SUARA‐SUARA PEREMPUAN YANG TERBUNGKAM
DALAM SIHIR PEREMPUAN
Bramantio
Prolog
Sihir Perempuan adalah buku kumpulan cerpen karya Intan Paramaditha yang secara keseluruhan bercerita tentang perempuan. Tema keperempuanan yang diangkat oleh kesebelas cerpen di dalam kumpulan ini tidak serta‐merta menjadikannya terjebak di dalam lingkaran yang dibangun oleh karya‐karya pengarang perempuan Indonesia mutakhir yang begitu gegap‐gempita merayakan tubuh dan seksualitas perempuan. Cerpen‐cerpen Intan bercerita tentang perempuan dari sisi yang lain, yaitu sisi kelam dunia perempuan.
Pada dasarnya, setiap karya sastra bukan hanya berlaku sebagai artefak, tetapi sekaligus sebagai objek estetis. Artefak merupakan dasar material objek estetis, sedangkan objek estetis merupakan representasi artefak di dalam pikiran pembaca.1 Pembentukan objek estetis yang berdasarkan pada artefak terjadi dengan sarana peran aktif pembaca—pembacalah yang menciptakan objek estetis. Pembentukan objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut konkretisasi.2 Sebuah artefak tunggal bisa saja menimbulkan beberapa objek estetis dan hal tersebut bergantung sepenuhnya pada pembacanya dan cara pembacaannya.
Sebagai sebuah karya sastra, sebuah objek estetis, Sihir Perempuan memuat tanda‐ tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi untuk mengungkap makna teks secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap tanda‐tanda tersebut bersifat relatif, tidak ada sebuah kebenaran mutlak. Maksudnya, makna yang dihasilkan sepenuhnya bergantung pada horison harapan pembaca, yang di dalamnya termasuk kompetensi kesastraan,3 yang terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing‐masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang berbeda‐beda. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh tidak objektif.4
Berkaitan dengan uraian tersebut, saya menganggap cerpen‐cerpen di dalam Sihir
Perempuan menarik untuk dibaca melalui perspektif feminisme. Perspektif feminis dibutuhkan untuk mengentalkan pengalaman‐pengalaman spesifik yang dialami manusia dan mengemukakan persoalan‐persoalan kelompok marjinal, pembongkaran relasi kuasa dalam struktur pengetahuan maupun masyarakat, dan dekonstruksi teks yang falogosentris.5 Dalam makalah ini saya hanya menyajikan analisis atas empat cerpen di dalam Sihir Perempuan, yaitu “Pemintal Kegelapan,” “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari,” “Misteri Polaroid,” dan “Sang Ratu” karena saya menganggap keempat cerpen tersebut selain bercerita tentang perempuan juga memiliki sesuatu yang tersembunyi berkaitan dengan realitas keperempuanan.
Perempuan yang Mencipta Cerita sebagai Katarsis dalam Cerpen “Pemintal
Kegelapan”
Cerpen “Pemintal Kegelapan” mengisahkan seorang ibu yang bercerita kepada anaknya tentang hantu perempuan penghuni loteng rumah mereka. Cerpen ini dibuka dengan kalimat, “Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng kami” (hlm. 9). Melalui kalimat tersebut dapat diketahui bahwa sosok narator (“Aku”) kini telah dewasa. Ia bercerita tidak hanya semata‐mata untuk bercerita, tapi sekaligus mengungkap sesuatu yang sebenarnya telah diketahuinya
sejak ia mengawali ceritanya kepada pembaca. Ia menceritakan cerita tentang hantu perempuan yang diceritakan ibunya ketika ia masih kecil. Cerita kemudian beralih ke dunia nyata, tentang kehidupan keluarganya, orangtuanya yang bercerai, ibunya yang
digosipkan sebagai janda penggoda yang materialis, hingga kenyataan pahit seputar rahasia terkelam ibunya yang pada akhirnya terungkap.
9). Mengapa Ibu tetap selalu bercerita tentang hantu perempuan? Tidakkah Ibu mengetahui anaknya begitu ketakutan setelah mendengar ceritanya? Ataukah Ibu mengetahui hal tersebut, tapi memilih tidak peduli karena ia memiliki kepentingan di balik itu semua? Berikut ini adalah kutipan ringkas cerita hantu perempuan tersebut,
Ia, rahasia terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut panjang terurai yang selalu duduk di depan alat pemintal. Wajahnya penuh guratan merah kecokelatan, seperti luka yang mengering setelah dicakar habis‐habisan oleh macan. Bola matanya berwarna merah seperti kobaran api. Bila ia membuka mulutnya, kau akan melihat taring‐taring yang panjang. Ia begitu khusyuk di depan pemintal itu karena ia tengah membuat selimut untuk kekasihnya. Ia telah jatuh cinta pada seorang laki‐laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan.
...
Suatu hari, lelaki itu pamit untuk pergi beberapa lama. Ia ingin menjelajahi hutan di seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu emas. Singa itu, konon, merupakan harta tak ternilai yang menjadikan pemiliknya kaya raya.
...
Laki‐laki itu sekonyong‐konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata‐kata yang bisa menggambarkan rasa takut laki‐laki itu. Ia lari terbirit‐birit meninggalkan hantu perempuan itu sendirian.
...
Kata ibuku, hantu perempuan itu terpukul sekali. Sebelum ia sempat mengungkapkan siapa dirinya, kekasihnya sudah lari menjauh. Sungguh‐ sungguh ia murka. Ia terbang dari rumah ke rumah, membuat gaduh, mengganggu ketenangan manusia. Bayi menangis kala merasakan kehadirannya dan para pemuka agama sibuk berkomat‐kamit mengusirnya. Tetapi suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia tetap tidak mampu mematikan rasa cintanya. Ia ingat, kekasihnya tidak punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut tebal yang akan melindunginya jika ia kedinginan di hutan. Hantu perempuan itu pun memilih sebuah tempat persembunyian yang gelap untuk membuat selimut bagi kekasihnya. Ya, di loteng rumah kamilah ia bekerja dengan alat pemintal selama beribu‐ribu malam.
...
Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan (hlm 11—13).
berbeda dengan kehidupan hantu perempuan tersebut. Ibu pernah jatuh cinta kepada seorang laki‐laki. Laki‐laki itu menjanjikan begitu banyak keindahan ketika kelak mereka menikah. Hanya saja, pada akhirnya lelaki itu meninggalkan Ibu setelah mengetahui jatidiri Ibu yang sebenarnya. Karena begitu mencintai laki‐laki itu, Ibu benar‐benar merana sepeninggalnya. Kisah cinta Ibu bersama laki‐laki itu terus menghantuinya, bahkan sampai Ibu telah menikah dan berkeluarga. Hal yang demikian tentu saja membuat Ibu tertekan. Ibu merasa perlu untuk berbagi dengan orang lain, tapi ia tidak mungkin—atau merasa tidak mungkin—menceritakan hal tersebut kepada suaminya. Oleh karena itu, Ibu menceritakan hal tersebut kepada “Aku” yang waktu itu masih kecil. “Aku” kecil akan sulit menerima cerita masa lalu Ibu dalam bentuknya yang nyata sehingga Ibu mengubahnya menjadi cerita tentang hantu perempuan.
