• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA SPONDILITIS TB PADA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA SPONDILITIS TB PADA ANAK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA SPONDILITIS TB PADA ANAK

Edward Surjono*

LAPORAN KASUS

*Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440.

ABSTRACT

Introduction: Spondylitis TB in children are very complex. This condition affects

their lives. The complication also include the patients’ social life. It is important to diagnose this condition early. Earlier diagnosis will determine the success of the therapy.

Case: An 11 years old boy came due to the chief complaint cannot walk since 8

months prior to consult. The patient had a growing mass in lumbar region. Patient also had a positive contact with tuberculosis patient.

Conclusion: In this case, the diagnosis was delayed and already have a complex

social impact. This case report showed the diagnosis and management of spondylitis TB in children.

Key words: diagnosis, management, spondylitis TB

ABSTRAK

Latar belakang: TB Spondilitis pada anak-anak sangatlah kompleks. Kondisi

ini berdampak pada kehidupan mereka. Komplikasi TB spondilitis pada anak-anak juga mencakup kehidupan sosial pasien. Penting untuk mendiagnosis kondisi ini lebih awal. Diagnosis yang lebih dini akan menentukan keberhasilan terapi.

Kasus: Seorang anak laki berusia 11 tahun datang dengan keluhan tidak bisa

berjalan sejak 8 bulan yang lalu. Pasien memiliki massa di daerah lumbal yang semakin membesar. Pasien juga memiliki kontak dengan penderita tuberkulosis.

Kesimpulan: Dalam kasus ini, diagnosis dilakukan terlambat dan membawa

dampak sosial yang kompleks. Sajian kasus ini menampilkan diagnosis dan tata laksana Spondilitis TB pada anak.

Kata kunci: diagnosis, manajemen, TB spondilitis

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal juga sebagai

Pott's disease merupakan manifestasi TB skeletal yang

paling sering ditemukan. Angka kejadian spondilitis TB adalah 40-50% dari seluruh kasus TB skeletal. Progresi-fitas spondilitis TB biasanya lambat dan keluhan utama-nya berupa nyeri punggung yang tidak spesifik. Hal ini mengakibatkan diagnosis lebih sulit ditegakkan di-bandingkan infeksi piogenik yang cenderung bersifat akut. Sebelum diagnosis ditegakkan kerusakan tulang vertebra dan diskus intervertebralis biasanya sudah luas. Kerusakan tulang vertebra yang luas dan diikuti oleh fraktur akan menyebabkan deformitas tulang belakang.

Kasus ini dibahas dengan maksud untuk untuk mem-pertajam analisa kita dalam melakukan diagnosis spon-dilitis TB, dan tata laksana komprehensif dalam meng-hadapi kasus spondilitis TB dalam tahap lanjut.

KASUS

Satu tahun lalu pasien terjatuh karena didorong oleh

temannya dengan posisi punggung menghantam tanah. Pasien mengeluh nyeri di daerah punggung, namun ti-dak terdapat bengkak. Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa, tidak ada keluhan kesemutan atau ke-lemahan anggota gerak. Pasien terdapat demam de-ngan suhu yang tidak tinggi terutama malam hari di-sertai batuk yang timbul kadang-kadang. Demam

(2)

hilang dengan pemberian parasetamol. Pasien banyak berkeringat pada malam hari, terlihat lesu dan nafsu makan berkurang. Saat itu orangtua pasien membawa pasien ke tukang urut namun keluhan tetap ada.

Dua minggu kemudian pasien masih merasa nyeri

punggung. Saat itu, kaki pasien mulai terasa lemas. Pasien sulit tidur dengan badan yang tampak semakin kurus namun ibu pasien tidak pernah menimbang berat badan pasien. Orangtua memeriksakan pasien ke dok-ter umum dan disarankan untuk dilakukan foto Ront-gen punggung. Foto rontRont-gen tidak dilakukan karena keterbatasan biaya. Orang tua kembali membawa pa-sien ke tukang urut.

Sembilan bulan sebelum dirawat timbul benjolan di

punggung pasien. Menurut ibu pasien, benjolan sebesar bakso, sewarna dengan kulit, dan tidak terasa nyeri kecuali bila ditekan dengan keras. Benjolan tersebut semakin lama semakin besar sebesar bola tenis. Saat itu pasien merasa semakin lemas untuk berjalan se-hingga harus berjalan dengan lambat. Pasien terkadang jatuh ketika berjalan dan tidak dapat bangun sendiri karena lemas. Keluhan nyeri punggung masih ada dan disertai dengan keluhan kesemutan pada kaki yang hilang timbul. Semakin lama kedua tungkai bawah pasien semakin lemas dan tidak dapat digerakkan. Pasien juga tidak dapat merasakan nyeri pada kaki dan tidak dapat mengontrol buang air kecil (BAK). Buang air besar hanya dapat dikontrol kadang-kadang. Orangtua membawa pasien ke tukang urut dan peng-obatan alternatif beberapa kali dan mendapat jamu-jamuan namun tidak ada perbaikan. Saat itu pasien sesekali mengalami demam yang tidak tinggi disertai keringat malam. Nafsu makan pasien menurun dan badan pasien tampak semakin kurus.

Delapan bulan sebelum dirawat pasien tidak dapat

berjalan karena tidak dapat menggerakkan kedua kaki-nya. Pasien juga tidak dapat duduk karena kedua tung-kai lemas, tidak dapat merasakan nyeri dan raba di-sertai rasa sakit di bagian punggung. Pasien juga tidak dapat menahan BAK dan BAB. Kondisi pasien yang semakin lemas menyebabkan orangtua akhirnya mem-bawa pasien berobat ke RS T dan dikatakan menderita tuberkulosis tulang namun tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium dan foto Rontgen. Pasien diberikan dua macam obat puyer yang membuat air seni pasien ber-warna merah dan kemudian pasien dipulangkan. Pasien dirawat di rumah dan tidak pernah kontrol kem-bali ke RS T karena alasan biaya. Pengobatan juga di-hentikan oleh orangtua karena merasa tidak ada per-baikan. Selama perawatan di rumah orangtua

mem-bawa pasien ke pengobatan alternatif beberapa kali dan mendapat jamu-jamuan namun tetap tidak ada perbaikan.

Dua bulan sebelum dirawat pasien tampak semakin lemas dan tidak dapat duduk karena kedua tungkai lemas, tidak dapat merasakan nyeri dan raba dengan nyeri di bagian punggung. Pasien tidak dapat menahan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Orangtua masih membawa pasien berobat ke peng-obatan alternatif, namun karena kondisi pasien semakin lemas maka orangtua akhirnya membawa pasien ber-obat ke rumah sakit.

