• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA PASIEN PSORIASIS VULGARIS BERDASARKAN KRITERIA NATIONAL CHOLESTEROL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA PASIEN PSORIASIS VULGARIS BERDASARKAN KRITERIA NATIONAL CHOLESTEROL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MDVI Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9

PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA PASIEN PSORIASIS

VULGARIS BERDASARKAN KRITERIA

NATIONAL CHOLESTEROL

EDUCATION PROGRAM ADULT TREATMENT PANEL III

DI RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO DAN SEBUAH

KLINIK SWASTA DI JAKARTA

Mirawati Setyorini, Wieke Triestianawati, Benny E Wiryadi, Tjut Nurul Alam Jacoeb Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Latar belakang: Pasien psoriasis berisiko terhadap beberapa komorbiditas yang mengancam jiwa, misalnya penyakit kardiovaskular dan metabolik. Psoriasis, sindrom metabolik, dan penyakit kardiovaskular diduga saling berkaitan dan terjadi akibat inflamasi kronik sistemik. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris di Indonesia.

Tujuan: Mengetahui proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris.

Subyek dan metode: Dilakukan studi deskriptif dengan rancangan potong lintang pada 40 pasien psoriasis vulgaris di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan sebuah klinik swasta Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria dalam metode diagnostik sindrom yang dipakai adalah kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) tahun 2005. Hasil: Proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris sebesar 55% (22 dari 40 orang). Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan pasien psoriasis dengan sindrom metabolik. Hubungan antara usia awitan, durasi, dan keparahan psoriasis dengan sindrom tersebut juga tidak bermakna secara statistik.

Kesimpulan: Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian lain yang sejenis. Negara Asia memiliki predisposisi genetik resistensi insulin sehingga umumnya prevalensi sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan negara lain. (MDVI 2012: 39/1;2 -9)

Kata kunci : Psoriasis vulgaris, sindrom metabolik, kriteria NCEP ATP III

ABSTRACT

Background: Psoriasis patients have some risks of life-threathening comorbidities, such as cardiovascular and metabolic diseases. Psoriasis, metabolic syndrome, and cardiovascular disease are connected one another and exist due to systemic chronic inflammation. Up until now, there is no study about proportion of metabolic syndrome in Indonesian psoriasis vulgaris patients.

Objective: To know the proportion of metabolic syndrome in psoriasis vulgaris patients.

Subjects and method: The study is a descriptive study with cross sectional design to forty psoriasis vulgaris patients in the Dermatovenereology Clinic dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and a private clinic Jakarta that fulfill the study criterias. The choosen diagnostic criteria of the syndrome is National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) 2005.

Result: Proportion of metabolic syndrome is 55% or 22 from 40 subjects. There is no association between gender, age, and education level with metabolic syndrome. Also there is no significant association statistically between age-onset, duration, and severity of psoriasis with metabolic syndrome.

Conclusion: Proportion of metabolic syndrome in this study is higher when compared with other similar studies, perhaps it is due to some cut-off point differences in the NCEP ATP III 2005 criteria. Besides, Asian countries also have genetic predisposition of insulin resistance so proportion of metabolic syndrome is higher than others (MDVI 2012: 39/1; 2-9)

Keyword : Psoriasis vulgaris, metabolic syndrome, NCEP-ATP III criteria

Artikel Asli

Korespondensi :

Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp. 021-31935383

(2)

M. Setyorini dkk. Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis

PENDAHULUAN

Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik pada kulit berupa perubahan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis, serta abnormalitas biokimiawi, imunologik, dan vaskular. Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Prevalensi psoriasis pada tiap populasi sangat bervariasi, berkisar antara 0,1-11,8%.1 Tahun 2007-2008 proporsi kasus baru psoriasis di Divisi Dermatologi Umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sebesar 1,73% dengan tipe terbanyak berupa psoriasis vulgaris, yaitu sebesar 82,98% (Data morbiditas Divisi Dermatologi Umum Departemen IKKK RSCM).

Psoriasis umumnya tidak mengancam jiwa namun dapat mempengaruhi kualitas hidup.2 Namun, akhir-akhir ini banyak laporan yang menyebutkan bahwa pasien psoriasis berisiko terhadap beberapa komorbiditas yang mengancam jiwa, misalnya penyakit kardiovaskular dan metabolik.2-4 Selain itu, pasien psoriasis memiliki beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular lain yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum, misalnya merokok, konsumsi minuman beralkohol, obesitas, stres, dan aktivitas fisiknya rendah.5,6

