HUBUNGAN ANTARA
PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN KETENAGAKERJAAN:
Sebuah Mitos tentang Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik daripada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja bukannya tanpa dasar; data sensus penduduk tahun 1990 memperlihatkan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan pendidikan yang lebih rendah.
Namun demikian, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam menafsirkan data empiris tersebut cenderung agak menyesatkan. Cara berfikir tersebut ini cukup berbahaya; bukan hanya akan berakibat penyudutan yang tidak perlu terhadap sistem pendidikan, tetapi juga cenderung akan menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat dipecahkan.
B. Tujuan
Tulisan ini bermaksud mengamati kaitan antara kesempatan pendidikan yang lebih luas dengan timbulnya masalah-masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Melalui tulisan ini, akan diberikan tafsiran yang berbeda dengan tafsiran yang selama ini dilakukan berbagai pihak, terhadap masalah kaitan antara pendidikan dengan gejala pengangguran di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan bahwa kebijakan dalam menangani masalah ketidak sesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja memiliki landasan konsepsional dan dampak yang berarti terhadap upaya memperkecil pengangguran tenaga terdidik.
C. Pertanyaan Penelitian
Peranan pendidikan di dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), memang tidak perlu diragukan. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah pengembangan sumber daya manusia tersebut selalu harus dilakukan melalui pendidikan formal?. Pertanyaan yang lebih khusus ialah program pendidikan formal yang bagaimana yang mampu mengembangkan SDM agar menjadi modal dasar pembangunan yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat relevan dengan isu kebijakan pendidikan yang sedang disoroti saat ini.
D. Kerangka Berfikir
ekonomi masyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal merupakan suatu investasi baik bagi individu maupun bagi masyarakat.
Namun demikian, sering dijumpai kenyataan empiris bahwa asumsi-asumsi yang digunakan oleh Teori Human Capital tidak selalu benar dalam kenyataannya. Misalnya, studi-studi yang dilakukan oleh Blau dan Duncan (1967) di Amerika Serikat, Mark Chile dan Cummings (1980) di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dengan negara berkembang; pendidikan formal hanya memberikan kontribusi lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan latar belakang keluarga dan faktor-faktor luar sekolah lainnya.
Sebagian dari studi-studi pendidikan dan tenaga kerja tersebut di atas melakukan pengukuran produktivitas tenaga kerja melalui pengukuran tingkat penghasilan atau “earning power” pekerja. Gaji atau penghasilan memang bukan merupakan cara pengukuran yang salah sebagai indikator produktivitas kerja karena penghasilan ialah suatu bentuk balas jasa untuk seseorang yang telah menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi suatu sistem ekonomi khusunya dalam suatu mekanisme pasar yang berjalan sempurna. Namun, penentuan standar gaji pada suatu sistem politik ekonomi tertentu kadang-kadang menyesatkan jika digunakan sebagai ukuran produktivitas pekerja karena faktor-faktor lain selain kemampuan dan keahlian juga memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap pendapatan seseorang.
bahwa lulusan pendidikan belum siap untuk bekerja sesuai harapan lapangan kerja, sehingga banyak dunia usaha industri yang masih harus melatih tenaga tersebut dalam waktu yang relatif lama agar mereka dapat bekerja. Ketiga, asumsi bahwa pendidikan formal mampu menyediakan tenaga kerja terampil dan mampu bekerja mungkin tidak benar.
Atas dasar keragu-raguan tersebut, muncul teori lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan asumsi teori Human Capital, yaitu “Teori Kredensialisme” dan “Screening Hypothesis”. Kedua teori tersebut tidak yakin bahwa fungsi pendidikan formal mampu atau perlu menghasilkan tenaga terampil bekerja. Akan tetapi, teori-teori tersebut merasa yakin perolehan kemampuan dan keterampilan bekerja dapat diperoleh diluar pendidikan formal, misalnya, melalui pelatihan kerja, pengalaman dan belajar sendiri.
