitas pelayanan maupun hasil pengobatan (Sciortino, 1999: 74). Suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh disebut sebagai sistem perawatan kesehatan. Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 46). Berdasarkan pengamatan awal yang tertulis di paragraf di atas, penulis melihat Pengobatan Patah Tulang Guru Singa sebagai suatu sistem perawatan kesehatan. Perawatan kesehatan tersebut diminati masyarakat untuk berobat patah tulang yang di dalamnya berisi interaksi antara pihak pengobat dan pihak pasien. Oleh sebab itu penulis ingin mengkaji hal tersebut lebih dalam. Berikut Pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana proses pengobatan di pengobatan patah tulang Guru Singa? 2. Apa yang melatarbelakangi pasien memilih pengobatan di pengobatan patah

tulang Guru Singa?

3. Bagaimana interaksi yang terjadi antara pengobat, pasien dan keluarga pasien di pengobat patah tulang Guru Singa?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui proses pengobatan di pengobatan patah tulang Guru Singa

2. Mengetahui latarbelakang pasien memilih pengobatan patah tulang Guru Singa

3. Mengetahui interaksi yang terjadi antara pengobat, pasien dan keluarga pasien di pengobatan patah tulang Guru Singa.

1.4 Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis dan akademis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberikan sumbangan bagi kajian ilmu sosial khususnya Antropologi medis mengenai pengobatan tradisional patah tulang. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai salah satu pengobatan tradisional patah tulang sebagai suatu sistem perawatan kesehatan yang melibatkan interaksi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengobatannya.

(8)

1.5 Kerangka Konsep

Sistem medis adalah suatu bagian atau unsur yang ada pada setiap kebudayaan. Sistem medis menurut Dunn (1976: 135 dalam Foster dan Anderson, 1986:41) adalah pola-pola dari pranata-pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya yang menyangkut prilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu kesehatan yang baik. Saunders (1954: 7 dalam Foster dan Anderson, 1986: 44) menyatakan bahwa sistem medis adalah suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, sikap, adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu. Menurut Foster dan Anderson (1986: 45) sistem medis mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan kesehatan dan tindakan serta pengetahuan ilmiah maupun keterampilan anggota-anggota kelompok yang mendukung sistem tersebut.

Sistem medis dapat dipecah ke dalam paling sedikit dua kategori besar, yaitu suatu sistem “teori penyakit” dan sistem “perawatan kesehatan”. Suatu sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri sehat, sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter. Sebaliknya, suatu sistem perawatan kesehatan memperhatikan cara-cara yang dilakukan oleh berbagai masyarakat untuk merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan “pengetahuan” tentang penyakit untuk menolong si pasien. Suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh. Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 46).

Keluarga dalam pengertian antropologi adalah satu jenis kelompok kekerabatan, atau kingroup. Antara anggota keluarga terjalin hubungan kekerabatan (kinship). Hukum pertemanan, prinsip solidaritas, saling bantu, saling merasakan, dan seterusnya. Inilah inti dari hubungan kekeluargaan. Semangat kekeluargaan adalah semangat atau nilai dalam hubungan sosial antara sesama

(9)

anggota keluarga; semangat persaudaraan; solidaritas antara sesama kerabat; semangat kolektivisme; dan semangat komunalisme (Marzali, 2005: 169-171).

Perilaku untuk meningkatkan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh individu yang bersangkutan, melainkan juga oleh orang lain atau kerabat tempat mereka berinteraksi. Setiap individu sebagai anggota masyarakat tentu mempunyai peranan. Dengan memiliki peranan, maka mereka juga memiliki hak-hak tertentu serta mengharapkan bentuk-bentuk tingkah laku tertentu terhadap siapa mereka berinteraksi (Dyson, 1987: 8).

