• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Pencegahan Trikuriasis di Pesantren X, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Pencegahan Trikuriasis di Pesantren X, Jakarta Timur"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai

Pencegahan Trikuriasis di Pesantren X, Jakarta Timur

Shafira Anindya, Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP & E,MS

1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

E-mail: shafiraanindya@ymail.com

Abstrak

Agar bisa berperilaku baik seseorang harus mempunyai pengetahuan yang baik. Untuk mempunyai pengetahuan yang baik, perlu diberikan penyuluhan. Oleh karena itu, diperlukan survey untuk mengetahui efektivitas penyuluhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan santri mengenai pencegahan trikuriasis. Pencegahan trikuriasis penting karena trikuriasis menyebabkan anemia dan diare. Penelitian ini menggunakan metode pre-post study. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner pada 154 responden yang terdiri dari 81 orang santri Madrasah Tsanawiyah dan 73 orang santri Madrasah Aliyah yang dipilih dengan total sampling. Responden memiliki usia yang beragam dari 12 hingga 20 tahun dengan persebaran laki-laki sebanyak 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%). Sebelum penyuluhan jumlah santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pencegahan trikuriasis sebanyak 8 orang (5,2%), yang memiliki tingkat pengetahuan cukup sebanyak 28 (18,2%), dan 118 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang (76,6%). Sesudah penyuluhan jumlah santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pencegahan trikuriasis sebanyak 28 orang (18,2%), yang memiliki tingkat pengetahuan cukup sebanyak 45 (29,2%), dan 81 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang (52,6%). Dengan uji marginal homogenity didapatkan p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan.

Kata kunci: trikuriasis, pencegahan, penyuluhan, pengetahuan santri

The Effectiveness of Health Promotion in Improving Students Knowledge Level at Islamic Boarding School About the Prevention of Trichuriasis

Abstract

People must have a good knowledge to have a good behavior. In order to have a good behavior, health promotion should be given. That’s why a survey is needed to know the effectiveness of health promotion. The purpose of this research is to know about the effectiveness of health promotion in improving the student’s knowledge about prevention of trichuriasis. Prevention of trichuriasis is important because trichuriasis cause anemia and diarrhea. The design used in this research is pre-post study. The data collecting was held on 22nd of January 2011 by giving a questioner to 154 students (81 students of junior high school and 73 students of senior high school) in Islamic boarding school. There are 91 female students (59,1%) and 63 male students (40,1%) with various ages (12-20 years old). Before health promotion, 8 students (5,2%) has poor level, 28 students (18,2%) has fair level, and 118 students (76,6%) has good level of knowledge. After health promotion was applied, 28 students (18,2%) has poor level, 45 students (29,2%) has fair level, and 81 students (52,6%) has good level of knowledge. Based on the marginal homogenity test, there’s a significant improvement of knowedge before and after the health promotion (P<0,01).

(2)

Pendahuluan

Trikuriasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Trichuris trichiura (cacing cambuk). Penyakit tersebut terdapat di seluruh dunia terutama di daerah subtropis dan tropis karena beriklim hangat dan lembab. Trikuriasis juga banyak terjadi di negara-negara berkembang karena di negara berkembang sanitasinya kurang baik. Sekitar 25% penduduk dunia diperkirakan terinfeksi T. trichiura.1

Trikuriasis cenderung terjadi pada anak. Sebuah riset di Nigeria menunjukkan prevalensi infeksi cacing (termasuk trikuriasis) lebih tinggi pada anak usia SD karena mereka sering kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing saat bermain serta mereka masih kurang memiliki kesadaran akan kebersihan diri. Hasil riset tersebut menyarankan diadakannya program kesehatan seperti penyuluhan, untuk meningkatkan kesehatan anak-anak tersebut.2 Di Indonesia, trikuriasis umumnya terjadi di wilayah padat penduduk yang memiliki sanitasi kurang baik dengan jenis tanah yaitu tanah liat. Prevalensi cacingan (termasuk trikuriasis) di Indonesia masih tergolong tinggi yaitu 40%-60%. Untuk usia SD, prevalensinya lebih tinggi yaitu 60%-80%. Berdasarkan hasil survei di 40 Sekolah Dasar di 10 provinsi, prevalensi cacingan (termasuk trikuriasis) didapatkan sebesar 2,2%-96,3%. Pada tahun 2002-2006, diadakan pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah di 230 SD/MI yang tersebar di 27 kabupaten/propinsi. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi cacingan adalah 35,5% dengan kisaran 0,4% - 83,6% sedangkan rata-rata prevalensi trikuriasis adalah 20,5%.3

Di Jakarta, prevalensi trikuriasis pada murid sekolah dasar tergolong tinggi. Berdasarkan hasil survei di suatu SD Kecamatan Kalibaru Jakarta Utara, 65% murid terinfeksi cacing usus termasuk trikuriasis.4 Di Jakarta Timur, prevalensi trikuriasis masih tergolong tinggi. Di salah satu SD di Jakarta Timur, didapatkan prevalensi cacingan (termasuk trikuriasis) pada siswa-siswanya sebesar 82,5%.5

Trikuriasis menyebabkan anak sering mengalami diare dan pada keadaan berat dapat menyebabkan anemia serta sindrom disentri dengan komplikasi prolapsus ani.3 Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pencegahan. Agar pencegahan memberikan hasil sesuai dengan yang diinginkan, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai trikuriasis.