Pasien tidak pernah menjalani pengobatan untuk tuberkulosis. Riwayat atopi dan keganasan disangkal. Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal. Terdapat riwayat batuk-batuk lama dan batuk darah pada nenek pasien yang tinggal bersama pasien sejak pasien lahir. Nenek pasien meninggal saat pasien ber-usia 9 tahun dan tidak pernah berobat. Keluhan batuk-batuk lama pada anggota keluarga lain disangkal. Ri-wayat kontak dengan penderita TB paru di lingkungan tempat tinggal pasien tidak diketahui. Riwayat kehamil-an dkehamil-an kelahirkehamil-an dalam batas normalImunisasi dasar dan ulangan kesan tidak lengkap. BCG scarr pada pa-sien positif di lengan kanan. Pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien kesan tidak jauh berbeda dari teman-temannya. Perkembangan tampak sesuai de-ngan rekan-rekan seusianya. Pasien sudah dapat membaca dan menulis usia 6 tahun. Sejak tidak dapat berjalan, pasien berhenti sekolah. Sebelum berhenti sekolah, pasien duduk di kelas VI sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang namun selalu naik kelas. Ri-wayat asupan makanan kurang baik secara kuantitas maupun kualitas

Ringkasan pemeriksaan fisis dan perawatan

Selama perawatan didapatkan nyeri punggung dan ke-sulitan makan dan minum. Buang air kecil tidak dapat dikendalikan sedangkan buang air besar kadang bisa ditahan kadang tidak. Tidak ada keluhan sakit kepala, muntah, demam, batuk, dan pilek. Asupan nutrisi di-berikan melalui pipa nasogastrik.

Pada pemeriksaan fisis pasien kompos mentis, GCS 15, tidak tampak sesak maupun pucat. Berat badan 16 kg (P3 CDC-NCHS 2000), tinggi badan tidak dapat diukur. Lingkar lengan atas (LLA) 15 cm, dengan pan-jang rentang tangan (arm span) 122 cm (P3). Lingkar lengan atas menurut usia 73,1% dan tinggi berdasarkan panjang rentang tangan adalah 7 tahun. Status gizi dan antropometris kesan gizi buruk. Tinggi ayah 158

(3)

cm dan tinggi ibu 153 cm, perkiraan rentang tinggi akhir anak sesuai dengan potensi genetiknya adalah 154 cm sampai dengan 170 cm.

Tanda vital dalam batas normal. Pasien tidak pernah demam. Pada kepala tidak didapatkan deformitas, ram-but hitam tipis, tidak mudah dicaram-but. Wajah tidak tam-pak paresis nervus kranialis. Konjungtiva mata tidak pucat, sklera tidak ikterik, dengan pupil bulat isokor, diameter 3 mm, rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+, gerak bola mata baik ke segala arah. Pada telinga, hidung, dan tenggorokan tidak tampak kelainan. Tidak teraba kelenjar getah bening dan kaku kuduk pada leher.

Dada tampak simetris saat statis maupun dinamis disertai dengan iga gambang. Suara napas vesikuler di kedua lapang paru dan tidak terdengar ronki maupun mengi. Jantung dan abdomen dalam batas normal. Tidak teraba kelenjar getah bening inguinal. Tidak tampak rambut aksila maupun rambut pubis. Genita-lia eksterna tampak normal, belum sirkumsisi. Volume testis masing-masing 4 ml, kesan status pubertas A1P1G1.

Punggung terdapat gibbus pada vertebra torakal (+ 6 ruas). Terdapat ulkus bergaung di daerah lumbal 3-4, diameter 3 cm dengan dasar jaringan subkutan disertai pus, dan dikelilingi jaringan nekrotik.

Refleks fisiologis normal pada ekstremitas atas, ke-kuatan motorik 5555/5555, dan kemampuan sensorik baik. Refleks fisiologis meningkat pada ekstremitas bawah, terdapat refleks patologis Babinski, klonus, dan spastisitas di kedua tungkai. Kekuatan motorik 1111/ 1111, didapatkan kesan hipestesia mulai torakal 12 ke bawah. Pada regio spina iliaca anterior superior (SIAS) sinistra tampak ulkus bergaung, ukuran 2x2 cm dalam proses penyembuhan dengan dasar jaringan subkutan disertai pus. Jaringan nekrotik tampak di sekitarnya melingkari ulkus.

Pemeriksaan penunjang pada saat awal perawatan di-dapatkan kesan anemia, trombositosis, dan laju endap darah meningkat (tabel 1). Pada bilasan lambung tidak ditemukan kuman basil tahan asam (BTA). Pemerik-saan tes Mantoux menunjukkan hasil positif dengan diameter indurasi 17 mm. Foto polos torakolumbal me-nunjukkan adanya skoliosis vertebra torakalis dan kifosis torakalis. Selain itu tampak destruksi korpus vertebra setinggi torakal 5 sampai 8 dengan penyem-pitan diskus diantaranya. Tampak massa paravertebra mulai setinggi Th 3 - Th 10. Jantung kesan tidak mem-besar dan tampak infiltrat halus di kedua lapangan paru

dengan kedua hilus tampak suram. Kesan foto polos torakolumbal anteroposterior (AP) dan lateral adalah spondilitis TB dan TB paru. Pasien didiagnosis sebagai paraparesis inferior tipe upper motor neuron (UMN) ec pondilitis TB, anemia ec penyakit kronis dd/ ec defisi-ensi Fe, gizi buruk marasmik, perawakan pendek, ulkus dekubitus SIAS kiri dan regio lumbal 3. Pada ulkus di-lakukan pulasan gram (pus) dengan hasil kokus gram (+) sedang. Lumbal pungsi dilakukan dengan hasil cairan menetes, jernih, sel 2/3; NaCl 581 mg%, Cl 352 mg%, glukosa 49 mg%, protein 94 mg%, nonne (-), dan pandy (-). Pewarnaan BTA menunjukkan hasil negatif. Hasil biakan LCS positif Staphylococcus

