• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Biologi dan Kimia Tanah Sawah Akibat Pembakaran Jerami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Karakteristik Biologi dan Kimia Tanah Sawah Akibat Pembakaran Jerami"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Sawah

Tanah sawah (Paddy soils) merupakan tanah yang dikelola sedemikian

rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, baik secara terus-menerus sepanjang

tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah

bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti

halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Istilah

tanah sawah berkaitan dengan tata guna tanah bukan dengan jenis tanah tertentu

dalam pengertian pedologi. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan

apabila air cukup tersedia (Mukhlis, dkk, 2011; Hardjowigeno, dkk, 2004;

Prasetyo, dkk, 2004).

Tanah sawah dapat terbentuk dari tanah kering dan tanah basah atau tanah

rawa sehingga karakterisasi sawah-sawah tersebut akan sangat dipengaruhi oleh

bahan pembentuk tanahnya. Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah,

secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan

faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu

yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Tanah sawah yang

berasal dari tanah kering akan mengalami perubahan-perubahan sifat morfologi

tanah yang jelas, sedangkan tanah sawah yang berasal dari tanah basah tidak akan

menunjukkan perubahan sifat morfologi yang jelas. Perubahan sifat morfologi ini

dapat bersifat sementara ataupun permanen. Perubahan sifat fisik dan morfologi

yang bersifat sementara pada waktu proses penyawahan tanah berkaitan dengan

(2)

terjadi pada sifat kimia adalah dengan adanya proses reduksi dan oksidasi.

Perubahan permanen terjadi sebaai efek kumulatif dari perubahan sementara

karena penggenangan tanah, atau praktek pengolahan tanah seperti

pembuatan teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain

(Hardjowigeno, dkk, 2004; Moormaan and Breemen, 1978).

Secara umum, tanah sawah memiliki ciri khas yang membedakannya

dengan tanah tergenang lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah

permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0 cm dan selanjutnya lapisan reduksi

setebal 25-30 cm dan diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Lapisan

tapak bajak ini merupakan lapisan yang terbentuk sebagai akibat dari adanya

praktek pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang. Sedangkan

penggenanangan tanah selama masa pertanaman padi dapat mereduksi Fe dan Mn,

sehingga mudah larut dan terjadi proses eluviasi Fe dan Mn. Dalam keadaan

tergenang, reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ menyebabkan warna tanah menjadi abu-abu. Namun, dalam keadaan tergenang, dijumpai adanya lapisan tipis yang

teroksidasi berwarna kecoklatan. Pada saat tanah dikeringkan, Fe2+ kembali teroksidasi dan akan menimbulkan karatan coklat pada tanah sawah

(Mukhlis, dkk, 2011; Hardjowigeno, dkk, 2004; Moormann and Breemen, 1978).

Praktek pengolahan tanah pada tanah sawah (pelumpuran/penggenangan)

serta adanya proses reduksi-oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada

sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sawah. Pengaruh pelumpuran terhadap sifat-sifat

fisik tanah menjadi sangat spesifik pada lahan sawah dan sekaligus memberikan

indikasi perbedaan perubahan sifat fisik tanah antara tanah yang disawahkan

(3)

sangat mempengaruhi variabilitas vertikal ketahanan penetrasi

(Prasetyo, dkk, 2004). Pelumpuran akan mengurangi perkolasi dan meningkatkan

kapasitas menyangga air. Selain itu, pelumpuran juga memberikan pengaruh

negatif, yaitu menghambat terbentuknya struktur tanah yang baik saat tanah

kering dan pertumbuhan akar tanaman palawija yang ditanam setelah padi sawah

akan terhambat (Adiningsih, dkk, 2000). Pada lapisan olah, pelumpuran

menyebabkan semua agregat tanah hancur, pori-pori mikro meningkat, daya

menahan air meningkat tinggi, sehingga mencapai kadar air 90-100%

(Hardjowigeno, dkk, 2004).

Selain pelumpuran, tanah sawah juga mengalami penggenangan dalam

periode tertentu untuk mendukung pertumbuhan padi sawah. Penggenangan yang

dilakukan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan elektrokimia seperti

potensial redoks, pH dan konduktivitas spesifik. Perubahan-perubahan tersebut

untuk tanah kering yang baru disawahkan berbeda dengan tanah sawah yang

sudah biasa mendapat penggenangan air secara periodik. Perubahan potensial

redoks akan mempengaruhi ketersediaan P, konsentrasi Ca2+, Mn2+, Cu+, dan SO42- secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi konsentrasi

Ca2+, Mg2+, Zn+, dan lain-lain. Umumnya potensial redoks akan mendekati -200 mv, pH tanah sekitar 6-7, dan konduktivitas spesifik meningkat

(Hanafiah, dkk, 2011; Prasetyo, dkk, 2004).