Teori Human Capital mengungkapkan bahwa struktur masyarakat lebih ampuh daripada individu di dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal sering hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan statusquo dari para pemegang status sosial yang lebih tinggi. Pemilikan ijazah pendidikan sering dianggap merupakan hasil pendidikan yang lebih penting daripada kemampuan dan keahlian. Dengan demikian, pendidikan menjadi sesuatu yang apriori, khususnya dalam menduduki suatu status jabatan atau pekerjaan.
nampak jelas bahwa tingkatan gaji seseorang sering hanya ditentukan oleh ijazah pendidikan yang dimiliki sebagai suatu modal kultur.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas , penafsiran yang berbeda perlu dilakukan terhadap masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Masalah ini merupakan suatu petunjuk dari adanya ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja. Masalah ketidaksesuaian ini tidak selamanya merupakan akibat dari sistem pendidikan, tetapi dapat diterangkan oleh dua tafsiran yang berbeda. Masalah pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dianggap sebagai “Gejala Persediaan” (Supply Phenomena); ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja merupakan gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar yang terus berubah dan beranekaragam. Atau mungkin juga merupakan “Gejala permintaan (Demand Phenomena); yaitu bahwa ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri tetapi juga disebabkan oleh lapangan kerja yang belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal.
BAB II
ANALISIS EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN
Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja. Tanggung jawab ideal dari dunia kerja adalah bagaimana dapat menyerap sebesar-besarnya tambahan angkatan kerja yang terjadi setiap tahun, dengan tetap memperhatikan peningkatan produktivitas pekerja secara keseluruhan. Sebab dengan meningkatnya produktivitas, diharapkan upah juga meningkat sekaligus kesejahteraan mereka dan skala kegiatan ekonomi nasional masih sangat terbatas sehingga mereka yang benar-benar terserap dengan tingkat produktivitas yang memadai (umumnya disektor formal) juga masih terbatas. Akibatnya mereka yang tidak dapat ditampung, karena desakan kebutuhan kerja akan masuk ke sektor informal dengan segala permasalahannya.
Ketidakserasian antara perkembangan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, secara umum akan menimbulkan kelemahan pada sistem penawaran dan permintaan tenaga kerja. Upaya yang seharusnya ditempuh ialah bagaimana mempertemukan kebutuhan tenaga kerja pada dunia usaha yang terus mengalami perkembangan dan pergeseran, dengan penawaran tenaga kerja yang sesungguhnya merupakan produk dari sistem pendidikan yang relatif konstan. Dengan upaya ini diharapkan agar pergeseran struktur kesempatan kerja dapat mempengaruhi perubahan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dan produktivitas mereka.
1. Pertumbuhan Ekonomi, Lapangan Kerja dan Produktivitas.
Untuk mencapai peningkatan produktivitas yang memadai, laju pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan lapangan kerja. Dengan mengambil periode pengamatan 1980-1985, 1985-1990 dan 1980-1985-1990, dapat dibandingkan laju pertumbuhan keduanya, seperti ditunjukkan pada tabel 5.4.
Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1980-1985 hanya mencapai 3,74 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan lapangan kerja mencapai 1,05; lebih besar dari keadaaan normal yang biasanya kurang dari satu. Keadaan ini menunjukkan penurunan tingkat produktivitas tenaga kerja, karena sebagian besar lapangan kerja tercipta di sektor informal. Lambatnya laju pertumbuhan ekonomi terutama terjadi pada tahun 1982, dimana resesi ekonomi dialami oleh hampir semua sektor produksi dalam negeri. Disamping itu harga minyak dunia yang terus menurun, menyebabkan kuota produksi minyak Indonesia yang ditentukan OPEC juga terus mengalami penurunan.