Hubungan antara dokter dan pasien, serta antara dokter dan perawat berupa hubungan-hubungan identitas; perilaku yang tepat antara orang-orang dalam berbagai kapasitas ini adalah hubungan peran (identitas berfokus pada kapasitas, peran menjelaskan perilaku yang tepat bagi seorang pelaku dalam kapasitas tertentu) (Keesing, 1992: 74). Peranan dokter dan peranan pasien, seperti halnya peranan-peranan lain, saling melengkapi dan saling tergantung; yang satu membutuhkan yang lainnya. Tanpa pasien tak akan ada peranan dokter, dan sebaliknya, tanpa dokter tidak ada peranan pasien. Namun di luar ketergantungan itu, kedua peranan itu ditandai oleh ciri-ciri yang sangat berbeda, yang dapat dianalisis dalam rangka empat pasang dimensi dasar: terbatas-universal, permanen-temporer, atasan-bawahan, sukarela-nonsukarela (Foster dan Anderson, 1986: 123). Peranan penyembuh tidak otoriter. Penyembuh boleh menyarankan namun tidak boleh mendikte. Saran pengobatan boleh diikuti hanya apabila ada pengesahan dari anggota yang berpengaruh dalam kelompok sosial si pasien (Clark, 1959: 213 dalam Foster dan Anderson, 1986: 124).

Dalam sistem pelayanan perawatan kesehatan, Foster dan Anderson menemukan ciri-ciri persamaan dalam premis-premis profesional, citra diri dan bentuk-bentuk hubungan dengan publik, tanpa memandang asumsi-asumsi kausatif yang mungkin melatar-belakangi sistem tersebut. Dipandang dari perspektif lintas-budaya, para dokter menunjukkan ciri-ciri yang sama dalam hal spesialisasi, seleksi dan pendidikan, perasaan citra keprofesionalan, harapan akan pembayaran, dan keyakinan akan kekuatan mereka (Foster dan Anderson, 1986: 124). Gambaran stereotip dari penyembuh tradisional yaitu orang yang bijaksana dan terampil, yang tidak hanya mengenal pasiennya saja tetapi juga keluarganya,

(10)

yang sadar akan ketegangan-ketegangan pribadi maupun sosial dari kehidupan pasien, yang melihat kesembuhan dari stres antar pribadi sebagai hal yang penting bagi penyembuhan gejala-gejala fisik (Foster dan Anderson, 1986: 294).

Sistem perawatan kesehatan mengintegrasikan komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan tentang alasan pemilihan, penilaian perawatan, kedudukan dan peranan, kekuasaan, latar interaksi, pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi perawat yang tersedia (Kalangie, 1994: 25). Strategi-strategi yang mendasari proses-proses pengambilan keputusan dalam mencari perawatan kesehatan disebut “hierarki sarana (pengobatan) dalam praktek penyembuhan” (Schwartz 1969 dalam Foster dan Anderson, 1986: 293). Cara-cara bagaimana masyarakat menyusun hierarki sarana pribadi mereka sendiri dan faktor-faktor yang masuk dalam perhitungan mereka banyak memberi penjelasan kepada kita tentang bagaimana bentuk-bentuk pengobatan ilmiah dan pengobatan “alternatif” baru (dan terutama pengobatan di perkotaan) telah sangat terdesak praktek pengobatan tradisional (Foster dan Anderson, 1986: 293).

Perilaku pencarian pelayanan kesehatan menurut Notoatmodjo (2007: 205-206) terdiri dari: (1) tidak bertindak apa atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action); (2) tindakan mengobati sendiri (self treatment); (3) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy); (4) mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop); (5) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit dan; (6) mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine).

Menurut Notosiswoyo (1995: 131-132) dalam hasil penelitiannya mengenai pengobatan tradisional patah tulang Cimande, pengobatan tradisional patah tulang masih diminati oleh masyarakat (para penderita trauma tulang) karena faktor-faktor berikut:

(11)

(1) faktor sosial, yaitu:

a. pasien berada pada posisi yang tidak kuasa, dan penyandang dana atau penabrak pada posisi yang lebih kuasa maka pasien pasrah dibawa berobat kemanapun;

b. adanya keterbatasan dalam interaksi sosial sehingga tidak dapat menentukan pilihan tempat pengobatan

c. adanya komunikasi yang akrab dengan istilah yang mudah dimengerti oleh pasien dan dukun.

