• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian terhadap penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase

International Center for The Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Indonesia dan perbandingannya dengan beberapa negara dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada enam alasan, yaitu pertama, kerahasiaan (confidentiality) sebagai salah satu keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak lagi dianggap penting dan saat ini sudah mulai diterobos dengan adanya penggunaan prinsip keterbukaan (transparency) berdasarkan peluang yang diberikan Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 19659 yaitu berupa peluang bagi Lembaga ICSID untuk mempublikasikan putusan atas kesepakatan para pihak.10 Kedua, beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan secara umum dalam aturan arbitrase berkaitan dengan putusan arbitrase, namun tetap mempublikasikan beberapa putusan arbitrase lembaga ICSID yang melibatkan negaranya. Ketiga, terdapat beberapa negara yang tidak mengatur mengenai kerahasiaan putusan arbitrase. Keempat, terdapat ketidaksinkronan antara prinsip kerahasiaan arbitrase yang dianut dengan realitas di lapangan, misalnya Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan pada Pasal 27 Undang-Undang

9

Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa “The Centre shall not publish the

award without the consent of the parties.”

10

(2)

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa11 dan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)12 akan tetapi terdapat putusan arbitrase investasi yang melibatkan Indonesia atau badan pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID yang dipublikasikan putusannya sedangkan peraturan tersebut adalah peraturan umum arbitrase. Kelima, terjadi pergeseran prinsip ketika non-litigasi berubah menjadi litigasi menyangkut permintaan pelaksanaan putusan dan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase yang dengan adanya kedua hal tersebut mengakibatkan hilangnya sifat rahasia putusan arbitrase tersebut. Keenam, dengan keterbukaan (transparency) dalam arti publikasi putusan arbitrase ICSID, diharapkan putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai kewajaran, keadilan, dan bermanfaat serta menciptakan kepastian hukum (legal certainty, rechtszekerheid) bagi banyak pihak sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor dan host state. Oleh karenanya prinsip keterbukaan putusan arbitrase memiliki peluang untuk diatur secara alternatif dalam amandemen undang-undang arbitrase mendatang.

Dalam hukum internasional publik, arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa antara negara dengan investor secara damai sudah dikenal sejak zaman Yunani dan pada abad pertengahan berbagai unit politik telah di bentuk pada masa Kekaisaran Romawi, pada abad ke-12 dan ke-13 sering juga digunakan untuk

11

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.

12

(3)

menyelesaikan sengketa antara Kerajaan Italia dan sengketa antara kanton-kanton di Swiss yang berkembang hingga saat ini.13 Peran arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang yang berskala internasional secara modern dikenal pada penghujung abad ke-18 yang ditandai dengan lahirnya Jay Treaty pada tanggal 19 November 1794 di mana perjanjian ini terjadi antara Amerika Serikat dan Inggris, melalui perjanjian ini terjadi perubahan mendasar tata cara penyelesaian sengketa dagang internasional yang sebelumnya diselesaikan melalui saluran diplomatik, kemudian berubah karakternya menjadi arbitrase internasional yang didasarkan pada tata cara yang sesuai dengan prinsip hukum (recht beginsel, legal principle) yang lama kelamaan berkembang dan diikuti oleh negara lain.14 Penyelesaian melalui saluran diplomatik sering mengecewakan karena penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik sehingga dengan adanya Jay Treaty tersebut membentuk suatu institusi yang berbentuk campuran (mixed commissions) yang pada akhirnya menjadi cikal bakal arbitrase internasional dan nasional.15

Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase) yang merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum

13

L. Oppenheim, edited by Lauterpacht, International Law Disputes, War and Neutrality, vol. 2, Seventh Edition, (London : Longmans, 1952), hlm. 33, yang dikutip dalam Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta : UI-Press, 2006), hlm. 39.

14

Nurnaningsih Amriani, Mediasi - Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,

cet ke-2 (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 21. Lihat penjelasan sengketanya dalam Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, cet ke-2 (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 435-443.

15

(4)

berdasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Arbitrase sebagaimana diungkapkan oleh Nolan-Haley16 bahwa :

Arbitration is the most formalized alternative to the court adjudication of dispute. In this process, disputing parties present their case to a neutral third party who is empowered to render a decision. Pragmatic and policy condiserations have led courts and legislatures to endorse arbitration as the preferred process in resolving a wide range of disputes.

(Terjemahan : Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang paling formal untuk mengadili sengketa. Dalam proses ini, para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga yang netral yang berwenang memberikan suatu keputusan. Berkat dukungan pembuat undang-undang dan pertimbangan pragmatis maka arbitrase menjadi pilihan dalam proses penyelesaian sengketa secara luas).

Arbitrase memiliki beberapa keunggulan sehingga menjadi pilihan utama dalam perjanjian perdagangan. Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, karena keuntungan-keuntungan yang dimilikinya, yaitu bersifat rahasia, efektif serta merupakan metode penyelesaian sengketa bisnis internasional yang diterima secara umum.17 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim18 menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase yaitu :

Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, “international commercial arbitration is a way

of resolving disputes which the parties choose for themselves. It is private, it is effective and in most parts of the world, it is now the generally accepted method of resolving international business disputes,” sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Third Edition, (London : Sweet & Maxwell, 1999), hlm. 1.

18Gary Goodpaster, Felix O Soebagjo, Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang

(5)

a. Kebebasan , kepercayaan dan keamanan.

Robert L. Bonn19 memberikan paparan tentang keuntungan menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa investasi, bisnis, dan dagang internasional dengan mengatakan bahwa :

The increasingly widespread use of arbitration to handle contract related disputes could be explained by the advantages the system enjoys in comparison to court litigation, inter alia : (Semakin luasnya penggunaan arbitrase untuk menangani perselisihan kontrak dapat dijelaskan oleh keuntungan sistemnya dibandingkan dengan litigasi pengadilan, antara lain) :

1. The use of decision makers of arbitration disputes are experts in the subject matter in dispute. (Menggunakan pengambil keputusan sengketa arbitrase yang ahli sesuai dengan materi sengketa).

2. An arbitration hearing is more flexible than a court of law where expert testimony can only be introduced through the somewhat cumbersome system of expert witnesses. When this expertise is combined with the relative absence of restraints on the arbiter-especially in the area of evidence admitted to the forum, the manner in which he conducts the hearings. (Sidang arbitrase lebih fleksibel daripada pengadilan di mana pernyataan ahli hanya dapat diketahui

arbitrase mungkin lebih bernilai dari pihak yang dimenangkan daripada putusan pengadilan karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1958; ketiga, penyelesaian sengketa melalui arbitrase sifatnya rahasia dan tidak terbuka untuk umum, seperti litigasi dalam pengadilan; keempat, para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untuk memilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut; kelima, para pihak bebas untuk memilih anggota arbiter; keenam, keluwesan dalam prosedur arbitrase, artinya akan menghemat biaya; ketujuh, putusan arbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat yang artinya tidak dapat ditinjau lagi, dan kedelapan, para pihak memiliki keleluasaan untuk sepakat mengenai tempat di mana proses arbitrase tersebut akan dilakukan. Lihat dalam Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi (Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 193.

19 Robert L. Bonn, “

(6)

melalui sistem kesaksian yang cukup rumit. Ketika keahlian ini dikombinasikan dengan tidak adanya pembatasan tertentu pada arbiter terutama pada bukti yang diakui forum, sesuai etika pemeriksaan).

3. The lack of binding precedents of the system of arbitration shows flexibility in which, the public legal system does not enjoy. The principles guiding the dispute resolution process can thus rest on custom rather than on law, whether it be trade custom, as in commercial arbitration, or custom of the shop, as in labor arbitration. (Kurangnya preseden yang mengikat sistem arbitrase menunjukkan fleksibilitas, di mana tidak ada sistem hukum umum. Prinsip-prinsip proses penyelesaian sengketa dapat ditiadakan untuk hal tertentu, apakah itu kebiasaan perdagangan, seperti dalam arbitrase komersial, atau kebiasaan perusahaan seperti dalam arbitrase tenaga kerja).

4. Arbitration is economical because it can dispense with lawyers and expert witness fees (Arbitrase adalah ekonomis karena dapat mengesampingkan pengacara dan biaya saksi ahli).

5. Arbitration process is speedy and faster than national court, in which, its speed means that less time need be spent on particular cases and faster because crowded court dockets often result in delay (Proses arbitrase cepat dan lebih cepat daripada pengadilan nasional, di mana, cepat berarti lebih sedikit waktu yang perlu dihabiskan untuk sengketa-sengketa tertentu dan lebih cepat karena proses pengadilan sering mengakibatkan keterlambatan). 6. Arbitration provides secrecy since it is not a public forum and, unless

specifically requested by the parties themselves, neither records nor transcripts of hearings are maintained (Arbitrase menyediakan kerahasiaan karena bukan forum publik dan, kecuali secara khusus diminta oleh para pihak sendiri, baik catatan atau transkrip sidang dijaga).

7. Arbitration affords more certainty because of the absence of the possibility of legal appeal; and (Arbitrase memberi kepastian lebih karena adanya kemungkinan banding secara hukum; dan)

8. Arbitration is the maintenance of business relationships. Finally, many argue that due to its speed, economy, and flexibility, parties are able to maintain a business relationship, while they settle a dispute that has arisen between them

(7)

Carolyn Hotchkiss20 mengatakan bahwa arbitrase sebagai suatu forum yang lebih popular daripada forum litigasi, dengan keuntungan sebagai berikut :

The arbiters may or may not be lawyers: for example, a contruction contract which are open to the public and often result in published decisions, arbitration is a private process. The ultimate decision goes only to the involved parties. A business concerned about the public disclosure of confidential information will tend to try to resolve disputes through arbitration.

(Terjemahan : Para arbiter dapat berasal dari bidang hukum atau bukan : misalnya, perselisihan kontrak konstruksi mungkin memilih arbiter dibidang tehnik. Proses arbitrase mungkin akan lebih cepat daripada litigasi, terutama di Amerika Serikat. Arbitrase memiliki proses yang lebih efisien dalam hal dengar pendapat, terutama jika dibandingkan dengan proses mahal dan rumit di Amerika Serikat. Faktor utama dalam mendukung arbitrase adalah kurangnya publikasi. Tidak seperti proses pengadilan, yang terbuka untuk umum dan seringkali menghasilkan keputusan yang dipublikasi, arbitrase merupakan proses rahasia. Keputusan akhir hanya untuk pihak-pihak yang terlibat. Suatu usaha akan cenderung memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketanya untuk menjaga informasi yang rahasia).

Streng dan Salacuse21 mengatakan arbitrase itu adalah suatu cara yang sudah tua usianya untuk menyelesaikan sengketa, cara mana telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia. Michael B. Metzger22 mengemukakan bahwa “As compared with the court system, the main advantages claimed for arbitration are : Quicker

20

Carolyn Hotchkiss, International Law For Business, (Singapore : McGraw-HILL International Editions, 1994), hlm. 155-156.

21

M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia,

(Jakarta : Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995), hlm. 1, dikutip dalam Rachmadi Usman,

Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.110.

22

Michael B. Metzger, et.al., Business Law and Regulatory Environment : Concept and Cases,

(8)

resolution of dispute, Lower cost in time and money to the parties, and The

availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute.”

Beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan sistem pengadilan yaitu penyelesaian sengketa lebih cepat, biaya rendah dalam hal waktu dan uang, dan ketersediaan ahli yang profesional dalam sengketa. Selain itu, melalui arbitrase para pihak juga memiliki otonomi yang luas yaitu bebas menentukan isi perjanjian prosedur arbitrase dan pilihan forum sebagai implementasi asas kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda).

Dari uraian tersebut, secara umum telah disepakati bahwa kerahasiaan (confidentiality) proses dan putusan arbitrase merupakan salah satu keuntungan utama dan alasan mengapa para pihak telah memilih arbitrase sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa, sebagaimana diungkapkan oleh F. De Ly23 bahwa ”there is a common agreement that arbitration is private and confidential and it is also widely

assumed that confidentiality is one of the main advantages and reasons why the

parties have chosen arbitration as the means of resolving disputes” (terdapat kesepakatan secara umum bahwa arbitrase bersifat pribadi dan rahasia serta diasumsikan secara luas bahwa kerahasiaan merupakan salah satu keuntungan utama dan alasan mengapa para pihak telah memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa). Akan tetapi kewajiban kerahasiaan secara internasional yang telah melekat pada arbitrase, saat ini sudah mulai diterobos dan mulai ditinggalkan dengan

23 F. De Ly, and others, eds., “Confidential

(9)

dianutnya prinsip keterbukaan (transparency) dalam bentuk publikasi putusan. Penerobosan prinsip tersebut terlihat salah satunya dalam Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules yang telah memberi peluang terutama kepada putusan arbitrase yang dapat dipublikasikan jika disepakati oleh para pihak.

Prinsip kerahasiaan (confidentiality) saat ini tidak lagi dipandang sebagai hal penting, pernyataan mana didasarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Richard Naimark dan Stephanie Keer24 yang mengambil populasi sampel terdiri dari pengacara dan para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui American Arbitration Association (AAA), dengan kesimpulan bahwa kenyataannya, privasi atau kerahasiaan bukan salah satu dari aspek penting dalam arbitrase internasional komersial. Berdasarkan penelitian tersebut, sebagian besar peserta survei menulis bahwa kerahasiaan tidak lagi sebagai atribut penting dalam arbitrase. Atribut lain yang lebih penting adalah ditekankan pada kewajaran dan hasil yang adil, putusan mengenai biaya, finalitas putusan dan keahlian arbiter serta hal lain yang lebih penting dari kerahasiaan adalah hubungan yang berkelanjutan dengan pihak lawan.25

24Cindy G. Buys, “The Tensions Between Confidentiality

and Transparency in International Arbitration,Social Science Research Network International Journal, ssrn.com., hlm. 2., diakses

tanggal 1 Januari 2013. Mengatakan bahwa “… in fact, privacy or confidentiality is not one of the most valued aspect of international commercial arbitration.”

25 Ibid

(10)

Survei lain yang dilakukan oleh Hong-Lin Yu26 bahwa hanya 32 negara27 dari 93 negara28 yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan dalam peraturan arbitrase, mediasi atau konsiliasi dinegaranya termasuk Indonesia, 5 negara lainnya yaitu Austria, Ekuador, Inggris, Singapura, dan Venezuela hanya mengatur secara tidak langsung (indirect, implied) mengenai kewajiban kerahasian, dan 56 negara29 tidak mengatur mengenai kerahasiaan dalam penyelesaian sengketa arbitrase. Selanjutnya berdasarkan data publikasi lembaga ICSID, sejak tahun 1972 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 sebagian besar putusan telah dipublikasi,30 baik melalui website resmi lembaga ICSID, jurnal internasional maupun website resmi atau media pemberitaan negara masing-masing.31

26

Hong-Lin Yu, “Duty of Confidentiality : Myth and Reality, Westlaw International Journal, C.J.1.2012, 31 (1), 68-88, , hlm. 3, diakses tanggal 2 Januari 2013.

27

Negara Aljazair, Australia, Belarus, Bermuda, Kosta Rika, Kroasia, Republik Ceko, Mesir, El Salvador, Perancis, Hongkong, India, Indonesia, Lativia, Lithuania, Maroko, Selandia Baru, Nikaragua, Nigeria, Panama, Peru, Rumania, Skotlandia, Slovenia, Spanyol, Taiwan, Uganda, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Venezuela, Zambia, dan Belanda.

28

Negara Aljazair, Australia, Belarus, Bermuda, Costa Rica, Croatia, Republik Ceko, Mesir, El Salvador, Perancis, Hong Kong, India, Indonesia, Lativia, Lithuania, Maroko, Selandia Baru, Nikaragua, Nigeria, Panama, Peru, Rumania, Skotlandia, Slovenia, Spanyol, Taiwan, Uganda, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Venezuela, Zambia, Belanda, Argentina, Antigua dan Barbuda, Bahrain, Bangladesh, Belgia, Brazil, Bulgaria, Kamboja, Kanada, Chili, Cina, Colombia, Cyprus, Denmark, Finlandia , Jerman, Yunani, Guatemala, Hungaria, Iran, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Luxemburg, Madagaskar, Mauritania, Mauritius, Meksiko, Norwegia, Oman, Pakistan, Paraguay, Polandia, Portugal, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Swedia, Swiss, Suriah, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Yaman, Yugoslavia, Zimbabwe, Austria, Ekuador, Inggris, Singapura, Venezuela.

29

Negara Argentina, Antigua dan Barbuda, Bahrain, Bangladesh, Belgia, Brazil, Bulgaria, Kamboja, Kanada, Chile, Cina, Colombia, Cyprus, Denmark, Finlandia , Jerman, Yunani, Guatemala, Hungaria, Iran, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Luxemburg, Madagaskar, Mauritania, Mauritius, Meksiko, Norwegia, Oman, Pakistan, Paraguay, Polandia, Portugal, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Swedia, Swiss, Suriah, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Yaman, Yugoslavia, dan Zimbabwe.

(11)

Di Indonesia, tidak ada pengecualian secara tegas dalam undang-undang untuk mengenyampingkan ketentuan prinsip kerahasiaan sebagaimana di Malaysia,32 dalam arti jika para pihak menghendaki putusan dipublikasikan maka para pihak sendirilah yang berhak mempublikasikan dan berada di luar kewenangan arbiter dan majelis arbitrase. Apabila arbiter atau majelis arbitrase melanggar ketentuan tersebut maka akan dianggap sebagai perbuatan yang melampaui kewenangan (manifestly exceede its power) dan dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan melawan hukum (unlawfull conduct, onrechtmatige daad) atas alasan telah mencemarkan nama baik para pihak serta para pihak atau salah satu pihak dapat menuntut ganti rugi kepada para anggota arbiter melalui gugat perdata biasa berdasarkan gugatan perbuatan melawan hukum.33

Prinsip dalam hukum acara perdata umumnya menganut prinsip terbuka untuk umum, kecuali untuk perkara tertentu yang diatur oleh undang-undang sebagaimana dalam Pasal 29 RO (Reglement op de Rechterlijke Rechtsvordering) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah oleh Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya UU Kekuasaan Kehakiman).34 Prinsip terbuka untuk umum merupakan salah satu prinsip hukum acara perdata yang artinya bahwa setiap orang

32KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center for Arbitration) i-Arbitration Rules

2012, Rule 13

menyatakan bahwa : “Confidentiality : The arbitral tribunal, the parties and the KLRCA shall keep confidential all matters relating the arbitral proceedings. Confidentiality extends also to any award, except where its disclosure is necessary for purposes of implementation and enforcement.”

33

M. Yahya Harahap, Arbitrase.,Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hlm. 253. 34

(12)

diperbolehkan hadir dan mendengar pemeriksaan di persidangan serta dapat mengetahui isi putusan berikut pertimbangan hakim kecuali perkara tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Meski demikian, pada tahap pembacaan putusan seluruhnya harus tetap terbuka untuk umum, padahal dalam putusan juga terangkum uraian proses pemeriksaan seperti keterangan saksi, fakta-fakta hukum dan pertimbangan hukum hakim.

Tujuan prinsip terbuka untuk umum menurut Sudikno adalah : 35

a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peradilan. b. Menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan

pemeriksaannya ”fair”, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.

c. Secara formil membuka kesempatan untuk ”social control”.

Selain tujuan di atas, sifat terbukanya persidangan berperan dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi. Putusan hakim terutama pertimbangan hakim yang terbuka dapat dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain dalam menjatuhkan putusan.