epidermidis, dengan kesan kontaminan. Pasien mulai

diberikan diet F 100 8 x 250 ml dengan mineral mix. Setelah perawatan hari ke-8 pasien sudah mau makan dan diberikan makanan lunak 100 kal serta F100 5 x 250 ml. Pasien dikonsulkan ke Departemen Bedah sa-raf yang merencanakan untuk melakukan laminektomi, dekompresi, dan fiksasi, serta menyarankan pemerik-saan magnetic resonance imaging (MRI) torakal dengan kontras. Pemeriksaan MRI menunjukkan spondilitis tu-berkulosis (TB) vertebra torakalis dengan tanda gibus ec destruksi berat Th 5-6-7 dengan lesi tulang fokal abnormal pada Th 8,10 dan L1. Terdapat pre dan para-vertebral abses serta epidural infiltrat sepanjang Th 2-3 sampai dengan Th 9-10 yang menekan >50% medula spinalis pada Th 4-8. Intrameduler tidak mencurigakan SOL/tumor. Pasien mendapat obat anti tuberkulosis berupa isoniazid (INH) 1x300 mg per oral, rifampisin 1x200 mg per oral, pirazinamid 2x250 mg per oral, etam-butol 2x150 mg per oral, prednison 3x10 mg per oral dan diet makan biasa 1500 kkal. Bagian Bedah Ortopedi merencanakan tindakan debridemen untuk evakuasi abses. Konsultasi ke Departemen Rehabilitasi medik juga dilakukan untuk melatih kemampuan buang air besar dan buang air kecil.

Diagnosis kerja awal masuk untuk dirawat adalah (1) paraparesis inferior tipe UMN ec tsk spondilitis TB; (2) anemia ec penyakit kronis dd/ec defisiensi Fe; (3) gizi buruk marasmik; dan (4) ulkus dekubitus SIAS kiri dan regio lumbal.

DISKUSI

Seorang anak Laki-laki berusia 11 tahun datang dengan keluhan tidak bisa berjalan sejak 8 bulan sebelum ma-suk rumah sakit. Anamnesis memunjukkan adanya ke-mungkinan riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, demam lama yang tidak tinggi, dan berat badan yang cenderung turun. Pada pemeriksaan fisis didapatkan paraparesis inferior, refleks fisiologis yang meningkat,

(4)

Rontgen torakolumbal AP/Lat ( 4/2/2010)

Tampak skoliosis vertebra torakalis dan kifosis torakalis.

Tampak destruksi korpus vertebra Th 5,6,7,8 dengan penyempitan diskus intervertebralis di antaranya. Tampak massa paravertebra mulai setinggi Th 3 sampai dengan Th 10. Jantung kesan tidak membesar, aorta dan mediastinum superior tak dapat dinilai karena tertutup massa paravertebra. Trakea di tengah, kedua hilus suram. Tampak infiltrat halus di kedua lapangan paru.

Kesan:

Spondilitis TB dengan massa paravertebral

TB paru MRI (17/2/2010)

Destruksi berat korpus vertebra Th 5-6-7 dengan paravertebral infiltrat luas masuk ke dalam kanalis vertebralis, post kontras paravertebral dan epidural infiltrat sepanjang Th 4-8 dan epidural infiltrat Th 2-3 s/d Th 9-10 menunjukkan rim enhancement pada infiltrat di sekitar korpus Th 4 s/d 8 sesuai abses pre dan paravertebral disertai epidural infiltrat tebal sepanjang Th2-3 s/d Th9-10 dengan kompresi berat medula spinalis level th4-8. Ruang diskus intervertebralis sempit/hilang diantara Th5-6-7.

Kesan:

Spondylitis TBC vertebra torakalis dengan tanda tanda gibbus e.c destruksi berat Th5-6-7. Lesi tulang fokal abnormal juga tampak di Th 8, 10 dan L1. Pre dan paravertebral abses serta epidural-infiltrat sepanjang Th 2-3 s/d Th 9-10 menekan > 50% medula spinalis pada level Th 4-8. Tidak tampak skoliosis / listesis. Tidak tampak spondylosis, tidak tampak HNP. Intrameduller tidak mencurigakan s.o.l/tumor.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan penunjang Jenis Pemeriksaan

Darah Perifer Lengkap (DPL)

Hb (g/dL) Ht (vol%) Leukosit (/µL) Trombosit (/µL) Hitung jenis (%) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (g/dL) LED (mm/jam )

Serum iron (Fe) (ug/dL) TIBC (ug/dL) Saturasi transferin (%) Feritin (ng/mL) Urinalisa Lengkap Berat jenis PH Nitrit/protein/glukosa Keton/urobilinogen/bilirubin Darah/epitel/silinder/kristal Leukosit Eritrosit Bakteri Kimia Darah SGOT/SGPT (U/L) Ureum/kreatinin (mg/dL) Glukosa darah sewaktu (GDS)

Elektrolit Na/K/Cl (mEq/L) 4/2/2010 8,8 29 10.200 720.000 -/-/5/71/23/1 66 20 30 117 4/3/2010 10,1 33 11.000 357.000 -/2/2/80/15/1 69,9 21,3 30,6 Jenis Pemeriksaan 1.010 7 -/-/- -/-/-/-1-2/lpb 0-1/lpb -25/10 6/0,2 68 mg/dL 132/3,92/ 97,7 23 (28 – 112) 273 (228-428) 8 (15-45) 93,8 (30-400)

(5)

refleks patologis Babinski positif, klonus, spastis, hiper-tonus dan hipestesia mulai Th 12 ke bawah. Pada punggung didapatkan gibbus pada vertebra torakalis meliputi 6 ruas yang disertai nyeri. Berdasarkan anam-nesis dan pemeriksaan fisis tersebut ditegakkan diag-nosis kerja paraparesis inferior tipe UMN ec spondilitis TB dd/tumor dan massa regio punggung. Pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil tes Mantoux positif dan LED yang meningkat. Foto polos torakolumbal menun-jukkan adanya TB paru dan spondilitis TB. Berdasarkan temuan tersebut, ditegakkan diagnosis spondilitis TB, dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI, yang hasil-nya sesuai dengan spondilitis torakalis.

Paraparesis adalah kelemahan kedua tungkai yang da-pat parsial atau komplit. Kelemahan kedua tungkai tan-pa keterlibatan kedua lengan, menandakan adanya ke-lainan di medula spinalis atau susunan saraf perifer. Paraparesis spinal akan menunjukkan gejala spasti-sitas, peningkatan refleks tendon, hipertonus dan ke-hilangan fungsi sensorik pada tingkat dermatom ter-tentu sesuai lesi yang terkena. Anamnesis dan manifes-tasi klinis kasus ini sesuai dengan paraparesis spi-nal.1

Paraparesis spinal dapat disebabkan oleh malformasi kongenital, familial spastic paraplegia, infeksi, lupus

myelopathy, kelainan metabolik, myelitis transversa,

trauma, atau tumor. Bila tidak ada riwayat trauma, paraparesis yang akut atau progresif cepat umumnya disebabkan juga oleh kompresi medula spinalis dan myelitis. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan utama untuk memberikan gambaran medula spinalis dengan baik. Bila dicurigai adanya keterlibatan kolumna vertebra maka computed

tomography (CT scan) dan pencitraan tulang dengan

radioisotop lebih dipilih terutama bila dicurigai adanya osteomielitis.1

Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat keluhan kelemahan tungkai yang semakin lama semakin berat hingga pasien tidak dapat berjalan. Keluhan nyeri dan timbulnya benjolan di punggung bagian atas menunjuk-kan kemungkinan terjadinya kompresi pada medula spinalis. Pada awalnya dipikirkan adanya kompresi tu-mor pada medula spinalis mengingat benjolan pada punggung pasien yang semakin cepat membesar dan tidak diperkirakan sebagai gibbus. Walau demikian ke-curigaan ke arah TBC belum dapat disingkirkan, meng-ingat pasien memiliki berat badan yang cenderung turun dan fatigue, serta adanya kemungkinan riwayat kontak dengan penderita TBC. Untuk memastikan penyebab paraparesis pada kasus ini dilakukan pemeriksaan foto

vertebra servikotorakal dan MRI. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya fraktur kompresi verte-bra torakal 4-8 yang menekan medula spinalis, abses paravertebra, dan spondilitis TB vertebra torakal 2-10. Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal juga sebagai

Pott's disease merupakan manifestasi TB skeletal yang

paling sering ditemukan.2,3 Kelainan pada spinal ini

da-pat menyebabkan defisit neurologis permanen dan de-formitas yang berat.2 Spondilitis TB lebih sering dijumpai

pada orang dewasa, namun demikian, di negara ber-kembang dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, ke-lainan ini juga sering ditemukan pada anak.4,5

Keter-libatan tulang dan jaringan lunak akibat infeksi TB me-liputi 10% keseluruhan kasus TB ekstrapulmonal atau 1-2% dari total kasus infeksi TB. Angka kejadian spon-dilitis TB adalah 40-50% dari seluruh kasus TB skel-etal.2 Progresivitas spondilitis TB biasanya lambat dan

keluhan utamanya berupa nyeri punggung yang tidak spesifik. Hal ini mengakibatkan diagnosis lebih sulit ditegakkan dibandingkan infeksi piogenik yang cende-rung bersifat akut. Sebelum diagnosis ditegakkan ke-rusakan tulang vertebra dan diskus intervertebralis biasanya sudah luas. Kerusakan tulang vertebra yang luas dan diikuti oleh fraktur akan menyebabkan defor-mitas tulang belakang. Defisit neurologis umumnya ter-jadi pada infeksi yang mengenai vertebra torakal dan servikal, bila tidak ditangani defisit neurologis akan berkembang menjadi paraparesis yang komplit.6

Infeksi primer spondilitis TB biasanya berasal dari extraspinal, terutama dari paru.2,4 Menurut Toppare et

al,7 gambaran klasik spondilitis TB adalah destruksi

dua ruas vertebra dan diskus intervertebra yang disertai abses paravertebra dan/atau abses psoas. Infeksi TB biasanya melibatkan vertebra torakal dan vertebra lum-bal bagian atas, elemen posterior biasanya jarang terlibat.8 Fokus infeksi primer biasanya pada daerah

metafisis vertebra yang diikuti destruksi vertebra di ba-wahnya. Kerusakan tulang ini baru dapat dideteksi se-cara radiologis setelah 2-5 bulan kemudian.4 Destruksi

tulang yang progresif mengakibatkan vertebra menjadi bengkok dan terjadi kifosis. Kifosis timbul bila kerusak-an berada di daerah spinal kerusak-anterior dkerusak-an lebih sering akibat lesi yang terjadi di daerah torakal daripada da-erah lumbal. Kanalis spinalis dapat menyempit akibat adanya abses, jaringan granulasi, ataupun invasi dura-mater, sehingga terjadi kompresi terhadap medulla spinalis dan menimbulkan defisit neurologis.2 Abses

dingin timbul jika infeksi meluas ke ligamentum dan jaringan lunak di sekitarnya. Keberadaan abses para-vertebral menunjukkan suatu infeksi aktif. Abses pada daerah lumbal dapat meluas ke bawah menembus

(6)

pem-bungkus M. psoas menuju trigonum femoralis, dan me-netap dalam waktu lama tanpa ada tanda dan gejala yang jelas.2,4 Pada anak, rute utama penyebaran infeksi

pada TB skeletal adalah melalui pembuluh darah yang berasal dari fokus primer. Lokasi infeksi primer sendiri seringkali tidak jelas.9

Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas, sehingga umumnya didiagnosis sudah da-lam keadaan lanjut. Gejala dan tanda pada TB tulang bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus, yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya.10 Gibbus merupakan tanda

yang sering dijumpai pada kasus spondilitis TB pada anak dan remaja.11 Selain itu terdapat gejala

konsti-tusional seperti demam dan berkeringat malam hari, anoreksia, berat badan turun, malaise, dan kelelahan. Gejala konstitusional ini biasanya timbul sebelum ada keluhan di daerah tulang belakang. Paraplegia (Pott's

paraplegia) adalah komplikasi TB spinal yang paling

serius, dengan angka kejadian sekitar 30% dari kese-luruhan kasus TB spinal.3 Paraplegia terjadi akibat

kom-presi mekanik pada medulla spinalis yang bisa timbul segera (awitan dini) pada infeksi fase aktif, ataupun bertahun-tahun kemudian (awitan lambat) tanpa didahu-lui tanda dan gejala reaktivasi penyakit.3

Pada kasus ini, keluhan telah dialami sejak 8 bulan yang lalu dan semakin lama bertambah berat hingga pasien tidak dapat berjalan. Selain keluhan nyeri dan kelemahan tungkai, juga didapatkan gejala konstitu-sional antara lain demam lama tidak tinggi terutama pada malam hari, berat badan cenderung turun, dan lemah. Pada pasien juga terdapat manifestasi klinis yang khas berupa deformitas tulang belakang dan gib-bus, sehingga kecurigaan terhadap infeksi TB seharus-nya telah dipikirkan. Pada pasien juga telah terjadi de-fisit neurologis akibat penyempitan kanalis spinalis yang disebabkan oleh adanya abses, jaringan granu-lasi, ataupun invasi duramater, sehingga terjadi kom-presi terhadap medulla spinalis.