(2) faktor budaya, yaitu:

a. kedua pihak sama-sama meyakini adanya kekuatan supranatural yang ada pada minyak Cimande dan kemampuan yang dimiliki oleh dukun patah tulang;

b. adanya rasa takut diamputasi atau dipotong kalau berobat ke rumah sakit. (3) faktor ekonomi, yaitu:

adanya biaya relatif murah dengan pembayaran tanpa uang muka dan dapat dicicil

(4) faktor psikologis, yaitu:

a. kenyamanan dalam proses pengobatan misalnya dalam pengobatan ini daerah yang patah tidak di gips;

b. pasien dapat dikunjungi dan ditunggui setiap waktu sehingga tidak merasa dikucilkan dari keluarganya;

c. stereotips negatif terhadap pengobatan rumah sakit (5) alasan kepraktisan, yaitu:

pasien langsung dapat segera diobati dan dirawat tanpa melalui prosedur bermacam-macam yang kadang-kadang berbelit.

Secara universal ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia untuk dapat hidup sebagai manusia, seperti kebutuhan primer, skunder, dan tertier. Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan hidupnya, menjadi energi dalam dan bagi kehidupannya dengan menggunakaan kebudayaan (Suparlan, 2004: 220). Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah

(12)

perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh untuk menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kebudayaan dengan demikian dilihat sebagai perangkat-perangkat pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dimilki pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-perangkat pengetahun dan keyakinan-keyakinan tersebut dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas satuan-satuan yang berbeda-beda serta bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya satu sama lainnya secara keseluruhan (Suparlan, 1995: 4). Para ahli perilaku umumnya memandang rumah sakit sebagai suatu masyarakat kecil dengan kebudayaannya sendiri. Rumah sakit sebagaimana dengan masyarakat kecil, dapat dipandang memiliki “kebudayaan”. Nampak jelas adanya dua subkebudayaan yang dasar, yakni kebudayaan ‘pasien’ atau ‘penghuni’ dan kebudayaan ‘profesional’ atau ‘staf’ dari semua yang bekerja di sebuah rumah sakit. Berdasarkan model komuniti kecil dengan garis-garis otoritas dan interaksi perananlah maka analisis-analisis tentang rumah-rumah sakit itu dilakukan (Foster dan Anderson, 1986: 196-197).

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kualitatif, peneliti berhubungan dengan yang diteliti, hubungan ini dalam bentuk tinggal bersama atau mengamati informan dalam periode waktu lama, atau kerja sama nyata. Ringkasnya, peneliti berusaha meminimalkan jarak antara dirinya dan yang diteliti (Creswell, 2002: 5).

Penelitan kuantitatif menjadi tidak tepat atau dirasa kurang tepat digunakan bila ingin memahami kehidupan sosial secara rinci karena alasan-alasan seperti: (1) kehidupan sosial yang diteliti sangat kompleks; (2) hasil penelitian tidak memuaskan karena banyak hal yang belum dapat dijelaskan oleh hasil penelitian tersebut. Dalam situasi seperti ini maka metode penelitan kualitatif dapat dikatakan lebih memadai untuk diterapkan (Hendrarso, 2006: 165-166).

(13)

1.6.2 Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu membuat sesuatu yang kompleks dapat dimengerti dengan menguraikan menjadi komponen-komponen (Sabarguna, 2006: 71). Penelitian yang bersifat deskriptif, memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu (Tan, 1991: 30). Penulis menjelaskan yang terjadi di Pengobatan Patah Tulang Guru Singa dalam hal proses pengobatan dan interaksi antara pengobat, pasien, dan keluarga pasien, serta menjelaskan pihak-pihak yang berperan dalam hal pengobatan ini.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Tiga macam pengumpulan data secara kualitatif yaitu, yang pertama wawancara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh terdiri dari pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Kedua adalah pengamatan yang terdiri dari kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang. Ketiga yaitu penelaahan terhadap dokumen tertulis (Oetomo, 2005: 186).