Berbeda dengan pemeriksaan arbitrase secara internasional yaitu tentang sengketa penanaman modal antara investor asing dengan negara penerima modal

(host state) yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID. Melalui lembaga ICSID, putusan dapat bersifat terbuka untuk umum dalam arti putusan dapat dipublikasi oleh lembaga arbitrase dengan syarat bahwa terdapat persetujuan dari kedua belah pihak untuk itu. Jadi, kerahasiaan dan keterbukaan bersifat alternatif,

35

(13)

dapat terbuka dan dapat bersifat tertutup atau rahasia sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Sejalan dengan hal tersebut, terdapat kebijakan akses informasi Bank Dunia yang baru diberlakukan, yang memberikan akses terhadap semakin banyaknya informasi dibandingkan masa-masa sebelumnya, terutama mengenai kegiatan Dewan serta proyek-proyek yang sedang berjalan. Kebijakan yang disetujui oleh Dewan Direktur Eksekutif pada bulan November 2009, merupakan perubahan besar bagi Bank Dunia dan kebijakan ini sudah diakui oleh komunitas pembangunan sebagai pergeseran mendasar dalam pendekatan, yang menjadi standar bagi organisasi-organisasi internasional. Kebijakan ini didasarkan pada undang-undang informasi yang diadopsi oleh India dan Amerika Serikat sebagaimana diucapkan oleh Robert B. Zoellick, Presiden Bank Dunia36 bahwa ”kebijakan yang baru ini merupakan suatu perubahan besar bagi Bank Dunia terhadap pendekatan dalam keterbukaan informasi, transparansi, saling bagi pengetahuan dan akuntabilitas, publik sekarang mempunyai akses terhadap berbagai macam informasi yang jauh lebih luas daripada sebelumnya.

Adanya peluang penerapan prinsip keterbukaan secara alternatif bersama dengan prinsip kerahasiaan dalam lembaga arbitrase ICSID telah memberikan kekhususan dalam putusan arbitrase investor asing melawan pemerintah suatu negara karena dengan adanya peluang konsumsi publik atas putusan maka pemerintah

36“Bank Dunia Memperluas Akses Informasi untuk Publik

,” tanggal 1 Juli 2010, diakses dari

(14)

maupun badan hukum swasta yang terlibat akan menanggung akibat berupa turunnya popularitas masing-masing jika terdapat kesalahan penerapan hukum yang berkaitan dengan tidak profesionalnya para pihak. Dengan keterbukaan, investor dan host state

dapat memperhatikan putusan terdahulu untuk mempertimbangkan hal-hal yang serupa di kemudian hari sehingga mengurangi jumlah sengketa yang timbul akibat investasi. Untuk itu suatu negara harus membuat kebijakan politik yang menguntungkan negaranya sebagaimana pendapat Sudarto37 bahwa proses politik mempengaruhi lahirnya suatu produk hukum.

Keterbukaan merupakan kunci lahirnya pertanggungjawaban (accountability). Melalui keterbukaan maka pembuat keputusan dalam hal ini arbiter dan lembaga arbitrase akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Secara konvensional, wujud keterbukaan adalah proses persidangan terbuka untuk umum dan pembacaan putusan yang terbuka untuk umum serta dapat di akses publik. Keterbukaan juga merupakan salah satu pilar utama dalam konsep tata pemerintahan yang baik (good governance). Ada 3 (tiga) hak publik yang relevan berkaitan dengan prinsip keterbukaan yaitu : 38

37

Menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Lihat Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Hukum dan Keadilan,

5 Januari - Februari 1979, hlm. 13-15. Sedangkan menurut Solly Lubis, politik hukum (legal policy/rechts politick) adalah kebijakan (policy) yang menetapkan sistem dan perangkat hukum yang akan berlaku dalam negara, dalam SollyLubis, Serba-Serbi Politik & Hukum (Jakarta : PT. Sofmedia, 2011), hlm. 52 dan kuliah Politik Hukum tanggal 3 November 2011.

38

(15)

a. Hak publik untuk memantau dan mengamati perilaku pejabat publik. b. Hak publik atas informasi.

c. Hak untuk mengajukan keberatan.

Di Indonesia, arbitrase pertama kali dikenal ketika Pemerintah Belanda menjajah Indonesia yang saat itu meratifikasi Konvensi Jenewa 1927 tentang Pengakuan Arbitrase Asing.39 Selanjutnya dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)40 tidak mengatur mengenai arbitrase, karena HIR khusus untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing termasuk Tionghoa. Tetapi HIR mengizinkan masyarakat Bumiputera dan Timur Asing untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase, dengan catatan bahwa para pihak wajib mematuhi aturan-aturan yang digunakan oleh orang-orang Eropa, hal ini diatur dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg.41

Peraturan arbitrase yang demikian telah banyak merugikan penduduk pribumi Indonesia karena telah menimbulkan diskriminasi dan keadaan yang tidak adil. Kebijakan hukum yang membagi dua sistem hukum acara arbitrase menyebabkan lambatnya proses pendirian lembaga arbitrase di Indonesia, terbukti lembaga arbitrase nasional yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) baru didirikan pada tahun 1977 dan peraturan arbitrase nasional yang baru terbentuk tahun 1999 melalui UU

39

Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 314.

40

Staatsblad 1941 : 44 41

(16)

Arbitrase karena kebutuhan mengenai arbitrase semakin diperlukan oleh para pelaku bisnis yang kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.

Secara internasional, salah satu lembaga arbitrase adalah International Center for The Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berfungsi menyelesaikan sengketa penanaman modal asing yang bernaung dan diprakarsai oleh Bank Dunia. Lembaga ini terbentuk berdasarkan Konvensi Washington atau World Bank Convention yang ditandatangani di Washington D.C. pada tanggal 18 Maret 1965 dan mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966 (disingkat Konvensi ICSID). Konvensi ICSID terbentuk sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia pada era tahun 1950-1960 dan beberapa negara berkembang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya. Tindakan ini mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa terbuka.42

Konvensi ICSID ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 16 Februari 1968 dan diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 29 Juni 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal yang mana ratifikasi ini merupakan cikal bakal peraturan tentang penanaman modal,43 dengan peraturan-peraturan

42

Huala Adolf, HukumEkonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 315.