Inflamasi kronik pada psoriasis terjadi akibat terlalu banyak produksi sitokin proinflamasi dari sel T helper1 (Th1), di antaranya tumor necrosis factor (TNF)-α, sehingga dapat menjadi predisposisi bagi penyakit lain yang me-miliki komponen inflamasi, misalnya penyakit kardiovaskular dan metabolik.Psoriasis, sindrom metabolik, dan penyakit kardiovaskular diduga saling berkaitan dan terjadi akibat inflamasi kronik sistemik.3,4 Dengan demikian psoriasis diharapkan dapat menjadi indikator eksternal penyakit sistemik dengan dasar inflamasi tersebut.4,7

Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor risiko penyakit kardiovaskular yang berasal dari proses metabolisme tubuh (kardiometabolik).3,4,8,9 Beberapa pene-litian menunjukkan bahwa sindrom metabolik merupakan prediktor kuat untuk penyakit kardiovaskular dan diabetes.9,10 Prevalensi sindrom metabolik berdasarkan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) ditemukan cukup tinggi pada beberapa negara Asia.9 Penelitian di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada tahun 2006 mendapatkan sindrom metabolik (NCEP-ATP III tahun 2001) sebesar 26,3%.11 Perbedaan prevalensi sindrom metabolik pada tiap populasi dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, obesitas, pola diet, aktivitas fisik, faktor genetik, faktor endokrin, konsumsi alkohol, penyakit penyerta,12 dan kebiasaan merokok.13

Beberapa pedoman kriteria sindrom metabolik telah dikemukakan oleh beberapa organisasi kesehatan. Kriteria yang relatif lebih mudah, telah dipakai secara luas, praktis,

serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan kriteria yang lain adalah kriteria yang dikeluarkan oleh NCEP-ATP III dari TheAmerican Heart Association tahun 2005. 4,14,17, Sindrom metabolik berdasarkan kriteria NCEP-ATP III untuk Asia terpenuhi bila minimal terdapat 3 dari 5 komponen, yaitu obesitas abdominal (lingkar perut ≥ 90 cm pada laki-laki, ≥80 cm pada perempuan), peningkatan trigliserida (TG) serum (≥150 mg/dL atau dalam terapi), kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL) rendah (laki-laki <40mg/dL, perempuan <50 mg/dL, atau dalam terapi), peningkatan tekanan darah (TD) (≥130/85 mmHg atau dalam terapi), dan peningkatan kadar glukosa darah (GD) puasa (≥100 mg/dL atau dalam terapi).3,4,8,12,15

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara psoriasis dengan sindrom metabolik. Gisondi dkk.10 tahun 2007 menemukan 30,1% pasien psoriasis vulgaris di Italia disertai sindrom metabolik (kriteria NCEP-ATP III), sedangkan pada pasien dengan kelainan dermatologis lain hanya 20,6% yang disertai sindrom metabolik. Pasien psoriasis vulgaris dengan risiko sindrom metabolik tersebut berusia di atas 40 tahun dengan durasi penyakit yang lebih lama.10 Di Jerman, Sommer dkk.16 menemukan pasien psoriasis vulgaris yang dirawat inap memiliki risiko hampir 6 kali lebih besar mengalami sindrom metabolik (kriteria WHO) dibandingkan dengan pasien nonpsoriasis (melanoma) pada tahun 2006. Risiko tersebut berhubungan dengan keparahan dan durasi psoriasis.16

Penanganan sindrom metabolik pada pasien psoriasis dapat mempengaruhi gambaran klinis psoriasis. Karena alasan tersebut, maka sindrom metabolik pada pasien psoriasis perlu diidentifikasi dan ditangani. Penatalaksanaan sindrom tersebut berperan penting pula dalam penatalak-sanaan psoriasis.17,18 Berdasarkan latar belakang pengetahuan tersebut, saat ini para ahli dituntut untuk lebih dapat me-nangani psoriasis secara komprehensif yang melibatkan kerjasama multidisiplin.3,4 Upaya untuk mengidentifikasi kelompok pasien psoriasis yang berisiko tinggi meng-alami sindrom metabolik ataupun kardiovaskular perlu dilakukan untuk dapat merencanakan penatalaksanaan psoriasis lebih dini secara lebih agresif dan bersifat multi-disiplin sehingga dapat mencegah sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular.4

(3)

MDVI Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif meng-gunakan rancangan potong lintang. Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sampel darah dilakukan di poliklinik IKKK-RSCM dan sebuah klinik swasta di Jakarta. Pemeriksaan kadar trigliserida (TG), kolesterol HDL, dan gula darah (GD) puasa dilakukan di laboratorium Prodia Jakarta Pusat karena darah diambil sekaligus untuk pemeriksaan penelitian lain yang tidak tersedia di laboratorium RSCM.

