• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAJAK PENGHASILAN atas penghasilan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PAJAK PENGHASILAN atas penghasilan (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak

DASAR HUKUM

-Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.

-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

-Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,

Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

-Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak

Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

-Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.

SUBJEK PAJAK (PASAL 2 AYAT 1)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”), menetapkan Subjek Pajak sebagai berikut:

1. (i) orang pribadi atau (ii) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

(2)

3. bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan Subjek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan (bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia).

SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI

Pasal 2 ayat (3) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Dalam Negeri sebagai berikut:

1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, (i) orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau (ii) orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

(3)

SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI

Pasal 2 ayat (4) UU Pajak Penghasilan menetapkan Subyek Pajak Luar Negeri sebagai berikut: (i) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan (ii) badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia:

1. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

2. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Menurut Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

BENTUK USAHA TETAP (PASAL 2 AYAT 5)

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, disebutkan bahwa suatu BUT mengandung pengertian :

 adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.

tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan

 digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap dapat berupa : a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan;

(4)

e. pabrik; f. bengkel;

g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yangdigunakan untuk eksplorasi pertambangan; h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

Objek Pajak BUT :

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya (attribution rule) ;

b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia (force of attraction rule); c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income) .

Pembebanan Biaya pada BUT :

1. Biaya-biaya yang diperkenankan sebagai pengurang atas penghasilan BUT (deductible expenses).

a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan b. biaya administrasi kantor pusat, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (KEP-62/PJ/1995)

2. Biaya-biaya yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang atas penghasilan BUT (non deductible expenses).

a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;

b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK (PASAL 3)

yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008):

1. Kantor perwakilan Negara asing

(5)

kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik

3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,

kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia

Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.

Organisasi Internasional adalah

organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum/ antar

pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama interasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatn bersama.

Daftar Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek PPh: 1. Badan-badan internasional dari perserikatan bangsa-bangsa 2. Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan

3. Organisasi Internasional lainnya

OBJEK PAJAK (PASAL 4 AYAT 1)

(6)

kecuali ditetapkan lain oleh UU PPh bukan sebagai objek pajak, karena:

1. UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut pengertian penghasilan yang seluas-luasnya dengan nama dan dalam bentuk apapun. Hal ini sejalan dengan prinsip substance over form yang dianut UU PPh. Artinya, dalam penghitungan pajak hakikat ekonomis yang sebenarnya lebih diutamakan dibandingkan nama atau istilah yang diberikan atas penghasilan tersebut.

2. jenis penghasilan sangat banyak dan luas dan akan semakin berkembang sesuai dengan kemajuan ekonomi sehingga tidak mungkin dapat memberikan jenis penghasilan yang menjadi objek pajak secara spesifik dalam undang-undang.

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan macam dan jenis penghasilan yang bukan Objek Pajak (tidak terutang pajak) sehingga jenis penghasilan yang tidak termasuk bukan objek pajak merupakan objek pajak dan terutang pajak.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, antara lain:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh, termasuk : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:

(7)

2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian uang.

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang meneritkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Pengetian deviden termasuk pula:

1. pembagian laba, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;

2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;

3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;

4. pembagian laba dalam bentuk saham;

5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;

(8)

10.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu :

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;

3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta takgerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;

4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan sebagainya.

DASAR PENGENAAN PAJAK Pengertian dan jenis-jenis:

Pengertian Dasar pengenaan Pajak adalah dasar perhitungan PPN yang harus dibayar setelah dikali dengan tarif PPN-nya pasti 10% yang harus dibayar. Apabila DPP-nya 100% maka PPN-nya adalah 4%. Pasal 16 C UU No. 8 PPN tahun 1983 dan DPP-nya 10% maka PPN-nya adalah 1%. Misalnya, penyerahan kendaraan bermotor bekas yang dijual melalui showroom dan bila DPP-nya 5% maka PPN-nya adalah 0,5% (penyerahan anjak piutang).