Pertumbuhan ekonomi pada periode 1985-1990, lebih baik dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi 6,29 persen. Sementara itu laju penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 2,88 persen, yang berarti elastisitasnya jauh lebih kecil, yaitu 0,46. Elastisitas tenaga kerja yang cukup kecil ini, mungkin menunjukkan peningkatan produktivitas, atau mungkin merupakan petunjuk bahwa sektor-sektor ekonomi kurang mampu menyerap tenaga kerja terdidik yang lebih banyak. Pertumbuhan yang tinggi ini sebenarnya merupakan hasil reformasi ekonomi (baca deregulasi dan debirokratisasi) yang dilaksanakan semakin intensif dalam lima tahun terakhir, peningkatan ekspor non-migas, pengurangan subsidi dan proteksi serta perbaikan di bidang moneter.
berarti kemampuan sektoral dalam penyerapan angkatan kerja semakin baik. Sektor industri menunjukkan perkembangan yang sangat berarti selama sepuluh tahun terakhir. Laju pertumbuhannya mencapai rata-rata 9,73 persen per tahun sementara laju penyerapan tenaga kerja mencapai 5,9. Laju pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja ini akan membawa implikasi pada perkembangan produktivitas tenaga kerja makro.
Dengan mengambil periode-periode pengamatan yang sama seperti ditunjukkan oleh Tabel 5.2 perkembangan produktivitas tenaga kerja memperlihatkan hal yang cukup menarik. Secara keseluruhan periode 1980-1990 dari sisi perkembangan produktivitas dapat dikatakan baik. Selama periode ini produktivitas tenaga kerja menunjukkan peningkatan 1,56 persen per tahun. Hal ini ditunjukkan oleh semua sektor kecuali sektor pertambangan. Sektor-sektor yang cukup mantap peningkatan produktivitasnya adalah sektor industri, listrik, gas, dan air, serta sektor jasa. Sedangkan sektor-sektor yang lambat peningkatan produktivitasnya adalah sektor pertanian, bangunan, dan sektor pengangkutan.
Pengaruh dari faktor pendidikan dan latihan dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja memang ada, namun cukup lemah untuk ditunjukkan karena terlalu banyak faktor-faktor lain. Dari sisi ekonomi saja, faktor peningkatan modal, teknologi dan efisiensi, cukup besar pengaruhnya pada produktivitas. Dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia, peningkatan produktivitas lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi dari pada disebabkan secara langsung oleh faktor tenaga kerjanya itu sendiri. Oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, peranan pendidikan dan latihan sangat diperlukan agar mengarah pada peningkatan kualitas dan keahlian mereka.
mencapai 23,9 juta rupiah per orang. Sektor lembaga keuangan juga memiliki produktivitas yang tinggi sebesar 14,5 juta rupiah per orang tahun 1990. Pada sektor pertambangan, faktor modal dan teknologi sangat berperan, sedangkan pada sektor lembaga keuangan faktor efisiensi kerja akan lebih berperan. Sudah dapat di duga bahwa produktivitas di sektor pertanian adalah yang paling rendah, yaitu 0,64 juta rupiah per orang tahun 1990.
2. Perubahan Struktur Ekonomi dan Lapangan Kerja
Laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang bervariasi antar sektor telah menyebabkan pergeseran struktur keduanya. Demikian juga perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja dibeberapa sektor tertentu telah menyebabkan peranannya dalam struktur ekonomi dan lapangan kerja bergeser secara tidak searah. Seperti ditunjukkan oleh tabel 5.3, sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar pada ekonomi dan lapangan kerja, walaupun cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. Kontribusi pada ekonomi (PDB) menurun dari 23,11 persen menjadi 19,58 persen, sementara pada lapangan kerja menurun dari 56,30 persen menjadi 50,01 persen. Persoalan disektor pertanian adalah masih besarnya beban dalam menampung tenaga kerja, sementara kapasitas ekonomi terutama lahan pertanian semakin terbatas. Dalam keadaan ini, harus diakui bahwa masalah produktivitas yang rendah, kemiskinan, efisiensi dan kualitas tenaga kerja yang rendah masih menjadi masalah yang cukup rumit pada sektor ini. Untuk menarik mereka keluar dari sektor ini atau setidak-tidaknya memperlambat laju penyerapan tenaga kerja, maka laju investasi pada sektor-sektor lain terutama industri, listrik, dan jasa harus terus ditingkatkan, terutama membawa implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja.
memperbaiki struktur lapangan kerja yang lebih seimbang, maka sektor industri masih mampu untuk meningkatkan laju penyerapan tenaga kerjanya. Dibandingkan dengan sektor industri, sektor perdagangan memiliki peningkatan kontribusi pada ekonomi dan lapangan kerja yang lebih seimbang. Kontribusi pada ekonomi meningkat dengan 2,44 persen dan pada lapangan kerja meningkat dengan 1,95 persen dan pada lapangan kerja meningkat dengan 1,95 persen. Namun demikian , sektor ini masih sarat dengan sektor informal yang ditandai dengan rendahnya efisiensi dan produktivitas, serta keterampilan tenaga kerja yang kurang memadai.
