• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON (Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON (Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON

(Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN

PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI

II RAHMAWATI F14060404

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON

(Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN

PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI

II RAHMAWATI F14060404

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca

L.) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis

Bahan Pengisi Nama : Ii Rahmawati

NIM : F14060404

Bogor, Agustus 2010 Menyetujui,

Dosen Pembimbing Akademik

Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE. NIP. 19460501 197301 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknik Pertanian

Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 199103 1 004

Tanggal Lulus :  

(4)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama lengkap Ii Rahmawati dilahirkan di Majalengka pada tanggal 30 Maret 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Rabin dan Ibu Maryati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah di SD Bongas Wetan 2 pada tahun 2000, SMPN 3 Sumberjaya pada tahun 2003, SMAN 1 Jatiwangi pada tahun 2006, dan pada tahun tersebut penulis diterima untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Departemen Teknik Pertanian dengan memilih bagian Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (Himateta), Organisasi Mahasiswa Daerah Majalengka, dan Persatuan Tenis Meja IPB. Penulis juga pernah terlibat sebagai Asisten Praktikum Terpadu Mekanika dan Bahan Teknik pada tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010.

Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktek lapangan di PT Frisian Flag Indonesia dengan judul laporan “Aspek Pegemasan Susu Bubuk di Powder Packing Department PT Frisian Flag Indonesia” dan kemudian mengakhiri masa studinya pada program sarjana dengan melakukan penelitian yang berjudul “Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L.) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi”

(5)

Ii Rahmawati. F14060404. Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L.) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi. Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE. 2010.

RINGKASAN

Secara umum produk hortikultura sangat mudah menurun kualitas maupun kuantitas sejak panen hingga sampai ke tangan konsumen. Namun, penurunan kualitas maupun kuantitas produk dapat diminimalisir dengan penanganan pascapanen yang baik, salah satunya adalah proses pengemasan dan transportasi agar dapat melindungi dan mempertahankan mutu produk.

Pisang merupakan salah satu buah-buahan tropis yang memiliki nilai komersil tinggi. Namun, terkadang di pasaran pisang mendapat perlakuan yang kurang sesuai sehingga nilainya pun menjadi rendah.

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan pengisi kemasan dan cara penataan dalam usaha meningkatkan kinerja pengemasan buah pisang kuning sehingga dapat mengurangi tingkat kerusakan mekanis yang terjadi selama transportasi.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB selama 1 bulan (April-Mei 2010). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya pisang ambon kuning, kemasan karton bergelombang tipe

Regular Slotted Container (RSC) dengan tipe flute B/C, bahan pengisi kemasan

berupa potongan kertas dan daun serta pelepah pisang. Peralatan yang digunakan meja simulator, timbangan Mettler, Rheometer, Refrigerator, dan Refraktometer.

Pisang ambon dikemas ke dalam kemasan kardus dengan bobot masing-masing 15 kg disertai bahan pengisi berbeda yaitu kardus dengan tanpa bahan pengisi, potongan kertas, serta pelepah dan daun pisang. Setelah pisang dikemas, dilakukan simulasi transportasi sebanyak 3 kali ulangan dengan amplitudo rata-rata 3.23 cm dan frekuensi 3.27 Hz yang setara dengan perjalanan luar kota 223.32 km. Trek tersebut maksimum setara dengan perjalanan darat dari salah satu daerah penghasil pisang Purwakarta ke Pelabuhan Merak.

Setelah dilakukan simulasi transportasi, dilakukan pengamatan tingkat kerusakan mekanis. Didapatkan tingkat kerusakan tertinggi dialami pisang dalam kardus tanpa bahan pengisi dengan posisi terlentang sebesar 6.22%, sedangkan kerusakan terendah dialami oleh pisang dalam kardus dengan bahan pengisi potongan kertas dan posisi telungkup.

Pisang yang telah diamati kerusakan mekanisnya disimpan pada 3 suhu berbeda yaitu 10ºC, 15ºC dan 27ºC. Selama masa penyimpanan dilakukan kegiatan pengamatan susut bobot, tingkat kekerasan, total padatan terlarut, dan perubahan warna pisang. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui kelayakan penerimaan konsumen ketika pada kulit pisang telah terdapat bintik-bintik kecoklatan dan hal ini terjadi pada waktu yang tidak bersamaan pada masing-masing suhu.

(6)

Warna pisang berubah dari hijau menjadi kuning hingga oranye selama masa penyimpanan. Perubahan warna tersebut pada penelitian ini dijadikan indikator masa simpan yang berbeda-beda pada setiap suhu, yaitu: suhu 10ºC = 4 minggu, 15ºC = 2-3 minggu, dan 27ºC = 6 hari.

Dari hasil pengamatan yang diuji statistik menggunakan SAS 9.1 diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan bahan pengisi, penataan, suhu serta waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap sifat fisik dan kimia pisang seperti susut bobot, tingkat kekerasan, kandungan total padatan terlarut, dan perubahan warna.

Penurunan bobot yang dialami oleh pisang berturut-turut dilihat dari nilai tertinggi setelah penyimpanan 6 hari adalah pisang yang disimpan pada suhu 10ºC dengan bahan pengisi pelepah dan daun pisang sebesar 24.56 gram, 15ºC dengan bahan pengisi kertas sebesar 35 gram, dan suhu 27ºC dengan bahan pengisi kertas sebesar 62.22 gram.

Diakhir masa penyimpanan, kekerasan tertinggi dialami oleh pisang yang disimpan dalam kardus tidak berbahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 10ºC sebesar 14.64 N. Sedangkan kekerasan terendah dialami oleh pisang yang disimpan pada suhu 27ºC tanpa bahan pengisi dan posisi terlentang sebesar 6.44 N.

Perubahan warna dan peningkatan total padatan terlarut yang relatif lebih lambat terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC tanpa bahan pengisi sebesar 2.7 skala, sedangkan sebaliknya terjadi pada pisang yang disimpan di suhu 27ºC tanpa bahan pengisi sebesar 5.25 skala.

Kata kunci: Pengemasan, pisang ambon, transportasi, penataan posisi pisang, bahan pengisi

(7)

Ii Rahmawati. F14060404. Increase Performance of Ambon Banana’s (Musa Paradisiaca L.) Packaging During Transportation with Arrangement of Banana Position and Packaging Filler Material. Under guidance: Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE. 2010.

ABSTRACT

This study specifically aims to determine the effect of the use of filler materials packaging and how an effort to improve the performance of a ambon banana’s packaging so it can reduce mechanical damage during transportation.

Materials used in this study include yellow banana, corrugated cardboard Regular Slotted Container (RSC) with the flute type B / C, packaging filler materials such as paper cuts and leaf and stem of a banana. Equipment used are simulator tables, scales Mettler, Rheometer, Refrigerator, and Refractometer.

Bananas are packed into cardboard packaging with a weight of 15 kg each with different filler, paper cuts. After the bananas are packed, carried out simulations of transport as many as three replicates with an average amplitude 3,23 cm and frequency 3,27 Hz which is equivalent to 223,32 km out of town trips. Maximum equivalent to the track overland journey from one of Purwakarta to Merak.

After the simulation of transportation, highest level of mechanical damage were banana in a box without filler materials with the supine position at 6,22%, while the lowest damage were banana in a cardboard box with filler and paper cuts.

Bananas stored mechanical damage was observed at three different temperatures, there are 10ºC, 15ºC and 27ºC. Banana color changed from green to yellow to orange during storage. The color change indicator in this study the different savings at each temperature, there are 10ºC = 4 weeks, 15ºC = 2-3 weeks and 27ºC = 6 days. Result of observations were tested using SAS 9.1 that the use of filler material, arrangement, temperature and storage time significantly affected the physical and chemical properties of banana such as weight loss, hardness, total solids content, and color changes.

Decrease in weight experienced by banana row views from the highest score after six days of storage are stored at a temperature of banana 10ºC with filler and banana leaf midrib of 24,56 grams, 15ºC with filler paper for 35 grams, and temperature with filler 27ºC amounted to 62,22 grams of paper.

At the end of the storage period, the highest of violence experienced by the banana is not stored in boxes made from filler with supine position at a temperature 10ºC=14,64 N. While the lowest violence experienced by the banana which was stored at 27ºC without fillers and supine position at 6,44 N. Changes in color and increased total solids which are relatively more slowly happening in bananas stored at a temperature 10ºC without filler at 7,2 scale, while the opposite happens in a banana that is stored at temperatures 27ºC without filler at 5,25 scale.

Keywords: Packaging, bananas, transportation, arrangement of banana position, fillers

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi” ini dengan lancar.

Pada kesempatan ini penulis ingin megucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku dosen penguji skripsi.