Tahap awal perkenalan penulis dengan Dana, anak pendiri Pengobatan Patah Tulang Guru Singa (selanjutnya disebut GS) di Pondok Kelapa ini, pada saat penulis mengerjakan Seminar Rencana Penelitian sekitar bulan Oktober 2007. Penulis mengutarakan maksud dan tujuan penulis sebagai seorang mahasiswi FISIP UI yang sedang mengerjakan tugas rencana penelitian untuk skripsi. Pada tahap awal ini, penulis bertanya mengenai sejarah GS dan teknik pengobatan untuk mengetahui gambaran umum GS. Pada bulan Februari 2008 penulis datang ke GS memberi tahu bahwa penulis akan membuat skripsi tentang Pengobatan Patah Tulang Guru Singa, penulis berkenalan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengobatan, penulis mewawancarai Dana, penulis mewawancarai pengobat, dan penulis melihat aktivitas di GS seperti pembuatan minyak. Pada November 2008 penulis datang ke GS untuk menggali informasi mengenai GS dari anak Ngulih dan dari pengobat di GS.

Pada tanggal 2 Maret 2009 penulis datang ke GS dengan maksud untuk bertanya mengenai rumah kontrakan yang berada di sekitar GS karena penulis hendak melakukan penelitian yang lebih intensif, kemudian anak Ngulih

(14)

menawari kamar miliknya yang sedang tidak ditempati untuk menjadi tempat tinggal sementara penulis melakukan penelitian. Penulis tinggal di salah satu kamar milik anak dari Ngulih dari tanggal 3 Maret 2009 sampai tanggal 29 Maret 2009, dengan maksud meminimalkan jarak antara penulis dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini seperti, pengobat, pasien, keluarga pasien. Pada tahap awal penelitian, penulis berkeliling dari satu ruang perawatan hingga ruang perawatan yang lain bersama para pengobat, pada tahap ini juga penulis berkenalan dengan beberapa pasien dan keluarga pasien.

I.6.3.1. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendaptkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti. Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi (Mardalis, 2006: 64)

Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara mendalam dengan pengobat, pasien, dan keluarga pasien di GS. Wawancara penulis lakukan kepada Dana, semenjak pendiri pengobatan ini meninggal pada tahun 2007 hingga kini yang menjabat sebagai pimpinan adalah Dana. Selain Dana, penulis mewawancarai Kencana yang juga merupakan anak dari pendiri pengobatan ini. Dana dan Kencana ialah anak dari pendiri pengobatan patah tulang ini yang berada di Jakarta dan bertempat tinggal di wilayah GS yang juga terlibat dalam pengobatan.

Informan laininnya yaitu pengobat dengan kriteria sebagai berikut, berjenis kelamin laki-laki (karena semua pengobat di GS adalah laki-laki) dan berpengalaman lebih dari lima tahun (lima tahun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang dikemukakan Notosiswoyo dkk (2001:17) bahwa pada umumnya pengobat sudah berpraktek cukup lama, rata-rata antara lima sampai dua puluh tahun), ini dimaksudkan untuk mengetahui proses pengobatan di GS. Penulis melakukan wawancara dengan Jojon, Banon, Sakeus, dan Yanto yang bertugas sebagai pengobat.

(15)

Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga pasien yang dirawat dibangsal Kambuna Guru Singa, karena ruang perawatan ini termasuk kedalam ruang yang harganya paling terjangkau dan ditempati oleh paling banyak pasien dibanding dengan ruang perawatan yang lain. Kriteria informan yaitu pasien yang mengalami proses pengobatan di GS, pasien yang sudah dirawat inap lebih dari dua minggu, pasien yang dirawat inap di ruang rawat bangsal, ini dimaksudkan untuk melihat interaksi yang terjadi antara pasien dengan pasien serta pasien dengan keluarga pasien yang lainnya. Pasien yang penulis jadikan informan ialah Ynt, Al, Jm, dan Hn.