TABEL 5.1
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN LAPANGAN KERJA (DALAM PERSENTASE) 4. Listrik, gas dan air 5. Bangunan
Jumlah 3,74 3,91 6,29 2,88 5,01 3,39
TABEL 5.2
MENURUT HARGA KONSTAN
SEKTOR 1980 1985 1990 80-85 1980-199085-90 80-90 1. Pertanian
2. Pertambangan 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, gas dan air 5. Bangunan
Jumlah 1,3735 1,3622 1,6034 (0,17) 3,31 1,56
TABEL 5.3
SEKTOR 4. Listrik, gas dan air 5. Bangunan
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
BAB III
Sudah terbukti dalam beberapa penelitian ekonomi pendidikan bahwa pendidikan dan pelatihan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi melalui upaya pengembangan sumber daya manusia. Pertumbuhan ekonomi itu sendiri memiliki kaitan langsung dengan penciptaan kesempatan kerja baru (employment opportunity) yang dapat menyerap tenaga kerja terdidik dan terlatih. Pendidikan dan pelatihan memiliki peranan dalam pengembangan kualitas tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan kerja baru yang tercipta tadi.
Tulisan ini beranggapan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan yang relevan akan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap produktivitas sektoral dan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut disebabkan karena sistem pendidikan dan pelatihan merupakan sarana terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat relevansi program pendidikan dan pelatihan, semakin besar kemungkinannya bahwa sistem tersebut akan dapat mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih yang produktif. Tenaga kerja produktif adalah mereka yang memiliki keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja baik dipandang dari jenis lapangan usaha maupun jenis jabatan.
Salah satu contoh empiris dari ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja dapat dilihat dalam struktur enrolmen pendidikan antara pendidikan umum atau akademik dan pendidikan kejuruan atau profesional. Tabel 5.4 mengungkapkan suatu keadaan bahwa program-program pendidikan di Indonesia cenderung lebih mengarah kepada perluasan program pendidikan umum atau akademik (devocationalized), daripada pendidikan kejuruan atau keahlian profesional (vocationalized atau profesionalized), baik pada tingkat SLTA maupun pendidikan tinggi.
Pada tahun 1980, yaitu sejak perluasan sekolah kejuruan belum dilakukan, proporsi enrolmen SLTA Kejuruan lebih besar (53,6%) dibanding dengan proporsi SLTA Umum (46,45%). Walaupun, selama Repelita IV pemerintah telah menerapkan kebijaksanaan perluasan SLTA Kejuruan dua kali lipat, tampaknya pertumbuhan enrolmen SLTA Umum terus melaju dengan pesat sehingga mencapai proporsi yang semakin tinggi, yaitu menjadi 67,6% pada tahun 1989/90. Perkembangan ini berjalan secara konsisten, sehingga diperkirakan di kemudian hari, bahwa proporsi enrolmen SLTA Umum akan semakin tinggi lagi.
TABEL 5.4
PERKEMBANGAN MURID SLTA DAN MAHASISWA PERGURUAN TINGGI (dalam 000)
Tahun Jumlah Murid SLTA Jumlah Mahasiswa PT
1979/80
1. Tidak Sekolah atau Tidak tamat 1) Hasil Sensus Penduduk, 1980
2) Hasil Sensus Antar Penduduk, 1985 3) Hasil Sensus Penduduk, 1990
program pendidikan tinggi di Indonesia juga cenderung mengarah pada dominasi pendidikan tinggi akademis yang sekaligus memperkecil proporsi jumlah program pendidikan profesional.