Ibu yang bercerita kepada “Aku” memiliki analogi dengan seorang pasien yang bercerita kepada ahli psikoanalisanya. Ibu tidak membatasi “gerak” ceritanya pada hal‐ hal yang nyata, tapi membebaskannya dengan melakukan displacement di sana‐sana, menyisipkan simbol di sana‐sini, dan membiarkan cerita berakhir terbuka dengan “Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan” (hlm.13). Ibu mengganti sosoknya menjadi hantu perempuan, dan tetap membuatnya samar
sehingga “Aku” tidak bisa mengidentifikasikan hantu perempuan itu sebagai ibunya. Ibu juga tidak memberi nama untuk laki‐laki itu sehingga “Aku” tidak bisa melacak kebenaran atau keberadaannya ketika kelak ia dewasa. Adanya singa berbulu emas di
pencerahan spiritual, kebenaran, keharmonisan, kebijaksanaan, dan kemakmuran.8 Dua sisi simbolis singa oleh Ibu “dibungkus” dengan “emas.” Hal tersebut tampak melalui perlakuan Ibu kepada “Aku”— menjadi Ibu yang baik bagi “Aku.” Pemakaian “selimut” dan “kegelapan” juga dapat dimaknai sebagai usaha Ibu untuk menutupi kebenaran. Dikisahkan hantu perempuan memintal selimut, bukan yang lain, baju hangat misalnya. Hal ini tentu saja berkaitan dengan fungsi utama selimut yang memberikan kehangatan dan kenyamanan pada seluruh tubuh; baju hangat hanya bisa memberi kehangatan sebagian tubuh. Dengan “selimut” inilah Ibu berusaha menutupi keseluruhan kisah masa lalunya sekaligus masa kini yang baru terungkap di akhir cerpen. “Kegelapan” di sini tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai masa lalu Ibu yang kelam. Kegelapan bukan hanya menyimbolkan misteri, menyembunyikan sesuatu, atau yang tidak diketahu, tapi juga menyimbolkan cahaya potensial; kegelapan mengawali cahaya, kematian mengawali kelahiran kembali.9 Berkaitan dengan hal tersebut, cerita hantu perempuan pemintal kegelapan adalah semacam objek potensial yang akan membawa Ibu mengungkap kebenaran. Lebih lanjut, singa juga simbol pemandu ke underworld.10 Jika underworld di sini dapat ditafsirkan sebagai taksadar atau segala bentuk ingatan atau kenyataan yang direpresi, dengan memasukkan singa ke dalam ceritanya, Ibu secara tak sadar telah “menyediakan” kunci untuk mengungkap kebenaran, Ibu secara tak sadar mencoba menyatakan bahwa ceritanya adalah
usahanya untuk menerima dan berdamai dengan masa lalunya yang pahit. Hanya saja, selama bertahun‐tahun bercerita, Ibu tidak pernah mengungkap kebenarannya. Hal ini dikarenakan Ibu mengalami resistensi—Ibu melakukan penolakan atas kebenaran
bahwa ia bercerita untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan dan jerat masa lalu, Ibu menyangkal bahwa dirinya adalah hantu perempuan di dalam cerita yang selama ini ia ceritakan kepada “Aku.”11
Resistensi Ibu lambat‐laun memudar ketika ia mengalami pengalaman kedua berkaitan dengan ditinggalkan laki‐laki,
Perceraian tersebut adalah semacam abreaksi, yaitu pengalaman kembali peristiwa traumatis dengan rinci.12 Melalui abreaksi ini, emosi yang selama ini ditekan oleh Ibu sedikit demi sedikit menemukan jalan keluar. Ibu tidak lagi berusaha sekuat tenaga menyimpan masalah‐masalahnya untuk dirinya sendiri. Meskipun tidak—atau belum— menceritakannya secara langsung kepada “Aku” dan berusaha meredam rasa ingin tahu “Aku” dengan pengalihan‐pengalihan, Ibu menjadi lebih “terbuka” dengan perasaan‐perasaanya,
Di hari Minggu, aku pernah mendengar Ibu memecahkan piring sambil berteriak di dapur. Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu licin sehingga piring itu terlepas dari genggamannya. Menurutku tidak. Aku yakin ia sengaja memecahkannya. Tapi setelah itu Ibu langsung menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop.
Sesekali aku juga mendengar suara ganjil dari kamarnya. Suatu ketika, malam yang lengang dikejutkan oleh teriakan bercampur tangis penuh amarah. Aku keluar dari kamarku dan bergegas menghampiri kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama menunggu, barulah ia membuka pintu. Katanya aku telah mengganggu tidur lelapnya. Ia menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang (hlm. 15—16).
Keadaan keluarga yang berangsur membaik seiring berjalannya waktu dan terbebasnya Ibu dari rutinitas yang berkaitan dengan pekerjaannya juga mendukung proses
katarsisnya. Ibu mengungkapkan masalahnya dan kebenaran satu per satu kepada “Aku,”
Ibuku akhirnya pensiun dan giliranku membiayai hidup kami karena aku sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu ada misteri dalam dirinya yang tidak pernah dapat kubongkar. Ia selalu menyimpan sesuatu, termasuk tentang penyakitnya yang ternyata sudah lama menggerogoti tubuhnya.
Ia mengidap kanker leher rahim (hlm. 16).
“Aku” tidak bersikap ekstrem atas kenyataan yang selama ini disembunyikan Ibu darinya. “Aku” hanya berusaha menemani Ibu hingga pada akhirnya Ibu mengungkap rahasia besar—sebuah kebenaran—yang selama ini disembunyikannya,
Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Kucoba menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Aku ingin membuatnya bahagia.
...
Ia mengajakku ke loteng. Ya, loteng yang dulu luar biasa menarik. Aku sudah melupakannya, seperti aku telah lupa wajah Ibu semasa ia menjadi tukang cerita nomor satu.
...
Tanpa menghiraukan wajahku yang penuh keengganan, Ibu menuntunku menuju sebuah cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, lalu menunjuk bayangan di dalamnya. Ia berujar pasti,
“Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.” ...
