A. Latar Belakang
Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan
sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari
orang lain.1 Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum itu disebut dengan perjanjian.2 Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, yaitu
adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.3
Menurut J. Satrio perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di
antaranya adalah perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.4 Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya.
Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain
adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang
satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang
memikul kewajiban.5
1Faisal Santiago,Pengantar Hukum Bisnis,(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 19 2Ibid.
3 Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 2.
4J. Satrio,Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 191.
Pada setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban di satu pihak
berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada
prinsip bahwa kedua belah pihak harus secara bersama-sama memenuhi
kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, tidak logis apabila salah
satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri
wanprestasi.6 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:
“Exceptio non adimpleti contractusadalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu”.7
Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi
kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila salah satu
pihak menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis
dengan apa yang disebut prinsip exceptio non adimpleti contractus, karena si
penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi.8 Tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractusdapat diajukan dalam perkara kepailitan.
Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan
pailit.9 Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilahfailliteartinya pemogokan
6H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 242.
7ibid.
8Purwahid Patrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan
dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 34.
atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau
berhenti membayar utangnya disebut juga denganle failli. Di dalam bahasa Belanda,
dipergunakan istillah faillite yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda
dan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilahto faildan dalam
bahasa latin dipergunakan istilahfailure.10Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankrupt dan
bankruptcy.11
Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio: “pailit adalah keadaan di mana
seorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya”.12 Kepailitan merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor yang nantinya masuk dalam budel
pailit.13 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan bahwa:
“kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
Permohonan pailit terhadap seorang debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan ketentuan Pasal
2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
10
Kartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Pradya Pramita, 1974), hal. 11.
11Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 23.
12Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,(Jakarta: Pradya Pramita, 1978), hal. 89. 13 Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Kewajiban Pembayaran Utang adalah: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Ketentuan ini tidak
menyinggung mengenai kebangkrutan sebagai alasan debitor tidak membayar utang,
mengingat pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau
tidak mau membayar.14
Menurut Sunarmi bahwa hukum kepailitan di Indonesia baik dalam
Faillissement Verordening15, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun
Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti
membayar” dengan “tidak membayar”. Padahal dalam konteks hukum kepailitan
negara-negara common law system pada umumnya, keadaan insolvent debitor
biasanya diuji oleh pengadilan dengan menggunakan cash flow test16 atau practical
insolvency.17
14
Man S. Sastrawidjaja,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2010) hal. 88.
15
Lihat Tesis Victorianus M.H Randa Puang,Penerapas Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Pailit, 2006, hal. 4.Faillissement Verordeningterdiri dari 2 (dua) Bab yaitu: Bab I tentang kepailitan dimulai dari Pasal 1 s/d 211 dan Bab II Tentang Penundaan pembayaran (Surseance van betaling) dimulai dari Pasal 212 s/d 279.
16
Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 303-304.Cash flow testadalah pendekatan yang melihatsolvabilitas
Tidak adanyainsolvency testdalam hukum kepailitan di Indonesia merupakan
suatu kelemahan, sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk
membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak
membayar utang.18Dalam hal debitor tidak mampu membayar utangnya (insolvent), maka mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan yang tepat, namun dalam hal
debitor tidak mau membayar, harus diperhatikan alasan dari debitor tidak mau
membayar utang walaupun mampu (solvent), yaitu diantaranya karena yang
dimaksudkan sebagai utang oleh kreditor, merupakan kewajiban debitor yang
bersumber dari sebuah perjanjian timbal balik dan debitor tidak mau memenuhinya
karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu yang dalam hukum perjanjian
dikenal sebagai prinsipexceptio non adimpleti contractus.19
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkait
dengan pembuktian di dalam hukum acara kepailitan adalah: “Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”. Yang dimaksud
asset debitor, yaitu apakah assetnya yang dapat direalisasikan melebihi kewajibannya maka debitor dianggapsolvent.
17Sunarmi,Hukum Kepailitan Edisi 2,Op. cit, hal. 34. 18ibid.
dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan
pembuktian secarasumir.20
Menurut Paulus E. Lotulung, pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan
dapat dilakukan apabila pihak Termohon Pailit atau debitor tidak mengajukan
tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu tangkisan
yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak berprestasi. Prinsip
exceptio non adimpleti contractus terdapat dalam perjanjian timbal balik, yang
menyebabkan eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak
dapat dilakukan secara sederhana dan cepat.21
Pembuktian secara sederhana terlihat sangat jelas dan mudah untuk
dilaksanakan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu
perkara kepailitan Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa “sudah terbukti
secara sederhana”, tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung ternyata
“dibatalkan” dan dikatakan bahwa “tidak terbukti secara sederhana”.22
Pada hari Jum’at tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
telah membuat putusan yang cukup mengejutkan, yaitu PT. Telekomunikasi selular
(untuk selanjutnya disebut PT. Telkomsel) dinyatakan Pailit. Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat telah memvonis pailit perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa
20Martiman Prodjohamidjojo,Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, (Bandung, C.V Mandar Maju, 1999), hal. 13.
