• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN

PERTANAHAN

Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum

Oleh :

Aan Efendhi ( E0013002 )

Aguita Bintang M.S ( E0013026 )

Resti Fouziah ( E0013333 )

Sarah Meilita I ( E0013375 )

Siti Aminah ( E0013380 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

DAFTAR ISI

Halaman Judul………....

Daftar Isi... 2

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah... 3

B. Rumusan Masalah……... 6

C. Tujuan Penulisan... 6

D. Manfaat penulisan ……… 6

BAB II Tinjauan Pustaka A. Pengertian Hak Menguasai Negara ………... 7

B. Pengertian Pengadaan Tanah……... 9

BAB III Pembahasan A. Pembahasan 1………... 10

B. Pembahasan 2... …... 13

BAB IV Penutup A. Kesimpulan ... 16

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan factor kehidupan yang vital. Tanah tidak hanya merupakan factor produksi dalam arti ekonomi, namun juga mengandung arti social, politik, dan budaya secara menyeluruh, bahkan cenderung mempunyai arti reigius. Betapa pentingnya penguasaan sumber-sumber agrarian bagi kehidupan.

(4)

isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Kewenangan negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menentukan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah dikuasai oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa konsep ’dikuasai negara’ artinya negara mengatur, negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dengan kata lain, pada tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan karena kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian adalah wewenang yang didistribusikan dalam Undang-Undang Dasar, sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik; dengan demikian kewenangan negara dalam bidang pertanahan baru dapat diketemukan apabila didasarkan pada perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan pasal 3 UUPA, hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pakai yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Selain hak pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pengelolaan.1 UUPA secara tersurat tidak menyebut

Hak Pengelolaan tetapi hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Pengetian hak pengelolaan diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1966 jo Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu Hak Pengelolaan adalah hak menguasai

(5)
(6)

A. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah dan panduan yang mengerucut mengenai bahasan yang dikaji, Perumusan masalah sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan di cari jawabannya perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapaun permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan? 2. Bagaimana Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan? B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan b. Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur

Pertanahan

2. Tujuan Subjektif

a. Menambah pengetahuan penulis mengenai Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

b. Melatih kemampuan penulis dalam mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

C. Manfaat Penulisan

(7)

2. Dapat mengetahui dan memahami Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai Atas Tanah

Secara etimologis, menguasai dapat diartikan sebagai “proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”. Jadi penguasaan adalah suatu tindakan yang mencakup dari segi proses sampai cara menguasainya. Menurut undang-undang pokok agraria Penguasaan oleh negara adalah suatu proses yang dilakukan oleh negara untuk menguasai atau mengusahakan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan.2 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat

dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Dan juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.3 Ada

penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara

2 Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

(8)

fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.4 Hak penguasaan atas tanah berisi

serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Penguasaan dapat ditafsirkan melalui beberapa aspek seperti aspek fisik, yuridis, privat, maupun publik. Yang masing-masing mencakup:

1. Penguasaaan dalam arti yuridis, merupakan penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. 2. Penguasaan fisik, penguasaan yang pada kenyataanya atau realita yang ada. siapa

pengguna atau pemanfaat tanah itulah yang disebut sebagai penguasa fisik.

3. Penguasaan privat, penguasan dalam kepentingan privat, yaitu untuk beberapa maupun sekelompok orang tertentu.

4. Penguasaan public, yaitu penguasaan demi kepentingan umum atau bersama. Dimana tanah tidak hanya untuk sekelompok orang tertentu tapi untuk masyarakat secara keseluruhan. Contohnya penggunaan tanah untuk pembangunan jalan tol.

(9)

Right to control the state is The condition of landlessness threatens the enjoyment of a number of fundamental human rights. access to land is important for development and poverty reduction, but also often necessary for acces to numerous economic, social and cultural rights, and as a gateway for many civil and political rights. however, there is no right to land codified n internasional human rights law. land is cross-cutting issue, and is not simply a resource for one human right in the intrnasional legal framework. and yet, while rights have been established in the international legal framework that relate to land access for particular groups, numerous rights areaffected by access to land and general principles.5

B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Pemerintah

Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.

Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam

(10)

keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).6

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

BAB III

PEMBAHASAN

1. Kewenangan Bidang Pertanahan A. Kewenangan Pemerintah Pusat

(11)

No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA menyebutkan: Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.7

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat keadilan bagi semua rakyat Indonesia terutama yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah. Untuk menjamin keadilan bagi rakyat, negara memberikan berbagai macam Hak baik itu milik perseorang maupun milik bersama. Namun, terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat menghapuskan semua hak yang dimiliki baik secara perorangan maupun dimiliki bersama yaitu Kepentingan Umum. Dengan itu, maka diharapkan semua rakyat dapat secara sukarela dan setuju apabila tanah mereka dipakai untuk melaksanakan pembangunan untuk umum.8 Dalam

konteks ini, Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, ruang angkasa;

c. Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan 1) Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan :

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

2) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menyebutkan : Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan

(12)

dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Penjelasan Pasal 2 menyebutkan :

Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaandari negara atas tanah itu adalah medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakaan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan dbagi daerah itu.

3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan :

Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.

4) Sedangkan yang sebenarnya urusan wajib dari Pemerintah Daerah sudah ditentukan juga dalam Undang-Undang menurut Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan :

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: huruf k yaitu Pelayanan Pertanahan.

Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, artinya kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut hak menguasai negara atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai Negara dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara kemudian mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak merugikan kepentingan rakyat. Dalam melaksanakan hak menguasai ini dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Jadi walaupun pada asasnya tidak dapat diotonomkan tapi dapat di medebewind.

(13)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini, memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah. Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata dan bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.9

Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila berdampak regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila berdampak nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Akuntabilitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban) penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian

(14)

urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah.

2. Kendala-kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melaksanakan Kewenangan di Bidang Pertanahan.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan mempunyai Kantor Pertanahan di kabupaten/kota (sektoral). Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah swatantra.10 Berdasarkan Pasal 13 dan

14 huruf (k) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan dari kabupaten/kota kemudian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan wewenang pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian kewenangan di bidang pertanahan antara pusat dan daerah.

Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2

(15)
(16)

sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah.

Otonomi daerah sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pertanahan dapat didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan bahwa bidang pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus dicerna secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh berada pada pemerintah daerah. Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat keadilan bagi semua rakyat Indonesia. Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :

 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

 Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, ruang angkasa;

 Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

(17)

mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak merugikan kepentingan rakyat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini, memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan. Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 beserta peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, maka secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.

(18)

dimaksudkan untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Memang dimungkinkan dilakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah. Wewenang yang dipunyai oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

B. Saran

1. Sebaiknya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lebih ditegaskan kembali agar dapat berjalan lancar tanpa ada kesalahpahaman yang dapat menimbulkan konflik dan mengganggu berjalannya pembangunan.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku :

Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung : Alumni

Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas

Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group. Dari Internet :

Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila

http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

Dari Jurnal :

(20)

Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupa nomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah INDIKATOR

Dari Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

Referensi

Dokumen terkait

Analisis ragam daya gabung menggunakan metode 1 Griffing menunjukkan pengaruh daya gabung umum (GCA) sangat nyata untuk karakter tinggi dikotomous dan bobot per

• Jaringan yang letaknya paling luar pada organ-organ primer akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji, menutupi permukaan tubuh tumbuhan. • Jaringan ini melindungi bagian

Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 11 Denmark Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili 12 Egypt Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 13 Finland

Samsat Drive-Thru juga kurang komprehensif dalam memberikan pelayanan, hal ini dapat dilihat dari bentuk perpanjangan pajak kendaraan yang terbatas pada perpanjangan STNK

Artinya tidak ada hubungan munculnya bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dengan kadar CD4 pada penderita

Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya

Berdasarkan uji pengaruh pada tabel uji pengaruh yang menggunakan uji Wilcoxon pada kelompok kombinasi Kontraksi Isometrik dengan NMES didapatkan p 0,009