Kutajamkan penglihatanku. Kubawa ingatanku pada masa‐masa ketika kami masih menikmati misteri loteng itu, mengucapkan selamat datang pada imajinasi liar tanpa batas dan malam‐malam meringkuk di balik selimut. Tiba‐tiba kusadari aku tengah merinding. Aku memang melihat Ibu. Ya, perempuan itu. Rambutnya terurai, wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari‐nari melumatkan siapa pun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu, sakit, nafsu, amarah—memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai.
Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka‐teki. Ibuku.
Pemintal Kegelapan (hlm. 16—18).
Dalam “posisinya” sebagai “ahli psikoanalisa,” “Aku” tidak pernah bertanya kepada Ibu tentang masalah yang dihadapinya, apalagi mendesaknya untuk berterus terang; “Aku” pernah menyatakan, “Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal
pun yang berani kutanyakan pada Ibu.” Terlepas dari perasaan takutnya untuk bertanya kepada Ibu, “Aku” telah “menggunakan” metode asosiasi bebas;13 “Aku” hanya menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik. Pada akhirnya, Ibu pun
mengungkap kebenaran dengan kemauannya sendiri.
Lalu apakah artinya menjadi pengarang perempuan dalam suatu kebudayaan yang definisi otoritas sastranya yang paling mendasar, seperti kita lihat, adalah patriarkal, baik secara tersirat maupun tersurat? Jika menjadi polaritas yang dipertentangkan dan mempertentangkan antara malaikat dan monster, Putri Salju yang manis dan bodoh dan Ratu galak dan gila, adalah citra utama sastra tradisional yang ditawarkan kepada kaum perempuan, bagaimana penggambaran semacam itu mempengaruhi cara perempuan menggunakan pena? Jika cermin sihir Ratu bercakap‐cakap dengan suara sang Raja, bagaimana petuah‐petuah Raja yang abadi berdampak pada suara Ratu? Karena suara Raja adalah suara utama yang ia dengar, apakah kemudian Ratu mencoba untuk bersuara seperti Raja, meniru nadanya, lagu dan irama suaranya, pemakaian kata‐kata dan sudut pandangnya? Atau apakah ia ‘melawan’ dengan kosa katanya sendiri, getaran suaranya sendiri, mempertahankan sudut pandangnya sendiri?14
Lebih lanjut juga dinyatakan,
Namun, dibandingkan dengan pertempuran perkasa antara ayah dan anak dalam tradisi laki‐laki, kekhawatiran kepengarangan ini bagi perempuan bisa benar‐benar melumpuhkan. Diwariskan bukan hanya dari satu perempuan ke perempuan yang lain, tetapi juga dari bapak‐ bapak sastra patriarkal yang keras kepada pewaris perempuannya yang telah diinferiorisasi, dan hal itu menjadi benih suatu penyakit, atau, suatu kekurangan, suatu gangguan, suatu kecurigaan, yang meluas bagai noda melalui gaya dan struktur karya sejumlah perempuan, terutama yang menulis sebelum abad ke‐20. Karena jika perempuan masa kini menggoreskan pena dengan sepenuh daya otoritas, mereka hanya dapat melakukan itu karena nenek moyang perempuannya di abad ke‐18 dan ke‐19 telah berjuang dalam ketersendirian yang terasa sebagai kegilaan, dalam keadaan gelap‐tidak‐dikenal yang terasa sebagai kelumpuhan dalam mengatasi kekhawatiran‐kepengarangan yang endemis bagi subkultur sastra.15
Ia menjadi alat untuk mengenali diri sendiri bagi sang Ratu. Seperti telah diketahui, di dalam kisah Snow White, Ratu sering bertanya kepada cermin sihirnya tentang perempuan tercantik di dunia. Hal senada juga dilakukan Ibu di akhir cerpen untuk menegaskan kepada dirinya sendiri dan “Aku” bahwa ia adalah Pemintal Kegelapan— hantu perempuan penghuni loteng gelap yang selama ini diceritakannya kepada “Aku.” Dalam skala luas, dengan melihat unsur‐unsur intrinsiknya sekaligus dalam kaitannya dengan tulisan‐tulisan lain yang senada, cerpen “Pemintal Kegelapan” adalah suara perempuan (pengarangnya?) yang ingin menyuarakan realitas dan problematika perempuan yang selama ini berada di bawah bayang‐bayang kuasa patriarkal. Perempuan memiliki kehidupannya sendiri, perempuan bisa saja mengambil pilihan‐ pilihan yang mungkin dapat mengantarnya mencapai kebahagiaan, tapi bagaimana pun ia tetap tidak dapat—atau sulit—memisahkan dirinya teror berkepanjangan yang dibisikkan oleh budaya patriarkhi.
Perempuan yang Membongkar Dongeng Cinderella dalam Cerpen “Perempuan Buta
Tanpa Ibu Jari”
Cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” mengisahkan perjalanan pahit hidup perempuan buta yang dinarasikan oleh perempuan buta itu sendiri. Cerpen ini pada dasarnya adalah sebuah re‐creating atas dongeng Cinderella. Di sini berlaku prinsip
lamanya bersama pangeran. Di dalam cerpen ini, nama Cinderella diubah menjadi Sindelarat. Si perempuan buta adalah saudara‐perempuan tiri Sindelarat. Menurutnya, Sindelarat tidak sebaik yang diceritakan orang‐orang selama ini, “Adik tiriku Larat memang piawai memasang muka manis ... Perhatikan betapa ia ingin menampilkan citra gadis baik‐baik yang tidak materialistis. Puh! Sangat tidak realistis. Kalau tak peduli kekayaan, mengapa ia bersikeras pergi ke pesta untuk bertemu Gusti Pangeran mahakaya?” (hlm. 31). Cerpen ini juga menampilkan sisi kelam dari dongeng Cinderella, yaitu pada saat kedua saudara‐perempuan tiri Sindelarat mencoba sepatu yang dibawa pangeran. Karena kaki mereka terlalu besar, ibu mereka memerintahkan mereka melakukan sesuatu yang mengerikan,
Ibuku menyodori pisau, “Potong jari kakimu. Kelak jika kau jadi ratu, kau tak akan terlalu banyak berjalan. Jadi kau tak membutuhkannya.” Maka kuambil pisau itu dan kugigit bibirku saat aku berusaha memutuskan ibu jari kakiku. Kubuang bagian kecil tubuhku itu ke tempat sampah untuk menjadi santapan anjing. Kini kusadari, Nak, dunia ini memang penuh dengan sepatu kekecilan yang hanya menerima orang‐orang termutilasi (hlm. 33).