Subyek penelitian (SP) adalah semua pasien psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria penelitian dan diambil secara berurutan sampai tercapai jumlah sampel ( conse-cutive sampling). Kriteria penerimaan adalah pasien psoriasis vulgaris yang didiagnosis secara klinis, berusia 20 tahun ke atas, dan bersedia menjadi SP dengan menandatangani surat persetujuan penelitian (informed consent). Pasien tidak diikutsertakan dalam penelitian bila mendapat terapi psoriasis sistemik (kortikosteroid, metotreksat, siklosporin, asitretin, etretinat, obat biologik), atau fototerapi dalam 1 bulan terakhir, perempuan hamil, atau memiliki penyakit lain yang dapat mengganggu pengukuran lingkar perut (tumor intra/sekitar abdomen). Besar sampel ditetapkan sebanyak 40 orang.

Derajat keparahan psoriasis dinilai berdasarkan perhitungan skor psoriasis area and severity index (PASI) cara Fredericksson dan Pettersson. Salah satu ketetapan skor PASI membagi derajat keparahan psoriasis menjadi 3 kategori, yaitu ringan apabila PASI<5, sedang bila PASI 5 - <10, dan berat bila PASI ≥ 10.19 Usia awitan psoriasis SP dikelompokkan sesuai Henseler dkk, yaitu usia awitan ≤40 tahun dan >40 tahun.1,20 Durasi psoriasis dibagi menjadi <10 tahun dan ≥10 tahun.

Pemeriksaan lingkar perut dilakukan dengan meng-gunakan pita pengukur lingkar tubuh non elastis. Peng-ukuran dilakukan pada titik teratas tulang pinggul (spina iliaka anterior superior/tonjolan tulang iliaka). Pengukuran dilakukan saat akhir ekspirasi normal. Kemudian tekanan darah diukur dan ditentukan dengan menghitung nilai rerata dari 3 kali pengukuran. Pemeriksaan kadar TG, kolesterol HDL, dan GD puasa menggunakan alat Advia 1800 automatic dengan metoda enzimatik gliserol fosfat oksidase untuk pemeriksaan TG dan kolesterol HDL, serta metode heksokinase untuk pemeriksaan GD puasa.

Data penelitian dikumpulkan dan dicatat dalam formulir penelitian. Data dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan

Statistical Programme for Social Sciences (SPSS) 11.5. Statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif. Hasil tambahan mengenai hubungan antara variabel kategorik akan diuji secara statistik menggunakan uji Chi-square

atau uji Fischer disertai regresi logistik. Hubungan bermakna bila nilai p<0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2010. Berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan, terkumpul SP sebanyak 40 pasien psoriasis vulgaris.

Karakteristik subyek penelitian. Data dermografik dan

profil psoriasis subyek penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Jumlah SP laki-laki lebih banyak daripada perempuan, yaitu berturut-turut 24 orang (60%) dan 16 orang (40%). Kelompok SP terbanyak pada usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun, masing-masing sebesar 27,5%. Nilai rerata usia SP adalah 46,58 ± 12,37 tahun dengan usia SP termuda 21 tahun dan tertua 74 tahun. Pendidikan SP terbanyak adalah tingkat menengah (40%) dan tinggi (40%).

Sebagian besar SP (75%) mengalami psoriasis dengan usia awitan ≤ 40 tahun. Nilai rerata usia awitan psoriasis pada SP adalah 32,30 ± 15,69 tahun, dengan usia termuda 5 tahun dan tertua 69 tahun. Pada penelitian ini durasi psoriasis terbanyak adalah 10 tahun atau lebih (67,5%). Nilai median durasi psoriasis SP adalah 12 tahun dengan durasi terpanjang 42 tahun dan tersingkat 1 tahun. Sebanyak 40% SP mengalami psoriasis derajat ringan, derajat sedang sebesar 37,5%, dan derajat berat sebesar 22,5%.

Tabel 1. Data demografik dan profil psoriasis subyek penelitian (N=40)

Karakteristik Jumlah (N) Persentase (%)

Jenis kelamin

(4)

M. Setyorini dkk. Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis

Proporsi sindrom metabolik dan komponen sindrom.

Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini didapatkan sebesar 55% atau 22 dari 40 SP (lihat tabel 2). Subyek penelitian dengan obesitas abdominal lebih banyak daripada SP yang lingkar perut normal, 70% versus 30%.

Tabel 2. Proporsi sindrom metabolik dan komponen sindrom subyek penelitian (N=40)

Karakteristik Jumlah (N) Persentase (%)

Sindrom metabolik

Non sindrom 18 45 Sindrom 22 55

Lingkar perut

Normal

Obesitas abdominal

12 30 70

28

Tekanan darah

Normal Meningkat

12 30 70

28

Trigliserida

Normal Tinggi

28 70 30

12

Kolesterol HDL

Normal Rendah

20 50

20 50

Gula darah puasa

Normal Meningkat

27 67,5

13 32,5 Keterangan: N=jumlah subyek penelitian

anyak daripan kadar TG s

Meskipun penelitian tidak dirancang untuk menilai hubungan antara karakteristik demografik dan profil psoriasis dengan kejadian sindrom metabolik, penulis mencoba mengolah data yang tersedia sebagai hasil tambahan.

