• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan

sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari

orang lain.1 Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum itu disebut dengan perjanjian.2 Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, yaitu

adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.3

Menurut J. Satrio perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di

antaranya adalah perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.4 Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua

belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya.

Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain

adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang

satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang

memikul kewajiban.5

1Faisal Santiago,Pengantar Hukum Bisnis,(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 19 2Ibid.

3 Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 2.

4J. Satrio,Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 191.

(2)

Pada setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban di satu pihak

berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada

prinsip bahwa kedua belah pihak harus secara bersama-sama memenuhi

kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, tidak logis apabila salah

satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri

wanprestasi.6 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:

“Exceptio non adimpleti contractusadalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.7

Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi

kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila salah satu

pihak menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis

dengan apa yang disebut prinsip exceptio non adimpleti contractus, karena si

penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi.8 Tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractusdapat diajukan dalam perkara kepailitan.

Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan

pailit.9 Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilahfailliteartinya pemogokan

6H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 242.

7ibid.

8Purwahid Patrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan

dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 34.

(3)

atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau

berhenti membayar utangnya disebut juga denganle failli. Di dalam bahasa Belanda,

dipergunakan istillah faillite yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda

dan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilahto faildan dalam

bahasa latin dipergunakan istilahfailure.10Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankrupt dan

bankruptcy.11

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio: “pailit adalah keadaan di mana

seorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya”.12 Kepailitan merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor yang nantinya masuk dalam budel

pailit.13 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan bahwa:

“kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Permohonan pailit terhadap seorang debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh

Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan ketentuan Pasal

2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

10

Kartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Pradya Pramita, 1974), hal. 11.

11Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 23.

12Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,(Jakarta: Pradya Pramita, 1978), hal. 89. 13 Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

(4)

Kewajiban Pembayaran Utang adalah: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya

sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Ketentuan ini tidak

menyinggung mengenai kebangkrutan sebagai alasan debitor tidak membayar utang,

mengingat pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau

tidak mau membayar.14

Menurut Sunarmi bahwa hukum kepailitan di Indonesia baik dalam

Faillissement Verordening15, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun

Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti

membayar” dengan “tidak membayar”. Padahal dalam konteks hukum kepailitan

negara-negara common law system pada umumnya, keadaan insolvent debitor

biasanya diuji oleh pengadilan dengan menggunakan cash flow test16 atau practical

insolvency.17

14

Man S. Sastrawidjaja,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2010) hal. 88.

15

Lihat Tesis Victorianus M.H Randa Puang,Penerapas Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Pailit, 2006, hal. 4.Faillissement Verordeningterdiri dari 2 (dua) Bab yaitu: Bab I tentang kepailitan dimulai dari Pasal 1 s/d 211 dan Bab II Tentang Penundaan pembayaran (Surseance van betaling) dimulai dari Pasal 212 s/d 279.

16

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 303-304.Cash flow testadalah pendekatan yang melihatsolvabilitas

(5)

Tidak adanyainsolvency testdalam hukum kepailitan di Indonesia merupakan

suatu kelemahan, sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk

membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak

membayar utang.18Dalam hal debitor tidak mampu membayar utangnya (insolvent), maka mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan yang tepat, namun dalam hal

debitor tidak mau membayar, harus diperhatikan alasan dari debitor tidak mau

membayar utang walaupun mampu (solvent), yaitu diantaranya karena yang

dimaksudkan sebagai utang oleh kreditor, merupakan kewajiban debitor yang

bersumber dari sebuah perjanjian timbal balik dan debitor tidak mau memenuhinya

karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu yang dalam hukum perjanjian

dikenal sebagai prinsipexceptio non adimpleti contractus.19

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkait

dengan pembuktian di dalam hukum acara kepailitan adalah: “Permohonan

pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”. Yang dimaksud

asset debitor, yaitu apakah assetnya yang dapat direalisasikan melebihi kewajibannya maka debitor dianggapsolvent.

17Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2,Op. cit, hal. 34. 18ibid.

(6)

dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan

pembuktian secarasumir.20

Menurut Paulus E. Lotulung, pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan

dapat dilakukan apabila pihak Termohon Pailit atau debitor tidak mengajukan

tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu tangkisan

yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak berprestasi. Prinsip

exceptio non adimpleti contractus terdapat dalam perjanjian timbal balik, yang

menyebabkan eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak

dapat dilakukan secara sederhana dan cepat.21

Pembuktian secara sederhana terlihat sangat jelas dan mudah untuk

dilaksanakan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu

perkara kepailitan Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa “sudah terbukti

secara sederhana”, tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung ternyata

“dibatalkan” dan dikatakan bahwa “tidak terbukti secara sederhana”.22

Pada hari Jum’at tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

telah membuat putusan yang cukup mengejutkan, yaitu PT. Telekomunikasi selular

(untuk selanjutnya disebut PT. Telkomsel) dinyatakan Pailit. Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat telah memvonis pailit perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa

20Martiman Prodjohamidjojo,Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, (Bandung, C.V Mandar Maju, 1999), hal. 13.

21Paulus E. Lotulung,Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54/V/2004, hal 10.