(3)

Pengetahuan dapat diberikan melalui media elektronik, media cetak dan ceramah (penyuluhan kesehatan).6

Di Jakarta Timur terdapat pesantren dengan tingkat kepadatan santri yang tinggi. Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri) tinggal di asrama.7 Umumnya santri hidup dalam lingkungan yang padat dengan sanitasi yang kurang baik sehingga mereka mudah terinfeksi cacingan antara lain T. trichiura. Mengingat jenis tanah di wilayah Jakarta Timur adalah tanah liat, maka santri berpotensi terinfeksi T. trichiura. Oleh karena itu, santri perlu diberikan pengetahuan untuk mencegah trikuriasis dengan memberikan penyuluhan. Untuk mengetahui efektivitas penyuluhan perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan trikuriasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Tinjauan Teoritis

T. trichiura adalah spesies cacing yang menyebabkan trikuriasis ketika menginfeksi usus besar manusia. T. trichiura memiliki bentuk tubuh seperti cambuk oleh karena itu cacing ini juga dikenal dengan sebutan cacing cambuk.8

T. trichiura dewasa berwarna merah muda. Bagian anterior T. trichiura berbentuk seperti cambuk dan bagian posterior T. trichiura lebih tebal karena berisi usus dan seperangkat alat reproduksi.9 T. trichiura jantan memiliki ujung ekor melingkar dan terdapat spikulum sementara T. trichiura betina memiliki ujung ekor membulat.10 Ukuran T. trichiura betina cenderung lebih besar dari T. trichiura jantan. T. trichiura betina memiliki panjang tubuh sekitar 5 cm sementara T. trichiura jantan memiliki panjang tubuh sekitar 4 cm.11

T. trichiura berkembang biak dengan bertelur. Telur yang dihasilkan berukuran 50 x 22µ.11 Telur tersebut memiliki bentuk seperti tempayan dengan tonjolan yang jernih pada kedua kutub. Bagian kulit terluar telur berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya berwarna jernih.9 Setiap hari, T. trichiura betina mampu menghasilkan 3.000 – 5.000 butir telur. Telur kemudian dikeluarkan dari hospes bersama tinja.3

Hospes utama T. trichiura adalah manusia. Meskipun demikian, kera dan babi juga bisa menjadi hospes.12 Siklus hidup T. trichiura dimulai dengan telur yang baru dikeluarkan

(4)

bersama tinja dari hospes. Telur tersebut akan menjadi infektif dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah liat dan pada kondisi lingkungan yang lembab dan teduh.11 Apabila telur yang infektif tersebut masuk ke saluran pencernaan manusia, telur tersebut akan menetas di dalam usus halus. Di usus halus, larva T. trichiura berkembang menjadi dewasa. Dalam waktu 30-90 hari, telur T. trichiura yang tertelan oleh hospes berkembang menjadi cacing dewasa. Setelah dewasa, T. trichiura hidup di kolon asendens dan sekum. T. trichiura dewasa dapat hidup di usus manusia selama 1-5 tahun. T. trichiura betina yang telah dewasa kemudian menghasilkan telur yang kemudian akan kembali dikeluarkan oleh hospes melalui feses.8,11

T. trichiura umumnya hidup di sekum manusia, namun dapat pula ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini dapat tersebar di seluruh kolon dan rektum. Terkadang cacing dapat ditemukan di mukosa rektum yang mengalami prolapsus.14

T. trichiura memasukkan kepalanya yang berbentuk seperti cambuk ke dalam mukosa usus. Hal itu menyebabkan trauma yang menimbulkan iritasi mukosa usus dan inflamasi. Inflamasi akibat menempelnya T. trichiura dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis. Kolitis mengakibatkan nyeri abdomen kronis pada penderita, serta diare kronis. Diare kronis pada penderita trikuriasis dapat menyebabkan terjadinya prolapsus rekti.15 Selain itu, T. trichiura juga mengisap darah hospesnya sehingga mengakibatkan anemia.

Trikuriasis tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah penduduk Cina yang terinfeksi (210 juta), diperkirakan lebih dari satu miliar manusia di dunia terinfeksi T. trichiura.8 Tanah hangat dan lembab yang telah tercemar feses manusia yang mengandung telur T. trichiura merupakan media transmisi trikuriasis terbaik. T. trichiura tidak hanya ditemukan pada lingkungan tropis yang lembab, namun juga ditemukan pada Amerika Utara dan Afrika Selatan. Meskipun transmisi dapat terjadi di dareah beriklim dingin, hiperendemisitas terjadi pada dataran yang lebih rendah dengan temperatur yang lebih tinggi.15

Faktor lingkungan yang mempengaruhi epidemiologi soil transmitted helminths termasuk trikuriasis yaitu faktor iklim, tanah dan kelembaban. Iklim yang paling sesuai untuk perkembangan telur cacing menjadi infektif adalah iklim tropis. Untuk T. trichiura, suhu optimalnya adalah 30°C. Jenis tanah yang paling optimal untuk perkembangan telur T.

