BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi2.1.1 Pengertian Implementai
Pengertian implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pelaksanaan atau penerapan. Dalam hal ini, implementasi diartikan sebagai sebuah
pelaksanaan atau penerapan suatu program ataupun kebijakan yang telah dirancang
atau didesain dan dijalankan secara keseluruhan.
Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan,
perwujudan dalam tindak nyata. Van Master dan Van Horn (dalam Wahab 2002),
merumuskan proses implementsi atau pelaksanaan sebagai berikut:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah/swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tunuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Sedangkan implementasi dalam
pengertian luas adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan.
Dan dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan
sasaran yang diinginkan.
Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses
kebijakan karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan
tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang
terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya
dan sasaran telah ditetapkan, kemudian program kegiatan telah tersusun dan dana
telah siap untuk proses pelaksanaanya dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran
atau tujuan kebijakan yang diinginkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama
yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang
implementasi, karena dalam program tesebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:
1. Adanya tujuan yang inigin dicapai.
2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan
itu.
3. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
5. Adanya strategi dalam pelaksanaan.
2.2 Pelayanan
2.2.1 Pengertian Pelayanan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelayanan adalah sebagai usaha
melayani kebutuhan orang lain. Selain itu, pengertian pelayanan menurut Kotler
dalam Laksana (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yanga dapat
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud
dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.
Sementara itu, menurut Lovelock, Petterson & Walker dalam Tjiptono (2005)
dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama: (1) operasai
jasa; dan (2) penyampaian jasa.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan merupakan suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu diberikan kepada orang lain.
2.2.2 Sistem Pelayanan Sosial
Sistem pelayanan sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan kelompok atau
seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada klien
dalam mencapai tujuan tertentu. Pelayanan sosial adalah salah satu bentuk kebijakan
sosial yang ditujukan untuk mempromosikan kesejahteraan. Namun demikian,
pemberian pelayanan sosial bukan merupakan satu-satunya strategi untuk
meningkatkan kesejahteraan seseorang atau masayarakat, Ia hanyalah salah satu
strategi kebijakan sosial dalam mencapai tujuannya.
Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana
pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya. Perlu dibedakan dua
macam pengertian pelayanan sosial, yaitu:
1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup
fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,
kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.
2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan
sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan
yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga
Luasnya konsepsi mengenai pelayanan-pelayanan sosial sebagaimana
dikemukakan Romanyshyn 1971, bahwa pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha
memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu
dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya
kolektifitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat.
2.2.3 Fungsi Sistem Pelayanan Sosial
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial
sebagai berikut:
1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat.
2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.
3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian.
4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat, untuk tujuan
pembangunan.
5. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar
pelayanan-pelayanan yang terorganisir dapat berfungsi.
Sementara Ricart M. Titmus dalam Muhidin (1992: 43) mengemukakan fungsi
pelayanan sosial di tinjau dari perspektif masyarakat sebagai berikut :
1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk
lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok dan masyarakat untuk
masa sekarang dan masa yang akan datang.
2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai
suatu investasi yang di perlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (suatu
3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk
melindungi masyarakat.
4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai
program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat pelayanan sosial
(misalnya kompensasi kecelakaan industri dan lainya).
Sedangkan Alfred J. Khan dalam Muhidin (1992: 43) menyatakan bahwa fungsi
utama pelayanan sosial adalah:
1. Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan.
2. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi.
3. Pelayanan akses.
Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk
mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui
program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal), dan pengembangan. Tujuannya
untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian
anak.
Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi mempunyai
tujuan untuk melaksanakan pertolongan pada seseorang, baik secara individual
maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi
masalah-masalahnya.
Adanya berbagai kesenjangan dalam pelayanan sosial akses, maka pelayanan
sosial mempunyai fungsi sebagai ”akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan
yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat
2.3 Autis
2.3.1 Pengertian Autis
Pengertian autis telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara harfiah
autis berasal dari kata autos yaitu diri dan isme yang berarti paham/aliran. Autis dari
kata auto (sendiri), secara etimologi : anak autis adalah anak yang memiliki
gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.