Hubungan antara karakteristik sosiodemografik dengan

sindrom metabolik. Dengan melihat tabel 3, tidak

di-dapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan dengan sindrom metabolik pada penelitian ini. Namun SP perempuan cenderung mengalami sindrom metabolik dibandingkan SP laki-laki. Pada kelompok usia SP 40-49 tahun lebih banyak (81,82%) dijumpai sindrom metabolik dibandingkan kelompok usia yang lain. Sedangkan kelompok usia 20-29 tahun me-rupakan kelompok usia yang paling sedikit ditemukan sindrom metabolik. Walaupun tidak ada literatur yang menghubungkan tingkat pendidikan dengan sindrom metabolik, penulis ingin mencoba melihat hasilnya pada penelitian ini. Pada SP dengan tingkat pendidikan rendah, proporsi sindrom metabolik lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan menengah maupun tinggi.

Tabel 3. Hubungan antara karakteristik demografik subyek penelitian dengan sindrom metabolik (N=40)

Variabel

Sindrom metabolik

p OR IK95%

Non sindrom (N=18)

Sindrom (N=22) Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

12 (50%) 12 (50%)

6 (37,5%) 10 (62,5%) 0.44 1,67 0,46-6,06

Usia

20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun

>60 tahun

2 (66,67%) 1 (33,33%)

5 (55,56%) 4 (44,44%) 0,74 1,60 0,10-24,70 2 (18,18%) 9 (81,82%) 0,13 9,00 0,52-155,24 6 (54,55%) 5 (45,45%) 0,71 1,67 0,11-24,26

3 (50%) 3 (50%) 0,64 2,00 0,11-35,81

Tingkat pendidikan

Rendah Menengah Tinggi

3 (37,5%) 5 (62,5%)

7 (43,75%) 9 (56,25%) 0,77 0,77 0,14-4,39 8 (50%) 8 (50%) 0,56 0,60 0,11-3,40

(5)

MDVI Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9

Hubungan antara profil psoriasis dengan sindrom metabolik. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara usia awitan, durasi, dan keparahan psoriasis dengan sindrom metabolik (lihat tabel 4). Berdasarkan usia awitan psoriasis, kelompok usia awitan di atas 40 tahun cenderung lebih banyak mengalami sindrom metabolik (60%). Kelompok SP dengan durasi psoriasis > 10 tahun lebih banyak mengalami sindrom metabolik (62,96%) dibandingkan dengan kelompok durasi kurang dari 10 tahun. Berdasarkan derajat keparahan psoriasis, sindrom metabolik ini sudah banyak ditemukan pada psoriasis vulgaris ringan (62,5%).

Tabel 4. Hubungan antara profil psoriasis subyek penelitian dengan sindrom metabolik (N=40)

Variabel Sindrom metabolik

p OR IK95%

Keterangan: N=jumlah subyek penelitian, nilai p bermakna bila <0,05, OR=odds ratio, IK95%=interval kepercayaan 95%

Hasil tambahan penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara karakteristik demo-grafik dan profil psoriasis dengan sindrom metabolik. Namun hal ini belum tentu menunjukkan keadaan yang sesungguhnya oleh karena disain dan perhitungan sampel penelitian tidak dirancang untuk melihat hubungan tersebut.

PEMBAHASAN

Data penelitian ini menunjukkan jumlah SP laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Penelitian Takahashi dkk.19 pada tahun 2010 di Jepang juga menemukan psoriasis lebih banyak pada laki-laki (72,8%) dibandingkan perempuan (27,2%). Hasil penelitian ini hampir sesuai dengan ke-pustakaan yang menyatakan insidens psoriasis secara umum di dunia hampir serupa pada perempuan maupun laki-laki.1

Subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan Shapiro dkk.21 yang menyatakan distribusi pasien psoriasis semakin meningkat sesuai dengan peningkatan usia karena penyakit ini bersifat kronik, namun mulai

meningkat. Selain itu, Gelfand dkk.22 pada tahun 2004 menyatakan bahwa puncak insidens psoriasis ditemukan pada usia dua puluhan dan usia lima puluhan.