Pada kutipan tersebut terlihat bahwa penyebab perempuan menderita bukan hanya laki‐laki, tapi juga sesama perempuan. Meskipun didasari oleh kasih sayang kepada anaknya, bagaimana pun si ibu telah membuat anaknya menderita dengan
memaksakan pemikirannya. Kalimat terakhir di situ juga menarik dalam kaitannya dengan realitas (norma) yang seolah‐olah begitu mengekang kebebasan perempuan— dan manusia pada umumnya—untuk menjadi dirinya sendiri dan menentukan pilihan
dan menyebabkannya mau tidak mau harus “memutilasi” dirinya supaya dianggap “sesuai” dengan norma yang berlaku. Lebih lanjut diceritakan pula oleh perempuan buta bahwa Sindelarat tidak “berbahagia selama‐lamanya,”
Oh, ya, Larat tidak hidup berbahagia selama‐lamanya seperti yang dikira banyak orang. Ia meninggal saat melahirkan putrinya yang keenam. Hampir setiap tahun ia hamil karena kerajaan membutuhkan putra mahkota. Ia tak lagi cantik—pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu. Ia mati karena pendarahan berkepanjangan, sebagai penutup cantik kisah yang banjir darah ini (hlm. 36).
secara keseluruhan, cerpen ini dapat dianggap sebagai teks dekonstruksi atas dongeng Cinderella. Dongeng Cinderella dengan berbagai konvensi yang selama ini telah dikenal baik sama halnya dengan falogosentrisme yang mengutamakan kestabilan makna dalam pola pikiran dan sistem patriarkhi. Kestabilan makna—atau dengan kata lain “kebenaran tunggal”—tersebut dibongkar oleh cerpen ini dengan menghadirkan “kebenaran‐kebenaran” tandingan. Sosok Cinderella/Sindelarat yang pada dongeng diceritakan sebagai gadis baik hati sebenarnya materialistis dan tidak sebaik yang diceritakan selama ini. Kehidupan Cinderella/Sindelarat pascaperistiwa pencarian oleh pangeran dengan berbekal sepatu sebelah ternyata begitu menderita dan seolah menjadi tumbal kelangsungan sebuah dinasti kerajaan. And they live happily ever after pun dibongkar menjadi penderitaan perempuan pascapernikahan; perempuan tidak bisa menikmati kebahagiaan di dalam sebuah pernikahan dan tidak bisa benar‐benar menjadi dirinya sendiri karena ia memiliki kewajiban yang dibebankan kepadanya untuk melayani suaminya, menghasilkan keturunan, dan sebagainya.19
Tidak hanya sebatas pembongkaran atas dongeng Cinderella, cerpen ini juga menyajikan hal‐hal yang berkaitan dengan realitas keperempuanan,
Tahun demi tahun berlalu dan kami menjadi bunga yang siap dipetik. Tapi sial, siapa yang dilirik para pemuda di pasar ataupun alun‐alun? Larat. Kendati ia tak lagi bergaun indah, wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya kuning bercahaya. Rambutnya hitam bak mayang. Tubuhnya semampai, pinggangnya kecil, kakinya apalagi. Tutur katanya lembut merayu. Sedangkan kami—yang lebih mewarisi rupa Ayah daripada kecantikan Ibu—bertubuh besar dan berkulit gelap. Kami saudara Larat hanya bisa gigit jari saat tetangga mengomentari kesempurnaannya setiap waktu. Dan betapa was‐wasnya kami kala mengetahui para laki‐laki mengantre di depan pintu hanya untuk melamar Larat! (hlm. 31—32)
ingin suaranya didengar; berdasarkan cerita di dalam cerpen secara keseluruhan, ia pun mendapatkan pendengar. Hanya saja, ia tidak yakin apakah pendengar itu benar‐ benar mendengar dan memercayai ceritanya; ia menutup ceritanya dengan “Tapi ah, siapa yang akan mendengarkan seorang perempuan buta yang dimutilasi?”21 (hlm. 36) Demikiankah realitas para Liyan? Meskipun ada kebenaran di dalam suaranya, akankah seorang Liyan tetap menjadi Liyan dan tidak pernah mendapat pengakuan?
Perempuan Fragmentatif, Komoditas, dan “Tak Terlihat” dalam Cerpen “Misteri
Polaroid”
Cerpen “Misteri Polaroid” mengisahkan seserpih kehidupan laki‐laki fotografer mode, Jose, yang dinarasikan oleh asistennya, Andri, yang juga laki‐laki. Cerpen ini menarik karena mengangkat realitas keperempuanan yang dilihat melalui sudut pandang laki‐ laki. Sebagai fotografer mode, Jose memiliki kuasa untuk memberikan penilaian atas perempuan‐perempuan model yang dipotretnya,
Matanya yang tajam tanpa ampun bisa membedakan calon supermodel dengan calon pecundang, atau menarik garis batas antara wajah eksklusif dan wajah murahan. Ia bisa mengukur dengan pasti hidung yang terlalu panjang, terlalu pesek, dagu yang terlalu condong ke depan, pipi yang terlalu lebar, garis‐garis muka yang terlalu maskulin, wajah yang tidak simetris (hlm. 77).
Obyeknya adalah model Indo favorit Jose, Sofia, yang sedang naik daun sebagai presenter acara televisi. Jose mengagumi mata cokelatnya yang mirip kacang almon, batang hidungnya yang tinggi, tulang pipi Audrey Hepburn‐nya yang aristokrat, dan bibirnya yang penuh. Wajah Eropa yang sudut‐sudutnya tak bercacat, sempurna untuk difoto dari jarak dekat. Dan foto ini memang hanya tentang wajah. Tak ada tubuh, tangan, ataupun kaki.
...
“Lihat, wajahnya mahal,” komentar Jose. “Tapi kalau salah angle dia bisa mirip kuda” (hlm. 87—88).
citra perempuan. Sayangnya, perempuan (model dan calon model) sendiri menganggap hal ini semacam kartu mati yang mau tidak mau harus mereka terima. Dengan kata lain, keindahan fisik perempuan di mata laki‐laki seolah‐olah sama artinya dengan hidup‐mati perempuan (model di dunia hiburan).
Penilaian atas perempuan sebagai sesuatu yang fisikal dan fragmentatif ternyata tidak hanya dilakukan oleh laki‐laki (Jose) saja, tapi juga oleh sesama perempuan,
“Vin, Vin...” Jose mengeluh setelah membalas ciuman persahabatan itu. “Kenapa pakai si Susi?”
“Susan?”
“Susan, whatever. Wajahnya flat.”
“Ya, aku tahu. Tapi tidak ada pengambilan gambar close up. Fokus kita kaki dan sepatu” (hlm. 78).
Kini Vina datang dengan wajah yang berbeda: Aileen, model berwajah oriental.
...
“Ia tidak terlalu tinggi,” Jose meneliti.
“Ya, ya, kakinya memang agak pendek. Torsonya yang panjang,” timpal Vina.
“Dadanya tidak rata, itu yang penting untuk konsep ini” (hlm. 83—84).