(5)

trichiura adalah tanah liat. Untuk kelembaban, telur T. trichiura dapat bertahan pada tanah yang lembab selama bertahun-tahun.16

Trikuriasis tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah penduduk Cina yang terinfeksi (210 juta), diperkirakan lebih dari satu miliar manusia di dunia terinfeksi T. trichiura.8 Tanah hangat dan lembab yang telah tercemar feses manusia yang mengandung telur T. trichiura merupakan media transmisi trikuriasis terbaik. T. trichiura tidak hanya ditemukan pada lingkungan tropis yang lembab, namun juga ditemukan pada Amerika Utara dan Afrika Selatan. Meskipun transmisi dapat terjadi di dareah beriklim dingin, hiperendemisitas terjadi pada dataran yang lebih rendah dengan temperatur yang lebih tinggi.15

Faktor lingkungan yang mempengaruhi epidemiologi soil transmitted helminths termasuk trikuriasis yaitu faktor iklim, tanah dan kelembaban. Iklim yang paling sesuai untuk perkembangan telur cacing menjadi infektif adalah iklim tropis. Untuk T. trichiura, suhu optimalnya adalah 30°C. Jenis tanah yang paling optimal untuk perkembangan telur T. trichiura adalah tanah liat. Untuk kelembaban, telur T. trichiura dapat bertahan pada tanah yang lembab selama bertahun-tahun.16

Diagnosis trikuriasis mudah ditegakkan dengan menemukan telur yang terdapat dalam tinja.3 Pada pemeriksaan tinja dengan mikroskop, telur tampak berbentuk seperti tempayan. Telur lebih mudah dilihat dengan sediaan basah.3

Penyakit cacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan metabolisme makanan sehingga menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja. Cacingan juga menurunkan daya tahan tubuh sehingga memudahkan infeksi penyakit lain. Perkiraan jumlah kehilangan darah disebabkan cacing cambuk sehari bila dihitung berdasarkan jumlah penduduk Indonesia 220 000 000 adalah:

- 220 000 000 x 40% x 0,005 cc x100 = 44 000 000 cc darah = 44 000 liter darah per hari. - Kehilangan darah selama setahun: 44 000 liter x 365 hari = 16 060 000 liter darah per tahun. - Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk, dengan demikian kerugian akibat trikuriasis pada anak usia tersebut adalah: 21% x 16 060 000 liter = 3 372 600 liter darah per tahun.3

(6)

Obat yang digunakan untuk trikuriasis adalah mebendazol dan albendazol.3 Mebendazol diberikan dengan dosis 2 X 100 mg selama 3 hari. Mebendazol tidak boleh diberikan pada ibu hamil karena membahayakan janin.12 Albendazol diberikan dengan dosis tunggal 400 mg atau 1 x 200mg selama 3 hari. Kombinasi albendazol dengan ivermectin seperti pengobatan pada filariasis, berefek lebih baik daripada hanya dengan albendazol.18 Dua hingga empat minggu setelah pengobatan trikuriasis, penderita dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tinja.18 Kebiasaan buang air besar sembarangan berperan dalam pencemaran tanah oleh telur cacing. Dari hasi penelitian Amri et al19 di Perkebunan Teh X, Jawa Barat, hanya 36,54% dari pemetik teh yang buang air besar menggunakan jamban, dimana sisanya buang air besar di sungai atau tanah perkebunan. Kebiasaan masyarakat yang tidak buang air besar di jamban dapat mencemari tanah. Dari hasil penelitian Hawin,20 telur cacing ditemukan pada 46,15% tanah di sekitar rumah di 3 RT di desa Patemon, kecamatan Gunung Pati, kodya Semarang. Kebiasaan warga buang air besar di sungai menyebabkan air sungai tercemar telur cacing. Karena petani menyiram tanaman dengan air sungai, telur cacing berpindah dari sungai ke tanaman. Akhirnya, tanaman menjadi tercemar telur cacing. Selain itu, kebiasaan petani memupuk tanaman dengan kotoran manusia juga berperan dalam perpindahan telur cacing ke tanah dan tanaman. Dari pemeriksaan tinja, tanah, sayuran, dan air pada lahan pertanian di Sanlinurfa, Turki tahun 2001, 59,5% dari 314 sampel, termasuk 88,4% sampel tinja, 60,8% sampel air, 84,4% sampel tanah dan 14% sampel sayuran, ditemukan positif telur cacing.21 Masyarakat Indonesia terbiasa mengonsumsi sayuran mentah. Kebiasaan ini terutama dilakukan oleh masyarakat di Jawa Barat dimana 95% masyarakatnya terbiasa mengonsumsi sayuran mentah yang tidak dicuci.22 Hal ini dapat menyebabkan masuknya telur cacing ke tubuh manusia. Oleh karena itu, sebelum dimakan mentah, sayuran harus dicuci bersih. Di perkotaan, sebagian WC warga dialirkan ke got, bukan ke septik tank. Hal itu menyebabkan tercemarnya air got dengan telur cacing. Kemudian, pada siang hari, warga sering menyiram jalanan dengan air got dengan tujuan untuk mengurangi panasnya jalanan sehingga jalanan tercemar telur cacing. Angin juga berperan dalam penyebaran telur cacing. Angin menerbangkan telur cacing dari jalanan ke makanan sehingga makanan menjadi tercemar dengan telur cacing.21 Anak-anak sering bermain di jalanan dan setelah itu langsung makan tanpa mencuci tangan. Oleh karena itu, anak-anak harus diajarkan mengenai sanitasi