Tingkat pendidikan SP terbanyak adalah tingkat menengah dan tinggi. Penelitian terdahulu oleh Indiranta23 di RSCM tahun 2009 menemukan tingkat pendidikan SP terbanyak pada tingkat menengah (45,7%), sedangkan tingkat rendah sebesar 28,3% dan tingkat tinggi 26,1%. Perbedaan proporsi tersebut kemungkinan akibat perbedaan lokasi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri atas SP yang berobat ke RSCM (16 SP) dan juga SP yang berobat ke klinik swasta (24 SP). Penulis berpendapat umumnya pasien yang berobat ke klinik swasta berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berobat ke rumah sakit umum. Namun penulis tidak menemukan kepustakaan mengenai hubungan tingkat pendidikan dengan pasien psoriasis vulgaris.

Sebagian besar SP mengalami psoriasis pada usia awitan ≤ 40 tahun. Hal tersebut sesuai dengan Henseler24 pada tahun 1985 yang membagi psoriasis menjadi 2 tipe berdasarkan usia awitan, yaitu tipe 1 (≤ 40 tahun) sebesar 75% dan tipe 2 (>40 tahun) sebesar 25%.24 Sommer dkk.16 di Jerman juga menemukan hal serupa, jumlah psoriasis tipe 1 (60,2%) lebih besar daripada tipe 2 (36,9%). Nilai rerata usia awitan psoriasis pada penelitian ini adalah 32,30 ± 15,69 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan usia awitan psoriasis sebenarnya dapat dimulai pada usia berapa pun, namun paling sering pada usia 15-30 tahun.1

Psoriasis merupakan penyakit yang bersifat kronik residif. Sebagian besar SP telah mengalami psoriasis selama 10 tahun atau lebih. Penelitian ini hampir sesuai dengan beberapa penelitian lain. Sommer dkk.16 juga menemukan bahwa pasien psoriasis vulgaris memiliki nilai median durasi penyakit 13 tahun pada laki-laki, sedangkan perempuan 16 tahun.16 Nilai rerata durasi penyakit pada pasien psoriasis di Mesir oleh Ahmed dkk.25 pada tahun 2009 sebesar 14,9 ± 8,7 tahun. Sebagian besar SP memang tergolong psoriasis tipe 1 dengan awitan lebih dini dan umumnya refrakter terhadap terapi sehingga lesi bertahan lama sehingga durasi psoriasis menjadi panjang.

Derajat keparahan psoriasis terbanyak pada pene-litian ini adalah derajat ringan. Hasil penepene-litian ini berbeda dengan penelitian di Jepang pada tahun 2006-2008 yang mendapatkan psoriasis derajat ringan 33,3%, derajat sedang 34,6%, dan derajat berat 32,1%.19 Pada penelitian ini sebagian besar SP sudah mendapatkan berbagai macam terapi topikal sehingga hal ini dapat menyebabkan proporsi psoriasis derajat ringan lebih tinggi dibandingkan derajat sedang maupun berat.

(6)

M. Setyorini dkk. Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis

pada pasien psoriasis vulgaris di Mesir sebesar 23,8%. Sedangkan Takahashi dkk.19 menemukan proporsi sindrom metabolik (Japan Committe for Diagnostic Criteria) pada psoriasis di Jepang sebesar 24,4%. Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian tersebut diatas kemungkinan akibat nilai ambang komponen sindrom metabolik yang digunakan sedikit berbeda. Penelitian Gisondi dkk. dan Ahmed dkk. masih memakai kriteria NCEP ATP III tahun 2001, sedangkan penelitian Takahashi dkk. menggunakan Japan Committe for Diagnostic Criteria. Kriteria yang dipakai pada penelitian ini adalah kriteria NCEP ATP III baru sesuai dengan kesepakatan tahun 2005, sehingga SP dengan sindrom metabolik ditemukan lebih banyak.

Selain perbedaan kriteria diagnostik yang diguna-kan, prevalensi sindrom metabolik yang tinggi memang umumnya ditemukan pada beberapa negara Asia karena memiliki predisposisi genetik resistensi insulin.26 Sindrom metabolik tiap populasi juga dapat dipengaruhi berbagai faktor, antara lain ras, jumlah kasus obesitas, pola diet, aktivitas fisik, konsumsi alkohol,12 kebiasaan merokok,13 dan pola hidup sehari-hari.25

Subyek penelitian yang memiliki obesitas abdominal lebih banyak daripada SP yang normal (70% : 30%). Penelitian Gisondi dkk.10 pada pasien psoriasis vulgaris di Italia mendapatkan pasien yang memiliki obesitas abdominal hanya sebesar 57,1%.10 Sedangkan Ahmed dkk. di Mesir menemukan obesitas abdominal sebesar 43%.25 Perbedaan ini sebagai akibat terjadinya penumpukan lemak viseral sehingga menyebabkan obesitas abdominal umumnya lebih banyak ditemukan pada penduduk Asia, terutama Asia Selatan bila dibandingkan dengan penduduk Afrika-Amerika dan Eropa.12,13