Dengan mengatakan “Tapi tidak ada pengambilan gambar close up” (untuk Susan) dan
“Torsonya yang panjang” (untuk Aileen), Vina seolah‐olah memberikan pembelaan kepada keduanya. Hanya saja, tidak demikian kenyataannya. Bukannya mengatakan “Ah, wajahnya tidak flat, bahkan dia sebenarnya manis” (untuk Susan) dan “Ia tinggi
suaranya, suaranya tidak diperhitungkan; yang berhak memberikan penilaian kepada perempuan adalah laki‐laki (dan perempuan) pemegang kuasa.
Di dalam cerpen ini, perempuan juga digambarkan sebagai komoditas. Perempuan sebagai komoditas diperkuat dengan kisah tentang masa lalu hantu perempuan yang “mengganggu” sesi pemotretan di studio Jose,
Konon di rumah ini, tak lama sesudah kemerdekaan, memang ada gadis yang bunuh diri. Ayahnya terbelit hutang. Karena di keluarga itu ia yang tercantik, keluarganya memaksanya menjadi istri muda seorang pedagang kaya. Si gadis, yang sebetulnya tidak dekat dengan lelaki mana pun, menolak keputusan sepihak itu. Tapi di rumah itu ia tak memiliki suara (hlm. 86).
Semakin lengkaplah “keterpurukan” perempuan‐perempuan di dalam cerpen ini. Selain sebagai keindahan fragmentatif dan komoditas, perempuan ternyata juga “tidak memiliki suara.” Sekali lagi, seperti halnya Jose yang memiliki peran “menyuarakan” suara perempuan untuk menjadi model papan atas atau pecundang, di sini sosok bapaklah yang memiliki peran “menyuarakan” suara anak perempuannya, tentu saja bukan dalam artian positif bagi anak perempuannya. Sosok bapak yang begitu dominan memiliki kuasa untuk menentukan jalan hidup anak perempuannya dan
memaksanya menjadi istri muda (bukan istri pertama) pedagang kaya, yang semata‐ mata untuk membebaskan dirinya dari hutang; ketika perempuan memiliki kuasa untuk memilih, justru pilihan itu adalah kematian. Saya membaca hantu perempuan di
dalam cerpen ini bukan hanya sebagai hantu perempuan, tapi sebagai sesuatu yang ingin didengar, sesuatu yang ingin bersuara. Hal tersebut terlihat melalui kemunculannya pada beberapa sesi pemotretan. Ia tidak berniat membuat keonaran atau mendatangkan bencana bagi orang‐orang, ia hanya ingin eksistensinya diakui. Saya pikir ini adalah sebuah ironi karena (hantu) perempuan ternyata baru mendapat perhatian sekaligus pengakuan ketika ia telah mati.
Kulihat Susan berbaring miring di sofa, berpose seperti Cleopatra di singgasananya. Ia mengenakan jaket bulu berwarna ungu tua dan rok mini korduroy berwarna ungu muda. Rok itu adalah alasan mengapa ia dipilih: pahanya kecil dan kaki‐kakinya langsing. Tapi ada sesuatu yang menutupi kaki itu. Seberkas cahaya kemerahan memanjang.
...
Itu adalah siluet kaki (hlm. 81).
Kuperhatikan lagi foto Aileen. Seandainya ia arwah penasaran, mengapa Aileen hendak dicekiknya?
Tunggu.
Itu bukan gerakan mencekik. Tangan‐tangan yang seolah tak bermula itu begitu lemas, tidak memaksakan apa‐apa. Jari‐jarinya tidak hanya menempel di leher, tapi juga tulang selangka.
Ia tidak mencekik, tetapi ingin memeluk. ...
Sang Arwah ingin mendekap dan memagut, mungkin bermain‐main, seperti ketika ditindihnya kaki Susan dengan kakinya (hlm. 87).
Konsep Liyan (the other) berlaku di sini. Sebagai perempuan, hantu perempuan itu telah menjadi Liyan dalam ruang patriarkhi, ia tidak memiliki kuasa untuk bersuara, lebih‐lebih memilih; satu‐satunya pilihan yang bisa diambilnya adalah bunuh diri, “Dua minggu sebelum perkawinannya, ketika tak ada orang di rumah kecuali dirinya, ia mengurung diri di kamar. Tetangga berdatangan karena mencium bau asap dari
rumah itu. Sang putri mengamini kebisuan. Ia membakar diri.” (hlm. 86) Ke‐Liyan‐an hantu perempuan tersebut semakin “parah” karena selain perempuan, ia juga perempuan lesbian, dan pada akhirnya ia adalah hantu.
dari sudut pandang laki‐laki. Hal tersebut terlihat dalam percakapan antara Jose dan Andri,
“Seniman memanfaatkan resolusi polaroid yang berbeda dengan film,” tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. “Warna polaroid terlalu intens, terlalu dramatis. Terkesan tak nyata. Lucas Samara mempercayai fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji‐imaji fantastis.”
“Maksudmu?”
“Intinya, Andri,” Jose menepuk bahuku. “Polaroid kerap menipu. Berlebihan. Artifisial.”
“Lalu Warhol dengan kelamin‐kelaminnya?” “Murahan” (hlm. 84—85).
Kehidupan perempuan‐perempuan model bisa saja tidak seindah penampilannya di iklan‐iklan atau sampul majalah. Mereka menjadi sesuatu yang artifisial. Adakalanya, seperti Aileen, mereka harus membangun imej baru untuk menutupi masa lalunya yang mungkin “kelam” untuk ukuran dunia hiburan meskipun di dalam “kekelaman” itu mungkin ada keindahan yang sesungguhnya,
Di dunia hiburan semua orang diharapkan lahir dengan jubah perak, seperti kertas alumunium berkilap‐kilap; tak akan terlepas meski ditanggalkan. Jubah orang‐orang rupawan ini menjadikan mereka bagian dari hidup yang selalu dibicarakan sekaligus mengisolasi mereka di langit. Mereka harus disalib di tengah taburan bintang agar tidak kehilangan kemilau (hlm. 83).
Dalam skala yang lebih luas, cerpen ini tidak sakadar menyajikan realitas keperempuanan, khususnya di dunia hiburan, tapi sekaligus kritik. Di satu sisi ia memperlihatkan ketertindasan perempuan; perempuan sebagai objek dan komoditas.
Di sisi lain ia juga menyajikan keberterimaan perempuan yang tanpa perlawanan atas ketertindasan tersebut; segala kepalsuan di dalam dunia hiburan seolah‐olah diterima begitu saja oleh perempuan karena hanya dengan begitulah perempuan dapat bertahan hidup.