43

(17)

tersebut pula maka terdapat jaminan perlakuan yang adil bagi investor yaitu adanya jaminan bagi para investor berupa tidak akan diperlakukan sewenang-wenang, serta bertujuan untuk meyakinkan para investor asing bahwa pemerintah Indonesia selalu mengikuti aturan-aturan internasional dan setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

Tujuan dari ratifikasi Konvensi ICSID sebagaimana dikatakan oleh Yahya Harahap44 adalah :

Untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau

joint venture di Indonesia. Sebab dengan diakui konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia, sedikit banyak akan memberi keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak dapat di bawa ke forum arbitrase atas kesepakatan para pihak. Penyelesaian sengketa yang timbul, tidak didasarkan pada ketentuan tata hukum Indonesia yang pada umumnya kurang dipahami, serta barangkali dianggap jauh tertinggal dan kurang sempurna menyelesaikan masalah-masalah yang berskala hubungan internasional.

Kemudian Ningrum Natasya Sirait45 mengatakan bahwa :

Pada saat ini tidak ada satupun negara yang terbebas dari permasalahan yang menyangkut politik, ekonomi, dan upaya demokratisasi, walaupun tingkat problematikanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, maka setiap negara akan menerapkan sistem yang dianggap tepat dan sesuai dengan kepentingan nasional negara tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah Indonesia menetapkan sistem hukumnya dengan memberi peluang untuk mengajukan sengketa kepada lembaga

1970 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan juga mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

44

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Op.Cit., hlm. 5-6

45 Ningrum Natasya Sirait, “Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Internasional, Pidato

(18)

arbitrase internasional yaitu melalui Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya UU PMA) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak, dengan kata lain bahwa sengketa investasi diselesaikan melalui arbitrase ICSID jika disepakati. Aturan ini mendukung timbulnya beberapa sengketa arbitrase berkaitan dengan investor asing melawan Pemerintah Republik Indonesia antara lain : 46

1. PT. Amco Asia Corporation, Pan American Developtment Limited dan PT. Amco Indonesia v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1).

2. Cemex Asia Holding Ltd. v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/04/3). 3. Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia

(ICSID Case No. ARB/12/14 dan 12/40).

4. Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and others (ICSID Case No. ARB/07/3).

5. Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia

(ICSID Case No. ARB/12/40 dan 12/14).

6. Rafat Ali Rizvi v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13).

yang merupakan sengketa-sengketa yang disepakati oleh para pihak untuk dimintakan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase ICSID.

46

(19)

Penanaman modal asing tidak dapat di lihat lepas daripada peranannya di dalam pembangunan ekonomi dan rencana pembangunan (economic planning), karena penanaman modal asing hanya merupakan salah satu faktor dalam usaha pembangunan ekonomi. Berkaitan dengan hal ini Sunarjati Hartono47 menyitir pendapat Stanley D. Metzger bahwa “involves nothing less than the transformation of

a society and its economy,” sebagaimana dikemukakan juga oleh Richard N. Gardner bahwa “I don‟t see how we can solve any one of these problems unless we solve the

other two, in recent years we have sometimes failed, because we fragmented them

artificially”. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa perubahan masyarakat dan ekonomi banyak melibatkan penanaman modal sehingga masalah yang timbul dalam penanaman modal tidak dapat dipisahkan penyelesaiannya dengan masalah pembangunan ekonomi, jika diselesaikan secara terpisah maka akan menimbulkan kegagalan seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Salah satu faktor yang berkaitan dengan penanaman modal asing adalah mengenai kepastian hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di Negara Indonesia yang mana dinilai kurang menguntungkan investor. Keluhan utama investor asing menurut Mochtar Kusumaatmadja48 adalah masalah kepastian hukum di mana undang-undang tidak jelas dan saling bertentangan. Senada dengan hal

47

C.F.G. Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung : Bina Tjipta, 1972), hlm. 1 sebagaimana dikutip dari Stanley D. Metzger & John Carey (ed.), Law and Policy Making For Trade Among “Have” and “Have-not” Nations, 2nd.ed (New York : Oceana Publications, Inc., 1968), hlm. 5.

48

(20)

tersebut, Erman Rajagukguk49 menyatakan bahwa ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian, di mana tidak adanya kepastian hukum akan mengakibatkan terpuruknya kegiatan investasi khususnya investasi asing yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karenanya demi menciptakan iklim investasi yang “favourable

maka salah satu hal yang perlu diperbaiki adalah mekanisme penegakan hukum dan penyelesaian sengketa khususnya di bidang perdagangan dan penanaman modal melalui arbitrase yaitu tentunya melalui hukum positif yang ada. Untuk mencapai hal tersebut, salah satunya dengan penyelesaian sengketa arbitrase investasi yang terbuka yang diharapkan akan memberikan perlindungan hukum bagi investor dan negara tempat melakukan investasi (selanjutnya disebut host state).

UU PMA memang telah mengatur mengenai prinsip keterbukaan, namun tidak serta merta jelas mengelaborasikan dengan ketentuan arbitrase pada umumnya terutama dengan lembaga arbitrase ICSID yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai penanaman modal asing. Padahal, prinsip keterbukaan atas putusan sengketa arbitrase yang diharapkan dapat mencerminkan setidak-tidaknya kepastian hukum adalah hal yang baru sehingga menarik untuk diteliti dan dianalisis yang selanjutnya disusun dalam bentuk disertasi dengan judul ”Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara.

49

(21)

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan di identifikasi50 lebih lanjut dalam penelitian ini sesuai latar belakang masalah bertujuan untuk menemukan suatu pemecahan terhadap beberapa masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Melakukan identifikasi masalah yang dikemukakan itu harus diselaraskan dengan karakter atau model penelitian,51 atau dengan hakikat52 dari persoalan yang dikaji. Pokok permasalahan yang akan diteliti terkait adalah sebagai berikut :

1. Mengapa prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase diperlukan dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui ICSID antara investor dan

host state?

50

Mengidentifikasi berarti mengenal, menemukan atau menampilkan hal yang spesifik yang diangkat dari materi yang masih mengandung sifat umum. Adapun yang menjadi titik tolaknya ialah tema sentral masalah yang dikemukakan dalam latar belakang masalah. Identifikasi di sini dimaksudkan untuk menampilkan acuan-acuan teoretik yang spesifik yang disimak dari situ sebagai isyarat penetapan tujuan penelitian, juga untuk perhatian persiapan penelitian. Melalui identifikasi itu sudah terbayang arah pengenalan jumlah variabel dan karakteristiknya, hubungannya satu sama lain atau secara bergabung dalam menampilkan pengaruhnya. Dan identifikasi masalah harus tercermin secara konsisten dalam maksud dan tujuan penelitian. Didi Atmadilaga, Buku Pintar Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Buku pertama (Bandung : Pionir Jaya, Tanpa Tahun), hlm. 11.

51

Karakter penelitian yang dimaksudkan dalam penulisan disertasi adalah dengan menggunakan karakter penelitian kualitatif. Dalam penelitian yang berkarakter kualitatif, metode yang digunakan juga dengan metode kualitatif, yaitu berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan/atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan/atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Lihat dalam Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif, Perspektif Mikro, (Grounded Theory, Fenomenologi, etnometodologi, etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi) (Surabaya : Insan Cendikia, 2002), hlm. 2.

52

(22)

2. Mengapa terjadi perbedaan penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di berbagai negara?

3. Bagaimana penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis alasan perlunya prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui ICSID antara investor dan

host state.

2. Menganalisis perbedaan penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di berbagai negara.

3. Menganalisis penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian disertasi ini adalah :

1. Secara teoretis

(23)

sebagai kerangka dasar penelitian lebih lanjut terutama untuk menentukan arah perubahan undang-undang arbitrase mendatang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan yang dirasakan masih minim di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara secara khususnya dan juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian dalam bidang hukum arbitrase untuk selanjutnya.

2. Secara praktis

(24)

E. Keaslian Penelitian

Dari penelusuran dan inventarisasi kepustakaan yang telah dilakukan di berbagai kepustakaan pada program doktor (S-3), maka penelitian mengenai arbitrase pernah dilakukan.

1. Disertasi Tineke Louise Tuegeh Longdong (1998), 53 dengan judul “Pelaksanaan Konvensi New York 1958”, Universitas Indonesia (UI) - Jakarta, yang melakukan penelitian mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan asas ketertiban umum dengan kajian putusan pengadilan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

2. Disertasi Dahnidar Lukman (1999), dengan judul ”Klausula Arbitrase ICSID

Dalam Persetujuan Penanaman Modal Asing di Indonesia”, Universitas Indonesia (UI) – Jakarta, yang melakukan penelitian mengenai yurisdiksi Badan Arbitrase ICSID terkait dengan persetujuan yurisdiksi para pihak.

3. Disertasi Eman Suparman (2004),54 dengan judul “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan” dari Pascasarjana

Universitas Diponegoro (UNDIP)-Semarang, merupakan disertasi yang membahas mengenai pilihan forum dalam arbitrase untuk penegakan keadilan.

53

Tineke Louise Tuegeh Longdong, Pelaksanaan Konvensi New York 1958, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, sebagaimana telah dicetak dalam buku berjudul : Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958: Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 Pada Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing,”(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998).

54 Eman Suparman, “

(25)

4. Disertasi Teddy Reinier Sondakh (2009), dengan judul ”Prinsip Transparansi

dalam Ketentuan Hukum Penanaman Modal di Indonesia” dari Pascasarjana Universitas Brawijaya (UNIBRAW) – Malang, yang membahas mengenai prinsip transparansi dalam arti yang berbeda dengan transparansi yang dimaksud dalam disertasi ini.

Namun kesemua karya di atas dapat digunakan sebagai referensi dan sebagai bahan studi perbandingan guna menemukan sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi pembangunan ilmu hukum dan pembangunan hukum di Indonesia. Dengan demikian keaslian penelitian disertasi ini dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk di kritisi secara konstruktif.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka teori

Kerangka teori55 merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dengan menginterpretasi hasil-hasil

55

Kebutuhan akan kerangka teori semakin jelas bila di lihat dari fungsinya. Pertama, kerangka teori menguraikan variabel-variabel yang diperhitungkan atau yang dijadikan sebagai objek yang diusulkan dalam suatu penelitian dan darinya memberi hasil bagi pemecahan masalah. Kedua,

memberikan batasan-batasan kepada penyelidikan yang diajukan dengan menyarankan variabel-variabel mana yang harus dipandang sebagai tidak relevan dan karena itu harus di abaikan. Ketiga,

(26)

penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.56 Kerangka teori57 merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu sengketa atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.

Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.58 Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.59 Teori60 akan memberikan sebuah sarana penjelasan yang bermanfaat dan akan membantu untuk memperbandingkan teori-teori itu dan menilai manfaat teori-teori tersebut.

Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum,61 dalam definisi ini teori hukum muncul sebagai produk sebab

56

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19. 57

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 58

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder) (Semarang : Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 15 Desember 2000), hlm. 8.

59

Kerlinger, Foundations of Behavioral Research,2nd Edition,(New York : MacMillan, 1971), h.9 sebagaimana dikutip dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai,

(27)

keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretik bidang hukum.62 Dalam konteks filsafat ilmu hukum, teori hukum menjadi penting dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan ilmu hukum, suatu teori merupakan sesuatu yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh suatu disiplin ilmu.63

Beranjak dari tema penelitian ini, maka teori yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Grand theory

Teori filsafat sebagai fundamental teori hukum dari disertasi ini adalah Teori Kedaulatan Negara dari Hans Kelsen yang merupakan sebuah pilihan yang didasarkan pada pertimbangan penelitian yang berpangkal pada pengutamaan hukum nasional bahwa negara yang tatanan hukumnya merupakan titik awal dari seluruh konstruksi yang dapat dianggap berdaulat yang di atasnya tidak ada lagi tatanan hukum yang lain. Adanya dualisme64 hukum internasional65 dan nasional

Jaminan Fidusia – Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Penerbit PT. Alumni, 2006), hlm.17

62

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990), (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 42.

63

Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.

64

(28)

bukanlah untuk menegaskan keterpisahan masing-masing di antaranya, melainkan untuk menegaskan ide tentang kedaulatan66 negara yang merupakan kualitas penting dari kekuasaan67 tertinggi suatu negara sebagai salah satu akibat dari aliran dualisme tersebut yang menentukan bahwa hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional. Negara itu berdaulat berarti tatanan hukum nasional merupakan suatu tatanan yang di atasnya tidak ada tatanan yang lebih tinggi. Hans Kelsen68 dalam bukunya menguraikan bahwa sebagian besar norma hukum internasional adalah norma yang tidak sempurna yang menerima penyempurnaannya dari norma-norma hukum nasional, jadi tatanan hukum internasional hanya berarti sebagai bagian dari suatu tatanan hukum universal yang meliputi juga seluruh tatanan hukum nasional. Analisis tersebut selanjutnya membawa kepada kesimpulan

sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional. Lihat dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Alumni, 2003), hlm. 57-58.

65

Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara : negara dengan negara dan negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Ibid, hlm. 4. Benny mengatakan bahwa “international law issues arise whenever a transaction involves the crossing of national borders in some way, it may be that the parties operate from different jurisdictions or, perhaps the subject matter is in a different jurisdiction.” Dalam Benny S. Tabalujan, Singapore Business Law, second edition, (Singapore : BusinessLaw Asia, 2000), hlm. 483.

66

Kedaulatan (sovereignty) sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya yaitu : pertama, kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan kedua, kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain di mulai. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit., hlm. 18.