21Paulus E. Lotulung,Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54/V/2004, hal 10.
22Victorianus M.H. Randa Puang,Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan
pelayanan telekomunikasi selular yaitu PT. Telkomsel atas permohonan pailit yang
diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika.23
Permohonan pailit bermula dari perjanjian kerjasama tentang penjualan
produk telkomsel antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika pada
tanggal 01 Juni 2011. Menurut perjanjian ini PT. Telkomsel berkewajiban untuk
menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah
sedikit-dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari voucher isi ulang Rp.
25.000,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp. 50.000,00 (lima
puluh ribu Rupiah). PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan perdana kartu
prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya
10.000.000,-(sepuluh juta) setiap tahun, sebaliknya PT. Prima Jaya Informatika berkewajiban
untuk menjual.
Bahwa kemudian di tahun kedua PT. Prima Jaya Informatika telah
menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni
2012 berjumlah Rp. 2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta
Rupiah) dan pada tanggal 21 Juni 2012 telah pula menyampaikan purchase order
No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp.
3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) kepada PT. Telkomsel,
namun terhadap kedua purchase order tersebut PT. Telkomsel menerbitkan
penolakan melalui electronic mail (E-Mail) dan menghentikan sementara alokasi
produk Prima tersebut.
Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT. Prima
Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tindakan wanprestasi.
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya.24 Debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila dalam melaksanakan prestasi debitor telah lalai sehingga adanya keterlambatan dari
waktu yang sudah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.
Akhirnya pada 14 September 2012 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika
dan menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat
hukum. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum, bahwa Pemohon Pailit dapat
membuktikan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.
Bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. PT. Telkomsel terbukti
24
memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika
sebesar Rp. 5.260.000.000,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah).
PT. Telkomsel terbukti adanya kreditor lain, yaitu PT. Extend Media
Indonesia dengan utang sebesar Rp. 21.031.561.274,- (dua puluh satu milyar tiga
puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat Rupiah)
dan Rp. 19.294.652.520,00- (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat
juta enam ratus lima puluh dua ribu lima ratus dua puluh Rupiah), sehingga
permohonan Pemohon Pailit beralasan hukum dan karenanya harus dikabulkan
berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Tidak puas dengan keputusan tersebut, PT. Telkomsel kemudian melakukan
perlawanan dengan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Dalam
pemeriksaan tingkat kasasi tersebut majelis hakim Mahkamah Agung Republik
Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 21 November 2012 telah membatalkan putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/Pailit/2012/ PN.
Niaga.Jkt.Pst. dengan putusan Nomor 704 K/pdt.Sus/2012.
Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung bahwa
alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel dapat dibenarkan, sebab
setelah memeriksa dengan seksama putusan judex factie atau Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan hukum, oleh
karena apakah benar telah adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit
Bahwa dalil Pemohon Pailit tentang adanya utang Termohon Pailit kepada
Pemohon Pailit ternyata dibantah oleh Termohon Pailit, sehingga tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, oleh
karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada
Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak
sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon Pailit tidak memenuhi ketentuan
Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaian perkara tersebut harus
dilakukan melalui pengadilan negeri dan bukan Pengadilan Niaga.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang ingin diteliti lebih lanjut
dan disusun dalam tesis dengan judul: Penerapan prinsip exceptio non adimpleti
contractusdalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704
K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang
ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam
hukum perjanjian?
2. Bagaimanakah kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan
3. Bagaimanakah penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012
antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus
dalam hukum perjanjian.
2. Untuk mengetahui kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus
dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel.
3. Untuk mengetahui penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012
antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis yang berupa
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan
pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering
terjadi.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah
pengetahuan di bidang hukum tentang pengaturan prinsip exceptio non adimpleti
contractus dan kaitan prinsip ini dengan pembuktian sederhana dalam perkara
kepailitan serta penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara
kepailitan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di
lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
penelitian tentang “Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam
perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012
antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika)” tidak ditemukan judul
penelitian yang sama, tetapi ditemukan penelitian karya ilmiah yang mengangkat
tentang “penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit”
dengan perumusan masalah:
1. Bagaimanakah penerapan prinsip pembuktian sederhana dalam praktik
penjatuhan putusan pailit di Pengadilan Niaga.
2. Kendala atau hambatan apa sajakah yang ditemui dalam penerapan prinsip
3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau
hambatan dalam penerapan Prinsip pembuktian sederhana dalam penjatuhan
pailit.