Diagnosis TB pada anak sulit ditegakkan karena se-dikitnya kuman (paucibacillary) dan sulitnya peng-ambilan spesimen (sputum) untuk menemukan kuman

Mycobacterium tuberculosis. Alasan tersebut

menye-babkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laborato-rium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan

tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB, merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.12 Sebuah penelitian prospektif mendapatkan

aku-rasi diagnosis TB yang baik pada anak 3 tahun yang tidak terinfeksi HIV, berdasarkan adanya keluhan batuk yang persisten 2 minggu, penurunan berat badan atau gagal tumbuh dalam 3 bulan terakhir, dan lemas. Pada anak 3 tahun menunjukkan sensitivitas 82,3%, spesi-fisitas 90,2%, dan nilai duga positif 90,1%.13 (level of

evidence 2b). Dalam kasus ini hanya didapatkan

an penurunan berat badan dan lemas sedangkan keluh-an batuk persisten diskeluh-angkal.

Pemeriksaan laboratorium penunjang pada spondilitis TB biasanya memperlihatkan karakteristik berupa gambaran anemia, trombositosis, dan peningkatan LED. Sebagaimana dilaporkan oleh Baynes dalam Muzaffar et al,14 bahwa derajat trombositosis secara

signifikan berhubungan dengan derajat inflamasi yang dinilai dengan LED dan konsentrasi C-reactive protein (CRP), selain itu trombositosis juga berkaitan erat de-ngan peningkatan LED. Pemeriksaan LED cukup sen-sitif dalam menilai respons inflamasi. Nilai LED dan CRP akan meningkat secara signifikan pada keadaan infeksi, inflamasi, atau keduanya, namun demikian pemeriksaan CRP lebih baik daripada LED.14 Pada

pa-sien ini, gambaran laboratoris sesuai dengan apa yang disampaikan sebelumnya, yaitu terdapat anemia (Hb 8,8 g/dL), trombositosis (trombosit 720.000), dan pe-ningkatan LED (117 mm/jam).

Pemeriksaan penunjang lainnya untuk membantu me-negakkan diagnosis TB dapat dilakukan dengan bebe-rapa cara. Salah satu cara yang umum digunakan ada-lah uji tuberkulin yaitu dengan cara menyuntikkan tu-berkulin (komponen kuman TB yang mempunyai sifat antigenik kuat) secara intrakutan. Pada individu yang telah terinfeksi TB maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyata-kan positif. Pada kasus ini, didapatdinyata-kan indurasi 17 mm sehingga disimpulkan hasil uji tuberkulin positif.13

Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendeteksi respon imun tubuh terhadap kuman M.tuberculosis adalah interferon gamma release assay (IGRA), namun pemeriksaan ini belum tersedia di Indonesia. Pemerik-saan untuk menemukan kuman dapat dilakukan de-ngan pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau

polymerase chain reaction (PCR).12 Pemeriksaan

ra-diologi yang terdiri dari foto toraks pada pasien TB tidak khas. Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, konsolidasi segmental atau

(7)

lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltat, kavitas, atelek-tasis, efusi pleura, dan tuberkuloma. Pemeriksaan pe-nunjang lainnya yang memiliki nilai diagnostik tinggi adalah pemeriksaan histopatologi anatomi.12 Dalam

ka-sus ini, selain uji tuberkulin, dilakukan pula pemeriksaan bilasan lambung untuk mencari basil tahan asam (BTA) dan kultur bilasan lambung untuk mencari kuman

M.Tuberculosis. Meskipun hasil bilasan lambung dan

kultur negatif, namun pada pemeriksaan foto toraks dan uji tuberkulin pada pasien menunjukkan adanya kelainan yang mengarah pada TB.

Pemeriksaan lainnya yang dilakukan untuk menegak-kan diagnosis spondilitis TB adalah pemeriksaan foto vertebra servikotorakal dan MRI servikotorakal. Foto vertebra pada fase awal normal, seiring berkembangnya penyakit akan terlihat penyempitan ruang diskus dan reaksi periosteal lokal atau sklerosis reaktif menjadi lebih jelas.15 Selain itu, pada foto polos juga dapat

di-jumpai gambaran destruksi lisis bagian anterior korpus vertebra, ruas anterior yang membaji, kolaps pada kor-pus vertebra, sklerosis reaktif pada proses lisis yang progresif, pelebaran garis psoas dengan atau tanpa kalsifikasi.1 Selain gambaran tersebut, bisa juga

dijum-pai kerusakan diskus intervertebra, kerusakan korpus vertebra dalam berbagai tingkatan, gambaran abses yang ditandai dengan bayangan fusiformis paravertebra, serta lesi tulang yang terjadi pada lebih dari satu ruas vertebra.2 Pada foto torakolumbal pasien didapatkan

gambaran destruksi korpus vertebra dengan penyem-pitan diskus intervertebralis yang sesuai dengan spondilitis TB.

Pemeriksaan CT-scan memberikan hasil yang lebih saksama mengenai gambaran tulang dengan lesi lisis yang tidak teratur, kolaps pada diskus, dan lingkar tulang, selain itu resolusi kontras rendah mampu me-nilai jaringan lunak dengan lebih baik, khususnya pada daerah epidural dan paraspinal. Pemeriksaan CT-scan juga dapat mendeteksi lesi dini dan lebih efektif menilai bentuk serta kalsifikasi dari suatu abses jaringan lunak. Kalsifikasi pada abses, hampir merupakan tanda pato-gnomonik TB spinal, meskipun tidak selalu ada.16,17

Meski demikian, Bajwa18 menyatakan bahwa

pemerik-saan MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik dalam mendiagnosis dan penentuan terapi TB spi-nal. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui 1) lokasi lesi, 2)pembengkakan/abses jaringan lunak paraver-tebra, 3) jumlah vertebra yang terlibat, 4) sudut kifosis, 5) ukuran kanalis vertebralis, 6) derajat kompresi me-dulla spinalis, dan 7) tingkat kerusakan tulang/fraktur kompresi. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan dalam pemantauan untuk menilai keberhasilan terapi.18

Pada pasien ini hasil pemeriksaan MRI memberi kesan gibbus setinggi Th 2-3 sampai Th 9-10 dengan destruksi total korpus vertebra torakal 5-6-7 dan kompresi berat medula spinalis level Th 4-8. Temuan ini disimpulkan sebagai spondilitis torakalis Th 2-3 sampai Th 9-10. Walaupun data pemeriksaan penunjang sudah sugestif dengan spondilitis TB pembuktian dengan menemukan kuman M.Tuberkulosis tetap harus dilakukan dengan pemeriksaan langsung dari cairan abses untuk mene-mukan BTA dan kultur cairan abses. Hal ini rencananya akan dilakukan setelah tindakan drainase dan debride-men abses oleh dokter Bedah Saraf.