Subyek penelitian dengan peningkatan TD (70%) lebih banyak dibandingkan yang normal (30%). Gisondi dkk.10 mendapatkan pasien psoriasis vulgaris dengan TD meningkat (>135/85 mmHg atau dalam terapi) hanya sebesar 40,8%. Ahmed dkk.25 mendapatkan TD meningkat sebesar 41,9%. Perbedaan proporsi ini dapat terjadi akibat perbedaan nilai peningkatan TD pada kriteria NCEP ATP III lama tahun 2001 yang dipakai pada penelitian sebelumnya, yaitu sebesar >135/85 mmHg. Pada penelitian ini kriteria peningkatan TD adalah > 130/85 mmHg.

Sebanyak 30% SP mengalami peningkatan kadar TG serum. Gisondi dkk,10 juga menemukan 37,8% pasien psoriasis vulgaris yang memiliki kadar TG meningkat. Sedangkan Ahmed dkk.25 mendapatkan kadar TG me-ningkat pada 24,3% kasus.25 Kadar trigliserida (TG) umumnya lebih dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari dan pola diet yang berbeda pada tiap populasi,12 namun hasil penelitian ini hampir sesuai dengan kedua penelitian di atas.

Proporsi SP dengan kadar kolesterol HDL normal sama banyak dengan SP dengan kadar kolesterol HDL rendah. Gisondi dkk.10 menemukan pasien psoriasis vulgaris dengan kadar kolesterol HDL rendah hanya sebanyak

18%. Ahmed dkk.25 menemukan kadar kolesterol HDL rendah pada 15,23% pasien psoriasis. Penelitian ini mendapatkan hasil yang berbeda karena menurut penelitian Gelfand dkk.27 tahun 2006, abnormalitas lipid pada pasien psoriasis lebih ditentukan oleh faktor genetik dibandingkan faktor lain, misalnya usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, indeks massa tubuh, maupun tekanan darah sistolik. Selain itu, kepustakaan lain menyebutkan pola diet juga dapat mempengaruhi kadar kolesterol HDL.13

Subyek penelitian dengan GD puasa meningkat sebesar 32,5%. Ahmed dkk.25 juga menemukan 19,7% pasien psoriasis vulgaris dengan kadar GD puasa meningkat. Sedangkan Gisondi dkk.10 menemukan 19,2% pasien psoriasis vulgaris dengan kadar GD puasa meningkat. Perbedaan proporsi ini kemungkinan terjadi akibat perbedaan nilai GD puasa pada kriteria NCEP ATP III lama tahun 2001 pada penelitian sebelumnya, yaitu sebesar ≥110 mg/dL. Selain itu, kepustakaan diperoleh data bahwa penduduk negara Asia juga memiliki predisposisi genetik terhadap diabetes melitus tipe 2 (resistensi insulin).28

Subyek penelitian perempuan cenderung lebih mudah mendapat sindrom metabolik dibandingkan SP laki-laki, namun hubungan jenis kelamin dengan sindrom metabolik tidak berbeda bermakna. Penelitian ini sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang menyatakan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada psoriasis vulgaris di Italia tidak berhubungan dengan jenis kelamin.10 Sedangkan Ahmed dkk.25 menemukan bahwa pasien psoriasis vulgaris laki-laki di Mesir lebih berisiko mendapatkan sindrom metabolik dibandingkan perempuan. Kepustakaan menyatakan bahwa prevalensi sindrom metabolik tiap jenis kelamin dapat sangat bervariasi pada tiap populasi maupun tiap kelompok etnis.13

Sindrom metabolik paling banyak dijumpai pada kelompok usia SP 40-49 tahun. Namun hubungan antara usia SP dengan sindrom metabolik tidak bermakna. Penelitian ini hampir sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang melaporkan pasien psoriasis vulgaris di Italia dengan sindrom metabolik mulai ditemukan pada pasien yang berusia di atas 30 tahun dan risiko lebih besar ditemukan mulai usia 40 tahun. Kepustakaan menyebutkan peningkatan risiko sindrom metabolik pada pasien psoriasis dimulai pada usia pertengahan (40-49 tahun) dan semakin meningkat sesuai pertambahan usia.9, 29

(7)

MDVI Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9

memiliki pengetahuan lebih banyak dalam menjaga ke-sehatan sehingga dapat mengurangi risiko kejadian sindrom metabolik.