Dalam keadaan reduksi akibat penggenangan, oksigen yang terdapat dalam

pori-pori tanah dan air dikonsumsi oleh jasad mikro tanah, sehingga menyebabkan

terjadinya keadaan anaerob. Kegiatan jasad mikro aerob segera diganti oleh jasad

(4)

direduksi antara lain SO42-, NO3-, Mn4+, Fe3+. Senyawa-senyawa tersebut di

lapisan reduksi segera direduksi menjadi S2- (sulfida), NO2- (nitrit), Mn2+

(Mangano), dan Fe2+ (ferro) (Adiningsih, dkk, 2000). Terdapat tiga kelompok mikroba tanah yang sangat berperan dalam proses perubahan kimia tanah sawah

yaitu mikroba aerob yang terdapat dalam lapisan oksidasi dan dalam air

genangan yang memanfaatkan oksigen yang terdapat dalam air genangan, serta

mikroba-mikroba fakultatif dan obligat anaerob pada lapisan reduksi

(Praseetyo, dkk, 2004).

Sifat kimia tanah sawah juga dipengaruhi oleh mineral liat. Tanah sawah

yang didominasi mineral liat tipe 2:1 (montmorilonit) akan sulit membentuk

lapisan tapak bajak karena sifat mengembang dan mengkerut dari mineral

tersebut. Tanah sawah yang didominasi oleh mineral smektit mencirikan

terjadinya akumulasi basa-basa dan lingkungan yang bereaksi netral hingga basis

dengan drainase tanah jelek, dan mempunyai muatan negatif (KTK) yang tinggi

karena adanya substitusi Al3+ dan Mg2+ (Prasetyo, dkk, 2004).

Pada lahan sawah, proses biologi melibatkan keberadaan flora dan fauna.

Keberadaan flora dan fauna yang terlibat dalam proses biologi yang berlangsung

pada lahan sawah, menyangkut kesuburan dan produktivitas lahan sawah maupun

sebagai hama dan penyakit bagi tanaman padi. Adapun fauna pada tanah sawah

meliputi zooplankton, insekta (Hemiptera, Diptera, dan Coleoptera), ikan, burung,

tikus, predator, dan berang-berang (Prasetyo, dkk, 2004).

Tanah sawah adalah habitat yang sangat unik untuk penambatan nitrogen

secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah

(5)

autotrofik. Berbagai proses mikrobiologis terjadi di sawah, seperti fiksasi

nitrogen, perombakan bahan organik, metanotrofi, denitrifikasi, dan nitrifikasi.

Mikroba perombak memainkan peranan yang penting pada perombakan bahan

organik seperti alga dan tanaman air yang sudah mati untuk mendapatkan energi.

Dalam melakukan fungisnya, mikroba memerlukan oksigen atau zat-zat

teroksidasi lain seperti nitrat (NO3-), mangan, besi, sulfat, atau CO2 untuk

berfungsi sebagai akseptor elektron (Prasetyo, dkk, 2004).

Jerami Padi

Jerami padi merupakan salah satu bahan organik dari jenis sereal yang

menjadi limbah karena jumlahnya yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan padi

merupakan salah satu tanaman pangan yang dihasilkan dalam jumlah terbanyak di

dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika. Namun, padi tidak hanya

terbatas pada daerah tropika. Produksinya di wilayah beriklim sedang, terutama

China dan Jepang meliputi 45 persen dari jumlah hasil seluruh dunia

(Sanchez, 1992).

Pertanaman padi menghasilkan dua produk setiap musim panennya, yaitu

padi yang kemudian diolah menjadi beras dan jerami yang merupakan sisa panen

(crop residue). Jerami padi ini relatif unik dibandingkan dengan jerami sereal

lainnya. Hal ini dikarenakan jerami padi mengandung silikat yang tinggi

(Hanafi, dkk, 2012). Dobermann and Fairhurst (2002); Ponnamperuma (1982)

menjelaskan bahwa jerami padi mengandung 0,6% N; P dan S masing-masing

0,1%; 1,5% K; 5% Si; dan 40% C.

