Nagari, antara Cita dan Realita
Oleh
Nurul Firmansyah
Nagari merupakan Negara kecil (Dorps republic) dalam definisi Ter Haar yang mempunyai
atribut-atribut mirip dengan Negara, seperti; memiliki wilayah (ulayat), memiliki penduduk
(masyarakat hukum adat), memiliki hukum (hukum adat) dan pemerintahan (adat). Entitas nagari
ini memungkinkan nagari mengurus dirinya sendiri sebagai entitas alamiah yang bukan lahir dari
pembentukan negara.
Dalam proses pembentukannya, Nagari adalah sistem sosial yang otonom, seperti ciri-ciri khas
yang terdapat pada masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan survival dan
pelestarian nilai-nilai. Ikatan nagari dengan alam Minangkabau (wilayah kebudayaan
Minangkabau) adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mengikat menjadi kesatuan
emosional-spiritual. Oleh sebab itu, orang Minangkabau secara sadar membedakan antara
kesatuan territorial-konsanguinal dalam bentuk nagari-nagari dengan kesatuan
totemis-kosmologis sebagai Minangkabau (Naim, 1990 dalam zetra, 2005). Dalam konsep nagari yang
penting adalah hubungan kedalam yaitu adanya suku, adat dan asal usul, sedangkan kedua,
adalah hubungan keluar berupa bangsa dan budaya (Zetra, 2005).
Relasi Nagara-Negari
Tidak bisa disangkal bahwa kehadiran Negara modern mereduksi kedaulatan masyarakat hukum
adat, termasuk nagari. Kondisi ini oleh Moore (1983) disebut dengan semi-autonomous social
field, yang oleh Kurniawarman (2007) merupakan konsekuensi dari komitmen kebangsaan
Negara bangsa, termasuk Negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga masyarakat adat tidak
lagi sepenuhnya otonom. Nagari-nagari sadar akan kondisi tersebut, sehingga otonomi nagari
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas itu tentu menjadi kewajaran tentang
situasi semi-autonom masyarakat adat. Namun, menjadi masalah ketika Negara justru menjadi
ancaman terhadap masyarakat adat sehingga melahirkan persaingan yang tidak seimbang.
Persaingan tersebut paling banyak terjadi dalam masalah agraria (Pengelolaan Sumber Daya
Alam). Soal agraria ini bahkan menjadi ‗momok‘ menakutkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini. Akar masalah agraria tersebut berasal dari ―pengakuan bersyarat‖ atas hukum
dan hak ulayat masyarakat adat oleh negara. Pengakuan bersyarat itu mengandung kecurigaan
Negara atas hak ulayat dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kerangka berpikir
ini seolah-olah memposisikan masyarakat adat bukan bagian dari negara. Cara pandang tersebut
berakibat pada pembatasan—yang kadangkala tidak rasional—hak masyarakat adat dan hukum
adatnya oleh hukum nasional. Pembatasan-pembatasan hukumpun terjadi yang mengakibatkan
ketidakpastian hak ulayat masyarakat adat dalam berbagai sektor sumber daya alam.
Penguatan Nagari di Era Reformasi
Era reformasi melahirkan Desentralisasi sebagai sintesis dari sistem pemerintahan sentralistik –
otoriterian Orde Baru. Desentralisasi sistem pemerintahan membuka penyumbat hak-hak
masyarakat hukum adat yang ditandai dengan perubahan-perubahan Undang-Undang terkait
hak-hak masyarakat hukum adat, salah satunya adalah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diganti dengan UU No. 32/2004. Provinsi Sumatera Barat adalah daerah yang
paling banyak memanfaatkan momentum tersebut, yaitu dimulai sejak pengundangan Perda
Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari (Perda
9/2000) sebagaimana diganti dengan Perda Sumatera Barat No. 2/2007 (kemudian disebut Perda
Nagari).
Perda Nagari adalah regulasi daerah yang berupaya menata ulang sistem nagari setelah hampir
32 tahun terpasung dengan sistem pemerintahan desa di masa Orde baru atau disebut dengan : “Baliak Ka Nagari.”Perda nagari membentuk pemerintahan nasional terendah di Sumatera barat sekaligus bertemu dengan struktur asli masyarakat hukum adat Minangkabau. Dalam hal ini,
struktur adat bertemu dengan struktur nasional. Selain itu, Perda Nagari juga mencoba
konkrit, Perda Nagari menempatkan tanah ulayat sebagai kekayaan nagari yang pengaturannya
dijabarkan lebih lanjut dalam Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
(Perda tanah ulayat).
Dua perda tersebut mempunyai peran penting untuk penguatan nagari dalam sistem hukum
nasional. Nagari dengan hak-hak tradisionalnya dipertemukan dengan sistem modern Negara.
Perda nagari telah berhasil mendorong pemerintahan kabupaten untuk menerapkan sistem nagari
dengan perda-perda kabupatennya, namun sayang; tidak begitu halnya dengan perda tanah
ulayat, walaupun sebenarnya dua perda ini penting untuk membangun nagari sebagai subjek dan
tanah ulayatnya sebagai objek dan hak ulayat sebagai hubungan-hubungan hukumnya dalam
kerangka hak.
Akhir kata, upaya penguatan nagari dalam kerangka negara kesatuan mesti diiringi oleh dua hal,
yaitu ; pertama, memperkuat penguasaan nagari terhadap sumber daya alamnya melalui
pengakuan dan perlindungan hak-hak ulayat dan mengembalikan tanah-tanah bekas konsesi
(HPH dan HGU) ke masyarakat adat seperti yang telah dirumuskan dalam Perda Nagari dan
Perda Tanah Ulayat, serta, kedua, memperkuat hukum adat dalam kehidupan sosial di nagari
melalui penguatan penyelesaian sengketa adat (peradilan adat) terutama untuk penyelesaian
sengketa tanah adat dalam internal nagari. Tanpa dua hal diatas, ―semangat Baliak ka Nagari‖
atau penguatan nagari hanya sebatas cita ―retoris‖ saja yang selalu disampaikan fungsionaris