Komposisi antara pendidikan umum atau akademis dengan pendidikan kejuruan atau profesional ini juga terlihat dari besarnya proporsi penganggur pada masing-masing jenis pendidikan. Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa proporsi penganggur SLTA Umum dan PT akademis (prog. S1) lebih besar dibanding dengan proporsi penganggur lulusan SLTA Kejuruan dan lulusan pendidikan tinggi profesional. Mengingat sistem pendidikan cenderung mengarah pada dominasi pendidikan umum/akademis (devocationalized), beberapa pihak mungkin dapat memperkirakan bahwa pengangguran tenaga kerja terdidik akan terus berkembang di kemudian hari.
Ketidaksesuaian jenis-jenis program pendidikan dengan jenis-jenis keahlian dan keterampilan ini dapat juga dilihat dari perkembangan proporsi pencari kerja pada masing-masing kategori pendidikan. Secara umum dapat dilihat dalam tabel bahwa cenderung semakin besar setiap tahunnya. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah penganggur terdidik bertambah tiga kali lipatnya, yaitu dari 868 ribu pada tahun 1980, menjadi 2,5 juta orang pada tahun 1990. Jika tidak diciptakan perubahan dalam strategi penciptaan lapangan kerja baru, maka jurang pemisah antara program-program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja diduga akan terus berlanjut dan bahkan semakin melebar di kemudian hari.
TABEL 5.6
Lama Mencari Kerja menurut Tingkat Pendidikan (Sakernas, 1988)
Lama Mencari Kerja (#Bulan)
Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja
SD SLTP/U SLTP/K SLTA/U SLTA/K S0 S1 1 bulan
2 bulan
57,5 23,6
48,2 21,9
50,0 13,3
37,9 21,2
35,6 19,8
41,5 22,0
4 bulan Sumber: Boediono, MackMahon, Abas Gozali, 1991.
TABEL 5.7
Persentase Pekerja yang Bekerja Menurut Status dan Lapangan Usaha
4. Tamat SLTP Umum
5. Tamat SLTP
Kejuruan
6. Tamat SLTA Umum
7. Tamat SLTA
Kejuruan
8. Tamat PT Prog. S0 9. Tamat PT Prog S1
49,0 31,4 21,9 11,6 9,3
0,40 0,76 0,52 0,04 0,02
0,18 0,71 0,54 0,06 0,04
0,31 1,67 2,62 0,71 0,49
Jumlah - 56,27 10,00 12,09
Sumber: Sensus Penduduk, 1990.
*) Yang dimaksud ialah sektor ekonomi informal yang dapat diperkirakan dari jumlah orang yang bekerja menurut Status Pekerjaan Utama, kategori (1); kategori (2); dan kategori (5).
penganggur tenaga kerja terdidik hanya terjadi selama lulusan sedang menjalani masa tunggu (Job Search Period). Lamanya masa tunggu ini bervariasi menurut jenjang pendidikan, dan ada kecenderungan bahwa semakin tinggi latar belakang pendidikan angkatan kerja semakin lama masa tunggunya.
Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan SLTA Umum terus meningkat dengan tajam dari 4,4% pada tahun 1980, terus meningkat secara mengejutkan menjadi 15% pada tahun 1985, dan masih tetap sangat tinggi pada tahun 1990, yaitu sebesar 11,9%. Dilihat dari rata-rata masa tunggu (Job Search Period), lulusan SLTA Umum ini juga termasuk yang paling lama sehingga terdapat proporsi yang cukup besar dari mereka yang harus menunggu pekerjaan selama lebih dari satu tahun. Keadaan ini perlu ditafsirkan secara lebih mendasar, khususnya yang menyangkut status kredensialisme dari lulusan SLTA Umum. Pesatnya pertumbuhan angka pengangguran lulusan SLTA ini lebih disebabkan oleh tumbuhnya persepsi yang keliru bahwa tamatan SLTA Umum memiliki hak kredensial untuk bekerja, pada saat-saat terjadinya gejala devokasionalisasi pendidikan tingkat SLTA.