22Victorianus M.H. Randa Puang,Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan

(7)

pelayanan telekomunikasi selular yaitu PT. Telkomsel atas permohonan pailit yang

diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika.23

Permohonan pailit bermula dari perjanjian kerjasama tentang penjualan

produk telkomsel antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika pada

tanggal 01 Juni 2011. Menurut perjanjian ini PT. Telkomsel berkewajiban untuk

menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah

sedikit-dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari voucher isi ulang Rp.

25.000,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp. 50.000,00 (lima

puluh ribu Rupiah). PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan perdana kartu

prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya

10.000.000,-(sepuluh juta) setiap tahun, sebaliknya PT. Prima Jaya Informatika berkewajiban

untuk menjual.

Bahwa kemudian di tahun kedua PT. Prima Jaya Informatika telah

menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni

2012 berjumlah Rp. 2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta

Rupiah) dan pada tanggal 21 Juni 2012 telah pula menyampaikan purchase order

(8)

No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp.

3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) kepada PT. Telkomsel,

namun terhadap kedua purchase order tersebut PT. Telkomsel menerbitkan

penolakan melalui electronic mail (E-Mail) dan menghentikan sementara alokasi

produk Prima tersebut.

Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT. Prima

Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tindakan wanprestasi.

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya.24 Debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila dalam melaksanakan prestasi debitor telah lalai sehingga adanya keterlambatan dari

waktu yang sudah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sesuai dengan

apa yang diperjanjikan.

Akhirnya pada 14 September 2012 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika

dan menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat

hukum. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum, bahwa Pemohon Pailit dapat

membuktikan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.

Bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. PT. Telkomsel terbukti

24

(9)

memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika

sebesar Rp. 5.260.000.000,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah).

PT. Telkomsel terbukti adanya kreditor lain, yaitu PT. Extend Media

Indonesia dengan utang sebesar Rp. 21.031.561.274,- (dua puluh satu milyar tiga

puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat Rupiah)

dan Rp. 19.294.652.520,00- (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat

juta enam ratus lima puluh dua ribu lima ratus dua puluh Rupiah), sehingga

permohonan Pemohon Pailit beralasan hukum dan karenanya harus dikabulkan

berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tidak puas dengan keputusan tersebut, PT. Telkomsel kemudian melakukan

perlawanan dengan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Dalam

pemeriksaan tingkat kasasi tersebut majelis hakim Mahkamah Agung Republik

Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 21 November 2012 telah membatalkan putusan

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/Pailit/2012/ PN.

Niaga.Jkt.Pst. dengan putusan Nomor 704 K/pdt.Sus/2012.

Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung bahwa

alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel dapat dibenarkan, sebab

setelah memeriksa dengan seksama putusan judex factie atau Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan hukum, oleh

karena apakah benar telah adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit

(10)

Bahwa dalil Pemohon Pailit tentang adanya utang Termohon Pailit kepada

Pemohon Pailit ternyata dibantah oleh Termohon Pailit, sehingga tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, oleh

karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada

Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak

sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon Pailit tidak memenuhi ketentuan

Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaian perkara tersebut harus

dilakukan melalui pengadilan negeri dan bukan Pengadilan Niaga.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang ingin diteliti lebih lanjut

dan disusun dalam tesis dengan judul: Penerapan prinsip exceptio non adimpleti

contractusdalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704

K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang

ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam

hukum perjanjian?

2. Bagaimanakah kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan

(11)

3. Bagaimanakah penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012

antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus

dalam hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus

dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel.

3. Untuk mengetahui penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012

antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis yang berupa

sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan

(12)

pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering

terjadi.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah

pengetahuan di bidang hukum tentang pengaturan prinsip exceptio non adimpleti

contractus dan kaitan prinsip ini dengan pembuktian sederhana dalam perkara

kepailitan serta penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara

kepailitan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di

lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

penelitian tentang “Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam

perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012

antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika)” tidak ditemukan judul

penelitian yang sama, tetapi ditemukan penelitian karya ilmiah yang mengangkat

tentang “penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit”

dengan perumusan masalah:

1. Bagaimanakah penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam praktik

penjatuhan putusan pailit di Pengadilan Niaga.

2. Kendala atau hambatan apa sajakah yang ditemui dalam penerapan prinsip

(13)

3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau

hambatan dalam penerapan Prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan

pailit.

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berbeda dari

penelitian tersebut yang mana penelitian ini lebih difokuskan kepada prinsipexceptio

non adimpleti contractus dan kajian terhadap pembuktian sederhana hanya

difokuskan pada putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012, dengan

demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai

landasannya dan tugas teori hukum adalah: “untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan

postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga

penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa

dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.25

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori dan

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan dan pegangan teoritis.26 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan

25Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 237.

(14)

fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam

penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta

hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.27 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

Kepastian asal katanya pasti yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak;

sesuatu hal yang sudah tentu.28 Menurut ajaran dogmatik normatif, hukum tak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya

kepastian hukum (John Austin dan Van Kan). Menurut aliran ini, meskipun aturan

hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang

besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian

hukum dapat terwujud.29

Aliran ini bersumber dari pemikiran kaum “legal positivism” di dunia hukum,

yang cendrung melihat hukum hanya dalam wujudnya sebagai kepastian

undang-undang, memandang hukum sebagai suatu yang otonom, karena hukum tak lain

adalah kumpulan aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum (legal

norms) dan asas-asas hukum (legal principles).30

27Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16.