Perempuan “Terselubung,” Diabaikan, dan Bertindak dalam Cerpen “Sang Ratu”
yang menilai kelaki‐lakiannya berdasarkan hal‐hal yang berkaitan dengan harta, tahta, dan wanita,
Sebelum terpenjara dalam jeruji perkawinannya, Herjuno adalah petualang cinta. Sebagai laki‐laki masa lalu, ia masih mengagungkan nilai‐ nilai lelaki feodal sejati. Menurutnya atribut ksatria modern adalah uang orang tua (sebagai ganti tanah warisan) yang bisa digunakan untuk memulai perusahaan kecil, mobil terbaru (sebagai ganti kuda gagah), dan perempuan‐perempuan langsing berkorset (sebagai ganti dara‐dara berstagen) (hlm. 132).
Bagi Herjuno yang womanizer, perkawinan adalah semacam belenggu atas kebebasannya “berpetualang.” Perkawinannya terasa sebagai penjara karena Herjuno terpaksa menikahi perempuan yang dihamilinya di luar nikah, dan perempuan yang demikian sebenarnya tidak sesuai dengan perempuan ideal menurut Herjuno,
Seumur hidupnya Herjuno mengenal dua jenis perempuan yang senantiasa dipacarinya pada saat yang bersamaan: yang perawan dan yang tidak. Baginya sudah jelas, perempuan non‐perawan adalah untuk bermain‐main. Sementara itu ia menghabiskan waktunya untuk menguji para perawan. Jika dalam masa pacaran mereka “menyerahkan kesucian untuknnya” (ini istilah favorit Herjuno—kuno sekali untuk abad 21, bukan?), itu berarti mereka tidak lulus ujian, tidak tahan godaan, dan tidak layak dijadikan istri. (hlm. 132).
“Jangan main‐main dengan (ke)perawan(an),” mungkin hal itulah yang tersirat dari
bagian ini. Herjuno telah bermain‐main dengan perempuan (tidak perawan maupun perawan), ia pun harus menikahi perempuan yang dihamilinya. Di satu sisi hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi Herjuno, tapi di sisi lain mendatangkan berkah karena
menjadikan Herjuno dapat mengenyam kehidupan yang lebih baik. Di dalam cerpen ini, perempuan sebagai rekan atau pendukung laki‐laki dalam meraih keberhasilan diperkuat pada subplot yang mengisahkan hubungan antara Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati. Subplot ini muncul berkaitan dengan usaha Herjuno untuk menafsirkan mimpinya. Ia pergi ke paranormal—bernama Ki Joko Kuncoro—dan mendapat penjelasan bahwa “mimpi Herjuno bukanlah sembarang mimpi. Perempuan cantik dalam mimpinya bukanlah perempuan biasa, melainkan Ratu Pantai Selatan. Bertemu dengannya bisa punya makna ganda: keberuntungan atau kehancuran.” (hlm. 136). Lebih lanjut, Ki Joko Kuncoro menyarankan Herjuno untuk mencari titisan Ratu Kidul dan “Jika kau bisa memegangi pelananya, ia akan membawamu ke tempat yang tak pernah kaubayangkan” (hlm. 139); menaklukkan Ratu Kidul berarti mendapatkan kekuasaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Herjuno pun mulai memerhatikan setiap perempuan yang ditemuinya sambil menerka‐nerka apakah perempuan itu titisan Ratu Kidul. Pencarian Herjuno pun berakhir pada seorang perempuan,
Perempuan itu bercelana panjang hitam dan berjaket kulit hitam ketat. Tubuhnya langsing namun kokoh. Ia mirip seekor kalajengking. Mewah, berkilat‐kilat, menakutkan. Pelupuk matanya disapu warna kelabu kehitaman, membuat sepasang mata indahnya seperti mata kucing yang menyala‐nyala di kegelapan. Ketika ia bicara, suaranya sekental Bloody Mary (hlm. 14).
Herjuno terbuai oleh keindahan fisik perempuan itu. Hal ini membawanya ke jalan pengkhianatan atas istrinya. Ia tidak menyadari bahwa ia sedang bermain‐main
dengan api yang sesungguhnya karena ia hanya melihat penampakan luar. Herjuno tidak menyadari bahwa titisan Ratu Kidul yang dicarinya selama ini sebenarnya tidak jauh darinya—Dewi. Dewi adalah ibu rumah tangga yang baik dan bukan tipe perempuan yang bertingkah macam‐macam: “Anak mereka lahir tujuh bulan sesudah perkawinan meriah itu. Sejak saat itu, Dewi Wulandari, S.E. menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Mengurus bayi, menyusuinya sampai dua tahun” (hlm. 133). Lebih lanjut,
suka ke kafe atau klub. Ponselnya pun jarang berbunyi karena ia tak punya banyak teman (hlm. 144—145).
Pada bagian ini lagi‐lagi berlaku falogosentrisme. Seorang ibu rumah tangga yang baik yang begitu mementingkan anaknya dan tidak suka neko‐neko dianggap membosankan oleh laki‐laki. Sebagai perempuan, Dewi tidak terlalu menggembar‐gemborkan eksistensinya dengan melibatkan diri dalam kegiatan publik. Ia lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik. Pilihan yang seperti ini pun medapatkan penilaian negatif dari laki‐laki; pilihan perempuan meskipun tidak mendatangkan kerugian dan bahkan menguntungkan laki‐laki ternyata tidak sepenuhnya bebas nilai (patriarkhi). Di sini pun lagi‐lagi penampakan luar mendapat porsi pertama dan utama dan menetapkan penilaian. Herjuno dan Gus tidak melihat sesuatu di balik sosok Dewi. Hal ini terungkap pada bagian akhir cerpen,
Ia menutupi tangan kanannya dengan tangan kiri. Kulihat darah menyembul dari genggaman tangannya dan mengalir cair ke bawah, membasahi karpet.
Herjuno pingsan. Ketika tangannya terkulai, aku melihat jari tengahnya hilang.
Saat itu juga, aku menyadari kehadiran orang lain di kamar itu. Perempuan itu. Ia memotong jari Herjuno.
...
Dia perempuan biasa yang pernah kujumpai saat makan malam di meja. Dia Dewi, istri Herjuno.
Perempuan itu sempat mematung menatapku. Tiba‐tiba kusadari ia tengah membawa rantai yang diikatkan pada seekor makhluk besar menakutkan. Kalajengking raksasa. Perempuan itu, ya.
Mereka dedemit yang bahu‐membahu. Persaudaraan perempuan‐ perempuan halus yang tak terpecahkan.
Sang Ratu dan kalajengkingnya lantas terbang melalui jendela, menghilang (hlm. 148—149).