Mujahidin (2012), menjelaskan autis merupakan gangguan perkembangan yang
mempengaruhi proses akuasi keterampilan individu manusia dalam area interaksi
sosial, komunikasi dan imajinasi.
Seperti kita ketahui banyak istilah yang muncul mengenai gangguan
perkembangan, diantaranya adalah:
1. Autism (autisme) yaitu nama gangguan perkembangan komunikasi, sosial,
perilaku pada anak.
2. Autist (autis) yaitu, anak yang mengalami ganguan autisme.
3. Autistic child (anak autistik) merupakan keadaan anak yang mengalami
gangguan autis (Kanner & Asperger, 1943).
Pengertian autis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive
Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan
ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah
istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan
1. Autistic Disorder (Autism) : muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan
adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain
secara imaginatif serta adanya perilaku stereotipe pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome : hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya
minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan
keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata
hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) :
merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila
seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu
(Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome : lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi
pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian
terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya, kehilangan
kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakan-gerakan
tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1-4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) : menunjukkan perkembangan
yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba
kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Dari uraian yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak autis
yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang
mempengaruhi banyak fungsi-fungsi, seperti persepsi (perceiving), intending,,
dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial komunikasi
dan terobsesi pada satu kegiatan atau objek yang mana mereka memerlukan layanan
pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.
Leo Kanner (Handojo, 2003) autis merupakan suatu jenis gangguan
perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri.
Chaplin (2000) mengatakan anak autis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.
2. menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri.
3. Keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
2.3.2 Gejala Autis
Anak dengan autis dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua
dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan
kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima
panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan
badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi
agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar
kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi
gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan
hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para
yang mereka terima, misalnya suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari
suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan
mereka.
1. Gangguan Komunikasi a. Terlambat bicara
b. Meracau, bicara tidak jelas atau tidak dimengerti
c. Tidak mengerti maksud pembicaraannya sendiri
d. Meniru atau membeo dengan suara monoton
e. Berbicara tetapi tidak untuk komunikasi
f. Tidak memahami pembicaraan orang lain dan tidak mampu berkomunikasi
2. Gangguan Interaksi Sosial a. Tidak ada kontak mata
b. Tidak mempunyai rasa empati
c. Tidak tertarik dengan orang lain
3. Gangguan Emosi
a. Anak biasa secara mendadak tertawa/menangis/marah tanpa sebab yang jelas
b. Sulit mengendalikan emosi
c. Seringkali ada ketakutan yang tidak wajar
4. Gangguan Perilaku
a. Bersikap tidak acuh, tidak mau diatur dan asyik dengan dunianya sendiri
b. Hyperactive sehingga selalu mondar-mandir, berlari-lari, lompat-lompat tak
namun ada juga yang hypoactive sehingga seringkali duduk bengong dan
melamun atau terpukau benda tertentu
c. Perilaku yang kaku, berulang, monoton dan merasa terganggu terhadap
perubahan
5. Gangguan Persepsi Sensoris
a. Gangguan persepsi taktil sehingga sebagian anak tidak merasakan rasa sakit
berlebihan, sebagian merasa terganggu menggunakan pakaian berbahan kasar
b. Gangguan persepsi pengecapan
c. Gangguan persepsi auditor
2.3.3 Penyebab Autis
a. Terjadinya kelainan struktur sel otak yang disebabkan virus rubella,
toxoplasma, herpes, jamur, pendarahan, keracunan makanan.
b. Faktor genetik (ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan pada sistem
limbic).
c. Faktor sensory interpretation errors.