Pada saat penulis mengikuti tim kontrol harian berkeliling ke semua ruang rawat inap, tibalah penulis di ruang rawat Kambuna, salah seorang pengobat menyarankan penulis untuk mewawancarai Hn karena Ia adalah pasien terlama (saat itu) yang dirawat di GS, kemudian penulis memperkenalkan diri kepada Hn sebagai mahasiswi FISIP UI yang sedang belajar melakukan penelitian untuk tugas skripsi. Hn menyambut cukup baik kehadiran penulis, Hn memperkenalkan penulis kepada pasien dan keluarga pasien yang berada di ruang rawat kambuna dengan suara yang cukup lantang. Hn menanyakan ke penulis apa yang dapat Ia bantu, kemudian penulis mengajak Hn berbincang diawali pertanyaan-pertanyaan pembuka seperti sejak kapan dirawat di GS, Hn bercerita bahwa ia hampir empat bulan dirawat di GS. Sikap Hn yang ramah dan terbuka membuat penulis mudah untuk membangun raport (hubungan baik). Dalam perbincangan dengan Hn, penulis mendapatkan informasi bahwa Ia tidak dirawat oleh keluarganya melainkan oleh keluarga pasien lain di Kambuna, diantaranya yaitu istri Jm dan istri Ynt. Hn diangkat atau mengangkat dirinya menjadi ‘Ketua RT’ karena Ia merupakan pasien terlama, kemudian Ia mengangkat istri Ynt menjadi ‘Ibu Lurah’.

Penulis mulai berbincang dengan Ynt dan istri pada saat penulis membagikan kue-kue kecil dalam rangka syukuran bertambahnya umur penulis. Ynt dan istri mengajak penulis berbincang diawali dengan menanyakan umur penulis. Setelah itu perbincangan mengenai latar belakang penulis dan ternyata terdapat beberapa rasa kesamaan, diantaranya yaitu Ynt bekerja dibawah naungan UI, Ynt mengaku berasal dari Solo, dan anak Ynt berasal dari Sekolah Dasar yang

(16)

sama dengan penulis, hanya berbeda dua tingkat, bahkan tetangga penulis adalah teman sekelas dari anak Ynt. Adanya rasa kesamaan tersebut membuat penulis tidak terlalu sulit untuk membangun raport dengan Ynt dan keluarga.

Tempat tidur Ynt berdekatan dengan tempat tidur Al, kedua tempat tidur ini tersekat oleh papan sehingga Ynt tidak dapat langsung melihat ruang rawat Kambuna yang lebih luas. Ruangan yang tersekat ini terdapat tiga tempat tidur, yaitu tempat tidur Ynt, Al, dan tidak ada yang menempatinya. Jika penulis datang berkunjung dan berbincang dengan Ynt dan istri, secara tidak langsung pun penulis berbincang dengan Al dan istri sehingga raport tidak terlalu sulit untuk dibangun, sedangkan tempat tidur Jm berada didepan tempat tidur Hn, sehingga pembangunan raport antara penulis dengan Jm dan istri hampir sama halnya dengan Al.

Penulis melakukan wawancara sambil lalu dengan keluarga atau kerabat pasien untuk mengetahui hal-hal seputar pasien seperti, penyebab kecelakaan, sudah berapa lama dirawat, bertempat tinggal dimana, alasan mengapa pasien dirawat di Guru Singa bukan di tempat pengobatan yang lain, serta mengetahui pengobatan Guru Singa dari siapa dan sejak kapan. Pertanyaan-pertanyaan dalam rangka wawancara sambil lalu itu dimaksudkan untuk mengetahui alasan pasien dibawa ke Guru Singa serta bagaimana keluarga atau kerabat dari pasien tersebut mengetahui pengobatan tradisional Guru Singa ini.

Selain pengobat, anak dari pendiri pengobatan, pasien dan keluarga pasien, penulis juga mewawancarai pihak-pihak yang terlibat dalam pengobatan seperti dokter dan perawat, serta penulis mewawancarai pihak-pihak yang mendukung dalam pengobatan ini seperti Padli yang bertugas sebagai petugas administrasi, Imas dan Yanti yang bertugas sebagai petugas dapur, Piter dan Maman yang bertugas sebagai petugas lapangan, serta Icem yang bertugas sebagai penjaga pasien.

1.6.3.2. Pengamatan

Sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau

(17)

dipahami oleh para warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk dalam pengertian metode pengamatan terlibat adalah wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya (Suparlan 1994:6).