(7)

dan kebersihan diri terutama mengenai kebiasaan memelihara kebersihan kuku serta mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.20

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pesantren adalah asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji, dsb. Menurut Dhofier,7 pesantren merupakan asrama pendidikan Islam yang pelajarnya tinggal bersama dan memiliki guru-guru yang disebut kyai. Menurut Dariansyah, dikutip dari Muzakir23 menyatakan bahwa pesantren adalah rumah yang ditempati oleh santri-santri yang digunakan untuk bergaul dengan teman, beristirahat, dan berlindung.

Berdasarkan KBBI, penyuluhan merupakan proses, cara, perbuatan menyuluh; penerangan. Penyuluhan adalah salah satu bentuk promosi kesehatan untuk mengubah sikap atau meningkatkan pengetahuan agar memungkinkan terciptanya perilaku sehat.24 Menurut Herawani,25 penyuluhan kesehatan adalah metode pemberian teknik belajar atau instruksi yang bertujuan mengubah perilaku manusia baik manusia itu sendiri, maupun manusia dalam kelompok, serta masyarakat untuk mencapai tujuan hidup yang sehat. Terdapat berbagai metode dalam menyampaikan penyuluhan. Berdasarkan sasarannya, penyuluhan dibedakan menjadi penyuluhan individual, kelompok, dan masyarakat.6 Berdasarkan media penyampaiannya metode penyuluhan dapat dibagi menjadi penyuluhan melalui media lisan, media cetak, dan media terproyeksi, serta berdasarkan hubungan penyuluh dan sasarannya, penyuluhan terbagi menjadi penyuluhan tidak langsung melalui surat, leaflet, booklet, dan sebagainya, dan penyuluhan langsung berupa tatap muka atau telepon.6

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan berarti segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan suatu hal. Menurut Keraf,26 pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia mengenai dunia dan isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah pre-post study untuk mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan trikuriasis. Lokasi penelitian ini adalah di Pesantren X, Jakarta Timur. Data diambil pada tanggal 22 Januari 2011. Populasi target penelitian ini adalah santri pesantren. Populasi terjangkau penelitian ini adalah santri

(8)

pesantren X, Jakarta Timur. Pemilihan sampel dilakukan dengan total sampling yaitu semua santri Pesantren X dijadikan subjek penelitian. Kriteria inklusi penelitian ini adalah seluruh santri pesantren X, Jakarta Timur yang terdaftar pada tanggal 22 Januari 2011. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah santri pesantren X Jakarta Timur yang tidak hadir pada saat pengambilan data yaitu pada tanggal 22 Januari 2011. Besar sampel penelitian ini sesuai dengan jumlah santri di pesantren X, Jakarta Timur. Variabel independen penelitian ini adalah penyuluhan, sementara variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan trikuriasis. Variabel perancu pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sumber informasi.

Sebelum data diambil, peneliti memberikan penjelasan mengenai apa yang akan dilakukan di penelitian ini, kemudian subjek diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti memberikan kuesioner pre-test mengenai pencegahan trikuriasis. Setelah pengisian selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Setelah itu, responden diberikan penyuluhan mengenai trikuriasis oleh tenaga kesehatan (dokter) yang berpengalaman dalam memberikan penyuluhan. Setelah penyuluhan selesai, responden diberikan kuesioner pos-test yang berisi pertanyaan yang sama dengan pre-test. Setelah pengisian kuesioner selesai dan kuesioner telah lengkap peneliti memberikan souvenir sebagai tanda terima kasih kepada responden. Data yang diperoleh akan dijaga kerahasiaannya.

Data penelitian ini diolah menggunakan program SPSS 17.0. Setelah dilakukan pengolahan data, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Analisis data dapat menggunakan uji wilcoxon dan marginal homogenity. Pada penelitian ini digunakan uji marginal homogenity. Kemudian interpretasi analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan antar-variabelnya. Hasil dari penelitian ini ditulis dalam format skripsi dan dilaporkan kepada pembimbing riset untuk diajukan sebagai ujian skripsi program S1 pendidikan dokter umum.