67

Otoritas (authority) biasanya didefinisikan sebagai hak atau kekuasaan untuk menerbitkan perintah-perintah yang memaksa, bandingkan dengan teori Hukum Austin bahwa hukum adalah perintah pihak yang berdaulat (Law was the command of sovereign, no law, no sovereign ; and no sovereign, no law). Lihatdalam Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik – Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm.70.

68

(29)

bahwa tatanan hukum internasional menentukan bidang validitas teritorial, personal dan temporal dari tatanan-tatanan hukum nasional, dengan demikian memungkinkan koeksistensi dari aneka ragam negara. Pada akhirnya terlihat bahwa tatanan hukum internasional membatasi bidang validitas material dari tatanan-tatanan hukum nasional dengan jalan menundukkannya kepada suatu peraturan tertentu yang menjadi masalahnya sendiri yang kalau tidak, bisa diatur secara sembarangan oleh negara. Pandangan ini juga disebut sebagai pandangan monistik.

Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945, di dalam penjelasannya dikatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan yang tertinggi.69 Jean Bodin70 mengatakan bahwa :

A state differs from other communities through the presence of summa potestas. This, although inheren in the nature of the statse, rest in the individuals who in fact possess supreme power. One aspect of sovereignty is

the power to make law as a means of making the sovereign‟s will effective,

and therefore largerly equates law with statute.

(Terjemahan : suatu negara berbeda dengan masyarakat lain, karena adanya kekuasaan tertinggi (summa potestas), walau melekat dengan sifat negara, terletak pada individu-individu yang dalam kenyataannya memiliki kekuasaan tertinggi. Salah satu aspek kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, dan karenanya undang-undang disamakan dengan hukum).

69

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 151. 70

(30)

Namun perumusan Jean Bodin ini tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen untuk masa sekarang, karena saat itu Bodin hanya meninjau kedaulatan dalam hubungannya dengan masyarakat di dalam negeri itu saja, padahal dewasa ini hubungan antar negara yang satu dengan yang lainnya itu sudah begitu luas, mau tidak mau suatu negara itu mesti terkena pengaruh dari hubungan antar negara-negara tersebut. Akibatnya dikenal adanya kedaulatan ke dalam (internal souvereignity) dan kedaulatan ke luar (external souvereignity).

Posisi negara memiliki kedaulatan bahwa jika ada hukum maka di sana terdapat atribut-atribut negara yang memegang kedaulatan. Berkaitan dengan hal tersebut, Austin71 berpendapat bahwa ”the factual tests for identifying positive law are: law is a command ; a command requires to be supported by a sanction ;

the command together with its sanction emanates from a sovereign.” Indikator terpenting untuk mengidentifikasi hukum positif adalah hukum adalah perintah ; suatu perintah harus didukung oleh sanksi di mana keduanya itu berasal dari suatu kedaulatan.

Undang-undang sebagai ius constitutum adalah kehendak dari kekuasaan tertinggi dari kedaulatan negara. Hukum positif merupakan bentuk kodifikasi dari undang-undang antara lain KUH Perdata, HIR, RBG dan RV72 sebagai

71

Howard Davies and David Holderoft, Jurisprudence Texts and Commentary (London, Dublin, Edinburg : Butterworths, 1991), hlm. 17.

72

(31)

konsekuensi dari asas-asas hukum73 yang terdapat di dalam lapangan hukum perdata, namun harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang terpadu dan dijadikan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.74

Teori kedaulatan negara75 berkaitan erat dengan konsep rechtsstaat,76 the rule of law77 dan konsep pluralistik.78 Konsep negara hukum melahirkan pengelolaan manajemen negara yang harus berdasarkan hukum, negara hukum

Hukum menurut Austin harus memenuhi unsur-unsur yaitu : ada penguasa (souvereignity), perintah (command), kewajiban untuk mentaati (duty) dan sanksi bagi yang tidak taat (sanction). Lihat, dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm. 56. Bandingkan dengan Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum-Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, cet. Ke-3, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 120. Bandingkan dengan W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, (London : Stevens & Sons Limited), 1960, hlm. 212

73

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (Bandung : Alumni, 1996), hlm. 15. Lihat, juga Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

74

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum adalah sebagai jantung peraturan hukum positif, disebut demikian karena dua hal yaitu : pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas atas lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum. Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 14. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum postif dalam suatu masyarakat. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (Yogyakarta : Liberty, 1988), hlm. 32

75

Jean Bodin, Thomas Hobbes, Jhering, John Austin dan Hans Kelsen adalah sederetan nama-nama yang mengetengahkan gagasan tentang kedaulatan negara.

76

Negara hukum (Rechtsstaat) adalah istilah yang diberikan oleh ahli hukum Eropa Barat Kontinental. Frederich Julius Stahl memberikan ciri-ciri rechtsstaat yaitu : pertama, hak-hak asasi manusia. kedua,Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang bisa dikenal sebagai Trias Politika. Ketiga, Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur). Keempat, Peradilan administrasi dalam perselisihan. Lihat dalam Moh. Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta : Gama Media, 1999), hlm. 23.

77

Negara hukum (Rule of Law) adalah istilah yang diberikan oleh ahli hukum Anglo Saxon. A.C. Dicey memberikan ciri-ciri rule of law yaitu : pertama, Supremasi hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

kedua,Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. Ketiga,

Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan. Ibid.,., hlm. 23.

78

(32)

menurut Dicey, harus mencerminkan tiga kriteria dari the rule of law yaitu

s

upremasi hukum, persamaan hak di depan hukum, dan perlindungan setiap

orang di depan hukum.79

Kemudian kedaulatan negara berhubungan dengan konsep pluralistik80 yang mengakui bahwa hukum nasional dan hukum internasional terpisah tapi berlaku secara bersamaan, artinya bahwa norma hukum internasional tidak dapat secara langsung diterapkan oleh organ-organ negara dan bahwa organ-organ negara, khususnya pengadilan, hanya dapat menerapkan secara langsung norma-norma hukum nasional. Jika suatu norma-norma hukum internasional, misalnya suatu perjanjian internasional harus diterapkan oleh pengadilan suatu negara maka norma tersebut harus diubah menjadi hukum nasional oleh suatu tindakan legislatif yang melahirkan undang-undang atau peraturan dengan isi yang sama seperti perjanjian tersebut,81 dengan kata lain bahwa berlakunya hukum internasional karena ada pengakuan dari hukum nasional. Di sinilah peran kedaulatan negara untuk menerima atau menolak hukum internasional. Mochtar

79

A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law the Constitution (London : Macmillan Press, 1971), hlm. 202-203. Menyatakan bahwa ”... in the first place, the absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and excludes the existence of arbitrariness, of prerogative, or even of wide discretionary authority on the part of government. It means, again, equality before the law, or equal subjection of all classes to the ordinary law of the land administered by the ordinary law courts ; lastly, may be used as a formula for expressing the fact that with us the law of constitution, the rules which in foreign countries naturally from part of constitutional code, are not the source but the consequence of the rights of individual, as defined and enforced by the courts.”