3. Bapak Sulyaden selaku teknisi Laboratorium TPPHP.

4. Keluarga Bapak Daya yang telah membantu penyediaan pisang ambon.

5. Ilham, Helena, Anicha, Aprileni, Arif, Eni, Mery, Samuel, Hari, Frans, Didah, Ines, Hilda, Ardi, dan Fahri yang telah membantu dalam kegiatan penelitian di laboratorium.

6. Kedua orang tua dan adik yang telah memberikan dukungan moril.

7. Pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam kegiatan penelitian maupun penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

(9)

DAFTAR ISI

halaman DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR ... 13 DAFTAR LAMPIRAN ... 15 I. PENDAHULUAN ... 16 A. Latar Belakang ... 16 B. Tujuan ... 18 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19 A. Pisang ... 19 B. Pengemasan ... 22 C. Kerusakan Mekanis ... 24 D. Bahan Pengisi ... 25 E.    Penyimpanan Dingin ... 26 F.   Transportasi ... 27 III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29 A. Waktu dan Tempat ... 29 B. Bahan dan Alat ... 29 C. Prosedur Penelitian ... 29 D. Pengamatan ... 32 E. Rancangan Percobaan ... 37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40 A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning ... 40 B. Tingkat Kerusakan Mekanis ... 42 C. Susut Bobot ... 44 D. Kekerasan ... 47 E. Perubahan Warna ... 49 F. Total Padatan Terlarut (TPT) ... 52 G. Uji Organoleptik ... 54 H. Masa Simpan Pisang ... 56 I. Kesetaraan Simulasi Transportasi ... 57 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59 A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 59

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN ... 64

(11)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Produksi pisang nasional tahun 2002-2005 ... 1 Tabel 2 Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang ... 6 Tabel 3 Rekomendasi temperatur, kelembapan, daya simpan terhadap

jenis buah pisang ... 11 Tabel 4 Tingkat warna pada Color Plate Loesecke ... 20 Tabel 5 Konversi frekuensi dan amplitudo meja simulator selama

simulasi transportasi terhadap jarak tempuh (panjang jalan) ... 40  

(12)

DAFTAR GAMBAR halaman Gambar 1  Contoh kemasan kardus untuk pengemasan pisang cavendish ... 28 Gambar 2  Pisang yang diujikan ... 29 Gambar 3  Kardus yang digunakan ... 30 Gambar 4  Diagram alir penelitian ... 32 Gambar 5  Pengukuran kekerasan pisang dengan Rheometer CR‐300DX ... 34 Gambar 6  Posisi penusukan jarum Rheometer untuk mengukur kekerasan ... 34 Gambar 7  Pengukuran kadar total padatan terlarut dengan Refraktometer  N‐Atago ... 35 Gambar 8  Kardus tipe RSC yang digunakan ... 40

Gambar 9  Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang dengan bahan pengisi kertas (kiri) serta pelepah dan daun pisang (kanan) ... 41

Gambar 10  Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang tanpa bahan pengisi ... 41

Gambar 11  Penataan pisang telungkup (kiri) dan terlentang (kanan) ... 41

Gambar 12  Jenis-jenis kerusakan pada pisang setelah penyimpanan selama 6 hari pada suhu ruang ... 42

Gambar 13  Grafik persentase kerusakan pisang setelah simulasi transportasi .. 43 Gambar 14  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu 10ºC ... 45 Gambar 15  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu 15ºC ... 45 Gambar 16  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu ruang (27ºC) ... 46 Gambar 17  Pisang yang terkena chilling injury (kiri) dan kulit kehitaman  karena kerusakan mekanis (kanan) ... 51 Gambar 18  Daging buah pisang dengan warna kulit buah oranye berbintik  cokelat ... 51 Gambar 19  Jamur yang tumbuh pada bonggol (kiri) dan kulit (kanan) pisang .... 53 Gambar 20  Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu  ruang ... 55 Gambar 21  Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu  15ºC ... 56

(13)

Gambar 22  Pisang dalam kemasan kardus dengan tanpa bahan pengisi (kiri),  bahan pengisi potongan kertas (tengah) dan bahan pengisi 

(14)

DAFTAR LAMPIRAN   halaman Lampiran 1  Konversi angkutan truk berdasarkan data lembaga uji  kontruksi BPPT 1986 (Soedibyo 1992 dalam Hasiholan 2008) ... 65 Lampiran 2  Warna kulit pisang yang dicocokkan pada color plate (Loesecke) ... 49 Lampiran 3  Hasil Olah Data SAS ... 70 Lampiran 4  Data kekerasan ... 705 Lampiran 5  Data total padatan terlarut ... 70 Lampiran 6  Data perubahan warna ... 70 Lampiran 7  Data kerusakan selama penyimpanan ... 61

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari tahun ke tahun, produksi pisang di dunia terus meningkat hingga tahun 2005 produksi pisang mencapai 72.5 juta ton. Hal ini dikarenakan banyak penduduk dunia yang mengkonsumsi pisang. Menurut FAO 2005, Indonesia menyumbang sebesar 6.2 % permintaan pisang di dunia. Berikut ini adalah data produksi pisang di Indonesia.

Tabel 1 Produksi pisang nasional tahun 2002-2005

Tahun Produksi pisang (ton)

2002 2003 2004 2005 4 384 384 4 177 155 4 874 439 5 177 607 Sumber: http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/index.html 

Secara umum produksi pisang di Indonesia meningkat setiap tahunnya meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2003. Namun, peningkatan produksi tersebut baru pada aspek kuantitas belum diimbangi dengan peningkatan kualitas pasca panen pisang. Pada sektor pasca panen buah secara umum, terdapat susut yang berkisar antara 5-25% (Santoso dan Purwoko, 2005).

Indonesia, Brazil, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Kribia, Hawaii, serta Negara-negara di Afrika seperti Pantai Gading, Pulau Kanari, dan Uganda merupakan Negara-negara yang dikenal sebagai penghasil pisang di dunia. Sentra pisang di Indonesia tersebar di daerah-daerah seperti Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Serang); Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat dan Pemalang); Jawa Timur (Banyuwangi dan Malang);

(16)

Sumatera Utara (Padang sidempuan, Natal, Samosir, dan Tarutung); Sumatera Barat; Sumatera Selatan; Lampung; Kalimantan; Sulawesi; Bali serta Nusa Tenggara.

Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga memproduksi pisang untuk ekspor. Salah satu jenis pisang yang digemari adalah jenis pisang ambon putih atau yang lebih dikenal dengan nama pisang

Cavendish. Pisang ini umumnya dijumpai di supermarket untuk disajikan

sebagai buah meja.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, permintaan terhadap buah pun terus meningkat khususnya pisang, maka diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas produk selain dari teknik budidaya yang terus dikembangkan dengan teknologi kultur jaringan dan sebagainya. Saluran distribusi produk pertanian khususnya buah-buahan dan sayuran memiliki rantai yang panjang sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas suatu komoditas (Peleg, 1985).

Selama ini, pisang diperdagangkan dalam keadaan segar dan ditransportasikan masih melekat pada tandannya. Namun terkadang pisang ditumpuk tidak teratur dalam truk pengangkut berkapasitas 11 ton. Itulah sebabnya buah pisang dibagian terbawah menahan beban buah diatasnya sehingga buah memar dan susut dapat mencapai 15% (Sunarjono, 1999), dan 20-30% (anonim). Akibatnya kualitas pisang yang mampu dihasilkan oleh petani tergolong rendah (kualitas III) dan hal ini berakibat pada nilai jual pisang dipasar yang rendah dan bila sudah matang.

Penanganan pascapanen secara konvensional dilakukan dengan cara tandan pisang ditutupi dengan daun pisang kering untuk mengurangi penguapan dan diangkut ke tempat pemasaran dengan menggunakan kendaraan terbuka/tertutup. Untuk pengiriman ke luar negeri, sisir pisang dilepaskan dari tandannya kemudian dipilah-pilah berdasarkan ukurannya. Pengepakan dilakukan dengan menggunakan wadah karton. Sisir buah pisang

(17)

dimasukkan ke dalam kardus dengan posisi telungkup dalam dua lapisan. Sebaiknya luka potongan diujung sisir buah pisang disucihamakan untuk menghindari pembusukan.

Oleh karena itu, diperlukan perbaikan cara pengemasan pisang yang sudah ada seperti wadah yang dapat menahan guncangan dan bahaya lain yang mungkin terjadi selama transportasi seminimal mungkin. Dalam hal ini akan diuji pengemasan pisang menggunakan kardus, bahan pengisi dan penataan yang berbeda.

B. Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menentukan teknik pengemasan yang baik untuk pengangkutan buah pisang. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui jumlah kerusakan mekanis yang dialami pisang dalam setiap kemasan dengan perlakuan berbeda setelah simulasi transportasi.