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berbeda dari
penelitian tersebut yang mana penelitian ini lebih difokuskan kepada prinsipexceptio
non adimpleti contractus dan kajian terhadap pembuktian sederhana hanya
difokuskan pada putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus.2012, dengan
demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah: “untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.25
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori dan
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan dan pegangan teoritis.26 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan
25Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 237.
fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam
penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta
hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.27 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
Kepastian asal katanya pasti yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak;
sesuatu hal yang sudah tentu.28 Menurut ajaran dogmatik normatif, hukum tak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya
kepastian hukum (John Austin dan Van Kan). Menurut aliran ini, meskipun aturan
hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang
besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian
hukum dapat terwujud.29
Aliran ini bersumber dari pemikiran kaum “legal positivism” di dunia hukum,
yang cendrung melihat hukum hanya dalam wujudnya sebagai kepastian
undang-undang, memandang hukum sebagai suatu yang otonom, karena hukum tak lain
adalah kumpulan aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum (legal
norms) dan asas-asas hukum (legal principles).30
27Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16.
28 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai pustaka, 2006), hal. 847.
29
Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 83.
30
Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian
hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohanidjojo:
“Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu harus memiliki suatu kredibilitas dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama”.31
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang
boleh dilakukan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan
hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus
yang serupa yang telah diputuskan”.32
Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan
hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya
31Budiono Kusumohanidjojo, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hal. 150-151.
menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari
suatu pengadilan. Idealnya putusan pengadilan harus mengandung kepastian hukum
sebagai berikut:33
a) Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak
b) Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan.
c) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut.
d) Mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat.
e) Mengandungequality, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.
Teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisi
kepastian hukum mengenai aturan hukum prinsipexceptio non adimpleti contractus
dalam hukum perjanjian dan menganalisi penerapan prinsip exceptio non adimpleti
contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K
/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika serta
menganalisis kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan
pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel yang dapat dilihat
dalam putusan hakim yang merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta di
persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangakan dengan hati nurani.
Sistem pembuktian secara sederhana ini diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
33
Artidjo Alkostar,Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam
Penerapan Hukum,
Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa: “Permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi”.
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34 Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan
dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.35 Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang
disebut sebagai definisi operasional. Definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.
Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut di atas, berikut disusun
kerangka konsepsi yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara
lain:
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai
34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7.
hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan
antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan
yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak
yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.36
b. Prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan
bahwa debitor tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru
karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana
mestinya.37
c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
d. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya
atau dilakukan tidak menurut selayaknya.38
e. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
f. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. (Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
g. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
pangadilan. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang).
h. Pihak Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan dan memohon kepada
Pengadilan Niaga yang berwenang agar debitor dinyatakan pailit dengan
segala akibat hukumnya, kemudian ditunjuk kurator dan hakim pengawas
terhadap harta kekayaan debitor pailit.39
i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontigen, yang
timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. (Berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
G. Metode Penelitian
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau
proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan
teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori
39Lilik Mulyadi,Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa
alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.40 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.41
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.42
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum
normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris
atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.43 Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif analitis yang
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk
40 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105.
41 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.
mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah tertentu,44 dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif (normative legal research).
Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian
perpustakaan, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai
penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak
dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan”.45 2. Sumber Data
Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar sedangkan yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.46 Penelitian dalam hukum normatif yang menitik beratkan pada studi kepustakaan dan
berdasarkan pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi ke dalam
beberapa kelompok, yaitu:
a. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif),47 meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan
putusan-44Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal.10.
45Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 13-14.
46Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op.cit, hal. 12.
putusan pengadilan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian,
antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999
antara PT. Waskita Karya melawan PT. MustikaPrincessHotel.
7. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Telkomsel melawan PT.
Prima Jaya Informatika.
8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K
/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya
Informatika.
9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001
yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.
81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst antara PT. Kadi Internasional melawan
PT. Wisma Calindra.
10. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
42/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Astria Raya Bank (dalam
likuidasi) melawan Leo Andyanto.
11. Putusan Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst antara
Macmillan ELTdkk melawan PT. Sulcor Investindo.
12. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 01/Pailit/2005/PN. Niaga.Mdn
tanggal 16 November 2005 antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera melawan
PT. Duta Sahabat Abadi.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam
kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum
primer,48yang terdiri dari: 1. Buku-buku
2. Hasil-hasil penelitian
3. Artikel-artikel
c. Bahan-bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,49 yang terdiri dari:
1. Kamus bahasa Indonesia
2. Kamus hukum
3. Media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,
karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan
untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui
penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara
menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan
tertier yang terkait dengan penelitian ini.
Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan
hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian
yang berkaitan dengan tulisan ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.
Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari
penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data yang bersifat kualitatif.
Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara
teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan
konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan
sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang
berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan
logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum
ke yang khusus.50