Verifikasi data dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dan kesesuaian data yang didapatkan dari pengisian kuesioner segera setelah pengambilan data. Setelah semua data telah lengkap dan sesuai, data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan skala pengukurannya, yaitu numerik, ordinal, dan nominal. Skor pengetahuan responden diklasifikasikan dengan skala ordinal, serta karakteristik santri diklasifikasikan dalam skala ordinal. Analisis univariat digunakan untuk melihat penyajian distribusi frekuensi dari analisis distribusi variabel

(9)

dependen dan variabel independen. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

Hasil

Survei dilakukan pada 154 responden, dengan jumlah responden laki-laki sebanyak 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%). Responden yang mengikuti penelitian ini memiliki usia yang beragam dari 12 hingga 20 tahun. Dari 154 responden, 81 orang merupakan santri Madrasah Tsanawiyah dan 73 orang merupakan santri Madrasah Aliyah.

Tabel 1. Tingkat Pengetahuan Santri Mengenai Pencegahan Trikuriasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Variabel Tingkat Pengetahuan Uji

Baik Sedang Kurang

Sebelum 8 28 118 Marginal homogeneity p<0,01 (5,2%) (18,2%) (76,6%) Sesudah 28 45 81 (18,2%) (29,2%) (52,6%)

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pengetahuan santri meningkat setelah penyuluhan. Pada uji marginal homogenity didapatkan p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna pada tingkat penyuluhan santri sebelum dan sesudah penyuluhan.

Tabel 2 Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai Pencegahan Trikuriasis

No. Pertanyaan Skor Total Skor Presentase

Pre Post Maks Pre Post

16 Cacingan dapat dicegah dengan cara… 454 505 770 59 66 17 Jika ingin makan lalap/sayuran mentah,

sayuran dicuci dengan...

328 456 770 43 59 18 Pencegahan cacingan pada anak dilakukan

dengan…

446 460 770 58 60 19 Tanah yang sesuai untuk perkembangan

telur cacing cambuk adalah…

305 445 770 40 58 20 Jika seseorang berkebun, tindakan yang

dilakukan agar tidak tertular cacingan adalah…

(10)

Dari tabel 2 terlihat bahwa semua skor jawaban kuesioner meningkat setelah penyuluhan. Peningkatan skor tertinggi pada pertanyaan nomor 17 (Jika ingin makan lalap/sayuran mentah, sayuran dicuci dengan...) dengan peningkatan sebesar 128 poin (16,6%).

Pembahasan

Pengetahuan adalah hal yang penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan adalah dengan memberikan penyuluhan, dalam hal ini mengenai pencegahan trikuriasis. Dengan penyuluhan diharapkan masyarakat mengetahui cara pencegahan trikuriasis yang benar.

Dalam penelitian ini, pada saat pre-test, jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik hanya 5,2% sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan cukup 18,2% dan sisanya 76,6% memiliki tingkat pengetahuan kurang. Rendahnya tingkat pengetahuan responden tersebut dapat disebabkan karena dalam kegiatan santri sehari-hari, mereka tidak pernah membahas tentang cacingan, termasuk trikuriasis. Pihak pesantren juga tidak memiliki program penyuluhan kesehatan yang berkala dan hanya memiliki dokter yang berdinas pada waktu tertentu di poskestren. Dokter poskestren hanya mengobati santri yang sakit dan tidak pernah memberikan penyuluhan mengenai trikuriasis. Selain itu, dalam kurikulum pesantren, tidak ada pelajaran IPA, sehingga santri tidak mendapat pelajaran biologi. Akibatnya, santri tidak pernah mendapat pelajaran tentang cacingan, termasuk trikuriasis. Rendahnya tingkat pengetahuan santri pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Subahar27 pada tahun 1995 di Duren Sawit, Jakarta Timur, yang mendapatkan 93,05% responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sekartini et al,22 tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu yang memiliki anak usia SD tentang penyakit cacingan di kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar responden dalam penelitian ini (59,6%) memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai cacingan sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan cukup 30,3% dan pengetahuan kurang hanya 10,1%. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya perbedaan latar belakang responden, dimana pada penelitian ini, responden adalah siswa MTs dan MA, sementara pada penelitian Sekartini et al,22 respondennya adalah orang tua siswa. Perbedaan latar belakang ini

(11)

berpengaruh pada perbedaan banyaknya pengetahuan mengenai cacingan yang diperoleh responden sebelumnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai pencegahan trikuriasis (p<0,01). Setelah diberikan penyuluhan, jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik meningkat dari 5,2% menjadi 18,2%, dan terdapat penurunan pada jumlah responden yang memiliki pengetahuan kurang dari 76,6% menjadi 52,6%.

Peningkatan pengetahuan responden terjadi karena responden yang mengikuti penyuluhan adalah santri madrasah tsanawiyah dan aliyah yang sudah terbiasa menerima materi dalam bentuk ceramah sehingga mereka dapat menyimak dan menerima informasi penyuluhan dengan baik. Materi yang diberikan merupakan materi baru sehingga mereka tertarik dan antusias terhadap topik penyuluhan. Selain itu penyuluh adalah dokter yang berpengalaman dalam menyampaikan informasi dengan cara yang menarik dan mudah dipahami responden sehingga mendukung peningkatan pengetahuan tersebut.

Metode ceramah merupakan salah satu metode yang baik untuk digunakan dalam menyampaikan informasi. Suprapto (dikutip dari Pasaribu28) menyatakan metode ceramah interaktif dapat memberikan hasil yang baik karena terjadi komunikasi dua arah antara responden dan penyuluh. Dari penelitian Pasaribu,28 metode penyuluhan dengan ceramah dan buku bacaan menarik (komik) sama-sama memberikan perbedaan bermakna terhadap peningkatan pengetahuan responden, namun, ceramah memberikan hasil lebih baik dibandingkan komik karena pada ceramah terjadi komunikasi dua arah sedangkan pada komik hanya satu arah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Pasaribu28 bahwa metode penyuluhan kesehatan dengan cara ceramah memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden.

Peningkatan pengetahuan belum tentu diikuti dengan peningkatan perilaku karena seseorang yang telah memiliki pengetahuan baik belum tentu mau menerapkan pengetahuan yang telah diketahuinya. Pernyataan tersebut didukung oleh Sekartini et al22 yang melaporkan bahwa baik atau buruknya sikap responden tidak didasarkan atas pengetahuan yang dimilikinya. Pada penelitian Sekartini et al,22 sikap baik yang dimiliki responden berasal dari kebiasaan

(12)

itu, penyuluhan harus diikuti dengan pendidikan perilaku dan perilaku tersebut harus dievaluasi.

Pada kuesioner ini terdapat lima butir soal mengenai pencegahan trikuriasis. Setiap soal memiliki skor maksimal 5 dan responden dapat menjawab lebih dari 1 jawaban di setiap soal. Sebelum diberikan penyuluhan, sebagian besar responden banyak menjawab salah sehingga tingkat pengetahuan mereka tergolong rendah. Setelah penyuluhan, jawaban benar meningkat dan jawaban salah berkurang sehingga terjadi peningkatan pengetahuan secara bermakna. Pertanyaan pertama adalah mengenai cacingan dapat dicegah dengan cara apa. Untuk mendapatkan skor maksimal, responden harus menjawab A dan B (menggunting kuku dan mencuci tangan). Sebelum diberikan penyuluhan, hanya terdapat 15 responden yang memperoleh skor 5. Sebagian besar responden memperoleh skor 3 karena menjawab hanya mencuci tangan saja. Setelah diberikan penyuluhan, terjadi penurunan jumlah responden yang menjawab hanya cuci tangan saja yaitu dari 111 menjadi 73 dan terjadi peningkatan jumlah responden yang mendapatkan skor 5, yaitu dari 15 orang menjadi 44 orang. Karena pada penyuluhan, informasi mengenai mencuci tangan dan menggunting kuku sebagai metode untuk mencegah cacingan cukup jelas. Meskipun demikian, masih banyak responden yang menjawab hanya mencuci tangan saja.

Pertanyaan kedua adalah pertanyaan mengenai jika ingin makan lalap/sayuran mentah, sayuran dicuci dengan apa. Untuk mendapatkan skor maksimal, responden harus menjawab A dan B (air mengalir dan direndam). Sebelum diberikan penyuluhan, tidak ada responden yang memperoleh skor 5. Sebagian besar responden, yaitu 70 orang, memperoleh skor 4 karena menjawab hanya dengan air mengalir saja. Sementara 48 orang responden memperoleh skor 1 karena menjawab hanya dengan direndam saja. Setelah diberikan penyuluhan, terjadi peningkatan jumlah responden yang memperoleh skor 5 yaitu dari tidak ada sama sekali menjadi 5 orang. Selain itu terjadi penurunan jumlah responden yang menjawab hanya direndam saja yaitu dari 48 menjadi 31 orang. Meskipun demikian, terjadi peningkatan jumlah responden yang memperoleh skor 4 karena menjawab hanya air mengalir saja dari 70 orang menjadi 100 orang. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat penyuluhan, pemberi materi terlalu menekankan tentang mencuci di air yang mengalir, sehinga informasi mengenai merendam sayuran kurang dapat diserap dengan baik.

(13)

Pertanyaan ketiga adalah mengenai pencegahan cacingan pada anak dilakukan dengan apa. Untuk mendapatkan skor maksimal, responden harus menjawab A, B, dan C (tidak main tanah, tidak buang air besar di got dan tidak buang air besar di kebun). Sebelum diberikan penyuluhan, hanya terdapat 10 responden yang memperoleh skor 5 dan 2 responden yang memperoleh skor 4. Sebagian besar responden memperoleh skor 3 karena hanya menjawab tidak main tanah (A). Setelah diberikan penyuluhan, terjadi penurunan jumlah responden yang hanya menjawab tidak main tanah yaitu dari 125 menjadi 90 orang dan terjadi peningkatan jumlah responden yang mendapatkan skor 4 dan 5, yaitu dari 2 orang menjadi 11 orang dan dari 10 orang menjadi 24 orang. Hal ini disebabkan penyuluhan yang diberikan menarik dan mengandung informasi yang jelas mengenai pencegahan cacingan pada anak. Namun, masih banyak responden yang menjawab hanya mencuci tangan saja.

Pertanyaan keempat adalah pertanyaan mengenai tanah yang sesuai untuk perkembangan telur cacing cambuk adalah apa. Untuk memperoleh skor 5 (maksimal), responden harus menjawab A (tanah liat). Sebelum penyuluhan, terdapat 61 orang responden yang menjawab A. Namun, sebagian besar responden masih menjawab B (tanah humus) karena mereka tahu bahwa tanah humus adalah tanah yang paling subur untuk tanaman sehingga dianggap paling baik pula untuk pertumbuhan telur cacing cambuk. Setelah diberikan penyuluhan, jumlah responden yang memperolah skor 5 meningkat dari 61 orang menjadi 89 orang dan terjadi penurunan jumlah responden yang menjawab B dan D (tanah humus dan tidak tahu). Hal ini disebabkan karena pada penyuluhan yang diberikan, informasi mengenai jenis tanah yang sesuai disampaikan dengan jelas dan mudah dipahami. Meskipun demikian, masih ada 9 orang responden yang tidak mengubah jawabannya dari pilihan C (pasir).

Pertanyaan kelima adalah jika seseorang berkebun, tindakan yang dilakukan agar tidak tertular cacingan adalah apa. Untuk memperoleh skor maksimal, responden harus menjawab A dan B (mencuci tangan dan memakai sarung tangan). Sebelum penyuluhan, hanya terdapat 3 responden yang memperoleh skor maksimal. Sebagian besar responden menjawab hanya mencuci tangan saja (95 orang) atau hanya memakai sarung tangan saja (49 orang) karena mereka ragu-ragu untuk memilih kedua pilihan tersebut. Setelah penyuluhan terjadi peningkatan jumlah responden yang memperoleh skor 5, yaitu dari 3 orang menjadi 16 orang dan terjadi penurunan jumlah responden yang menjawab hanya mencuci tangan dari 95 orang menjadi 80 orang karena pada penyuluhan informasi mengenai hal tersebut cukup jelas.

(14)

orang menjadi 9 orang) dan tidak berkurangnya jumlah responden yang menjawab hanya memakai sarung tangan saja.

Dari lima pertanyaan di atas, diketahui bahwa skor yang diperoleh responden setelah penyuluhan umumnya meningkat dibandingkan dengan sebelum penyuluhan. Meskipun demikian, belum semuanya mencapai kategori baik. Oleh karena itu, penyuluhan harus diberikan berulang-ulang secara teratur agar pengetahuan santri dapat ditingkatkan.

Kesimpulan

Karakteristik santri pesantren X, Jakarta Timur adalah responden laki-laki sebanyak 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%). Santri memiliki usia yang beragam dari 12 hingga 20 tahun. Dari 154 santri, 81 orang merupakan santri Madrasah Tsanawiyah dan 73 orang merupakan santri Madrasah Aliyah. Sebelum penyuluhan jumlah santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pencegahan trikuriasis sebanyak 8 orang (5,2%), yang memiliki tingkat pengetahuan cukup sebanyak 28 (18,2%), dan 118 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang (76,6%). Sesudah penyuluhan jumlah santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pencegahan trikuriasis sebanyak 28 orang (18,2%), yang memiliki tingkat pengetahuan cukup sebanyak 45 (29,2%), dan 81 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang (52,6%). Oleh karena itu, penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan santri.

Saran

Tingkat pengetahuan santri perlu ditingkatkan agar mencapai kategori baik dengan memberikan penyuluhan secara teratur dan berkala. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku santri terhadap pencegahan trikuriasis.

Daftar Referensi

1. Adusei K. Trichuris Trichiura [Internet]. 2011 [Updated 2011 May 2; cited 2011 August 9]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/788570-overview#a0101.

(15)

2. Ekpo UF, Odoemene SN, Mafiana CF, Sam-Wobo SO. Helminthiasis and hygiene conditions of schools in ikenne, ogun state, Nigeria. PLoS Negl Trop Dis. 2008 Jan 30; 2(1):e146.

3. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan no. 424/MENKES/SK/VI/2006; tentang “Pedoman Pengendalian Cacingan”.

4. Subahar R. Prevalensi Cacingan Pada Murid SD Kalibaru Jakarta Utara. [Unpublished]; 2009.

5. Prasetya L. Pengaruh Program Pemberantasan Kecacingan terhadap Perilaku Orangtua Murid SD di Kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur tahun 1993 [thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1993.

6. Pulungan R. Pengaruh Metode Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Dokter Kecil dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD di Kecamatan Helvetia Tahun 2007 [dissertation]. Medan: USU e-Repository; 2007 [cited 2011 Jan

13]. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6813/1/09E01341.pdf.

7. Dhofier Z. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES; 1982.

8. Feldiemer H, Heukelbach J. Epidermal Parasitic Gut Disease: A Neglected Category of Poverty-Associated Plagues. Bull World Health Organ; 87: 152-159.

9. Trichuris Trichiura – Whipworm [internet]. 2011 [cited 2011 Aug 9]. Available from: 10. http://www.parasitesinhumans.org/trichuris-trichiura-whipworm.html.

11. Guerrent RL, Walker DH, Weller DF. Tropical Infectious Disease: Principles, Pathogens, and Practice 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2006.

12. Prianto J et al. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006 13. Setyani E, Widyastuti D. Trichuris trichiura. Balaba. 2008; 007: 21-22

14. Adusei K. Trichuris Trichiura [Internet]. 2011 [Updated 2011 May 2; cited 2011 August 9]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/788570-overview#a0104.

15. Yulianto E. Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 1 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007 [thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2007.

(16)

16. Bundy DAP, Cooper ES. Trichuris and trichuriasis in humans. Advances in Parasitology. 1989; 28: 107–73.

17. Depary AA. Epidemiologi Soil Transmitted Helminthiasis di Indonesia. Makalah Simposium Peran Serta Masyarakat dalam Usaha Penanggulangan Penyakit Kecacingan. Medan: FK-USU; 1994

18. Albright JW, Hidayati NR, Basaric-Keys J. Behavioral and Hygiene Characteristic of Primary School of Geohelminth Infections: A Study in Central Java. Indonesia Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2005; 36 (3): 629-41.

19. Muller R, Wakelin D. Worms and human disease 2nd ed. New York: CABI Publishing; 2002.

20. Amri Z, Rivai A. Efek Penyuluhan terhadap Prevalensi Penyakit Cacing Usus dan Pencapaian Target Pemetik Teh di Perkebunan Teh X Jawa Barat. Denpasar: 21 APOSHO annual meeting and conference; 2005.

21. Hawin N. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pengasuh dari Anak usia 1-12 Tahun yang Kecacingan terhadap Polusi Tanah di Sekitar Rumah oleh Soil transmitted Helminths. Saintika Medika. 2005; 2 (1): 9-24.

22. Ulukanligil M, Seyrek A, Aslan G, Ozbilge H, Atay S. Environtmental Pollution with Soil-Transmitted Helminths in Sanliurfa, Turkey. Rio de Janeiro: Mem Inst Oswaldo Cruz. 2001; 96 (7): 903-09.

23. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul S et al. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD tentang Penyakit Cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jaktim. Jakarta: FKUI; 2001.

24. Muzakir. Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Skabies pada Pesantren di Kabupaten Aceh Besar [dissertation]. Medan: USU e-Repository; 2008

[cited 2011 Aug 10]. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6797/1/047023015.pdf

25. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2005.

26. Herawani et al. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC; 2001 27. Keraf S, Dua M. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius;

(17)

28. Subahar R, Mahfudin H, Ismid IS. Pendidikan dan Pengetahuan Orangtua Murid Sehubungan dengan Pemberantasan Peyakit Cacing Usus di Duren Sawit, Jakarta Timur. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. 1995: 4-21.

29. Pasaribu HER. Perbandingan Penyuluhan Kesehatan Metode Ceramah Tanya Jawab dengan Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Buku Kecacingan dalam Mencegah Reinfeksi Ascaris lumbricoides [thesis]. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2005.

Gambar

Tabel  1.  Tingkat  Pengetahuan  Santri  Mengenai  Pencegahan  Trikuriasis  Sebelum  dan  Sesudah Penyuluhan

Referensi

Dokumen terkait

Tahap 1 (Pengumpulan data dan analisa) Tahap 1 ini dibagi menjadi beberapa fase. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk film dokumenter Kain

aliansi yang dilakukan Jepang dengan Amerika Serikat terutama dalam bidang militer dapat memperkuat keamanan kawasan serta Jepang itu sendiri karena jaminan

Sebuah bangsa yang memiliki militer yang kuat dapat memproyeksikan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa diabaikan.Di sisi lain, Indonesia sadar dengan kondisi

Hal demikian berlaku seperti halnya peralatan di industri yang digunakan sesuai dengan kebutuhan termasuk untuk kepentingan sertifikasi dalam mempertahankan atau menjaga

Penyatuan kelompok dan membentuk paguyuban adalah sebagai wujud perlawanan para PKL di Surabaya terhadap tatanan sosial yang menurut mereka tidak adil, dengan cara

Sebelumdilaksanakannya upacara mepandes terlebih dahulu dilakukan upacara pengekeban atau ngekeb.Ngekebberasal dari kata nyekeb yang berarti meredam unsur-unsur yang

Perlakuan yang dicobakan pemberian pakan pada tikus putih dengan penambahan jus tomat fermentatif dengan berbagai konsentrasi, berturut- turut 0 ml, 0,3 ml, 0,6