2. Mengetahui perubahan kualitas pisang (susut bobot, warna, kekerasan, total padatan terlarut) selama masa simpan.

3. Membandingkan kualitas pisang (susut bobot, warna, kekerasan, total padatan terlarut) dari 6 kemasan dengan perlakuan berbeda setelah simulasi transportasi.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang.

Lokasi penanaman pisang yang baik menurut syarat agronomis dan agroklimat tanamannya, yaitu dataran rendah tropis basah, ketinggian 100-700 m dpl, suhu udara 22-32˚C, tidak terdapat angin kencang, subur, dan ada sumber pengairan pada saat musim kemarau.

Klasifikasi botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Musaceae Genus : Musa

Menurut teori genetika, pisang budidaya pada masa sekarang dianggap merupakan keturunan dari Musa acuminata yang diploid dan tumbuh liar. Genom yang disumbangkan diberi simbol A. Persilangan alami dengan Musa balbisiana memasukkan genom baru, disebut B, dan menyebabkan bervariasinya jenis-jenis pisang. Pengaruh genom B terutama terlihat pada kandungan tepung pada buah yang lebih tinggi. Secara umum, genom A menyumbang karakter ke arah buah meja (banana), sementara genom B ke arah buah pisang olah/masak (plantain). Hibrida M. acuminata dengan M. balbisiana ini dikenal sebagai M. ×paradisiaca. Khusus untuk Kelompok AAB, nama Musa sapientum pernah digunakan.

Mengikuti anjuran Simmonds dan Shepherd yang karyanya diterbitkan pada tahun 1955, klasifikasi pisang budidaya sekarang menggunakan nama-nama kombinasi genom ini sebagai nama kelompok budidaya (cultivar group). Sebagai

(19)

contoh, untuk pisang 'Cavendish', disebut sebagai Musa (AAA group Dessert subgroup) 'Cavendish'. Di bawah kelompok masih dimungkinkan pembagian dalam anak-kelompok (subgroup).

Adapun karakteristik dari beberapa varietas pisang ambon adalah sebagai berikut:

a. Pisang ambon kuning

Tinggi batang 2.5 – 3.5 m dengan warna hijau muda. Daunnya hijau tua. Panjang tandan 60 – 80 cm dan beratnya 15 – 30 kg per tandan. Setiap tandan terdiri dari 8 - 12 sisiran dan setiap sisiran ada 15 – 22 buah. Daging buah berwarna kuning muda, berasa manis, dan bertekstur lunak. Kulit buah agak tebal dengan warna saat matang adalah kuning. Umur panen 3 – 3.5 bulan sejak keluar jantung.

b. Pisang ambon lumut

Tinggi batang 2.5 – 3 m dengan warna hijau kemerahan berbintik hitam. Daunnya hijau tua. Panjang tandan 48 – 60 cm dan beratnya 15 – 30 kg per tandan. Setiap tandan terdiri dari 8 – 12 sisiran dan setiap sisiran terdapat 13 – 22 buah. Daging buah berasa manis, harus agak kenyal, dan berwarna kuning muda. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai oranye. Umur panen 3 – 3.5 bulan sejak keluar jantung.

c. Pisang Cavendish (ambon putih/ambon jepang)

Tinggi batang 2.5 – 3 m dengan warna hijau kehitaman. Daunnya hijau tua. Panjang tandan 60 – 100 cm dengan berat 15 – 30 kg per tandan. Setiap tandan terdiri dari 8 – 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 – 22 buah. Daging buah putih kekuningan, manis dan agak asam, serta lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuninan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 – 3.5 bulan sejak keluar jantung.

Pisang merupakan buah yang mengandung banyak gizi yang diperlukan tubuh, berikut adalah data kandungan gizi pisang.

(20)

Tabel 2 Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang

Kandungan gizi Ambon Raja Raja sere Uli Mas Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (S. I) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (%) 99 1.2 0.2 25.8 8.0 28.0 0.5 146 0.08 3 72 120 1.2 0.2 31.8 10 22 0.8 950 0.06 10 65.8 118 1.2 0.2 31.1 10 22 0.8 112 0 4 67 146 2 0.2 38.2 10 28 0.9 75 0.05 3 59.1 127 1.4 0.2 33.6 7 25 0.8 79 0.09 2 64.2 Sumber : Direktorat Gizi Depkes R. I (1992)

Penentuan waktu panen buah pisang yang tepat akan menghasilkan kualitas yang baik dimana penentuannya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kematangan dan kemasakan buah pisang. Selain itu, kualitas buah pisang yang baik ditentukan juga berdasarkan tingkat ketuaan buah dan penanmpakannya. Tingkat ketuaan buah diukur dari umurnya, sedangkan hasil penampakan tergantung pada penanganan pascapanennya.

Penentuan waktu panen di Indonesia umumnya bukan berdasarkan tingkat ketuaan atau umur petiknya melainkan oleh kebutuhan ekonomi. Akibatnya banyak buah pisang yang dipanen belum sesuai tingkat ketuaannya sehingga pisang yang dihasilkan berkualitas rendah.

Keadaan buah pisang untuk dipanen dapat ditentukan dengan beberapa cara antara lain secara visual, fisik, dengan analisis kimia, dengan perhitugan, dan cara fisiologi. Cara visual dapat dilakukan dengan melihat warna kulit, ukuran, masih

(21)

adanya sisa tangkai putik, adanya daun-daun tua dibagian luar yang kering, mengeringnya tubuh tanaman, bentuk buah tampak bulat berisi penuh, dan sudut penampang yang rata. Cara fisik dapat dilakukan dengan melihat dari mudahnya buah terlepas dari tangkai karena terlalu masak atau adanya absisi, ketegaran, dan berat jenis.

Standar kematangan dari pisang berbeda-beda menurut jenis pisang. Buah pisang biasanya tidak dibiarkan matang dipohon. Hal ini disebabkan karena buah pisang dibiarkan matang dipohon akan memiliki citarasa yang rendah dan mempunyai tendensi rontok dari pohon sebelum atau sewaktu panen. Karena itu, pisang dipanen pada waktu masih hijau tapi sudah cukup tua (Winarno, 1990).

Pada umur 1 tahun rata-rata pisang sudah berbuah. Saat panen ditentukan oleh umur buah dan bentuk buah. Ciri khas panen adalah mengeringnya daun bendera. Buah yang cukup umur untuk dipanen berumur 80-100 hari dengan siku-siku buah yang masih jelas sampai hampir bulat. Penentuan umur panen harus didasarkan pada jumlah waktu yang diperlukan untuk pengangkutan buah ke daerah penjualan sehingga buah tidak terlalu matang saat sampai di tangan konsumen. Sedikitnya buah pisang masih tahan disimpan 10 hari setelah diterima konsumen.

Buah pisang dipanen bersama-sama dengan tandannya. Panjang tandan yang diambil adalah 30 cm dari pangkal sisir paling atas. Gunakan pisau yang tajam dan bersih waktu memotong tandan. Tandan pisang disimpan dalam posisi terbalik supaya getah dari bekas potongan menetes ke bawah tanpa mengotori buah. Belum ada standar produksi pisang di Indonesia, di sentra pisang dunia produksi 28 ton/ha/tahun hanya ekonomis untuk perkebunan skala rumah tangga. Untuk perkebunan kecil (10-30 ha) dan perkebunan besar (> 30 ha), produksi yang ekonomis harus mencapai sedikitnya 46 ton/ha/tahun.

B. Pengemasan

Pengemasan (Packing) dalam hal ini pengemasan buah adalah upaya meletakkan buah-buah ke dalam suatu wadah yang cocok dan lingkungan yang mampu mendukung aktivitas buah tersebut setelah dipanen sehingga dapat meminimalisir kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi maupun biologis selama

(22)

transportasi dan penyimpanan sebelum sampai ke tangan konsumen. Berkenaan dengan tujuan dari pengemasan, kemasan yang digunakan untuk pengangkutan buah-buahan haruslah dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta efisien.

Menurut Satuhu 2004 dalam Hasiholan 2008, bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Kemasan langsung

Yakni kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas, Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan daun.

2. Kemasan tidak langsung

Merupakan kemasan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah kedua dimasukkan untuk melindungi bahan dari kekuatan fisik dan mekanis terutama untuk memudahkan pengaturan dalam gudang penyimpanan, dan distribusi serta memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang bambu.