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal
timbulnya gangguan autis. Namun demikian ada beberapa faktor yang dimungkinkan
dapat menjadi penyebab timbulnya autism, sebagai berikut :
1. Menurut Teori Psikososial
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autis dianggap sebagai akibat
hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian
juga dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak
2. Teori Biologis
a. Faktor genetik, yaitu keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko
lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal.
b. Pranatal, natal dan post natal, yaitu pendarahan pada kehamilan awal,
obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
c. Neuro anatomi, yaitu gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam
kandungan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi,
pendarahan, atau infeksi.
d. Struktur dan biokimiawi, yaitu kelainan pada cerebellum dengan sel-sel
purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai
kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya
kandungan dapomin atau opioid dalam darah.
3. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat
tambang batu bara, dll.
4. Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut data yang ada
60 % anak autis mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan
kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam
pendengaran dan penglihatan.
2.3.4 Hambatan-hambatan Anak Autis
Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu : anak autis
memiliki hambatan kualitatif dalam interakasi social, artinya bahwa anak auitistik
lingkungannya, seperti sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang
bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata
dengan orang lain, dan bagi mereka yang keterlekatannya dengan orang tua tinggi,
anak akan cemas apabila ditinggalkan olh orang tuanya.
Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan
berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaraan orang lain
yang dilakukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila
berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa
bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti
orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan kata kamu untuk diri
sendiri.
Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan
bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta
dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan tubuh, tetapi menarik tangan orang tuanya
untuk mengambil objek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume
suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi seperti :
menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan, dan lain sebagainya. Anak autis
memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung menyenangi lingkungan yang rutin
dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya apabila mereka
menyukai suatu perbuatan maka akan terus – menerus mengulangi perbuatan itu.
2.3.5 Macam-Macam Terapi Penunjang Bagi Anak Atis
Anak autis dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak
antara lain:
1. Metode Lovas atau ABA
Metode Lovas atau ABA merupakan bentuk dari applied behaviourial analisys
(ABA). Di mana dasar metode ini adalah dengan menggunakan pendekatan perilaku
(behavioural) yang pada setiap tahap intervensi dini anak pada autis ditekankan pada
kepatuhan, keterampilan dalam meniru dan membangun kontak mata.
2. Metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children)
TEACCH dilakukan dan ditujukan untuk anak-anak autis secara terstruktur dan
bersifat rutin dalam kehidupan sehari-hari anak. Inti dari program ini adalah agar
anak-anak dapat bekerja dengan tujuan yang jelas dalam komunitasnya. Dengan cara
membuat lingkungan teratur dan terstruktur, jadwal kerja yang jelas, membuat sistem
kerja yang dibantu melalui instruksi-instruksi berbentuk gambar atau simbol.
3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi berfokus unuk membentuk kemampuan hidup sehari-hari.
Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara
memanipulasi, memfasilitasi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan, perbaikan
dan pemeliharaan kemampuan anak. Metode pendekatan terapi okupasi ini
menggunakan beberapa kerangka acuan yang terstandarisasi oleh WFOT (World
a. Kerangka Acuan Psikososial:
1. Behavior/perilaku
2. Object relation
3. Cognitive behavior
b. Kerangka Acuan Sensorimotorik-Multisensoris:
1. NDT (Neuro Development treatment)
2. Sensori integrasi (Sensory Treatment)
3. Movement therapy
Terapi tersebut sangat dibutuhkan seorang anak autis untuk dapat berinteraksi
secara aktif dengan lingkungannya seperti di sekolah, di rumah maupun dengan
masyarakat.
5. Terapi PECS (Picture Exchange Communicaton System)
PECS dirancang untuk mengajarkan anak autis dapat mengembalikan fungsi
komunikasinya dengan fokus awal pada spontanitas. PECS hanya menggunakan
simbol gambar sebagai modalitas.
6. Terapi Wicara
Terapi wicara dapat dilakukan, seperti bertepuk tangan dengan ritme yang
berbeda-beda, mengimitasi bunyi vocal, kata dan kalimat, belajar mengenal kata
benda dan sifat, merespon bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar
membedakannya, mengembangkan kemampuan organ artikulasi, belajar berbagai
ekspresi yang mewakili perasaan (sedih, senang, cemas, sakit, dan marah). Berlatih
7. Terapi Diet atau Makanan
Melalui makanan, orangtua dapat melakukan terapi bagi anak-anak dengan gejala
autis. Makanan yang disajikan tentu terdiri atas bahan-bahan yang bebas dari zat-zat
pemicu autisme. Terapi diet dapat dilakukan dengan terapi biomedical yaitu berupa
pengaturan makanan karena anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan.
8. Terapi Medikamentosa
Pemberian obat-obatan atau vitamin sesuai dengan pengawasan dokter yang
berwenang.
2.3.6 Penanganan/Penatalaksanaan Terpadu
Pada anak dengan gejala autistik, penanganan harus dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh dan sedini mungkin. Sehingga selain penanganan dari luar seperti terapi
perilaku, sensori atau okupasi juga dilakukan penanganan dari dalam dengan
pemeriksaan metabolisme yang mungkin menjadi faktor pencetus gejala autistik
melalui serangkaian pemeriksaan dan terapi biomedis.
2.4 Pendidikan dan Pemberdayaan Anak Autis
2.4.1 Bentuk Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Autis
Pendidikan untuk anak autis usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan.
Berbagai model antara lain:
1. Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis terutama yang tidak
memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini
Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat,
dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
2. Individual Program
Sistem pelayanan yang diberikan kepada anak berupa individual program
dimana anak diterapi dengan teknik online, yaitu satu anak yang berkebutuhan khusus
diterapi oleh satu orang terapis. Proses terapi bisa berupa terapi dengan metode
Lovas atau ABA, metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and
Communication Handicapped Children), terapi okupasi, terapi PECS (Picture
Exchange Communication System), terapi wicara, terapi diet makanan ataupun terapi
medikamentosa.
2.4.2 Pemberdayaan Anak Autis
Jika dilihat lebih jauh pemberdayaan hampir sama dengan pendidikan yang
memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang lemah atau tidak
beruntung. Jadi pemberdayaan dapat diartikan suatu proses atau serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah atau anak dengan
autisme dalam masyarakat sehingga mereka dapat:
1. Memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat memiliki kebebasan dalam
mengemukakan pendapat, dan tidak hanya itu saja melainkan juga bebas dari
kesakitan.
2. Menyangkut sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa
3. Dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan
yang dapat mempengaruhi mereka (Mujahiddin, 2012: 144).
Agar ketiga hal tersebut dapat terlaksana maka pendidikan bermodelkan
pemberdayaan perlu diberikan kepada anak autis. Seperti contoh dalam kasus
penderita autisme ditemukan suatu fakta tentang keinginan atau kesukaan anak
dengan autisme dalam bidang menggambar atau bermain music, berarti ada konten
kreatif mereka yang perlu dikembangkan dan diberdayakan. Kreatifitas-kreatifitas
inilah yang kemudian harus diberdayakan sehingga anak mampu mandiri dan
memenuhi kehidupannya kelak.
2.5 Kemandirian
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, mandiri adalah ”berdiri sendiri”.
Kemandirian berasal dari kata dasar diri, maka pembahasan mengenai kemandirian
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan diri itu sendiri. Diri adalah inti dari
kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengkoordinasikan
seluruh aspek kepribadian (Bahara, 2008). Kemandirian juga dapat diartikan sebagai
suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung kepada otoritas dan tidak
membutuhkan arahan secara penuh.
Menurut Masrun (1986: 8) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan
seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak
original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai
2.5.1 Kemandirian Anak Autis
Untuk mengembangkan tingkat kemandirian dalam diri seorang anak autis
seharusnya dilatih sejak dini baik yang dilakukan oleh orangtua atau keluarga
maupun guru di sekolah khusus untuk anak yang berkebutuhan khusus seperti autis.