28 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai pustaka, 2006), hal. 847.

29

Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 83.

30

(15)

Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian

hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohanidjojo:

“Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu harus memiliki suatu kredibilitas dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama”.31

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang

boleh dilakukan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa

pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan

hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus

yang serupa yang telah diputuskan”.32

Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan

hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya

31Budiono Kusumohanidjojo, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hal. 150-151.

(16)

menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari

suatu pengadilan. Idealnya putusan pengadilan harus mengandung kepastian hukum

sebagai berikut:33

a) Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak

b) Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan.

c) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut.

d) Mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat.

e) Mengandungequality, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.

Teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisi

kepastian hukum mengenai aturan hukum prinsipexceptio non adimpleti contractus

dalam hukum perjanjian dan menganalisi penerapan prinsip exceptio non adimpleti

contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K

/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika serta

menganalisis kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan

pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel yang dapat dilihat

dalam putusan hakim yang merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta di

persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangakan dengan hati nurani.

Sistem pembuktian secara sederhana ini diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

33

Artidjo Alkostar,Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam

Penerapan Hukum,

(17)

Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa: “Permohonan pernyataan

pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara

sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34 Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan

dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.35 Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang

disebut sebagai definisi operasional. Definisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu

istilah yang dipakai.

Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut di atas, berikut disusun

kerangka konsepsi yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara

lain:

a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan

kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai

34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7.

(18)

hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan

antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan

yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak

yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.36

b. Prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan

bahwa debitor tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru

karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana

mestinya.37

c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan

hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

d. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya

atau dilakukan tidak menurut selayaknya.38

e. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

f. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan

(19)

ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

g. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan

pangadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang).

h. Pihak Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan dan memohon kepada

Pengadilan Niaga yang berwenang agar debitor dinyatakan pailit dengan

segala akibat hukumnya, kemudian ditunjuk kurator dan hakim pengawas

terhadap harta kekayaan debitor pailit.39

i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah

uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontigen, yang

timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh

debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat

pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

G. Metode Penelitian

Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau

proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan

teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori

39Lilik Mulyadi,Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

(20)

suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau

mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa

alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.40 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.41

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam

gejala yang bersangkutan.42

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum

normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris

atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.43 Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif analitis yang

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum,

konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk

40 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105.

41 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.

(21)

mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi

masalah-masalah tertentu,44 dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif (normative legal research).

Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian

perpustakaan, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai

penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak

dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan”.45 2. Sumber Data

Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh

langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar sedangkan yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.46 Penelitian dalam hukum normatif yang menitik beratkan pada studi kepustakaan dan

berdasarkan pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi ke dalam

beberapa kelompok, yaitu:

a. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

(autoritatif),47 meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan

putusan-44Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal.10.

45Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 13-14.

46Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op.cit, hal. 12.

(22)

putusan pengadilan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian,

antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.

4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman.

6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999

antara PT. Waskita Karya melawan PT. MustikaPrincessHotel.

7. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor

48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Telkomsel melawan PT.

Prima Jaya Informatika.

8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K

/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya

Informatika.

9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001

yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

(23)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.

81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst antara PT. Kadi Internasional melawan

PT. Wisma Calindra.

10. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor

42/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Astria Raya Bank (dalam

likuidasi) melawan Leo Andyanto.

11. Putusan Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst antara

Macmillan ELTdkk melawan PT. Sulcor Investindo.

12. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 01/Pailit/2005/PN. Niaga.Mdn

tanggal 16 November 2005 antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera melawan

PT. Duta Sahabat Abadi.

b. Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam

kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum

primer,48yang terdiri dari: 1. Buku-buku

2. Hasil-hasil penelitian

3. Artikel-artikel

(24)

c. Bahan-bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,49 yang terdiri dari:

1. Kamus bahasa Indonesia

2. Kamus hukum

3. Media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,

karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan

untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal

tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui

penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara

menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan

tertier yang terkait dengan penelitian ini.

Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan

hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian

yang berkaitan dengan tulisan ini.

(25)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.

Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian

rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari

penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data yang bersifat kualitatif.

Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara

teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan

konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan

sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang

berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan

logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum

ke yang khusus.50

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam hal harta pailit tidak cukup untuk

Kompetensi Relative pada Pengadilan Niaga tercantum dalam Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana

Dalam Analisis Yuridis Pernyataan Pailit Teterhadap Bank Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Agung Yuniardi..

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), pengaturan tentang imbalan jasa kurator serta hak dan kewajiban kurator pasca putusan

Bahwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Nomor 37 Tahun

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diperoleh suatu kesimpulan bahwa dengan dilanjutkannya usaha dari debitur (perseroan)

Pengertian tentang utang dapat dilihat dalam pasal 1 Angka 6 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut

42 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang... Berdasarkan pengerian utang di atas, menurut hemat penulis,