Jika dikaji lebih jauh, gejala pengangguran tenaga kerja terdidik ini diakibatkan oleh ketimpangan struktur antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja menurut pendidikan. Hal ini terungkap dari data yang terdapat pada Tabel 5.7. Lapangan kerja pada sektor informal dan/atau tradisional tampaknya masih sangat dominan. Dominasi sektor ini menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja lulusan pendidikan rendah (Tidak pernah sekolah, 77,5%; tidak tamat SD, 72,7%; Lulusan SD, 66,5%; Lulusan SLTP Umum, 53,4%; dan lulusan SLTP Kejuruan, 49,0%) hanya dapat diserap oleh sektor ini. Disamping itu juga, tampak suatu kejanggalan yang cukup mengkhawatirkan bahwa masih cukup besar (sekitar 25%) proporsi lulusan pendidikan SLTA, dan sekitar rata-rata 10% lulusan pendidikan tinggi bekerja pada sektor informal.
kerja di Indonesia berpendidikan SD atau lebih rendah (diantaranya ada sekitar 31% yang tidak tamat atau tidak pernah sekolah) bekerja pada sektor pertanian. Gejala yang sama terjadi juga dari jumlah pekerja berpendidikan SD ke bawah yang bekerja pada sektor industri. Dari jumlah pekerja sektor industri pengolahan sebesar 10%, tiga perempat dari jumlah tersebut (7,41%) berpendidikan SD ke bawah. Sudah dapat diduga bahwa sebagian besar lapangan usaha industri pengolahan di Indonesia masih merupakan industri pedesaan atau pengrajin yang sifatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan lingkup pemasaran yang masih sangat terbatas. Kegiatan industri seperti ini belum tersentuh modal yang kuat dan sumber daya manusia yang ahli dan terampil sehingga produktivitasnya sangat rendah.
BAB IV ANALISIS
pendidikan cenderung memberikan andil yang menentukan terhadap timbulnya masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Penafsiran ini tampak benar secara empiris, tetapi cukup berbahaya jika digunakan sebagai landasan untuk pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan oleh karena pengangguran bukan semata-mata merupakan gejala persediaan (supply phenomena) tetapi lebih tepat dikatakan sebagai gejala permintaan (demand phenomena). Pengangguran terjadi karena laju investasi pada lapangan kerja produktif dan remuneratif relatif lebih lamban dibandingkan dengan perkembangan jumlah tenaga kerja terdidik yang sangat progresif.
Dari informasi yang dianalisis dalam studi ini, kaitan antara perluasan pendidikan dengan gejala pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dikaji secara konsepsional dan empiris paling tidak dari tiga sudut pandang. Terjadinya pengangguran tenaga kerja terdidik diakibatkan paling tidak oleh tiga alasan penting, yaitu: (1) Ketimpangan struktural antara persediaan dan kesempatan kerja. (2) Program pendidikan profesional/kejuruan yang terlalu bersifat “regulated”; dan (3) Penguatan persepsi kredensialisme pendidikan.
1. Gejala Ketimpangan Struktural
Pengangguran tenaga terdidik yang terjadi seperti tersebut di atas disebut gejala pengangguran struktural gejala ini yang terjadi sebagai akibat dari ketimpangan antara struktur kesempatan kerja dan struktur angkatan kerja menurut pendidikan. Sementara sistem pendidikan sudah menghasilkan sejumlah besar lulusan yang berpendidikan lebih tinggi, struktur ekonomi masih didominasi oleh kegiatan ekonomi tradisional dan/atau subsistensi yang masih membutuhkan lebih banyak tenaga kerja berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Dengan demikian, maka lapangan kerja yang tersedia masih lebih banyak didominasi oleh lapangan kerja sektor informal ini.
Masalahnya ialah bahwa kegiatan ekonomi informal ini umumnya memiliki tingkat produktivitas yang sangat rendah, sehingga tidak menghasilkan “return” yang memadai karena keuntungan yang diperoleh, tidak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung selama menempuh pendidikan tinggi. Tantangannya ialah bukan memindahkan para pekerja ke sektor formal, tetapi melakukan pembinaan terhadap sektor informal ini agar menjadi sektor yang lebih produktif, efisien, dan remuneratif dengan dukungan kapital yang memadai.