Tata laksana spondilitis TB spesifik untuk tiap individu dan tergantung pada klinis pasien. Kemoterapi dengan OAT merupakan terapi baku emas (gold standard) dan harus dimulai sejak awal terdiagnosis. Pasien dalam fase awal penyakit, tidak ada defisit neurologis, dan sedikit atau tidak ada kifosis (akibat destruksi tulang vertebra) dapat diterapi dengan kombinasi 4 macam obat anti tuberkulosis. Rifampisin dan isoniazid diberi-kan selama 12 bulan dan pirazinamid serta etambutol diberikan selama 2 bulan pertama. Kotil et al.19

melapor-kan pasien spondilitis TB daerah lumbar dan toraks tanpa defisit neurologis dan kifosis yang hanya men-dapat OAT, menunjukkan hasil pengobatan yang baik (level of evidence 2b). Apabila ditemukan kelainan neu-rologis maka tindakan bedah harus segera dilakukan secara elektif.20

Nussbaum et al21 dalam suatu studi retrospektif

me-nyimpulkan bahwa pasien dengan TB spinal harus men-jalani minimal 12 bulan terapi OAT, jika terdapat defisit neurologis berupa kelumpuhan, neuritis perifer, maka harus segera dilakukan bedah dekompresi, sedangkan jika tidak terdapat defisit neurologis, maka tindakan bedah secara elektif.20 Tindakan laminektomi dan

de-bridement cukup adekuat jika terdapat jaringan

granulo-matosa intraspinal yang tidak disertai destruksi tulang yang signifikan.21 Pada kasus di mana telah terjadi

ki-fosis, debridemen yang agresif merupakan suatu indi-kasi untuk mencegah instabilitas dan progresivitas pe-nyakit.21,22 Indikasi tindakan bedah umumnya adalah

adanya defisit neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons terhadap OAT.8 Pada kasus ini pasien

men-dapat terapi OAT yaitu rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol, yang rencananya akan diberikan selama 2 bulan (fase intensif), dilanjutkan dengan pemberian rifampicin dan INH selama 10 bulan. Pemberian ste-roid bukan merupakan suatu indikasi pada pasien ini. Menurut Cunha,23 terapi steroid dapat bermanfaat pada

pasien dengan TB paru yang disertai kavitas yang luas, meningitis tuberkulosis maupun TB milier. Selain itu

(8)

terapi steroid juga bermanfaat pada pasien dengan TB endobronkial, TB primer dengan efusi pleura masif, atau pasien dengan hipoksemia berat.23

Lama pemberian obat anti tuberkulosis untuk spondilitis TB pada beberapa literatur menunjukkan lama pembe-rian yang berbeda-beda. Sebuah telaah literatur pene-litian pengobatan spondilitis TB dengan OAT selama 6 bulan dan 9 bulan menunjukkan pemberian terapi se-lama 6 bulan cukup memadai.24 (level of evidence 2a)

Penelitian lain mendapatkan bahwa pemberian OAT selama 6 bulan untuk spondilitis TB tidak adekuat.25

(level of evidence 2b) Toppare et al.7 dalam

penelitian-nya menemukan tidak adapenelitian-nya perbedaan yang bermak-na antara pemberian OAT intermittent dengan pemberi-an OAT seperti biasa (level of evidence 3b). Di Indone-sia, pedoman nasional tuberkulosis anak merekomen-dasikan pemberian OAT selama 12 bulan.

Pada pasien saat pemeriksaan darah tepi ditemukan anemia hipokrom mikrositik dengan kadar besi me-nurun, TIBC normal dan feritin normal. Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi defisiensi besi dan infeksi atau penyakit inflamasi yang menyebabkan terpe-rangkapnya besi di dalam sel-sel imun (makrofag), gangguan metabolisme besi, serta penurunan produksi eritropoeitin. Pada pasien dengan inflamasi kronik se-ringkali sulit untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia yang disebabkan inflamasi kronik. Kadar feritin dapat normal semu pada inflamasi kronik, walaupun sebenarnya terjadi deplesi besi.26,27

Kemung-kinan penyebab anemia pada pasien ini adalah multi-faktorial, yaitu defisiensi besi dan inflamasi kronik. Pre-parat besi pada gizi buruk tidak diberikan pada fase stabilisasi atau transisi karena dapat menyebabkan stres oksidatif dan memacu pertumbuhan bakteri. Suplementasi besi mulai diberikan pada fase rehabilitasi atau saat pasien dipulangkan.

Diagnosis gizi buruk dan perawakan pendek pada pa-sien ditegakkan atas dasar klinis (wasting) dan status antropometri. Penyebab malnutrisi pada pasien adalah kombinasi kurangnya asupan nutrisi yang telah berlang-sung lama dan infeksi TB. Status gizi pasien membaik, ditandai dengan peningkatan berat badan, pada saat awal perawatan BB 16 kg dan BB saat ini 17,2 kg. Meskipun demikian kenaikan berat badan yang dicapai oleh pasien belum sesuai target yaitu 50 mg/kg/minggu sesuai pedoman WHO untuk gizi buruk. Hal ini disebab-kan karena penyakit dasar pasien yang belum teratasi yaitu belum dilakukannya debridemen dan drainase ab-ses paravertebra pada pasien karena keterbatasan da-na. Pemantauan berat badan, tinggi badan, dan lingkar

lengan atas perlu dilakukan secara berkala untuk mengetahui respons terapi.

Tata laksana gizi buruk meliputi 10 langkah tata laksana menurut WHO. Pada awal perawatan, pasien menda-patkan F100 6x200 ml. Pada minggu ke-2, karena to-leransi pasien baik, maka kalori diet ditingkatkan men-jadi F100 8x250ml diberikan melalui selang NGT. Pada minggu selanjutnya, karena intake sudah baik dan pa-sien sudah mulai mau intake per oral maka diet diubah menjadi ML 1000 kal dan F100 5x250 ml. Pada pasien gizi buruk didapatkan defisiensi mikronutrien akibat ku-rangnya asupan, adanya malabsorpsi dan gangguan metabolisme. Suplementasi mikronutrien pada pasien diberikan berdasarkan pedoman tata laksana gizi buruk WHO, yaitu vitamin A, asam folat dan mineral mix yang mengandung magnesium, seng, dan kuprum dan sele-nium. Adanya perawakan pendek menunjukkan bahwa malnutrisi yang dialami bersifat kronik. Adanya pe-rawakan pendek menunjukkan bahwa malnutrisi yang dialami bersifat kronik.

Dalam menangani kasus TB pada anak, hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan kepatuhan berobat untuk menghindari resistensi kuman M.Tuber-kulosis dan pencarian kasus TB dewasa yang menjadi sumber penularan. Pelacakan sumber infeksi dilaku-kan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA spu-tum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sum-bernya, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal untuk mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Pencarian kasus TB baru di daerah dengan insidens TB yang tinggi, sumber utama penularan mungkin bukan anggota ke-luarga tapi orang di luar keke-luarga tersebut. Pada kasus ini, orang tua dan saudara pasien telah melakukan pemeriksaan dan hasilnya negatif. Hal ini mengindikasi-kan perlunya pencarian kasus dalam ruang yang lebih luas. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan memiliki kontak erat dengan anak tersebut. Bila dihubungkan dengan kalender ter-jadinya penyakit TB di berbagai organ menurut Wallgreen, TB tulang terjadi dalam waktu 3 tahun sejak infeksi TB. Hal ini mengindikasikan kemungkinan pa-sien kontak dengan penderita TB saat berusia kurang lebih 9 tahun. Pada kasus ini sumber penularan yang mungkin adalah nenek pasien yang sudah meninggal saat pasien berusia 9 tahun dengan riwayat adanya batuk-batuk lama dan berdarah. Ketiga kakak pasien yang berisiko tinggi tertular harus diperiksa uji tuber-kulin. Apabila ketiga kakak pasien belum terinfeksi, maka harus diberikan profilaksis INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari, selama 6 bulan.28,29

(9)

Status imunisasi yang tidak lengkap juga harus men-dapat perhatian karena pasien tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit-penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada kasus ini, pasien direncanakan untuk catch up imunisasi berupa vaksinasi hepatitis B, dT, polio, hepa-titis A, varisela dan MMR. Vaksin DTaP tidak diindasikan pada anak usia 7 tahun hal ini dilakukan untuk mence-gah efek samping komponen pertusis yang lebih berat pada usia tersebut. Vaksin dT diberikan dengan inter-val 4 minggu antara dosis 1 dan 2, interinter-val 6 bulan an-tara dosis 2 dan 3, dan interval 6 bulan anan-tara dosis 3 dan 4. Vaksin hepatitis B diberikan dengan interval 4 minggu antara dosis 1 dan 2 dan antara 8 minggu antara dosis 2 dan 3. Vaksin MMR diberikan dengan interval 4 minggu antara dosis 1 dan 2. Vaksin polio oral tidak perlu diberikan 4 dosis bila dosis ketiga diberikan pada usia 4 tahun.30

Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan tulang. Pada kelainan yang minimal umum-nya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah berat dapat menimbulkan sekuele (cacat) se-hingga mengganggu mobilitas pasien.20 Kepatuhan

ter-hadap terapi dan resistensi obat merupakan faktor tam-bahan yang secara signifikan mempengaruhi progno-sis setiap individu. Prognoprogno-sis pasien dengan spondilitis TB pada sebuah penelitian oleh Park et al31

mendapat-kan bahwa prognosis amendapat-kan lebih baik pada usia muda dan tindakan bedah radikal. Lokasi lesi vertebra, lama-nya pemberian obat, atau keparahan pelama-nyakit tidak menunjukkan luaran yang berbeda bermakna secara statistik. Penelitian lain melaporkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien yang dioperasi dibanding-kan yang hanya mendapat obat anti tuberkulosis saja.32

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah ad

bo-nam karena terapi OAT segera diberikan segera setelah

diagnosis kerja ditegakkan. Prognosis quo ad

functio-nam malam dan quo ad sanactiofunctio-nam dubia ad malam.

Kedua hal ini ditentukan oleh respons terhadap terapi OAT dan keberhasilan terapi bedah. Prognosis ad

fung-sionam malam karena defisit neurologis yang terjadi

sudah cukup berat dan sudah berlangsung lama. Ke-rusakan vertebra pada pasien yang tidak diikuti dengan tindakan debridemen dan laminektomi dekompresi serta vertebra karena keterbatasan biaya menyebabkan prog-nosis yang kurang baik pada kasus ini. Pada pasien diperlukan pemantauan klinis dan pemeriksaan pe-nunjang MRI lanjutan untuk menentukan prognosis ini. Komunikasi dan edukasi kepada orangtua pasien me-ngenai penyakit, terapi dan prognosis harus

disampai-kan dengan jelas. Penjelasan mengenai pentingnya keteraturan dan kepatuhan minum obat sebaiknya diberitahukan baik kepada pasien maupun orangtua. Orangtua harus mengetahui bahwa masalah yang di-hadapi pasien saat ini adalah infeksi TB di paru dan di tulang belakang, masalah nutrisi, dan anemia. Semua masalah ini harus diterapi secara simultan. Bila pasien telah menjalani operasi dan rawat jalan, orangtua harus mengerti pemantauan yang harus dilakukan. Orangtua harus diedukasi untuk melengkapi status imunisasi pa-sien dan ketiga kakaknya, dan yang tidak kalah penting adalah mencari sumber penularan TB di lingkungan pasien. Pada kasus ini orangtua pasien dapat mene-rima kondisi pasien, namun agak kesulitan dalam me-mahami perjalanan penyakit, sumber penularan, komplikasi, terapi yang harus dijalani, serta prognosis penyakit.

KESIMPULAN

Spondilitis TB merupakan masalah yang kompleks pa-da anak. Permasalahan ini tipa-dak hanya meliputi lingkup medis, namun juga memberikan dampak sosial bagi anak dan keluarganya. Kondisi ini dapat dicegah bila klinisi mampu memahami dan melakukan diagnosis dini. Keberhasilan dalam tatalaksana Spondilitis TB sa-ngat tergantung cepatnya diagnosis ditegakkan. Hal ini juga mencegah terjadinya komplikasi lain yang lebih luas, seperti yang terdapat dalam kasus ini. Terapi Spondilitis TB meliputi terapi farmakologi, rehabilitasi medis, dan pembedahan. Perlu adanya kerjasama an-tar departemen yang terlibat agar penanganann kasus menjadi komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fenichel GM. Paraplegia and quadriplegia. Dalam: Fenichel GM. Clinical pediatric neurology a sign and symptom approach, edisi ke 5. Philadelphia: Elsevier; 2005: p.255-71.

2. Hidalgo JA. Pott disease (tuberculous spondylitis). Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/ar-ticle/226141. Diakses pada tanggal 21 Desember 2009.

3. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res. 2004;120:316-53.

4. Kotevoglu N, Tasbasi I. Diagnosing tuberculous spondylitis: patients with back pain referred to a rheu-matology outpatient department. Rheumatol Int. 2004;24:9-13.

5. Khalilzadeh S, Zahirifard S, Velayati AA. Tuberculosis of the spine in children. Tanaffos. 2002;1(3):45-9. 6. McLain RF, Isada C. Spinal tuberculosis deserves a

place on the radar screen. Cleveland Clin J Med. 2004;71:537-49.

(10)

7. Toppare MF, Gocroen A, Kiper N, Gogus T. Tubercu-lous spondylitis and intermittent chemotherapy in childhood. J Trop Pediatr. 1993;39: 255-7.

8. Turgut M. Spinal tuberculosis (Pott's disease): its clinical presentation, surgical management, and out-come. A survey study on 694 patients.Neurosurg Rev. 2001;24:8-13.

9. Teo HEL, Peh W CG. Skeletal tuberculosis in chil-dren. Pediatr Radiol. 2004; 34: 853-60.

10. Tuberk ulosis dalam k eadaan k husus. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.h. 47-67. 11. Odey FA, Umoh UU, Meremikwu MM, Udosen AM.

Potts disease in children and adolescents in Cala-bar, Nigeria . The Int J Infect Dis. 2007;6(1):1-6. 12. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C.

Di-agnosis. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.23-45.

13. Marais BJ, Gie RP, Hesseling AC, Sc haaf HS, Lombard C, Enarson DA, et al. A refined symptom-based approach to diagnose pulmonary tuberculo-sis in children. Pediatrics. 2006;118:e1350-60. 14. Muzaffar TMS, Shaifuzain AR, Imran Y, Haslina MN.

Hematological changes in tuberculous spondylitis patients at the Hospital Universiti Sains Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;39(4):686-9.

15. Burrill J, W illiams CJ, Bain G, Londer G, Hine AL, Misra RR. Tuberculosis: a radiologic review. Radigraphics. 2007;27:1255-73.

16. Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J neurosurg spine. 2005;2:145-50. 17. Buxi TBS, Sud S, Vohra R. CT and MRI in the

diagno-sis of tuberculodiagno-sis. Indian J Pediatr. 2002;69:965-72.

18. Bajwa GR. Evaluation of the role of MRI in spinal tuberculosis: a study of 60 cases. Pak J Med Sci. 2009;25:944-7.

19. Kotil K, Alan MS, Bilge T. Medical management of pott diseasein the thoracic and lumbar spine: a prospec-tive clinical study. J Neurosurg Spine. 2007;6:222-8. 20. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C. Tuberkulosis dengan keadaan khusus. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.67-94.

21. Nussbaum ES, Rock swold GL, Bergman TA, Erickson DL, Seljeskog EL. Spinal tuberculosis: a diagnostic and management challenge. J neurosurg. 1995; 83:243-7.

22. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculo-sis. International Orthopaedics (SICOT). 2008;32:127-33.

23. Cunha BA. Pulmonary tuberculosis and steroids. Chest. 1995;107;1486-7.

24. Loenhouf-Rooyackers van JH, Verbeek ALM, Jutte PC. Chemotherapeutic reatment for spinal tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2002;6:259-65.

25. Ramachandran S, Clifton IJ, Collyns TA, Watson JP, Pearson SB. The treatment of spinal tuberculosis: a retrospective study. Int J Tuberc Lung Dis. 2005;9:541-4.

26. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352:1011-23.

27. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: BP IDAI; 2005.p. 30-43.

28. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C. Tata laksana. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.47-66.

29. Ahmed T, Sobhan F, Ahmed AMS, Banu S, Mahmood AM, Hyder KA. Childhood tuberculosis: a review of epidemiology, diagnosis and management. Infect Dis J Pak. 2008;17:53-60.

30. Advisory Committee on immunization, American acad-emy of Pediatrics, American acadacad-emy of Family Phy-sicians. The recommended immunization schedule for persons aged 0-18 years. Diunduh dari: http:// www.cdc.gov. Diakses pada tanggal 14 Juni 2009. 31. Park DW, Sohn JW, Kim EH, Cho DI, Lee JH, Kim KT,

et al. Outcome and management of spinal tuerculosis according to the severity of disease: a retrospective study of 137 ault patients at korean teaching hospitals. Spine. 2007;32: p.130-5. 32. Enam SA, Shah AA. Treatment of spinal

tuberculo-sis: role of surgical intervention. Pak J Neurol Sci. 2006;1:145-51.

Referensi

Dokumen terkait

Pengunaan simbol merupakan cara yang relatif mudah untuk menyampaikan kesan atau pesan kepada orang yang melihatnya atau masyarakat luas, sehingga diharapkan dapat membentuk

Untuk tujuan itu, senario perumahan khasnya perumahan kos rendah secara umum dikupas bagi menjadi dasar kepada hujah-hujah yang dikemukakan disamping melihat kepada permasalahan

Saya menyambut baik penandatanganan Kesepahaman tentang Penanganan Dugaan Tindak Pidana di Bidang Sistem Pembayaran dan KUPVA ini, sebagai bagian integral dari

Karena memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari α (0,05), maka hal ini menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijelaskan oleh

l. pelaksanaan teknis administratif meliputi administrasi umum, kepegawaian, keuangan, sarana prasarana, dan administrasi perlengkapan;.. pelaksanaan tugas lain yang

Tabel 4.9 Korelasi Tingkat Kebahagiaan Dengan Tingkat Kepuasaan Hidup Correlations Tingkat Kepuasan Tingkat Kebahagiaan Spearman's rho Tingkat Kepuasan Correlation Coefficient

Salah satu sifat yang mesti diwujuddkan dalam kehidupan sehari-hari ialah saling menghargai kepada sesama manusia dengan berlaku sopan, tawadhu, tasamuh,