Salah satu jenis kemasan yang biasa dipergunakan dalam proses pengangkutan adalah kardus karton. Kemasan kardus karton dibuat dari karton bergelombang yang terdiri dari kertas linier yang merupakan kertas pelapis luar dan kertas medium, yaitu kertas yang digunakan sebagai lapisan bergelombang. Keduanya kemudian direkatkan didalam mesin corrugators, yaitu mesin penggelombang kertas. Kemasan ini mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 1. Mempunyai bobot yang lebih ringan untuk material yang mempunyai kekuatan

yang sama dan biaya yang lebih murah. 2. Mempunyai permukaan yang halus

3. Mempunyai sifat meredam getaran yang baik. 4. Mudah untuk disetak dan diberi label.

5. Mudah untuk dirakit dan dibongkar dalam penyimpanan. 6. Mudah didaur ulang dan dapat digunakan kembali.

(23)

Kekurangan dari kemasan ini adalah kekuatannya akan berkurang pada kondisi udara yang lembab (Peleg 1985 dalam Muthmainnah 2008).

Tinggi susunan komoditas dalam kemasan tergantung pada kecepatan respirasi komoditas. Bila susunannya terlalu padat dan tebal maka bagian tengah akan menjadi lebih panas akibat respirasi yang tidak dapat keluar. Soedibjo (1985) menyatakan bahwa yang terpenting dalam penyusunan bahan di dalam kemasan adalah penyusunan lapisan dasar yang baik, dengan demikian lapisan berikutnya akan mudah dikerjakan.

C. Kerusakan Mekanis

Bahan hasil pertanian seperti sayuran dan buah-buahan merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan. Salah satu masalah utama lepas panen adalah kerusakan mekanis yang diakibatkan oleh pengangkutan yang dapat terjadi karena adanya benturan antara buah dengan buah, benturan antara buah dengan wadah atau kemasan, gesekan dan himpitan. Penyebab kerusakan mekanis selama pengangkutan antara lain:

a. Isi kemasan terlalu penuh (over packing)

Isi kemasan yang terlalu penuh menyebabkan meningkatnya kerusakan tekan atau kompresi karena adanya tambahan tekanan tutup kemasan.

b. Isi kemasan kurang

Isi kemasan yang kurang menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas. Hal ini disebabkan karena adanya ruang diatas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas akan terlempar-lempar dan saling berbenturan.

c. Kelebihan tumpukan

Tumpukan bahan yang terlalu tinggi didalam kemasan menyebabkan tekanan yang besar pada buah lapisan bawah, sehingga meningkatkan kerusakan kompresi.

Sedangkan penyebab kerusakan mekanis yang biasa terjadi pada bahan dalam kemasan selama pengangkutan, yaitu kerusakan karena tekanan dan kompresi, kerusakan akibat benturan dan kerusakan akibat vibrasi.

(24)

Tinggi susunan komoditas dalam kemasan tergantung pada kecepatan respirasi komoditas. Bila susunannya terlalu padat dan tebal maka bagian tengah akan menjadi lebih panas akibat respirasi yang tidak dapat keluar. Soedibjo (1985) menyatakan bahwa yang terpenting dalam penyusunan bahan di dalam kemasan adalah penyusunan lapisan dasar yang baik, dengan demikian lapisan berikutnya akan mudah dikerjakan.

Menurut Paine dan Paine (1983), beberapa sifat kemasan yang diinginkan untuk distribusi adalah:

a. Sesuai dengan sifat produk yang akan dikemas.

b. Mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertahan dan resiko kerusakan selama pengangkutan dan penyimpanan.

c. Memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi produk tertentu yang memang membutuhkan).

d. Menyediakan informasi yang memungkinkan untuk identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen, dan tujuan pengiriman.

e. Dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku petunjuk secara khusus.

D. Bahan Pengisi

Menurut Syarief et al (1988) bahan pengisi merupakan material yang dijejalkan diantara kelebihan ruang gerak guna menahan gerak barang atau abrasi terhadap isi ruang. Bahan pengisi digunakan untuk melindungi barang selama distribusi dan penyimpanan. Kertas yang dicabik-cabik kecil merupakan bahan pengisi yang jelek kualitasnya karena kurang sifat anti getarannya dan tidak tahan air, tetapi bahan pengisi jenis ini memiliki beberpa keuntungan antara lain mudah didapatkan dan murah.

Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa bahaya berupa mekanis, lingkungan atau biologis. Buah didalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan. Untuk mengurangi efek tersebut pada produk, kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada

(25)

pada setiap bagian dan memberikan bantalan (Burdon 1994 dalam Hasiholan 2008).

E. Penyimpanan Dingin

Penyimpanan buah adalah kegiatan untuk memperpanjang ketersediannya sampai kepada konsumen. Untuk memperoleh buah yang berada dalam keadaan segar, maka penyimpanan buah yang kondusif sangatlah diperlukan. Salah satu faktor penting dalam penyimpanan buah adalah suhu penyimpanan.

Menurut Santoso dan Purwoko (1995), penyimpanan dingin dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Mempertahankan aktivitas biologi yang rendah dari produk pada suhu rendah. Suhu tersebut dipertahankan pada tingkat tertentu yang tidak akan menyebabkan pembekuan atau chilling injury dan melalui pengendalian komposisi atmosfer.

b. Memperlambat pertumbuhan mikroorganisme dengan mempertahankan terperatur rendah dan meminimalisasi kelembapan permukaan sekitar produk. c. Mengurangi pengeringan produk melalui memperkecil perbedaan selisih

termperatur antara produk dan udara, serta mempertahankan kelembapan yang tinggi dalam ruang penyimpanan.

Penyimpanan yang umumnya dilakukan adalah penyimpanan suhu rendah, dimana suhu diset diatas titik beku sehingga tidak membeku dan daya simpannya lebih lama. Suhu rendah ini biasanya diikuti dengan kelembaban nisbi yang optimum agar produk tidak mengalami kekeringan. Berikut ini adalah rekomendasi kondisi penyimpanan yang optimum untuk penyimpanan beberapa jenis buah.

Tabel 3 Rekomendasi temperatur, kelembapan, daya simpan terhadap jenis buah pisang

Jenis buah Temperatur ( F) Kelembapan (%) Daya simpan

(minggu)

(26)

Latundam matang Cavendish hijau Cavendish matang Jeruk Jambu Pepaya Rambutan 55-58 55-58 55 48-50 47-50 50 50 85-90 85-90 85-90 90 85-90 85-90 85-90 1 3-4 1 2 2-5 3 1-2.5 Sumber: Santoso dan Purwoko (1995)

Proses pematangan pisang yang dilakukan pada kisaran suhu 13.9-32.2 C berpengaruh terhadap kualitas, tingkat pembentukan kulit luar, kesegaran, kekerasan daging buah, dan kehilangan berat. Menurut Sjaifullah dan Haryadi (1996) pemeraman pada kondisi dingin rata-rata dapat memperbaiki kualitas rasa buah.

Menurut Sjaifullah et. a.l, (1996) dari aspek penyimpanan didaerah tropis diperoleh kondisi optimum, baik untuk buah pisang tua hijau maupun matang pada suhu 14-15 C dengan RH 85-90%. Chilling injury akan terjadi bila suhu penyimpanan buah dibawah 14 C, tapi ada referensi lain menyebutkan chilling

injury akan terjadi bila penyimpanan dilakukan dibawah suhu 12 C. Level

kelembapan dalam kamar pemeraman sangat dibutuhkan terutama pada tahap awal proses kematangan buah terutama untuk menekan efek buruk dari proses evaporasi. Kelembapan yang rendah dibawah 85% akan menyebabkan kualitas kulit buah rendah pula. Disamping pengaruh terhadap susut bobot, tekstur, dan kepekaan terhadap gejala chilling injury (Syaifullah e.t al. 1996).

F. Transportasi

Transportasi merupakan kegiatan penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi produk. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi jalan yang dilalui kendaraan transportasi. Pada umumnya kondisi jalan sebenarnya tidaklah rata. Hal ini menyebabkan produk mengalami guncangan yang besarnya tergantung pada kondisi jalan. Tingkat ketidakrataan ini disebut

(27)

amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan yang disebut frekuensi.

Kondisi transportasi yang buruk dan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan penurunan kualitas produk dari segi kuantitas dan kualitas. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan meningkatkan performa/modifikasi pengemasan.

Gambar 1 Contoh kemasan kardus untuk pengemasan pisang cavendish Yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan jalan luar kota adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu. Jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding dengan jalan diluar kota, maupun dengan jalan buruk aspal dan jalan buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan (Darmawati, 1994)

(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2010. Tempat pelaksaan penelitian adalah di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan yang digunakan adalah pisang ambon kuning dengan kriteria matang berumur 90-100 hari dan kelas mutu A dimana kerusakan hanya berupa goresan yang telah mongering dan jumlahnya tidak lebih dari 5%, diambil langsung dari petani sekitar Desa Cinangneng, Bogor untuk menghindari banyaknya susut sebelum pengujian. Bahan lain yang digunakan untuk bahan pengisi kemasan seperti kertas koran, plastik, pelepah dan daun pisang. Peti kemas yang akan digunakan adalah kardus (kotak karton) berkapasitas 15 kg.

Gambar 2 Pisang yang akan diujikan 2. Alat

Peralatan yang akan digunakan adalah meja simulator, timbangan, Rheometer untuk mengukur tingkat kekerasan, Refraktometer untuk mengukur padatan total terlarut, gunting, pisau dan selotip.

(29)

1. Pisang ambon kuning yang telah diperoleh dari petani dibersihkan, dipisahkan dari tandannya menggunakan pisau menjadi bentuk sisiran-sisiran, kemudian disortasi sehingga pisang yang cacat tidak digunakan untuk penelitian. Pisang dengan bobot 15 kg kemudian dimasukkan ke dalam kardus sehingga dalam satu kardus berisi 6-9 sisir pisang ambon tergantung dari berat masing-masing sisiran pisang dengan 2-3 tumpukan. Terdapat 15 buah kardus yang akan diisi oleh pisang. Sebelumnya kardus dilubangi secukupnya pada bagian depan dan belakang masing 5 buah) serta samping kiri dan kanan (masing-masing 2 buah) berupa lubang kecil berdiameter 5 cm seperti pada gambar untuk keperluan respirasi produk dan untuk mencegah akumulasi etilen didalam kemasan kardus. Sehingga, lubang tersebut berjumlah 14 buah dalam masing-masing kardus. Masing-masing kemasan pisang diberi bahan pengisi yang berbeda (pelepah dan daun pisang, potongan kertas, dan tidak berbahan pengisi) dan ditumpuk berbeda (tertelungkup dan terlentang)

2. Kemasan kardus yang pertama tidak menggunakan bahan pengisi, kardus yang kedua menggunakan bahan pengisi potongan kertas, sedangkan kardus yang ketiga menggunakan bahan pengisi pelepah dan daun pisang kering. Bahan pengisi yang dimasukkan seberat 500 gram.

Gambar 3 Kardus yang digunakan

3. Kemasan kardus tersebut kemudian diletakkan diatas meja simulator dengan dua tumpukan dan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

(30)

4. Simulasi transportasi dilakukan selama 2 jam pada semua (15 buah) kardus, dengan frekuensi (3.27 Hz) dan amplitudo (3.23 cm). Hal ini didasarkan pada kesetaraan alat angkut simulasi truk menggunakan reducer <27 cm. Reducer merupakan instrumen pada alat angkut simulasi yang berbentuk seperti roda dan fungsinya untuk meningkatkan kecepatan.

5. Setelah dilakukan simulasi transportasi, kemudian dilakukan pengamatan dan penghitungan banyaknya pisang yang mengalami kerusakan mekanis.

6. Pisang dari tiap-tiap kemasan (18 kardus) kemudian secara acak diambil 2-3 sisir pisang dan disimpan masing-masing pada suhu 10˚C, 15˚C dan pada suhu ruang. Sehingga diperkirakan total pisang yang akan disimpan pada masing-masing tingkat perlakuan suhu penyimpanan (10˚C, 15˚C dan suhu ruang) adalah 6 kardus berkapasitas 12 kg. Pisang ini akan dijadikan sampel untuk menghitung tingkat kekerasan, warna, total padatan terlarut, dan susut bobot pada penyimpanan setelah hari ke-1 sampai hari ke-10. Perlakuan suhu diatas didasarkan atas suhu penyimpanan yang cocok untuk pisang. Sedangkan waktu penyimpanan didasarkan pada waktu matang buah pisang setelah dipanen adalah 7 – 10 hari.

7. Pengamatan susut bobot, warna, dan kekerasan akan dilakukan setiap 24 jam sekali pada awal penyimpanan, selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali. Setelah pisang disimpan selama seminggu, pengamatan dilakukan setiap 3 hari dan satu minggu.

8. Uji organoleptik dilakukan sebelum pisang dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan terdapat pisang yang busuk.

(31)

  Gambar 4 Diagram alir penelitian

D. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, perubahan tingkat kekerasan, warna dan uji organoleptik.

1. Tingkat Kerusakan Mekanis

Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis pisang dilakukan setelah kegiatan simulasi pengangkutan. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat kerusakan seperti luka gores, memar, dan pecah dari masing-masing kardus.

(32)

Kegiatan pengujian dilakukan secara visual. Lembar pengujian yang digunakan seperti pada tabel berikut.

Tabel 1 Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis UJI TINGKAT KERUSAKAN MEKANIS

Jenis Perlakuan Jumlah

Rusak Jumlah tidak rusak Total Sampel Dalam Satu Kemasan Bahan Pengisi Kertas,

Telungkup

Bahan Pengisi Kertas, Terlentang

Bahan Pengisi Pelepah Pisang, Telungkup Bahan Pengisi Pelepah Pisang, Terlentang Tanpa Bahan Pengisi, Telungkup

Tanpa Bahan Pengisi, Terlentang

Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah sebagai berikut:

2. Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan berdasarkan persentase penurunan bobot bahan setelah simulasi transportasi dan penyimpanan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan Mettler PM-4800. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

(33)

Dimana:

Wo = bobot awal produk (g) Wt = bobot akhir produk (g) 3. Uji Kekerasan

Pengukuran uji kekerasan ini dilakukan sebelum simulasi transportasi sebelum sebagai pendahuluan, setelah simulasi transportasi dan saat masa penyimpanan. Alat yang digunakan untuk mengukur kekerasan produk adalah

Rheometer tipe CR-300DX. Alat ini diset dengan mode 20, beban maksimal

10 kg, kedalamam penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60 mm/m, dan diameter probe (jarum) 5 mm. Pengukuran dilakukan di tiga tempat yaitu bagian ujung, tengah dan pangkal seperti yang ditunjukkan oleh gambar 8.

Gambar 5 Pengukuran kekerasan pisang dengan Rheometer CR-300DX

Gambar 6 Posisi penusukan jarum Rheometer untuk mengukur kekerasan

4. Total Padatan Terlarut

Besarnya total padatan terlarut pada pisang ambon diketahui dengan menggunakan Refraktometer model N-1 Atago. Pengukuran total padatan

(34)

terlarut didapat dari pasta buah pisang tersebut yang kemudian diletakkan pada prisma Refraktometer yang telah dikalibrasi dan dilakukan pembacaan. Sebelum dan setelah pembacaan, prisma Refraktometer dibersihkan dengan aquadesh. Besarnya nilai total padatan terlarut dinyatakan dalam skala ºBrix.

Gambar 7 Pengukuran kadar total padatan terlarut dengan Refraktometer N-Atago

5. Perubahan warna

Parameter yang akan dibedakan adalah warna kulit buah dan bercak/noda yang terdapat pada kulit buah. Warna kulit pisang yang diuji akan dicocokkan pada Color Plate yang dikemukakan Loesecke 1949 dalam Lan 1989.

Tabel 4 Tingkat warna pada Color Plate Loesecke Hari ke Pematangan cepat warna kulit buah Color plate 0 1 2 3 4 5 6-7 8-10 11 Hijau tua Hijau muda Hijau kekuningan Kuning kehijauan Kuning oranye Kuning oranye

Kuning bernoktah cokelat Bercak cokelat melebar Cokelat kehitaman 1 2 3 4 5 6 7 8 - 6. Uji organoleptik

(35)

Uji ini sering disebut sensory evaluation ini adalah pengukuran kualitas bahan makanan melalui kemampuan organ indera manusia secara langsung, Uji dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap buah pisang yang disimpan dalam berbagai suhu. Panelis yang digunakan berjumlah 10 orang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan parameter kekerasan, warna kulit dan daging, rasa, dan aroma produk. Penelitian dilakukan berdasarkan 5 skala, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka).

7. Kesetaraan Simulasi Transportasi

Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini: a. Data vibrator LSV = JLSVT = y x 60 x 60 x f x LSV b. Data truk = JLSTT = z x 60 x 60 x ft x LST

Maka simulasi pengangkutan dengan truk selama x jam :

=

(36)

T = periode meja getar f = frekuensi meja getar

W = kecepatan sudut

LSV = luas satu siklus getaran vibrator y = waktu getar

JLSVT = jumlah luas seluruh getaran vibrator selama y jam = amplitudo rata-rata getaran bak truk

N = jumlah kejadian amplitudo Tt = periode bak truk

ft = frekuensi bak truk

LST = luas satu siklus getaran bak truk z = waktu tempuh truk

JLSTT = jumlah seluruh getaran truk selama z jam

E. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dilakukan dengan software SAS 9.1 yaitu dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan tiga faktor yang dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (DMRT 5%).

Uji statistik diawali dengan analisis ragam untuk melihat interaksi, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan sebagai penentu beda nyata dari hasil perhitungan. Acuan dalam analisis ragam untuk dapat dilanjutkan ke uji Duncan jika:

- P-value 5% maka tidak berbeda nyata/tidak signifikan - P-value 5% maka berbeda nyata/signifikan

Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor A = Bahan Pengisi

Bahan pengisi yang dipakai adalah potongan kertas, pelepah dan daun pisang serta tanpa bahan pengisi.

2. Faktor B = Penataan

(37)

3. Faktor C = Suhu

Suhu yang dipakai untuk penyimpanan adalah 10ºC, 15ºC, dan 27ºC. Model umum dari rancangan percobaan ini adalah:

Yijk = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + Kk

Dimana:

Yijk : Pengamatan pada perlakuan faktor bahan pengisi ke-i, faktor

penataan ke-j, dan faktor suhu ke-k. µ : Nilai rata-rata harapan

αi : Perlakuan pemakaian bahan pengisi ke-i

βj : Perlakuan penataan ke-j

γk : Perlakuan suhu ke-k

(αβ)ij : Interaksi bahan pengisi ke-i dan penataan ke-j

(αγ)ik : Interaksi bahan pengisi ke-i dan suhu ke-k

(βγ)jk : Interaksi posisi penumpukan ke-j dan suhu ke-k

(αβγ)ijk: Pengaruh galat percobaan dari perlakuan pemakaian bahan pengisi

ke-i, penataan ke-j, suhu ke-k Kk : Hari ke-k

Hipotesis yang dipakai adalah faktor bahan pengisi, penataan, suhu dan masa simpan masing-masing berpengaruh terhadap susut bobot, kekerasan, warna, dan total padatan terlarut; termasuk interaksi antara bahan pengisi dan penataan; interaksi antara bahan pengisi dan suhu; interaksi antara penataan dan suhu; interaksi antara bahan pengisi, penataan dan suhu berpengaruh terhadap perubahan warna, kekerasan, susut bobot, dan total padatan terlarut.

(38)
(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning

Pada simulasi transportasi pisang ambon, kemasan yang digunakan adalah kardus/karton dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute dengan tipe flute B/C, dengan tebal 6-7 mm. RSC adalah peti karton yang bergelombang untuk menahan kekuatan tekan. Dimensi ukuran kardus yang digunakan adalah (pxlxt) 540mm x 350mm x 450mm untuk kapasitas 15 kg. Pemilihan ukuran didasarkan pada kapasitas produk yang akan dikemas yaitu seberat 15kg.

Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

Jenis kemasan yang dipilih untuk pengemasan pisang ini didasarkan pada kemasan yang umumnya digunakan untuk transportasi dan distribusi buah-buahan. Kardus yang memiliki flute ganda terlihat lebih kuat dan kokoh serta mampu menahan pengaruh tumpukan yang lebih banyak daripada single flute. Sehingga dapat lebih meredam setiap goncangan yang terjadi selama transportasi.

Kemasan kardus tersebut dikombinasikan dengan dua jenis perlakuan bahan pengisi kemasan dan satu jenis perlakuan tanpa bahan pengisi.

(40)

Gambar 9 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang dengan bahan pengisi kertas (kiri) serta pelepah dan daun pisang (kanan)

Gambar 10 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang tanpa bahan pengisi Dari setiap kemasan kardus, diambil masing-masing 1/3 bagian untuk kemudian disimpan pada tiga suhu yaitu suhu 10 C, 15 C, dan suhu ruang. Percobaan dilakukan masing-masing tiga kali ulangan. Jumlah pisang ambon yang diisikan ke dalam masing-masing kardus sebanyak 15kg.

(41)

B. Tingkat Kerusakan Mekanis

Setelah simulasi transportasi, dilakukan pengamatan terhadap kerusakan mekanis yang terjadi sebagai dampak dari adanya goncangan yang terjadi pada kemasan selama kegiatan simulasi transportasi dilakukan. Pengamatan tingkat kerusakan mekanis dilakukan secara visual pada penampakan luar pisang. Parameter kerusakan pisang yang diamati adalah luka gores, luka memar, dan luka pecah. Seringkali kerusakan tersebut terlihat ketika pisang disimpan.

Berikut ini adalah jenis-jenis kerusakan yang dialami produk:

Luka gores Luka pecah

Luka memar Luka pada daging buah

Gambar 12 Jenis-jenis kerusakan pada pisang setelah penyimpanan selama 6 hari pada suhu ruang

Kerusakan pisang pada masa penyimpanan lebih banyak terjadi pada pisang di suhu 27ºC (dapat dilihat di Lampiran 7) karena respirasi berlangsung lebih cepat dan kerusakan dapat diakibatkan juga karena kegiatan pengamatan, seperti mengangkat pisang hingga terlepas dari bonggolnya dan rusak.

(42)

Kualitas buah pisang dapat dilihat dari 4 aspek. Salah satu aspek tersebut adalah aspek yang dapat dilihat dari luar oleh mata yaitu aspek visual meliputi kesegaran, kerusakan atau cacat buah. Kerusakan mekanis yang dialami masing-masing kemasan digambarkan oleh grafik sebagai berikut:

Gambar 13 Grafik persentase kerusakan pisang setelah simulasi transportasi

Dari Grafik diatas terlihat bahwa kerusakan terbanyak dialami oleh kemasan yang tidak berbahan pengisi dengan posisi menelungkup ke atas (AX) sebanyak 6.22%, sedangkan kemasan tidak berbahan pengisi menelungkup ke bawah (AY) memiliki kerusakan sebesar 4.61%.

Jenis kerusakan yang dialami kemasan dengan perlakuan AX yaitu memar dan goresan pada bagian kulit punggung pisang akibat benturan dengan kemasan kardus. Sedangkan kerusakan yang dialami AY adalah memar dan goresan pada kulit pisang-pisang terpinggir pada bagian sisiran. Kerusakan terkecil dialami oleh kemasan berbahan pengisi kertas dengan posisi menelungkup ke bawah (BY) sebesar 0.4%.

Dari hasil olah data statistik dengan SAS, jenis bahan pengisi berpengaruh terhadap banyaknya kerusakan mekanis yang terjadi, sedangkan pengaruh penataan tidak berpengaruh.

(43)

Pisang jenis ambon kuning akan mudah terlepas dari bonggolnya ketika pisang tersebut memiliki tingkat kematangan yang maksimum. Berbeda halnya dengan pisang jenis ambon lumut yang relatif lebih kuat. Jenis kerusakan yang banyak terjadi adalah jenis luka gores pada tubuh pisang.

C. Susut Bobot

Masing-masing jenis pisang mempunyai kulit yang beragam pula ketebalannya, sehingga beragam pula bagian yang dapat dimakan (bdd), yaitu berkisar 65-85%. Pada bagian buah mentah berat kulit adalah 80% dari berat buah segar, sedang pada buah pisang matang menurun menjadi 40% dan pada kedaan lewat matang menjadi sekitar 33% (Soedarmo dan Sediaoetama 1985 dalam Lan 1989).

Ketika buah telah dipetik, kandungan air buah akan berkurang karena proses transpirasi. Transpirasi adalah penguapan air dalam sel, baik stomata, lenti sel maupun retakan pada kutikula. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan relatif besar, maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena kerusakan yang dialami buah mengakibatkan buah kehilangan pelindung alami yang dapat meminimalisir proses transpirasi sehingga transpirasi akan berlangsung lebih cepat.

Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin tinggi pula laju penurunan bobot. Proses respirasi dan transpirasi gas yang dihasilkan seperti karbon akan menguap bersama air transpirasi menyebabkan susut bobot.

a. Suhu 10 C

Susut bobot diamati dengan menghitung bobot produk sebelum dan setelah pengamatan. Grafik penurunan susut produk pada suhu 10 C dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

(44)

Gambar 14 Grafik susut bobot pisang pada suhu 10ºC

b. Suhu 15ºC

Gambar 15 Grafik susut bobot pisang pada suhu 15ºC

(45)

Gambar 16 Grafik susut bobot pisang pada suhu ruang (27ºC)

Dilihat dari ketiga Grafik diatas, dapat dibandingkan susut bobot pisang pada suhu berbeda. Setelah penyimpanan selama 6 hari, susut bobot tertinggi pada suhu 10ºC sekitar 25 gram, suhu 15ºC sekitar 35 gram, dan pada suhu ruang (27ºC) sekitar 65 gram. Susut bobot terus bertambah hingga pengamatan pada hari ke 11, nilainya mencapai 2 kali lipat bahkan lebih pada suhu penyimpanan 15ºC. Pengamatan pada suhu ruang (27ºC) berhenti setelah 6 hari dikarenakan kondisi pisang yang sudah tidak layak simpan (busuk).

Kadar air dalam pisang mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen. Hal ini berdasarkan uji coba ketika kandungan air yang hilang lebih banyak karena umur simpan yang lama, rasa pisang akan menjadi relatif tidak enak.

Dari hasil uji statistik, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 43%. Artinya hanya 43% keragaman nilai susut bobot yang dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan. Sedangkan sisanya 57% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 11.97, berarti data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

(46)

Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh nyata/signifikan terhadap susut bobot pisang yang telah diuji, hal ini ditunjukkan dengan nilai < 0.0001 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap susut bobot produk.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa susut bobot terendah dialami oleh kardus CY10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus berbahan pengisi pelepah pisang dengan posisi menelungkup pada suhu 10ºC. Hal ini dikarenakan suhu refrigerator dengan suhu 10ºC memiliki kelembaban yang tinggi (80-90%).

D. Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu dari parameter kesegaran buah yang nilainya tergantung pada ketebalan kulit buah, kandungan total zat padat, dan kandungan pati pada bahan. Perubahan kekerasan buah pisang diukur dengan menggunakan alat yang dinamakan Rheometer. Nilai kekerasan yang tinggi pada Rheometer menandakan bahwa buah tersebut masih memiliki kekerasan yang tinggi. Nilai yang tinggi tersebut mengekspresikan bahwa buah yang diuji mampu menahan gaya maksimum yang ditunjukkan sebesar pada nilai yang tertera pada Rheometer.

Kekerasan akan menurun ketika buah semakin masak. Dimana, berbagai hasil tanaman mengandung senyawa pektin yaitu senyawa kimia golongan karbohidrat. Zat ini terdapat didalam dinding sel dan lamella tengah yang berfungsi sebagai zat perekat. Pada proses pemasakan terdapat enzim

pektinmetilasterase dan poligalakturonase yang mampu memecah senyawa

pektin menjadi senyawa lain. Penurunan tingkat kekerasan salah satunya disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase. Penyebab lainnya adalah pecahnya protopektin yang berdampak pada lemahnya dinding sel dan turunnya kohesi yang mengikat sel satu sama lain (Pantastico et al., 1989).

Kerusakan mekanis akan dapat menurunkan nilai kekerasan buah karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah akan

(47)

menjadi rusak sehingga sel-sel penyusun jaringan pada permukaan buah akan terpisah dari ikatannya.

Dari hasil pengamatan, nilai kekerasan pisang ambon berangsur-angsur menurun seiring dengan perubahan warna, dan masa simpan yang bertambah. Namun, laju penurunan tingkat kekerasan berbeda-beda untuk setiap produk yang disimpan pada suhu berbeda.

Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC lebih lambat dari segi penurunan kekerasan. Hal ini dikarenakan pemeraman dengan suhu rendah yang mendekati suhu pembekuan akan menghambat proses respirasi dan aktivitas etilen untuk mematangkan buah.

Dari hasil uji statistik mengenai kekerasan, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 82.81%. Artinya 82.81% keragaman tingkat kekerasan bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan. Sedangkan sisanya 17.19% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 29.33, artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh nyata/signifikan terhadap tingkat kekerasan buah pisang yang diuji, hal ini ditunjukkan dengan nilai 0.0024 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap kekerasan produk yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan terendah dialami oleh kardus AX27 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus tidak berbahan pengisi dengan posisi telentang pada suhu 27ºC (suhu ruang). Hal ini dikarenakan pisang yang disimpan pada suhu ruang akan mengalami proses pematangan yang lebih cepat karena proses respirasi yang lebih tinggi sehingga tingkat kekerasan pun akan menurun dengan cepat.

Ketiadaan bahan pengisi dalam kemasan pun berpengaruh terhadap kekerasan terutama setelah simulasi transportasi. Cara penataan pun beresiko pada kondisi fisik pisang seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1, pisang

(48)

dalam kardus AX memiliki kerusakan tertinggi karena pisang dalam kardus tersebut lebih banyak yang bersentuhan dengan permukaan kemasan. Sebaliknya, penurunan tingkat kekerasan terendah dialami oleh pisang yang disimpan pada kardus AX10 (Pisang yang disimpan dalam refrigerator 10ºC tanpa bahan pengisi dan dengan posisi terlentang).

E. Perubahan Warna

Perubahan warna merupakan petunjuk kasar untuk mengetahui tahapan kematangan pisang. Simmonds menambahkan bahwa selama pematangan, klorofil lambat laun akan terdegradasi dan muncul warna kuning dari pigmen karoten dan xantofil. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi klorofil antara lain pH, enzim klorofilase, dan oksigen (Wills et. al.,

dalam Aini 1994). Selain itu, warna merupakan salah satu parameter buah

yang mampu menarik perhatian konsumen.

Selama proses pematangan akan terjadi perubahan warna kulit buah pisang mulai dari hijau ketika masih mentah hingga menjadi kuning pada saat matang penuh dan akhirnya busuk. Warna kulit buah menunjukkan indeks kematangan atau sering disebut sebagai tanda-tanda kematangan suatu buah.

Perubahan warna, penampakan buah dan kelunakan buah merupakan tanda-tanda buah matang. Pada pisang raja bulu tanda matang adalah pada saat warna kulit buah berwarna kuning oranye. Sedangkan daging buah berubah dari warna putih menjadi kekuningan. Getah pada kulit dan daging buah berkurang dengan pertambahan waktu pematangan. Ujung dan pangkal buah mengerut dibandingkan ketika buah masih dalam keadaan mentah. Pengamatan perubahan warna dilakukan secara visual dengan mencocokannya pada color plate yang dikemukakan oleh Loesecke (1949).

Dari hasil pengamatan, perubahan warna pisang yang disimpan pada berbagai suhu menunjukkan nilai yang tidak sama sesuai dengan tingkat kematangannya. Pisang yang disimpan pada suhu ruang menunjukkan

(49)

perubahan warna yang lebih cepat dibandingkan dengan pisang yang disimpan pada suhu yang lain.

Pisang dalam suhu ruang yang mula-mula berwarna hijau berubah warna menjadi kuning oranye dalam waktu simpan 4-5 hari dan menjadi kuning kecoklatan pada hari ke 7-8. Sedangkan pisang yang disimpan dalam suhu 15ºC berubah warna menjadi kuning setelah disimpan selama 6-8 hari. Suhu simpan 15ºC ini adalah suhu optimum untuk suhu simpan pisang.

Tanda kematangan pisang cara lambat mulai terjadi pada hari ke 7, matang optimal pada hari ke 9 dan berwarna kecoklatan atau timbul pembusukan pada hari ke 11 (Toemali 1982 dalam Lan 2008). Pada pisang pematangan cara cepat yaitu pemeraman dengan daun gamal terlihat buah mulai menunjukkan tanda matang pada hari ke-2 setelah diperam dan matang optimal pada hari ke-4. Setelah hari ke- 4 mulai timbul tanda kerusakan.

Laju perubahan warna yang terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu ruang memang paling cepat. Namun, ketika diamati daging buah pada pisang yang berkulit kecoklatan memiliki kenampakan yang masih baik dan beraroma kuat.

Pisang akan mengalami chilling injury pada suhu dibawah 13ºC. Hal ini terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC, warna pisang menjadi hijau kekuningan namun nilai total padatan terlarut relatif rendah. Akan tetapi, pisang tersebut tetap berwarna kuning setelah 3-4 minggu.

Selain itu, warna kulit pisang dipengaruhi oleh kondisi pisang sebelum penyimpanan. Setelah dilakukan simulasi transportasi, terdapat pisang yang rusak akibat gesekan dengan pisang yang lain atau dengan dinding kemasan sehingga warna kulit menjadi hitam seperti dibawah ini.

(50)

Gambar 17 Pisang yang terkena chilling injury (kiri) dan kulit kehitaman karena kerusakan mekanis (kanan)

Kulit pisang yang berubah warna dari kuning hingga berbintik cokelat, tidak selalu diartikan sebagai pisang yang busuk, seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah ini, pisang yang berwarna oranye kecoklatan masih memiliki daging buah yang bagus.

Gambar 18 Daging buah pisang dengan warna kulit buah oranye berbintik cokelat

Dari hasil uji statistik mengenai perubahan warna kulit, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 82.33%. Artinya 82.33% keragaman perubahan warna bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan. Sedangkan sisanya 17.67% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 22.18, artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit buah pisang yang diuji, hal

(51)

ini ditunjukkan dengan nilai 0.0008 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit produk yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perubahan warna yang kecil terjadi pada kardus AX10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus tanpa bahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 10ºC. Hal ini terjadi karena kejadian chilling injury seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sebaliknya, perubahan warna kulit yang besar dialami oleh pisang yang disimpan pada suhu ruang.

F. Total Padatan Terlarut (TPT)

Menurut Winarno (1981) menyatakan bahwa rasa manis pada pisang terjadi karena perubahan kandungan pati menjadi fruktosa dan glukosa sampai pati tersebut habis sedangkan jumlah sukrosa meningkat. Lebih lanjut beliau mengatakan kenaikan TPT terjadi karena terhidrolisisnya karbohidrat menjadi senyawa glukosa dan fruktosa. Sedangkan penurunan TPT terjadi krena kadar gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid, dan asam.

Menurut Sjaifullah (1996), kandungan total padatan terlarut pada suatu bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut. Pengamatan total kandungan gula berguna sebagai indikator adanya perubahan atau kerusakan dalam bahan. Proses respirasi yang berlangsung pada produk pertanian selama penyimpanan, akan menggunakan substrat pada jaringan bahan tersebut. Ada tiga jenis substrat yang digunakan dalam proses respirasi hasil panen produk pertanian, yaitu asam lemak, gula (karbohidrat) dan asam amino (Pantastico, 1989). Sehingga semakin lama penyimpanan, maka semakin banyak substrat gula yang digunakan untuk respirasi akan menurunkan kandungan gula dalam buah.

Komponen utama buah pisang yang telah matang adalah air yang mencapai 75% dengan karbohidrat sebagai penyusun keduanya sekitar 20-25%. Kandungan gula buah pisang terdiri dari gula pereduksi yaitu glukosa

(52)

dan fruktosa, serta gula non pereduksi yanitu sukrosa dan kandungannya cukup tinggi sekitar 17% (Wills et al. 1981 dalam Aini 1994). Kandungan pati pada buah pisang menurun selama pematangan dari sekitar 20-25% pada pisang mentah menjadi 1-6% pada pisang matang sedangkan total padatan terlarut meningkat dari mentah sekitar 5-7% menjadi sekitar 27%.

Akan tetapi, nilai total padatan terlarut akan menurun kembali ketika pisang busuk. Hal ini dikarenakan perombakan gula dalam pisang menjadi alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatil seperti aroma tidak sedap (busuk) pada pisang. Selain itu, akan timbul pula jamur pada bonggol dan kulit pisang. Untuk mencegah hal tersebut, biasanya dilakukan penyemprotan fungisida sebelum pisang dikemas.

Gambar 19 Jamur yang tumbuh pada bonggol (kiri) dan kulit (kanan) pisang Pengujian kadar total padatan terlarut pada pisang mentah seringkali sulit dilakukan karena belum berbentuk pasta dan seringkali lengket karena kandungan getah yang masih tinggi. Sedangkan ketika buah pisang menguning, daging buah ketika dihancurkan berbentuk menjadi pasta sehingga pengukuran dengan refraktometer menjadi lebih mudah.

Dari Tabel 2 dapat kita lihat bahwa kandungan karbohidrat pisang ambon sekitar 25.8%. Dari hasil pengukuran total padatan terlarut pisang yang diujikan, diperoleh nilai yang hampir mendekati angka tersebut yaitu sebesar 27% ketika masak. Memang jika dibandingkan dengan pisang yang lain seperti pisang raja atau pisang mas, rasa pisang ambon tidak terlalu manis.

(53)

Dari hasil uji statistik mengenai total padatan terlarut, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 77.60%. Artinya 77.60% keragaman nilai total padatan terlarut bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan. Sedangkan sisanya 22.40% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 14.91, artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh nyata/signifikan terhadap nilai total padatan terlarut buah pisang yang diuji, hal ini ditunjukkan dengan nilai <0.0001 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap nilai total padatan terlarut produk yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut terkecil dialami oleh kardus AX10. Hal ini diduga karena pengaruh chilling

injury yang terjadi sehingga terjadi penyimpangan yang dapat dilihat dari ciri

fisik seperti warna dan penyimpangan kematangan.

G. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang diujikan. Hal-hal yang diujikan antara lain warna kulit buah, kekerasan, rasa, aroma dan warna daging buah. Tingkat kesukaan diekspresikan dengan 5 skala, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka).

Pengujian dilakukan 2 kali setelah buah pisang dikeluarkan dari ruang penyimpanan. Dikarenakan tingkat kematangan produk pada berbagai suhu tidaklah sama, maka uji ini dilakukan pada dua tahap. Tahap pertama dilakukan setelah penyimpanan 4 hari khusus untuk produk yang disimpan dalam suhu ruang. Produk yang disimpan pada suhu 15ºC dan suhu 10ºC tidak diujikan karena belum menunjukkan tanda-tanda masak sehingga belum layak untuk diujikan/dimakan.

(54)

Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC menunjukkan tanda-tanda kematangan seperti warna kulit buah yang kuning oranye pada minggu ke 3-4, namun tidak diujikan untuk organoleptik dikarenakan rasa buah pisang yang tidak enak dan kering. Hal ini diasumsikan karena produk kehilangan banyak kadar air dan pisang tersebut sebelumnya telah mengalami chilling injury.

Berikut ini adalah hasil pengujian organoleptik yang ditunjukkan lewat grafik dibawah ini.

Gambar 20 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu ruang

Dari Grafik 20 terlihat bahwa tingkat kesukaan tertinggi untuk warna kulit adalah pisang dengan perlakuan AY, BX dan BY sebesar 4.2 kuantitatif atau diantara suka dan sangat suka. Skor tertinggi untuk kekerasan adalah BX sebesar 4.5, untuk rasa adalah BX sebesar 4, untuk aroma adalah CX sebesar 4.1 dan untuk warna daging buah adalah CX sebesar 4.2.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pisang yang disimpan pada suhu 15ºC memiliki tingkat penerimaan yang terbaik dari segi kekerasan, sedangkan pisang yang disimpan pada suhu ruang memiliki tingkat penerimaan yang terbaik dari segi aroma.

(55)

Pisang yang disimpan pada refrigerator memiliki aroma yang kurang kuat dibandingkan dengan pisang yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini dikarenakan udara yang berada dalam refrigerator bersirkulasi sehingga perlahan-lahan aroma pisang yang merupakan senyawa volatil tersebut menghilang.

Berikut ini adalah Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu 15ºC setelah waktu penyimpanan 8 hari. Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC tidak diujikan karena belum cukup masak untuk diujikan.

Gambar 21 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu 15ºC Dari Grafik 21 terlihat bahwa tingkat kesukaan (skor) tertinggi untuk warna kulit adalah pisang dengan perlakuan CY sedangkan skor terendah adalah pisang dengan perlakuan BY dan CX. Skor tertinggi untuk tingkat kekerasan adalah pisang pada perlakuan BY, untuk rasa pada perlakuan AX, untuk aroma pada perlakuan CX, dan untuk warna daging skor responden tertinggi pada pisang dengan perlakuan AX.

H. Masa Simpan Pisang

Dari hasil pengamatan, pisang yang disimpan pada suhu ruang mengalami busuk yang dominan setelah penyimpanan 6 hari, pisang yang disimpan pada

Gambar

Tabel 1  Produksi pisang nasional tahun 2002-2005  Tahun  Produksi pisang (ton)
Tabel 2  Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang
Gambar 1  Contoh kemasan kardus untuk pengemasan pisang cavendish  Yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan jalan luar kota adalah  besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu
Gambar 3  Kardus yang digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan good corporate governance dipercaya dapat meningkatkan kinerja pasar perusahaan, jika publik menilai corporate governance suatu perusahaan dinilai baik, maka

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai

Tersusunnya Naskah Kerjasama Dalam Urusan Pemerintahan Sumatera Barat 25 Naskah Kerjasama Rp140.000.000 25 Naskah Kerjasama Rp300.000.000 Terwujudnya Penyelenggaraan Otonomi

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu terdapat perbedaan yang signifikan pada pengaruh motilitas spermatozoa tikus wistar yang diberi paparan sinar

Bapak Poniran merupakan pemilik dari industri gula merah yang sudah 3 tahun didirikan tersebut, dulunya beliau bekerja serabutan bahkan dari usia 8 tahun sudah

Gasifikasi dengan bahan bakar limbah padat aren akan menghasilkan laju kenaikan suhu yang lebih cepat dibandingkan dengan proses gasifikasi dengan bahan

Mengenai nilai yang tidak lebih dari Rp 250,00 itu adalah nilai menurut umumnya, bukan menurut korban atau menurut petindak atau orang tertentu. Kejahatan ini

Meskipun para pelaku usaha itu memerlukan konsumen untuk memperoleh keuntungan, tetapi secara hukum para pelaku usaha ini telah melanggar hak cipta karena mereka