Arjuna dalam dunia pewayangan. Arjuna adalah sosok yang dikenal sebagai lanangane jagad, lelakinya dunia, karena ia memiliki begitu banyak istri dan dicintai banyak
perempuan. Hanya saja, Arjuna di dalam cerpen ini kehilangan kelaki‐lakiannya karena dikastrasi oleh perempuan. Oleh karena itu, predikat lanangane jagad pun secara otomatis runtuh dan menjadikan dirinya tidak berarti bagi perempuan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gus, “Aku sempat bertanya‐tanya mengapa Herjuno masih dibiarkan hidup sampai sekarang. Mengapa hanya jari tengah dan bukannya nyawa ... Tapi kemudian kusadari bahwa Herjuno tidak cukup berarti bagi Ratu Kidul untuk mendapatkan anugerah itu: hidup sebagai bayang‐bayang tanpa akhir” (hlm. 150). Pada bagian tersebut semakin terasa kuat adanya “perempuan yang bertindak.” Tindakan ini berupa usaha untuk meruntuhkan dominasi patriarkhi dengan “cara perempuan.” Maksudnya, perempuan (Dewi/Ratu Kidul) tidak menggunakan “cara laki‐laki” dan membunuh Herjuno, tapi hanya mengambil simbol kelaki‐lakian Herjuno. Ada semacam penegasan bahwa perempuan tampak lemah bukan berarti dia memang lemah—dihadirkan melalui sosok Ratu Kidul yang terselubung oleh Dewi. Hal ini senada dengan pernyataan Ki Joko Kuncoro: perempuan mampu mendatangkan keberuntungan atau kehancuran.23 Perempuan mampu mengambil tindakan yang tidak terduga pada saat‐saat yang paling krusial, perempuan pun sebenarnya memberi penilaian kepada laki‐laki berkaitan dengan pantas‐tidaknya laki‐laki mendapat
penghormatan—Herjuno tidak pantas dihormati karena ia telah mengkhianati perempuan.
Epilog
Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha menghadirkan realitas keperempuanan dari
sendiri dan hidup dalam ruang milik laki‐laki. Sosok Ibu dalam “Pemintal Kegelapan” hadir sebagai perempuan yang terus‐menerus dihantui masa lalunya yang pahit sepanjang hidupnya. Ia mampu menjalani hidup, berkarier, dan menghidupi keluarganya, tapi ada penderitaan yang dipendamnya sendiri sampai menjelang ajal. Ia berusaha menemukan “penyembuhan” dengan cara menceritakan kembali masa lalunya kepada anaknya dan menegaskan kepada dirinya sendiri dan anaknya di akhir cerita bahwa ia adalah Pemintal Kegelapan. Sosok perempuan yang terpinggirkan terlihat jelas pada cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari.” Tokoh perempuan buta di sini berusaha membongkar sistem pakem yang selama ini telah mengisi relung pikiran masyarakat. Ia menceritakan kembali peristiwa‐peristiwa “sebenarnya” di balik dongeng Cinderella. Ia meyakinkan pendengar bahwa tidak ada akhir yang bahagia bagi perempuan, bahkan ketika ia telah menikah dengan seorang pangeran pujaan jutaan perempuan. Perempuan akan selalu tidak dapat menjadi dirinya sendiri, tidak dapat menjalani hidup sesuai dengan keinginannya sepenuhnya, karena ada kewajiban‐kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh budaya patriarkhi. “Penindasan” atas perempuan juga tampak pada cerpen “Misteri Polaroid.” Di sini perempuan tidak lebih daripada keindahan fragmentatif, komoditas yang harus memenuhi permintaan pasar, dan sosok hidup yang “tidak memiliki suara.” Segala bentuk nilai yang melekat pada perempuan ditentukan oleh (budaya) laki‐laki, yang
karena begitu kuatnya hingga membuat perempuan terseret ke dalam arus dan mengamini segala bentuk nilai tersebut. Perempuan sebagai keindahan fisikal kembali tampak dalam cerpen “Sang Ratu.” Hanya saja, perempuan di dalam cerpen ini tidak
berdiam diri, ia bertindak untuk menunjukkan keperempuanannya meskipun tetap dalam permainan halus dan simbolis. Perempuan pun sebenarnya juga memiliki standar nilainya sendiri dalam memandang laki‐laki dan budaya patriarkhi.
kehidupan yang tidak pernah mudah untuk dijalani, kehidupan yang tidak pernah usai menghadirkan luka berkepanjangan, bagaikan hantu perempuan di dalam loteng yang tak kunjung berhenti memintal: Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan.
1
Jan Mukarovsky, “Asthetische Funktion, Norm und ästhetischer Wert als soziale Fakten,”
Mukarovsky 1970, hlm. 7—112 dalam Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, terj. Suminto A. Sayuti (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 31.
2
Istilah ini berasal dari Roman Ingarden dan diperkenalkan secara luas oleh Felix Vodicka. Menurut Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, tetapi sekaligus memiliki kemandirian terhadap kenyataan, bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambaran dunia yang sesungguhnya. Setiap karya sastra mengandung
unbestimmtheitsstellen atau tempat‐tempat kosong yang pengisiannya terserah pembaca; Teeuw,
Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 190—191; cf. Iser, “Teks‐teks fiksi tidak identik dengan situasi nyata. Teks‐teks itu tidak memiliki pasangan (counterpart) yang pasti dalam kenyataan. Dalam hal ini, teks‐teks tersebut hampir bisa dikatakan tidak bertempat, di luar substrata historis yang menyertainya. Namun, sebenarnya keterbukaan inilah yang menyebabkan teks‐teks itu mampu membentuk berbagi situasi yang dilengkapi oleh pembaca dalam bacaan‐bacaan pribadinya. Keterbukaan teks fiksi bisa ditiadakan hanya dalam tindakan pembacaan;” Wolfgang Iser,
Die Apellstruktur der Texte: Unbestimmtheit als Wirkungsbedingung literarischer Prosa (Konstanz: Universitätsverlag, 1970) dalam D.W. Fokkema dan Elrud Kunne Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh,
terj. J. Praptadiharja dan Kepler Silaban, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 185. 3 Mengacu pada pendapat Culler, istilah kompetensi kesastraan atau
literary competence dapat dipahami sebagai “set of conventions of reading literary texts” (perangkat konvensi untuk membaca teks sastra). Melalui kemampuan sistem konvensi itu kita merebut makna karya sastra, yang disebut
naturalization, mengembalikan yang aneh pada yang wajar; Teeuw, ibid., hlm. 103—104, mengutip Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and The Study of Literature (London: Routledge and Kegan Paul, 1975). Secara lebih luas, horison harapan bergantung pada statistik personal tentang seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, agama, sikap dan norma pembaca, kompetensi sastra dan linguistiknya, pengalaman analisisnya, luas‐sempitnya keakraban dengan pengirim dan sarana, serta situasi resepsi pembaca; Wolfgang Gast, “Text und Leser im Feld der Massenkommunikation: Űberlegungen zur Wirkungsanalyse von Unterhaltungsliteratur,” Wirkendes Wort 25, 2:108—128, 1975 dalam Segers, op.cit., hlm. 42.