Penulis melakukan pengamatan lokasi penelitian, kondisi lingkungan fisik GS, serta untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara mendalam seperti untuk melihat apa yang dilakukan oleh para pengobat dalam melakukan pengobatan terhadap para pasiennya, serta untuk melihat kesesuaian antara yang dikatakan dengan yang terjadi di lapangan. Pada pengamatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses pengobatan yang dilakukan para pengobat serta interaksi yang terjadi. Penulis melakukan pengamatan tidak hanya di ruang pengobatan, dan ruang perawatan saja, tetapi juga di luar ruangan tersebut seperti di dapur, di lapangan parkir, di warung makan yang berada di wilayah GS. Pengamatan di ruang rawat penulis lakukan pada saat tim pengobat berkeliling dari suatu ruang rawat ke ruang rawat yang lain.

1.6.3.3. Tinjauan Pustaka

Penulis menggunakan data yang didapatkan dari buku-buku, laporan-laporan hasil penelitian sebelumnya, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, sebagai langkah awal untuk memulai penelitian serta untuk mendapatkan pengetahuan mengenai pengobatan tradisional khususnya pengobatan tradisional patah tulang.

1.6.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Pengobatan Patah Tulang Guru Singa Jl. Pondok Kelapa Raya Rt.001/02 No.37 Kelurahan Pondok Kopi Jakarta Timur.

1.7 Kendala Penelitian

Walaupun penulis tinggal di GS tetapi tidak sepenuhnya waktu penulis habiskan untuk penelitian ini karena pada saat yang bersamaan pula penulis sedang terlibat dalam suatu kegiatan, selain itu penulis terkadang pulang ke rumah tidak menginap di GS. Penulis menyadari berbagai kendala yang penulis temui

(18)

dalam penelitian ini, diantaranya yaitu pada saat penentuan informan. Dana dapat dijadikan informan karena ia adalah anak dari Ngulih sekaligus menjadi pimpinan GS saat ini, akan tetapi Dana kurang dapat menjelaskan jawaban-jawaban yang penulis tanyakan, salah satu contohnya pada saat penulis bertanya mengenai pantangan pasien kemudian Dana memberitahu mengenai dua hal yang harus dipantang pasien, tetapi Dana tidak menjelaskan mengapa dua hal tersebut menjadi pantangan. Informasi dari para pengobat menjelaskan bahwa baik Dana, Kencana, maupun Sri (anak-anak Ngulih) kurang begitu terlibat dalam pengobatan pada saat Ngulih masih hidup, sehingga seperti yang sudah penulis tuliskan di atas yaitu jawaban-jawaban Dana kurang dapat menjelaskan, walaupun begitu Dana tetap dijadikan informan. Kencana juga penulis jadikan informan karena ia merupakan anak Ngulih yang juga menjadi pengobat. Selain Dana dan Kencana, penulis mendapatkan informasi dari para pengobat baik dengan wawancara yang berpedoman maupun wawancara tidak berpedoman. Hanya tiga orang pengobat yang bersedia suaranya direkam saat wawancara, itu pun hanya satu orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara formal dalam arti pengobat tersebut bersedia untuk duduk, diwawancarai dengan pedoman, dan suaranya direkam. Dua orang pengobat lain yang bersedia suaranya direkam sembari melakukan kegiatan seperti dalam pembuatan minyak, itu pun tanpa pedoman. Penulis mendapatkan informasi dari para pengobat yang lain yaitu dengan wawancara tidak berpedoman yang seolah hanya perbincangan biasa. Pada umumnya para pengobat bersikap sangat ramah dan bersahabat akan tetapi untuk penulis wawancarai dengan pedoman dan direkam sangatlah sulit, dengan berbagai alasan yang dikemukakan seperti pasien sedang banyak, pengobat sedang letih, pengobat sedang sakit tenggorokan, dan lain sebagainya.