Setiap musim panen menghasilkan jerami dalam jumlah yang relatif

(6)

dihitung berdasarkan grain straw-ratio (2:3). Selain itu, massa jerami juga

merupakan fungsi dari tata air, cara budidaya, musim, varietas, dan kesuburan

tanah (Makarim, dkk, 2007). Dengan produktivitas padi sawah sebesar 5-7 ton/ha,

akan dihasilkan jerami sebanyak 7-8 ton/ha. Hal ini menjadikan jerami sebagai

limbah yang sangat mengganggu petani dalam pengolahan tanah untuk persiapan

tanam berikutnya.

Sampai saat ini, jerami belum dinilai sebagai hasil sampingan panen yang

memiliki nilai ekonomis. Hanya 20% jerami dari keseluruhan total jerami setelah

panen yang digunakan untuk tujuan etanol, pupuk, kertas, dan pakan ternak

Sebagian besar petani menumpuk jerami di lahan, mengangkut ke luar lahan

untuk pertanaman lain, dijadikan mulsa, atau dibenam ked dalam tanah

(Hanafi et al, 2012). Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan teknologi di

pedesaan yang merupakan sentra padi, waktu antar tanam (turn-around time) yang

singkat, dan rendahnya pengetahuan petani tentang manfaat jerami sebagai

sumber hara yang potensial (Makarim, dkk, 2007).

Oleh sebab itu, sebagian besar petani menumpuk jerami di lahan, dijadikan

mulsa, ataupun dibenam ke dalam tanah (Hanafi et al, 2012). Namun yang paling

sering dilakukan petani adalah membakar jerami secara langsung

di areal persawahan, khususnya petani dengan sistem usahatani yang intensif

(Makarim, dkk, 2007). Perlakuan ini memiliki efek yang berbeda-beda terhadap

keseimbangan nutrisi dan kesuburan tanah dalam waktu jangka panjang

(Dobermann and Fairhurst, 2002).

Di Indonesia dan Filipina, jerami ditumpuk dan dibakar pada salah satu

(7)

di lapangan (seluruh areal sawah), dan ini mengakibatkan kerugian, yaitu

adanya perbedaan hara antara areal yang terbakar dengan yang tidak terbakar.

Seiring waktu, praktek ini menghasilkan akumulasi hara (K, Si, Ca, Mg)

di beberapa bagian lapangan dan penipisan hara di bagian lain

(Dobermann and Fairhurst, 2002).

Pembakaran Tanah

Pembakaran di atas tanah pada umumnya terjadi oleh beberapa sebab. Di

antaranya adalah adanya suhu yang terlalu tinggi akibat kemarau panjang

sehingga menyebabkan vegetasi di atas lantai hutan terbakar, kegiatan manusia

dalam pembukaan hutan menjadi lahan pertanian dengan teknik slash and burn,

ataupun kegiatan petani membakar sisa panen. Menurut (Hidayat, 2006),

pembakaran ini akan menyebabkan perubahan terhadap kualitas lahan yang

mencakup sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. (Verma and Jayakumar, 2012) juga

mengemukakan bahwa pembakaran berbagai jenis vegetasi dengan intensitas

beragam selama 1-10 tahun memungkinkan terjadinya efek jangka panjang

terhadap komponen biotik dan abiotik tanah. Hal ini disebabkan karena adanya

panas dari pembakaran yang menyebabkan suhu tanah meningkat. Peningkatan

suhu tanah sangat tergantung dari intensitas dan durasi pembakaran. Keduanya

merupakan faktor yang menentukan status hara dalam hubungannya dengan

respon tanah terhadap kehilangan unsur hara (Certini, 2005; Pantami et al, 2010).

Pembakaran secara signifikan mempengaruhi N total, C organik, K, Mg,

dan Na tukar di permukaan tanah. Dalam jangka pendek, pH tanah juga akan

meningkat (Oluwole et al, 2008). Dormaar et al (1979) menjelaskan bahwa

(8)

NH4-N, dan P tersedia tanah pada taraf 5%. Peningkatan pH tanah akibat

pembakaran disebabkan adanya suplai OH- dari abu sisa pembakaran serta

terjadinya proses pertukaran ion pada koloid tanah yang menyebabkan gugus

hidrogen (H+) terputus dan tergantikan oleh unsur lain seperti Mg2+, dan K+ (Hidayat, 2006).