Ketergantungan anak autis kepada guru selama proses belajar mengajar ataupun
seorang terapis dengan anak autis sebagai kliennya sangatlah dominan maka sekolah
berkewajiban mengembangkan kemandirian dan kemampuan khususnya dalam
merawat diri, keterampilan diri yang dimiliki oleh anak melalui pemberian layanan
pendidikan maupun kesehatan.
2.5.2 Faktor Pendukung Dan Penghambat Pengembangan Kemandirian Anak Autis
Adapun faktor pendukung dan penghambat anak autis dalam proses pencapaian
dan pengembangan kemandirian adalah sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung
1. Motivasi yang datang dari anak tersebut.
2. Kesamaan hak dengan anak normal dalam memperoleh pendidikan dan
informal.
3. Terapis atau guru pembimbing yang profesional dan berpengalaman.
4. Sarana dan prasarana yang mendukung.
5. Orangtua atau keluarga yang mendukung serta memberikan perhatian
pendidikan dan kesehatan kepada anaknya.
b. Faktor Penghambat
2. Keterbatasan tenaga pengajar dalam menghadapi anak.
3. Sarana dan prasana yang kurang memadai.
4. Lingkungan yang kurang mendukung anak untuk mandiri.
5. Keluarga yang tidak memperdulikan proses tumbuh kembang anak karena
dianggap tidak seperti anak normal.
2.6 Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya setiap anak memiliki hak yang sama dengan semua anak lainnya.
Anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik. Hal ini juga termasuk kepada anak autis yang
merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum
usia 3 tahun
Berdasarkan hal tersebut, maka Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI)
dibentuk untuk mewadahi pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak-anak autis
di Kota Medan. Disamping itu, pendiri YAKARI memiliki anak yang berkebutuhan
khusus seperti autis. Hal ini juga yang mendorong pendiri yayasan untuk
mengembangkan sekolah khusus anak autis.
Tujuan berdirinya YAKARI berupaya secara maksimal mensosialisasikan serta
memberikan berbagai informasi kepada masyarakat. Sehingga cepat menangani anak
yang terkena autis. Ada beberapa tujuan di lembaga ini untuk meningkatkan program
1. Memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi anak dengan
berkebutuhan khusus (special needs).
2. Membantu anak dengan kebutuhan khusus agar dapat mandiri.
3. Membantu orangtua yang memiliki anak autis dengan kebutuhan khusus
untuk memahami kebutuhan anak tersebut.
Selain itu, Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) bertujuan untuk
meningkatkan kemandirian anak autis baik berupa cara berkomunikasi ataupun
mampu untuk membantu dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya sistem pelayanan yang menunjang untuk mencapai kemandirian
anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti anak-anak autis, diharapkan dapat membantu
perkembangan anak autis. Sistem pelayanan yang diterapkan dalam program kerja
untuk meningkatkan kemandirian, kesejahteraan serta pemberdayaan anak autis, yaitu
sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan oleh para terapis yang
terlatih.
2. Sistem treatment meliputi:
a. Metode Lovas atau ABA
b. Metode TEACCH (treatment and Education of Autistic and Communication
Handicapped Children
c. Terapi okupasi
e. Terapi PECS (Picture Exchange Communication System)
f. Terapi wicara
Bagan Alur Pikir
Yayasan Ananda Karsa
Mandiri (YAKARI)
Sistem Pelayanan:
1. Sistem pendidikan atau pembelajaran
2. Sistem treatment meliputi:
a. Metode Lovas atau ABA
b. Metode TEACCH (treatment and
Education of Autistic and
Communication Handicapped
Children
c. Terapi okupasi
d. Terapi PECS (Picture Exchange
Communication System)
e. Terapi wicara
f. Terapi diet atau makanan
2.7
Defenisi Konsep dan Operasional
2.7.1
Defenisi KonsepKonsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya
menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Setidaknya ada dua
sifat konsep dalam ilmu-ilmu sosial. Konsep itu sangat luas cakupannya. Akibatnya,
kajian akan konsep itu dapat dilakukan secara multi dimensi atau dapat dikaji dari
berbagai aspek (Siagian, 2011:136).