Dominasi kegiatan ekonomi informal baik pada sektor pertanian maupun sektor industri pengolahan tersebut di atas, merupakan tantangan bagi kebijaksanaan nasional pengembangan sumber daya manusia, melalui pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan kerja yang relevan. Tentu saja, penyiapan tenaga kerja terdidik yang menguasai ilmu dan teknologi tinggi masih merupakan orientasi yang utama dalam pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Namun demikian, pengembangan sumber daya manusia yang berorientasi pada pengembangan kegiatan ekonomi informalpun masih merupakan tantangan yang cukup penting, khususnya dalam rangka merubah struktur ekonomi kearah dominasi sektor-sektor remuneratif.
Orientasi program pendidikan dan pelatihan tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian besar pekerja Indonesia masih berada pada sektor informal dengan produktivitas yang masih sangat rendah. Contoh, lapangan usaha pertanian (sektor tradisional) dan industri pedesaan (pengrajin) yang diperankan oleh angkatan kerja berpendidikan rendah ini, memiliki sifat tidak berbeda dengan sektor-sektor informal lainnya baik dipandang dari penggunaan teknologinya, efisiensinya, maupun tingkat produktivitasnya. Sektor tersebut lebih tepat dipandang sebagai sektor pertanian pedesaan yang bersifat “subsistent” dan yang belum tersentuh oleh intervensi kapital.
Gejala ini dapat ditunjukkan dengan masih besarnya peranan pemerintah dalam penyelenggaraan jenjang pendidikan kejuruan tingkat menengah dan pendidikan profesional jenjang pendidikan tinggi, sementara peranan lembaga pendidikan swasta dan dunia usaha masih terlalu kecil. Program-program pendidikan tinggi profesional (program S0) lebih banyak yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi swasta. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa program Diploma pada perguruan tinggi negeri lebih besar dibandingkan dengan jumlahnya pada perguruan tinggi swasta. Dengan demikian maka sebagian besar lulusan pendidikan tinggi (sekitar 68%) juga berasal dari program diploma pendidikan tinggi negeri.
Dominasi pemerintah dalam menyelenggarakan dan mengontrol pendidikan profesional ini dapat dilihat pada Tabel 5.8. Dominasi peranan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan dan pendidikan profesional ini merupakan petunjuk bahwa pendidikan profesional dan keahlian di Indonesia masih bersifat “regulated”. Sistem pendidikan profesional yang “regulated” ini juga sekaligus menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan swasta dan dunia usaha belum menunjukkan………….
TABEL 5.8
Perkembangan dan Jumlah Lembaga, Mahasiswa dan Lulusan Program Pendidikan Tinggi
1980 1990
Negeri Swasta Negeri Swasta 1. Lembaga
2. Jumlah Mahasiswa
41
337.487 277.988
362
171.487 171.487
48
434.585 304.783
852
* Program S0 * Program S1
3. Lulusan * Program S0 * Program S1
59.499
31.601 19.132 12.469
-6.125 6.125
-129.802
76.676 42.330 34.346
83.433
58.475 42.267 16.208
Sumber: Statistik Pendidikan Tinggi, Pusat Informatika Balitbang-Dikpus, 1980; 1989.
lembaga pendidikan swasta tetap tumbuh semakin menjamur, walaupun tidak diakui akreditasi. Berdasarkan hal tersebut mungkin perlu difikirkan suatu cara agar memungkinkan tumbuhnya dunia profesi dan kealian dengan memperkecil pengaruh regulasi yang berlebihan. Dengan pengurangan kekangan ini (reregulated) maka diharapkan dunia profesi dan keahlian akan tumbuh subur di dunia kerja.
3. Penguatan Persepsi Kredensialisme Pendidikan
Terlalu kuatnya pengaruh teori “Human Capital” terhadap cara berfikir masyarakat, menyebabkan tumbuhnya sikap yang seolah-olah “mengkulturkan” pendidikan sekolah sebagai lembaga yang mampu mempersiapkan tenaga yang secara langsung dapat dipekerjakan. Cara berfikir ini muncul dari aliran yang menamakan dirinya “credentialisme” yang menganggap berbahaya jika kepada pendidikan sekolah diberikan status kredensialisme untuk bekerja. Bahaya tersebut akan menjadi semakin besar pada saat-saat terjadinya gejala peng-umum-an (Devokasionalization) program-program pendidikan.