Jenis-jenis:

Berdasarkan jenis-jenis DPP maka DPP dibagi menjadi Harga Jual, Pengganti, Nilai Impor, dan Nilai Lain.

(9)

2. Penggantian: penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU No.8 PPN Th 1983 dan potongan harga yang

dicantumkan dalam faktur pajak.

3. Nilai Impor: nilai impor adalah nilai berupa uang, yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam pengaturan perundang-undangan pabean untuk impor BKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU No.8 PPN Th 1983.

4. Nilai Ekspor: nilai ekspor adalah sebagai dasar pengenaan pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. DPP atas ekspor BKP adalah Nilai Ekspor yang tercantum dalam PEB yang telah dimuat oleh DJBC.

5. Nilai Lain: nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan KMK No. 251/KMK 04/02 tanggal 31 mei 2002 terdiri dari:

 Pemberian Cuma-Cuma dan pemakaian sendiri, yaitu

penyerahan BKP dalam bentuk apapun kepada pihak lain yang tidak memiliki nama/NPWP/alamat jelas dan bentuk pemakaian sendiri BKP milik sendiri/orang lain untuk kepentingan sendiri sama dengan harga jual/pengganti dikurangi unsure laba yang diharapkan: media rekaman suara dan gambar dengan harga jual rata;

(10)

WPLN PPh pasal 26

pajak penghasilan (PPh) pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau

diperoleh wajib pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

 Pemotong PPh pasal 26 1. Badan Pemerintah

2. Subjek Pajak dalam negeri 3. Penyelanggaraan Kegiatan 4. BUT

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia

 Tarif dan Objek PPh pasal 26

1. 20% (final) dari jumlah penghapusan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:

a. Dividen

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembaian utang c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan

dengan penggunaan harta

d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan

e. Hadiah dan penghargaan

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto bruto berupa: a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia

(11)

maupun pialang kepada perusahaan asuransi diluar negeri 3. 20% dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau

pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau special purpose company yang didirikan atau bertempat

kedudukan dinegara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia 4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi

pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

5. Tarif berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dengan Negara pihak pada persetujuan

 Saat Terutang, tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh pasal 26

a) PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutannya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu

b) Pemotongan PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3:

1. Lembar pertama untuk wajib pajak luar negeri 2. Lembar kedua untuk kantor pelayanan pajak 3. Lembar ketiga untuk arsip pemotong

c) PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak

(12)

bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. Contoh: pemotongan PPh pasal 26 dilakukan tanggal 24 mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10 juni 2009 dan dilaporkan ke kantor pelayanan pajak paling lambat tanggal 20 juni 2009

 Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pengecualian

1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 26 apabila penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat: a. penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal ppada perusahaan yang didirikan dan kedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri

 WP Orang Pribadi

(13)

penghasilan pasal 21 (PPh 21) adalah sebagai berikut: 1) Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi

a) Pegawai tetap

b) Penerima pension berkala

c) Pegawai tidak tetap yang pengasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 2.025.000

d) Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan

2) Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 200.000 sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam bulan kalender belum melebihi RP

2.025.000.

3) 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai yang menerima imbahan yang tidak bersifat

berkesinambungan

 Bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP. Berikut ketentuan yang menyangkut dasar pengenaan pajak untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas:

1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah

kumulatif dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000

(14)

A. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan

B.PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya

C. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun dibagi 360 hari

Bagi bukan pegawai sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan:

1. Dalam hal bukan pegawai memberikan jasa kepada pemotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26:

A) Mempekerjaan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesarnya jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjaan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya yang dibayarkan.

Dalam hal penghasilan bruto dikurangi keseluruhan

pengurang yang di ijinkan oleh UU dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

 Penghasilan kena pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi wajib pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan

(15)

pajak orang pribadi dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak

 Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan dengan yang di ijinkan oleh UU

Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak dihitung berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan.

Dasar Hukum:

 Undang-undang No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

 Undang-undang No 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan atau pasal 26

sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi

(16)

PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang

menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21. Menurut Kemenkeu, beberapa hal yang menjadi pertimbangannya adalah:

1. Untuk menjaga daya beli masyarakat. Sebagaimana diketahui dalam

beberapa tahun terakhir telah terjadi pergerakan harga kebutuhan pokok yang cukup signifikan,khususnya di tahun 2013 dan 2014 sebagai dampak dari kebijakan penyesuaian harga BBM.

2. Telah terjadi penyesuaian Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di hampir semua daerah.

3. Terkait dengan kondisi ekonomi terakhir yang menunjukkan tren perlambatan ekonomi, khususnya pada kuartal 1 tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 4,7% terutama akibat dampak perlambatan ekonomi global, khususnya mitra dagang utama Indonesia.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka untuk mendorong naiknya kembali laju pertumbuhan ekonomi pada semester II tahun 2015, langkah pemerintah yaitu dengan melakukan penyesuaian batasan PTKP, dengan harapan

dinaikkannya batasan PTKP ini dapat menaikkan permintaan domestik dengan tetap terus mendorong daya beli masyarakat.

(17)

eksternal tadi.

Pokok-pokok PMK 122/PMK.010/2015 adalah:

1. Besaran PTKP mulai berlaku sebagai dasar perhitungan PPh orang pribadi untuk tahun pajak 2015 sejak tanggal 1 Januari 2015.

2. Batasan PTKP 2015, untuk:

a. Diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 36.000.000; b. Tambahan bagi Wajib Pajak Kawin Rp 3.000.000;

c. Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp 36.000.000; dan

d. Tambahan untuk setiap tanggungan Rp. 3.000.000.

Mengutip siaran pers Direktorat Jenderal Pajak tanggal 27 Juli 2015, konsekuensi yang akan timbul akibat diterapkannya PMK

122/PMK.010/2015 adalah :

1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru;

2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan

pembetulan dengan menggunakan PTKP baru.

3. Dalam hal terdapat kelebihan setor akibat pembetulan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015, dan agar manfaat kenaikan PTKP tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas maka pemberi kerja mengkompensasikan kelebihan setor tersebut terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015.

(18)

Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh, yang salah satunya memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya PTKP tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi, moneter, dan pokok setiap tahunnya.

Menteri Keuangan telah beberapa kali mengubah besarnya PTKP tersebut dan terakhir dengan peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2005 tanggal 30 desember 2005 yang mulai berlaku 1 Januari 2006. Selanjutnya dengan adanya amandemen UU PPh baru (UU No. 36 Tahun 2008), besarnya PTKP adalah sebagai berikut :

 Sebesar Rp. 15.840.000 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan  Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin, sebesar Rp. 1.320.000

 Tambahan untuk istri yang bekerja dan penghasilannya digabungkan dengan pengasilan suami sebesar Rp 15.840.000

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan Ketentuan Pasal 285 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Abadi, dkk (2013) bahwa 68% subjek melaporkan motivasinya menggunakan media sosial adalah untuk mengembangkan hubungan

Diantara system penggerak tersebut, tipe DC M-G memiliki efisiensi yang paling rendah, sedangkan yang paling tinggi efisiensinya dan menguntungkan dalam kenyamanan pada

Intensitas serangan hama lalat buah di Kalimantan Selatan pada tahun 2015 dan 2016 menunjukkan intensitas rata-rata serangan sebanyak 66,7%, untuk mengetahui

PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak (WP) Luar Negeri, baik Badan ataupun Orang Pribadi, selain Bentuk Usaha Tetap (BUT),

(5) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia

b) Faktor psikologis : minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif. Namun, terkait dalam penelitian ini, faktor yang ingin diungkap atau dijadikan

minat untuk belajar fisika; 100% sekolah belum mempunyai buku pengayaan; 100% sekolah belum mempunyai sumber belajar yang terintegrasi dengan kearifan lokal; dan