Jika dikaitkan dengan realitas sosial, maka konsep-konsep yang ada dalam
ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Konsep-konsep yang secara eksplisit menunjukkan hubungannya dengan realitas
sosial yang diwakili dan dideskripsikan.
2. Konsep yang menunjukkan hubungannya secara implisit dengan realitas sosial.
Dengan demikian sifat hubungan itu kabur dan abstrak. Bahkan tidak mudah
mengetahui hubungan konsep-konsep tersebut dengan fenomena sosial yang diwakili
dan dideskripsikan.
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang
dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi
makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan
makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara
Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah
pengertian atas konsep yang diteliti, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan
sebagai berikut:
a. Implementasi adalah sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam
tindak nyata suatu program ataupun kebijakan.
b. Sistem pelayanan adalah suatu satu kesatuan yang dibutuhkan dalam
terselenggaranya suatu pelayanan untuk mencapai tujuan.
c. Anak autis adalah anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak
yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi : persepsi
(perceiving), intending,, imajinasi (imagining), dan perasaan (feeling) yang
terjadi sebelum usia tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan
kualitatif dalam interaksi sosial komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan
atau objek yang mana mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan potensinya.
d. Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk
bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
e. Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) adalah yayasan yang memberikan
pelayanan kepada anak autis maupun anak-anak yang berkebutuhan khusus
lainnya yang didirikan berupa klinik dan sekolah untuk anak autis.
2.7.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau
dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Defenisi operasional bertujuan untuk
memudahkan penelitian di lapangan. Sehingga peneliti dapat mengetahui baik atau
buruknya pengukuran dan mengetahui ukuran suatu variabel.
Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan
bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan
defenisi konsep. Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai
keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa
maupun fenomena yang diteliti maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya
transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat
diobservasi (Siagian, 2011: 141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dengan melihat berbagai indikator
yang akan diteliti dari keberhasilan program dan tujuan dari Yayasan Ananda Karsa
Mandiri, sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan dan pembelajaran, yaitu Pendidikan untuk anak autis usia
sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan. Berbagai model antara lain:
a. Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis terutama yang tidak
memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini
sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka.
Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat,
dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
Sistem pelayanan yang diberikan kepada anak berupa individual program
dimana anak diterapi dengan teknik online, yaitu satu anak yang berkebutuhan khusus
diterapi oleh satu orang terapis. Proses terapi bisa berupa terapi dengan metode
Lovas atau ABA, metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and
Communication Handicapped Children), terapi okupasi, terapi PECS (Picture
Exchange Communication System), terapi wicara, terapi diet makanan ataupun terapi
medikamentosa.
2. Sistem treatment meliputi:
a. Metode Lovas atau ABA, yaitu dasar metode ini adalah dengan menggunakan
pendekatan perilaku.
b. Metode TEACCH (treatment and Education of Autistic and Communication
Handicapped Children, yaitu anak-anak autis melakukan kegiatannya secara
terstruktur dan jelas dalam komunitasnya.
c. Terapi okupasi, yaitu berfokus untuk membentuk kemampuan hidup
sehari-hari.
d. Terapi PECS (Picture Exchange Communication System), yaitu dirancang
untuk mengajarkan anak autis dapat mengembalikan fungsi komunikasinya
dengan fokus awal pada spontanitas.
e. Terapi wicara, yaitu dapat dilakukan seperti bertepuk tangan dengan ritme
yang berbeda, merespon bunyi, dan lain-lain.
f. Terapi diet atau makanan dapat dilakukan dengan terapi biomedical, yaitu
berupa pengaturan makanan karena anak dengan autis umumnya alergi
g. Terapi medikamentosa, yaitu pemberian obat-obatan atau vitamin di bawah