4 Hans Robert Jauss,
Toward An Aesthetic of Reception (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1983), hlm. 24. Objektivitas horison harapan disusun melalui tiga kriteria, yaitu pertama, aturan yang terkenal yang berkaitan erat dengan teks yang dibaca pembaca, kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap keseluruhan teks yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, kontras antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang “sempit” dan cakrawala pengetahuan hidupnya yang “luas.”
5 Gadis Arivia,
Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. x. Falogosentrisme adalah gabungan dari falosentrisme dan logosentrisme, suatu istilah yang diajukan oleh Jacques Derrida dalam gagasan‐gagasannya yang kemudian dikenal dengan sebutan dekonstruksi. Logosentrisme adalah suatu ideologi yang memperioritaskan kestabilan makna. Dalam sejarah pemikiran Barat, logosentrisme didukung oleh keyakinan pada rasionalitas manusia (Descartes) dan oleh penekanan pada bahasa lisan daripada bahasa tulisan (Saussure). Keinginan untuk mengontrol makna dan stabilitas itu, menurut Derrida berbarengan dengan orientasi yang falosentris, yang mengedepankan perspektif laki‐laki atas perempuan. Jadi, falogosentrisme adalah suatu pola pikiran dan bahasa dalam sistem patriarkhi; Melani Budianta, “Pendekatan Feminis terhadap Wacana,” Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002), hlm. 208.
6 Jack Tresidder,
The Complete Dictionary of Symbols in Myth, Art and Literature (London:
Duncan Baird Publisher, 2004), hlm. 291.
11 Freud menemukan fakta bahwa manakala pasien menjadi dekat dengan akar
permasalahannya, resistensi pun terjadi; Ruth Berry, Seri Siapa Dia? Freud, terj. Frans Kowa (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 28.
12
Ibid., hlm. 21.
13 Metode asosiasi bebas pertama kali digunakan Freud setelah ia menyadari bahwa dengan
munculnya hal‐hal yang amat penting. Oleh karena itu, Freud kemudian membiasakan diri meminta pasien mengatakan semua yang terlintas di benaknya; Max Milner, Freud dan Interpretasi Sastra, terj. Apsanti Djokosujatno, Sri Widaningsih, dan Laksmi (Jakarta: Intermasa, 1992), hlm. 10.
Istilah intertekstualitas pertama kali digunakan oleh Julia Kristeva dalam tulisannya “Word, Dialog, and Novel” yang ditulis pada tahun 1966 dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1967, yang pada dasarnya merupakan pengembangan terhadap pemikiran Mikhail Bakhtin; dapat dilihat pada Michael Worton dan Judith Still (ed.), Intertextualiy: Theories and Practices (Manchester/New York: Manchester University Press, 1993), hlm. 1, 16, dan 33. Kristeva menyatakan, “... any text is contructed as mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another” (setiap teks dibangun sebagai mosaik kutipan‐kutipan; setiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks lain); Julia Kristeva, “Word, Dialog, and Novel,” Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, Leon S. Roudiez (ed.) (New York: Columbia University Press, 1980), hlm. 66. Untuk selanjutnya, istilah intertekstualitas mengalami perkembangan. Pada awalnya, intertekstualitas, yang berasal dari bahasa Prancis intertextualité hanya mengacu kepada hubungan antara sebuah teks dengan teks lain dalam pengertian harafiah, bukan dengan pengaruh seorang pengarang kepada pengarang lain atau segala sesuatu yang menjadi sumber penciptaan sebuah karya sastra. Tetapi, dalam perkembangannya, istilah intertekstualitas mengacu kepada hubungan antara sebuah teks dengan teks lain dalam pengertian yang lebih luas.
17 Michael Riffaterre,
Semiotics of Poetry (Bloomington: Indiana University Press, 1978), hlm.149.
18
Ibid., hlm. 124.
19 Dalam sebuah tulisannya, Simone de Beauvoir menyatakan bahwa sepanjang sejarah,
perempuan sulit tampak menonjol dalam berbagai bidang profesi. Bahkan, dalam profesi kepenulisan sastra pun perempuan sangat sulit menghasilkan tulisan‐tulisan yang baik. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan perempuan di dalam rumah tangga. Meskipun mereka mungkin memiliki banyak waktu luang di rumah, mereka terikat oleh berbagai bentuk pekerjaan domestik. Mereka harus memikirkan dan melibatkan diri dengan banyak hal di luar karirnya. Mereka harus membagi waktu antara kehidupan profesional dan kehidupan rumah tangga; Simone de Beauvoir, “Perempuan dan Kreativitas,” Hidup Matinya Sang Pengarang, terj. Haniah, Toeti Heraty (ed.) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 91—117.
20
Pelabelan “Liyan” atau the other pada seseorang atau kelompok tertentu biasanya didasarkan pada pola pikir dikotomis seperti baik‐buruk, normal‐abnormal, biasa‐tidak biasa. Pelabelan semacam ini tentu tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa yang berlaku waktu itu; pemegang kuasa “berhak” memberikan kepada pihak‐pihak yang “tidak memiliki kuasa.” Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Cixous, perempuan eksis dalam dunia yang telah didefinisikan oleh laki‐laki dalam aturan‐ aturan yang telah ditetapkan oleh laki‐laki. Laki‐laki kemudian menjadi self dan perempuan menjadi
other. Menurut Lacan, perempuan selalu menjadi Liyan. Pendiskriminasian terhadap perempuan terjadi karena ada keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa, ada simbol‐simbol dalam
the law of the father yang tidak mereka mengerti karena simbol‐simbol tersebut dikomunikasikan lewat bahasa maskulin; Arivia, op.cit., hlm. 6, 129, dan 203.
21 Pernyataan perempuan buta ini senada dengan pemikiran Gayatri Spivak, “
Can the subaltern speak?” Subaltern di sini dapat dipahami sebagai pihak inferior. Istilah ini pertama kali diadopsi oleh
Antonio Gramsci untuk mengacu pada kelompok‐kelompok di dalam masyarakat yang berkedudukan sebagai objek hegemoni; Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, Key Concept in Post‐colonial Studies (London & New York: Routledge, 1998), hlm. 215.
22
Menurut Freud, bila seseorang (laki‐laki) tidak memiliki penis, ia tidak hanya merasakannya sebagai suatu perbedaan seks, melainkan juga sebagai kehilangan; Milner, op.cit., hlm. 180.
23 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tradisi sastra dunia juga tampak adanya “dua sisi”