Kendala berikutnya yang penulis alami yaitu pada saat hendak mewawancarai dokter. Dokter pertama yang penulis temui pada awalnya ramah menanggapi penulis, akan tetapi pada saat penulis memperkenalkan diri sebagai mahasiswi FISIP UI yang sedang belajar penelitian untuk tugas skripsi, sikap dokter berubah. Ia beranjak jalan dari tempat penulis menyapanya, kemudian dengan berjalan cukup cepat Ia meminta penulis untuk mewawancarai temannya yang juga dokter di GS dengan alasan Ia disini sebagai dokter pengganti. Sikap

(19)

dokter kedua yang penulis temui tidak jauh berbeda dengan sikap dokter yang pertama, hanya saja pada dokter kedua ini penulis mendapatkan informasi diantaranya yaitu Ia menjadi dokter di GS karena diajak oleh seniornya di Fakultas Kedokteran tempat Ia kuliah. Posisinya pun sama seperti dokter yang pertama yaitu sebagai dokter pengganti, bukan dokter utama di GS sehingga Ia merasa tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan penulis. Dalam perbincangan penulis dengan dokter yang kedua ini penulis tidak diizinkan untuk merekam suaranya, sehingga yang penulis lakukan adalah wawancara tidak berpedoman, ini pun yang dokter ceritakan lebih mengenai kegiatan kesehariannya. Penulis tetap mencoba untuk menemui dokter yang utama, maksudnya ialah bukan dokter pertama dan dokter kedua yang penulis temui karena mereka mengaku sebagai dokter yang menggantikan dokter utama, akan tetapi dokter utama pun sulit untuk ditemui. Dokter datang ke GS pada malam hari sekitar pukul 20.00 atau 21.00 bahkan lebih malam dari itu, kedatangan dokter sangat tidak menentu mengakibatkan penulis sulit untuk menemuinya sehingga penulis kurang mendapat informasi mengenai pihak medis ini.

Informasi dari pihak-pihak yang terlibat serta yang mendukung dalam pengobatan ini penulis dapatkan dengan wawancara tidak berpedoman. Penulis melakukan perbincangan dengan pihak-pihak tersebut seperti petugas dapur, penjaga pasien, dokter, dan lainnya.

Kendala selanjutnya ialah pasien yang penulis jadikan informan. Pasien pertama bersedia diwawancarai dengan pedoman dan suaranya direkam, akan tetapi pada pasien berikutnya penulis melakukan wawancara tidak di rekam sehingga penulis tidak dapat menggunakan kutipan-kutipan dari pembicaraan informan pasien selain dari pasien yang pertama.

1.8 Sistematika penulisan

Penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Bab I berisi latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka konsep, metode penelitian, kendala penelitian dan sistematika penulisan.

(20)

Bab II berisi gambaran umum tentang sejarah pengobatan patah tulang Guru Singa, lokasi pengobatan patah tulang Guru Singa dan pihak-pihak yang mendukung dalam pengobatan patah tulang Guru Singa.

Bab III berisi data temuan lapangan tentang proses pengobatan patah tulang Guru Singa mengenai obat yang digunakan, pantangan pasien, pihak yang terlibat dalam pengobatan patah tulang Guru Singa, pengobatan pada pasien rawat jalan, pengobatan pada pasien rawat inap.

Bab IV berisi analisis dari hasil pengamatan dan wawancara dengan konsep yang digunakan pada penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi seorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial supaya ilmuan memiliki pijakan

Penyajian informasi keuangan sebagai informasi komparatif telah disesuaikan dengan SE BI Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang disa

Dengan demikian sesungguhnya perhatian terhadap kesehatan masyarakat dan upaya mencegah dan menangani wabah penyakit yang beredar di masyarakat Kota Cirebon telah

Penelitian penilaian mengenai pengembangan instrumen telah dilakukan sebelumnya oleh Romika Rahayu di SMP Negeri Kota Semarang (2016) dari kegiatan pra

Tipe fragmen adalah tipe yang paling banyak ditemukan pada batch 1 (pengambilan bulan 1) diikuti dengan fiber lalu film.. Batch 2 (pengambilan bulan 2) tipe fiber yang

Sistem Pertanian-Bioindustri Terpadu merupakan totalitas atau kesatuan kinerja pertanian terpadu yang terdiri dari: (1) Subsistem sumberdaya insani dan IPTEK; (2) Subsistem

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SSB Kabupaten Kudus dapat disimpulkan bahwa: Pembinaan SSB di Kabupaten Kudus belum berkriteria baik

belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya perbedaan