Berdasarkan usia awitan psoriasis, kelompok usia awitan di atas 40 tahun cenderung lebih banyak terdapat sindrom metabolik. Namun hubungan antara usia awitan psoriasis dengan sindrom metabolik tidak berbeda ber-makna. Penelitian ini serupa dengan Gisondi dkk.10 yang menemukan usia awitan psoriasis berhubungan dengan sindrom metabolik secara bermakna, yaitu nilai rerata usia awitan sebesar 49,4 ± 18,8 tahun. Sedangkan usia awitan pasien psoriasis tanpa disertai sindrom metabolik 36,6 ± 15,5 tahun.

Kelompok SP yang menderita psoriasis selama 10 tahun atau lebih cenderung mengalami proporsi sindrom metabolik lebih besar. Namun hubungan antara durasi psoriasis dengan sindrom metabolik tidak bermakna. Sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang menemukan durasi psoriasis berhubungan dengan sindrom metabolik dengan nilai rerata durasi sebesar 18,1 ± 16,1 tahun. Ahmed dkk.25 juga menemukan durasi psoriasis berhubungan bermakna dengan sindrom metabolik, dengan nilai rerata 20 ± 8,3 tahun. Psoriasis yang sudah berlangsung lama sudah mengalami inflamasi sistemik kronik sehingga dapat menginduksi resistensi insulin yang berakibat munculnya sindrom metabolik.25

Berdasarkan derajat keparahan psoriasis, sindrom metabolik ini sudah banyak ditemukan pada psoriasis vulgaris ringan. Namun hasil ini tidak menunjukkan hubungan bermakna antara keparahan psoriasis dengan sindrom metabolik. Hasil penelitian ini berbeda dengan Ahmed dkk.25 yang menemukan hubungan bermakna antara proporsi sindrom metabolik dengan keparahan psoriasis. Namun hasil penelitian ini sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang menemukan bahwa proporsi sindrom metabolik pada psoriasis vulgaris tidak berhubungan dengan keparahan psoriasis, baik berdasarkan skor PASI maupun body surface area (BSA). Penelitian tersebut sudah menemukan sindrom metabolik mulai dari psoriasis derajat ringan.10

Hasil tambahan penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara karakteristik demografik dan profil psoriasis dengan sindrom metabolik. Namun hal ini belum tentu menunjukkan keadaan yang sesungguhnya oleh karena disain dan perhitungan sampel penelitian tidak dirancang untuk melihat hubungan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan disain dan perhitungan sampel yang sesuai untuk menilai hubungan antara usia awitan, durasi, dan keparahan psoriasis dengan sindrom metabolik sehingga diharapkan dapat merencanakan upaya penapisan dini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris berdasarkan kriteria NCEP ATP III sebesar 55%. Proporsi sindrom metabolik SP pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian lain yang sejenis kemung-kinan akibat nilai ambang komponen sindrom metabolik kriteria NCEP ATP III tahun 2005 sedikit berbeda. Selain itu, prevalensi sindrom metabolik yang tinggi umumnya ditemukan pada beberapa negara Asia karena memiliki predisposisi genetik resistensi insulin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gudjonsson JE, Elder JT. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 169-93.

2. Kremers HM, McEvoy MT, Dann FJ, Gabriel SE. Heart disease in psoriasis. J Am Acad Dermatol. 2007; 57: 347-54.

3. Gottlieb AB, Dann F, Menter A. Psoriasis and the metabolic syndrome. J Drugs Dermatol. 2008; 7: 563-72.

4. Kourosh AS, Miner A, Menter A. Psoriasis as the marker of underlying systemic disease. Skin Therapy Lett. 2008;13:1-5. 5. Kimball AB, Gladman D, Gelfand JM, Gordon K, Horn EJ,

Korman NJ, dkk. National psoriasis foundation clinical consensus on psoriasis comorbidities and recommendations for screening. J Am Acad Dermatol. 2008; 58: 1031-42

6. Neimann AL, Shin DB, Wang X, Margolis DJ, Troxel AB, Gelfand JM. Prevalence of cardiovascular risk factors in patients with psoriasis. J Am Acad Dermatol. 2006; 55: 829-35.

7. Federman DG, Shelling M, Prodanovich S, Gunderson CG, Kirsner RS. Psoriasis: An opportunity to identify cardiovascular risk. Br J Dermatol. 2009;160:1-7.

8. Azfar RS, Gelfand JM. Psoriasis and metabolic disease: Epidemio-logy and pathophysioEpidemio-logy. Curr Opin Rheumatol. 2008;20: 416-22. 9. Krentz AJ, Wong ND. Metabolic syndrome and cardiovascular

disease. New York: Informa Healthcare; 2007.