80

Disadur dari Hans Kelsen, op.cit., hlm. 511-546. 81Ibid

(33)

Kusumaatmadja82 mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional.

Teori kedaulatan digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama karena inti dari penggunaan suatu prinsip dalam hukum nasional adalah berkaitan dengan kedaulatan negara untuk mengaturnya atau tidak, dengan adanya hukum internasional yang hidup berdampingan dengan hukum nasional yang memiliki kedaulatan dari setiap negara, jika dihubungkan penelitian disertasi ini di mana Indonesia menganut konsep negara hukum, maka hukum internasional tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warganegara asing mengenai

82

(34)

penanaman modal (Convention on The Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States) atau disebut juga Konvensi Washington atau Konvensi ICSID adalah diterima sebagai norma hukum di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XII/MPRS/1966 dan No. XXIII/MPRS/1966 yang menganggap perlunya Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut serta dalam Konvensi ICSID tersebut.83 Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tersebut didasarkan pada :

1. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” 2. Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,”

3. Pasal 20 UUD 1945 yang berbunyi “(1) Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (2) Jika suatu rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat , maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.”

83

(35)

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan kembali RI dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) sesuai Lembaran Negara No. 1966 No. 36).

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara No. 1967 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 2818). 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1967 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan Kembali RI dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) sesuai Lembaran Negara 1967 No. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 2819.

Hal tersebut juga menunjukkan bukti ungkapan H.L.A. Hart84 bahwa negara karena kedaulatannya, hanya bisa tunduk atau terikat oleh peraturan-peraturan yang telah dibebankan atas negara itu sendiri.

b. Middle range theory

Dalam middle range theory digunakan teori positivisme yuridis (legal positivisme) H.L.A. Hart yang menyatakan bahwa dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara

84

(36)

ilmiah. Tujuan positivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku,85 teori ini sangat berkaitan dengan teori kedaulatan di atas. H.L.A. Hart86 menjelaskan beberapa esensi positivisme distinguished from historical inquirie, into the causes or origins of laws, from sociological inquiries into the relation of law and other social phenomena and from the critical appraisal of law whether in terms or morals, social aims, function or otherwise. (d) The contention that the legal system is a closed logical system in which correct legal decisions can be deduced by logical means from predetermined legal rules without references to social aim, policies, moral standars. (e). The contention that morals judgements cannot be established or difended as statements of fact can by rational argument, evidence or proof (non cognitivism in ethics).

(Terjemahan : (a) hukum adalah perintah, (b) tidak ada hubungan antara hukum dengan moral, (c) konsep hukum harus dibedakan dari sejarah, sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial, (d) sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya, dan (e) hukuman tidak boleh berdasarkan moral melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti).

Positivisme yuridis menentukan kenyataan-kenyataan dasar sebagai berikut : pertama, tata hukum negara dianggap berlaku karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Kedua, hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Bentuk yuridis

85

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), hlm. 92.

86

(37)

hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. Ketiga, isi material hukum memang ada, tetapi tidak di pandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, karena isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain selain hukum.87 Positivisme yuridis juga menekankan bahwa kepercayaan dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.88

H.L.A Hart89 juga membagi kaidah hukum menjadi dua. Pertama, terdapat kaidah primair (primary rules of obligation) yang menentukan kelakuan subyek-subyek hukum dengan menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang. Kedua, terdapat kaidah sekunder (secondary rules of obligation) yang memastikan syarat-syarat bagi berlakunya kaidah primair dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah itu. Sebab itu disebut ”petunjuk pengenal”

(rules of recognition). Di samping itu juga dipastikan syarat bagi perubahan kaidah-kaidah itu (rules of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka kaidah-kaidah itu (rules of adjudication).

87

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Yayasan kanisius, 1982), hlm. 128-129.

88

Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2013), hlm. 18. 89

(38)

Teori positivisme ada dua yaitu positivisme yuridis dan positivisme sosiologis, namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori positivisme yuridis yaitu aliran yang berpandangan bahwa studi tentang wujud hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seyogyanya ada dalam kaidah-kaidah moral.90 Dalam teori positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum makin profesional. Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah sistem yang tertutup (closed logical system) artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan norma sosial, politik dan moral.91

Teori positivisme yuridis ini menjadi middle range theory untuk membahas mengenai prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID melalui aturan hukum tertulis yang ada.

c. Applied theory

Teori yang digunakan sebagai teori penerapan (applied theory) dalam disertasi ini yaitu teori penyelesaian sengketa oleh Priyatna Abdurrasyid92 yang memberikan batasan alternatif penyelesaian sengketa sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberikan alternatif atau pilihan suatu

90

Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta : IBLAM, 2004), hlm. 35.

91

H.R.Otje Salman, Anton F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2004), hlm.80.

92

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,

Referensi

Dokumen terkait

Nilai merk dagang diukur dengan metodologi penilaian merk Interbrand dan tingkat harga saham perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat harga saham rata-rata

 Peserta didik diminta menyimak penjelasan pengantar kegiatan secara besar/global tentang materi gangguan sistem pernapasan dan upaya menjaga kesehatan

Dan ketika siswa dalam kelas tersebut sudah terlihat siap untuk menerima materi pelajaran, selanjutnya Bapak Masadi akan melakukan tanya jawab dengan para siswa sebagai

fuzzy masukan e dan de dan dengan menggunakan jaringan FNN empat lapisan, dimana pada model jaringan ini tidak digunakan lapisan ‘ouput_fuzzy’ dan dari fuzzy rule yang digunakan

Alternatif sosial yang optimal adalah pemberian beasiswa kepada mahasiswa diterima sesuai dengan true ranking. Untuk mendapatkan penerimaan beasiswa dengan socially

Makalah ini mengusulkan optimisasi operasi suatu sistem tenaga listrik menggunakan Modified Improved Particle Swarm Optimization (MIPSO) dengan mempertimbangkan batasan

Proses pemadanan adalah memasangkan agen dengan agen lainnya yang feasible dalam suatu populasi yang terbatas, di mana akan dipastikan bahwa agen-agen tersebut bertemu

Pada permasalahan persediaan multi item, hal yang harus diputuskan adalah kapan pemesanan dilakukan, barang – barang apa saja yang dilibatkan di dalam pemesanan tersebut, dan