Pembakaran sisa tanaman hasil panen (crop residue) yang sering

dilakukan petani adalah pembakaran jerami. Pada umumnya, petani melakukan ini

dengan tujuan menekan biaya pengangkutan jerami yang jumlahnya melimpah

untuk persiapan tanam berikutnya, juga untuk mengurangi populasi penyakit yang

mungkin terjadi akibat infeksi ulang dari inokulum dalam biomassa jerami

(Dobermann and Fairhurst, 2002). Namun, suhu pembakaran jerami di areal

terbuka dapat mencapai 7000C sehingga pembakaran di lapangan menyebabkan

kerugian sebesar 93% untuk N dan 20% untuk K. Dalam percobaan laboratorium,

seluruh N dan C hampir hilang, sedangkan P dan K masing-masing hilang sebesar

25% dan 21% (Ponnamperuma, 1982).

N total hilang karena panas pembakaran menyebabkan N mengalami

penguapan (volatilisasi) secara langsung. Kehilangan N akibat pembakaran sangat

bergantung dari potensi bahan bakar itu sendiri. Semakin tinggi potensi bahan

bakar maka semakin banyak N hilang pada saat pembakaran (Pantami, et al, 2010;

Hidayat, 2006).

Pembakaran jerami mengakibatkan C yang terdapat dalam jerami terlepas

dalam bentuk CO2 ke atmosfir. Persentase dari CO-C yang dilepas berkisar 5-9%,

CH4 dan N2O-N dari total C dan N yang terdapat dalam jerami berturut-turut

(9)

pemanasan tanah akibat pembakaran di Pinus sylvestris dengan temperatur

4900C menyebabkan bahan organik tanah teroksidasi pada kedalaman tanah

10 cm. Pada suhu 2200C menyebabkan 37% bahan organik hilang. Fraksi humik juga menurun akibat pembakaran. Namun, penurunan nya lebih sedikit

dibandingkan dengan fraksi nonhumik (Fernandez et al, 1997 dalam Certini,

2005).

Pada padang alang-alang yang terbakar, P dan C-organik mengalami

peningkatan. P yang meningkat dalam bentuk H2PO4. Hal ini diduga karena

adanya koloid tanah yang mengandung Al2+, Fe3+, dan Mn2+ yang bereaksi dengan fosfat dalam pertukaran gugus Hidroksil (OH-) dan merubah muatan H2PO4

menjadi HPO4. Sedangkan C-organik mengalami peningkatan sebesar

0,54 g/100 g dari 2,89 g/100 g menjadi 3,43 g/100 g (Hidayat, 2006). Namun,

peningkatan C ini hanya dalam waktu segera setelah pembakaran akibat adanya

suplai dari abu hasil bakaran (Jorgensen and Wells, 1971).

Suhu tanah yang meningkat akibat pembakaran juga memberikan

pengaruh negatif terhadap kehidupan mikroorganisme tanah, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Efek langsung menyebabkan perubahan jangka pendek,

yaitu matinya mikroorganisme tanah dan invertebrata karena keduanya sangat

sensitive pada temperature tinggi. Efek tidak langsung melibatkan perubahan

jangka panjang terhadap keberadaan organisme biologi itu sendiri. Pembakaran

dapat mengurangi jumlah dan kekayaan spesies invertebrata dan mikroorganisme

di dalam tanah (Verma and Jayakumar, 2012). Hal yang sama dikemukakan oleh

(10)

kekayaan dan kemerataan jenis fauna tanah sampai pada minggu ke empat setelah

pembakaran pada kedalaman 0-5 cm.

Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembakaran secara

intensif dapat menyebabkan penurunan status kesuburan tanah berkaitan dengan

berkurang atau hilangnya hara dan komposisi biologi tanah secara bertahap

(efek akumulasi) dan pada akhirnya mempengaruhi produksi optimal tanaman

Referensi

Dokumen terkait

(2) Pada uji- T didapatkan hasil thitung > ttabel, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran make a match terhadap

Untuk mengukur kinerja pustakawan dapat dilihat dari beberapa angka kredit yang diperoleh masing-masing pustakawan untuk menentukan apakah pustakawan dapat prestasi yang

Skripsi ini berjudul “ Pengaruh Sistem Akuntansi Terkomputerisasi Dan Transparansi Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pada BUMN Di Pangkalpinang (Studi Kasus PT

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan terhadap Minat Penggunaan Uang Elektronik Berbasis Chip yang dilakukan kepada

(fleksibel). Sekiranya pengguna tidak faham sesuatu dan hendaklah merujuk balik ke bahagian yang tertentu itu, ia boleh membuat demikian dengan berapa kali yang

Model tiruan proses penyaringan darah ini adalah alat praktikum yang murah dan mudah dibuat tetapi bisa dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar yang

Berdasarkan hasil kesimpulan, penulis dapat memberikan beberapa saran sebaga berikut: Pertama , diharapkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur