• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karinding Sekilas Tentang Sejarah dan Fe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karinding Sekilas Tentang Sejarah dan Fe"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Karinding: Sekilas Tentang Sejarah dan Fenomena Saat Ini

Oleh: Insan Setia N. *

Tiba-tiba sebilah kecil bambu itu menyerang berbagai daerah di Jawa Barat; hampir seperti simsalabim mewujud jadi tema popular obrolan di kalangan anak-anak muda, masuk ke dalam diskusi-diskusi seni dan budaya, ikut hadir dalam perhelatan musik modern, bahkan kerap tertulis dalam status para facebookers dan posting banyak blogger. Kedatangannya cukup mencengangkan, dan tentu saja: tak terduga. Tak terduga, karena sebilah bambu itu sama sekali bukan produk temuan kontemporer, melainkan tercipta dari suatu waktu yang konon terbentang 6 abad dari masa ini, bahkan telah dinyatakan punah. Sebilah bambu yang memproduksi bunyi dari vibra salah satu komponennya itu bernama: karinding. Jika benar karinding telah punah atau mati, maka dapat dipastikan kini hantunya bergentayangan liar di hampir tiap sudut tempat. Sejarah Karinding

Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik

modern-popular saat ini.

(2)

melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini--hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.

Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari

Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.

(3)

kembalinya karinding secara masif di tengah masyarakat ini adalah bahwa ternyata “kelahiran” kembali karinding ini tidak bermula di daerah-daerah pedesaan yang masih bercorak tradiosional—yang biasanya masih memelihara tradisi dan karuhun secara agak ketat. Namun karinding justru kembali hidup dan popular di perkotaan, di kalangan masyarakat urban--juga generasi muda--yang kultur sosialnya telah sangat modern, dalam arti telah melepaskan sebagian besar tradisi karuhun dari kehidupan pribadi dan sosialnya.

Sebagian ada yang menilai, seraya berbangga hati melihat fenomena ini. Bagi mereka ini menunjukkan suatu kebangkitan budaya lokal. Karinding yang merupakan seni buhun sanggup eksis dan bersaing dengan alat musik

modern yang cenderung berbau barat.

Kita tahu bahwa modernitas kerap mengeliminir unsur lokalitas hingga membuat manusia terjebak dalam alienasi atau keterasingan dari akar sejarahnya sendiri hingga membawa manusia—juga secara kolektif: masyarakat--pada masa-masa frustasi (frustasi sosial). Dalam waktu lama frustasi yang berjalin serasi dengan rasa inferioritas di hadapan hegemoni modern yang digjaya dan seperti tak mungkin dikalahkan ini menumbuhkan perasaan “heroik” (atau ketakutan yang akut?) untuk kembali merebut jati diri yang merasa telah dirampas oleh modernitas. Heroisme (atau korban utama dari modernitas) untuk kembali terhubung dengan sejarahnya sendiri dan dengan itu kembali meneguhkan identitasnya seraya melawan dari gempuran modernitas yang begitu hegemonik. Maka dengan karinding

mereka lawan hegemoni itu.

Namun ada juga yang “biasa saja” bahkan cenderung pesimis dengan kebangkitan karinding ini. Mereka sama sekali tidak melihat fenomena ini sebagai kebangkitan seni dan budaya lokal dalam kehidupan kontemporer. Masyarakat urban dan generasi muda sebagai tempat awal kelahirannya kembali telah cukup bukti untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena karinding ini masih termasuk dalam fenomena modernitas. Yang baru, yang berbeda, yang tidak nge-pop kerap menjadi prasyarat untuk seseorang atau komunitas mendapat predikat modern. Maka, memainkan karinding saat ini adalah bentuk modernitas; sekali lagi karena ia dianggap baru dan berbeda.

(4)

Karena karinding hanyalah fenomena modernitas dan karena itu bersifat temporer, maka karinding pun akan cepat dilupakan jika keberadaannya di tengah masyarakat telah mengalami bentuk kemapanan tertentu, atau telah tergeser oleh sesuatu yang lain, yang lebih baru.

Maka akhirnya semua kembali pada kita. Apakah kita akan memperlakukan karinding ini sebagai warisan karuhun yang sakral dan wajib dimumule, ataukah akan memperlakukannya hanya secara profan dan sekadar alat musik biasa? Jika kita menyikapinya dengan sikap yang pertama berarti kita harus menjaga orisinalitas dan tetekon-tetekon atau pakem yang terdapat di dalamnya. Menjaganya untuk tetap lestari menjadi beban moril mendalam bagi diri kita. Namun bila kita memilih sikap yang kedua maka berinovasilah sebebas mungkin, bila perlu berkresasilah yang benar-benar baru, seperti para karuhun dahulu menciptakan karinding. Itu semua pilihan.

[1] http://yoyoyogasmana.multiply.com/journal/item/1

Referensi

Dokumen terkait

Ditinjau dari tiap-tiap aspek persepsi guru terhadap kinerja guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan yang terdiri dari kognitif, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa

Dewasa ini lalu-lintas dan mobilitas manusia semakin meningkat dan bersifat dinamis, negara Indonesia adalah salah satu negara yang arus lalu-lintas manusianya

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Skripsi dengan tepat waktu

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) menganalisis kekuatan profil I terhadap gaya-gaya yang bekerja khususnya beban hidup pada jalan raya dan kereta api; (2)

sebagainya dari pada kaum laki-laki tetapi pada hadis shahih Bukhari no Indeks 3241 mengatakan bahwasanya perempuan banyak menjadi penghuni neraka dari pada kaum

Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra pembau/pencium (hidung), indra pengecap

Hasil mengikuti kegiatan pengembangan diri dapat Implementasi di sekolah dalam upaya meningkatkan kinerja guru dalam memberikan pendidikan Penjas Orkes..