10. Gisondi P, Tessari G, Conti A, Piaserico S, Schianchi S, Gianetti A, dkk. Prevalence of metabolic syndrome in patients with psoriasis: a hospital-based case-control study. Br J Dermatol. 2007;157: 68-73. 11. Soegondo S, Gustaviani R. Sindrom metabolik. Dalam: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publising; 2009. h. 1867-76.

12. Byrne CD, Wild SH. The metabolic syndrome. London: John Wiley & Sons; 2005.

13. Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ. The metabolic syndrome. Lancet. 2005;365:1415-28.

14. Lorenzo C, Williams K, Hunt KJ, Haffner SM. The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III, International Diabetes Federation, and World Health Organization definitions of the metabolic syndrome as a predictors of incident cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care. 2007;30:8-13. 15. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH,

Franklin BA, dkk. An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement: Diagnosis and management of the metabolic syndrome. Curr Opin Cardiol. 2006;21:1-6.

16. Sommer DM, Jenisch S, Suchan M, Christophers E, Weichenthal M. Increased prevalence of the metabolic syndrome in patients with moderate to severe psoriasis. Arch Dermatol Res. 2006; 298: 321-8. 17. Saraceno R, Ruzzetti M, Martino MUD, Renzo LD, Cianci R,

(8)

M. Setyorini dkk. Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis

18. Cohen AD, Sherf M, Vidavsky L, Vardy DA, Shapiro J, Meyerovitch J. Association between psoriasis and the metabolic syndrome. Dermatology. 2008;216:152-5.

19. Takahashi H, Takahashi I, Honma M, Ishida-Yamamoto A, Iizuka H. Prevalence of metabolic syndrome in Japanese psoriasis patients. J Derm Sci. 2010; 57:132-46.

20. Griffiths CEM, Christophers E, Barker JNWN, Chalmers RJG, Chimenti S, Krueger GG, dkk. A classification of psoriasis vulgaris according to phenotype. Br J Dermatol. 2007;156: 258-62. 21. Shapiro J, Cohen AD, David M, Hodak E, Chodik G, Viner A,

dkk. The association between psoriasis, diabetes melitus, and atherosclerosis in Israel: a case-control study. J Am Acad Dermatol. 2007; 56: 629-34.

22. Gelfand JM, Feldman SR, Stern RS, Thomas J, Rolstad T, Margolis DJ. Determinants of quality of life in patients with psoriasis: a study from tha US population. J Am Acad Dermatol. 2004;51:704-8. 23. Indiranta FA. Proporsi derajat keparahan psoriasis vulgaris dan

hubungannya dengan kadar apolipoprotein B darah. Jakarta: Universitas Indonesia; 2009.

24. Henseler T, Christophers E. Psoriasis of early and late onset: characterization of two types of psoriasis vulgaris. J Am Acad Dermatol. 1985;13:450-6.

25. Ahmed EF, Saliem MK, El-kamel MF, Abdelgawad MM, Shady I. Prevalence of metabolic syndrome in Egyptian patients with psoriasis. Egypt J Derm & Androl. 2009;29:91-100.

26. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, dkk. Diagnosis and management of the metabolic syndrome: An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement. Circulation. 2005;112: 2735-52.

27. Gelfand JM, Neimann AL, Shin DB, Wang X, Margolis DJ, Troxel AB. Risk of myocardial infarction in patients with psoriasis. JAMA. 2006; 296: 1735-41.

28. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, dkk. An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement: Diagnosis and management of the metabolic syndrome. Curr Opin Rheumatol. 2009; 21:1-6.

Gambar

Tabel 1. Data demografik dan profil psoriasis subyek penelitian (N=40)
Tabel 3. Hubungan antara karakteristik demografik subyek penelitian dengan sindrom metabolik (N=40)
Tabel 4.  Hubungan antara profil psoriasis subyek penelitian dengan sindrom metabolik (N=40)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara sindrom metabolik dengan kejadian DE pada pasien pria DMT2 di

1. Terdapat hubungan antara IMT terhadap skor PASI pada pasien psoriasis di RSUD dr. Pada penelitian ini didapatkan bahwa skor PASI terbanyak pada pasien psoriasis

Simpulan: Terdapat asosiasi yang tidak bermakna antara sindrom metabolik dan kejadian gagal jantung pada lansia.

Sedangkan uji korelasi Spearman antara kekuatan genggaman tangan dan sindrom metabolik menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dengan kategori korelasi

Sedangkan uji korelasi Spearman antara kekuatan genggaman tangan dan sindrom metabolik menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dengan kategori korelasi

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar asam urat dengan kejadian sindrom metabolik.. Hasil pe- nelitian ini didasari oleh teori DConen

Profil pasien psoriasis vulgaris di poliklinik kulit dan kelamin.

Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna (p&lt;0,05) antara tingkat asupan energi dengan kejadian sindrom metabolik dan hasil ini juga