Sementara pihak lain mungkin berpandapat bahwa gejala sistem pendidikan yang mengarah pada dominasi gejala ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Lapangan kerja yang dimaksud ialah sektor modern atau lebih dikenal dengan sektor produktif dan remuneratif, karena sektor seperti ini lebih banyak membutuhkan tenaga terampil dan tenaga yang memiliki keahlian profesional.
dasawarsa 1980an. Dengan demikian, maka jumlah SLTA Umum akan cenderung dominan dan akan semakin dominan di kemudian hari. Gejala ini tampaknya akan terus terjadi karena dalam kurun waktu Repelita V, SLTA Kejuruan cenderung tidak akan diperluas lagi (lihat Repelita V, Bab 20). Jika hal ini benar, maka di kemudian hari, fungsi pendidikan kejuruan dan keahlian, sebagai pendidikan persiapan kerja secara berangsur-angsur akan dimainkan oleh sistem pelatihan kerja dan pendidikan tinggi profesional. Sementara itu pendidikan tingkat SLTA akan beralih fungsi yang secara menyeluruh menjadi pendidikan semesta (universal education).
Gejala “De-vocational-ization” pendidikan tingkat SLTA boleh dikatakan wajar-wajar saja jika dibandingkan dengan negar-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, yang lebih banyak memfungsikan sistem pelatihan kerja (baik on the job training maupun kursus-kursus keahlian) sebagai pendidikan kejuruan. Masalahnya ialah bahwa program pendidikan tinggi juga cenderung “devocationalized” sehingga cenderung lebih banyak mempersiapkan tenaga akademis daripada tenaga yang berkeahlian profesional.
BAB V
BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN
Untuk melanjutkan usaha menggeser struktur lapangan kerja yang lebih seimbang, perlu terus diperkecil kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat tradisional dan informal, seraya memperluas lapangan kerja formal yang lebih produktif. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Memperlambat laju penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tradisional, dan meningkatkan produktivitas dan efisiensinya.
b. Meningkatkan dan memperluas penyerapan tenaga kerja, di sektor-sektor lainnya terutama di sektor-sektor industri dan jasa dengan tetap memperhatikan produktivitas dan efisiensinya.
c. Untuk dapat ditampung di sektor industri, terutama bagi angkatan kerja baru harus dibekali dengan keahlian dan kemampuan bekerja yang memadai. Upaya ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan.
2. Dalam perbandingan antar negara di kawasan Asia-Pasifik diperoleh kesimpulan bahwa, Indonesia termasuk negara yang memiliki laju investasi fisik yang cukup bersaing di negara-negara tersebut (sebesar 30% yang hampir mendekati Jepang dengan laju inflasinya sekitar 32%). Jika investasi ini diarahkan secara tepat, yaitu diarahkan pada pengembangan lapangan kerja produktif yang mampu menyerap jumlah angkatan kerja terdidik yang lebih besar, maka diperkirakan bahwa Indonesia tidak mengalami masalah pengangguran tenaga terdidik yang cukup mengkhawatirkan. Di lain pihak dikemukakan suatu keadaan dimana persentase pengangguran tenaga kerja terdidik di Indonesia cukup besar. Dari kedua informasi tersebut dapat dilihat masalah yang agak mendasar, yaitu bahwa pola investasi lapangan kerja produktif di Indonesia masih terlalu diarahkan pada pertumbuhan dan belum diarahkan pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang lebih besar jumlahnya. a. Dari masalah yang terungkap tersebut di atas, maka pembinaan
yang produktif dan sekaligus dapat menyerap tenaga kerja terdidik yang lebih besar jumlahnya.
b. Pola pembinaan yang sekarang dilakukan melalui, misalnya, konsepsi bapak angkat, program penempatan tenaga kerja sarjana di daerah pedesaan, program Kejar Usaha dan Program Magang, perlu terus dilanjutkan bahkan terus diintensifkan dengan tetap menggunakan strategi debirokratisasi untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya cabang-cabang usaha dan industri baru.