• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DIPLOMATIK and HUBUNGAN INTERNASIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM DIPLOMATIK and HUBUNGAN INTERNASIO"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS HUKUM DIPLOMATIK & HUBUNGAN INTERNASIONAL

KEKEBALAN

DIPLOMATIK

Dalam Hukum Internasional

Oleh

MUHAMMAD SANTIAGO PAWE

(2)

2

Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat

dan karunianyalah sehingga diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menyelesaikan

makalah Hak Kekebalan Diplomatik dan Konsuler sebagai suatu bentuk tugas pada mata

kuliah Hukum Diplomtih dan Hubungan Internasional pada semester genap kali ini. Semoga

dengan terselesikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian terhadap mata kuliah dan

semoga dapat menjadi sarana berbagi ilmu kepada para pembaca dari makalah ini. Kritik dan

saran akan membangun demi kemajuan makalah ini sangat diharapkan. Semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan.

Makassar, 26 Maret 2016

(3)

3 Daftar Isi

Kata Pengantar 2

BAB I Pendahuluan 4

BAB II Landasan Teori 7

BAB III Metode Penelitian 11

BAB IV Pembahasan 13

BAB V Penutup 23

(4)

4 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semenjak lahirnya Negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip

hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya satu sama

lain Negara-negara mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Negara lain dalam

rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing di samping

mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama.

Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam pendekatan dan berunding dengan Negara

lain untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh

para diplomat. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, Negara-negara saling mengirim

wakilnya ke ibu kota Negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentinga

bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalah pahaman ataupun menghindari

terjadinya sengketa.

Sampai denga tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan

diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut

dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum

tertulis. Pada tahun 1954 komisi hukum internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum

PBB mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatic da sebelum

akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk

menyelenggarakan suatu konferensi internasional untuk membahas masalah-masalah dan

kekebalan-kekebalan diplomatik. Konferensi tersebut dengan nama The United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities yang melahirkan konvensi wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatic Relations) pada tanggal 18 April

1961.1

Diplomat sebagai perwakilan dari negara pengirim (sending state) di negara penerima

(receiving state) mempunyai tugas dan misi yang sangatlah berat, bahkan sering disebut

mengemban misi yang suci (sancti habentur legati). Untuk menunjang kelancaran dan

efisiensi dalam menjalankan misinya, para agent diplomat secara keseluruhan diberikan hak

1

(5)

5

kekebalan dan keisitimewaan. Kekebalan dan keistimewaan tidak hanya diberikan kepada

Kepala-kepala perwakilan seperti Duta Besar (Ambassadors), Duta (Envoys) atau Kuasa

Usaha (Charge D’affaires), tetapi juga oleh anggota keluarganya yang tinggal bersama dia,

termasuk para diplomat lainnya yang menjadi anggota perwakilan (seperti Counsellor, para Sekretaris, Atase dan sebagainya) dan (kadang-kadang dalam keadaan yang jarang sekali)

oleh para staff administrasi dari perwakilan dan “staff pembantu lainnya” (juru masak, sopir,

pelayan, penjaga, dan lainnya yang serupa).2

Latar belakang timbulnya hak kekebalan dan keisitimewaan diplomatik tidak terlepas dari

sejarah perkembangan perwakilan diplomatik itu sendiri, perlu diketahui bahwa status dari

perwakilan diplomatik telah mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa pada zaman kuno. Hal

ini dapat kita lihat dalam pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan-hubungan

diplomatik (Diplomatic Relations) bahwa : . . peoples of all nations from ancient time have recognized the status of diplomatic agents.3 Pada masa Yunani kuno, gangguan terhadap seorang Duta Besar dianggap merupakan pelanggaran yang paling berat. Demikian pula di

zaman Romawi, para penulis telah sepakat mengenai anggapan bahwa terjadinya cidera

terhadap seorang wakil dari negara pada hakikatnya merupakan pelanggaran secara sengaja

terhadap jus gentium.4

Dalam abad ke-16 dan 17, pada waktu pertukaran Duta-duta besar secara permanen antar

negara-negara di Eropa sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keisitimewaan diplomatik

telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum

internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan

atau pengkhianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang Duta Besar dapat diusir

namun tidak dapat ditangkap dan diadili.5

Sebelum tahun 1960-an hamper tidak ada permasalahan mengenai perlindungan terhadap

para diplomat. Namun sesudah itu keadaan berubah secara dramatis. Hubungan diplomatik

anta Negara selanjutnya sering ditandai oleh tindakan-tindakan penculikan, pembunuhan,

serangna terhadap pejabat-pejabat diplomatic seperti juga gangguan terhadap misi-misi

diplomatic. Dalam beberapa hal diplomat juga dijadikan sasaran karena statusnya sebagai

wakil dari Negara-negara dengan kebijakan-kebijakan tertentu atau sebagai tekanan terhadap

2

Lihat Gutteridge dalam Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 52.

3

Pembukaan, Vienna convention on diplomatic, 1961.

4

Lihat Phillipson dalam Sumaryo Suryokusumo, Loc.Cit.

5

(6)

6

pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan politk tertentu ataupun juga untuk merusak

kredibilitas pemerintah yang sah.

1.2Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah kekebalan diplomatik dalam hukum nternasional ?

b. Bagaimanakah contoh kasus pelanggaran kekebalan diplomatik ?

1.3Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui kekebalan diplomatik dalam hukum internasional

b. Untuk mengetahui contoh kasus pelanggaran kekebalan diplomatic

1.4Manfaat Penulisan

a. Menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum

internasional.

b. Menjadi sumber referensi bagi penulis dalam memeperluas wawasan dan

(7)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Teori Ekstrateritorialitas

Menurut teori ini seorang pejabat diplomatic dianggap seolah-olah tidak meniggalkan

negaranya, berada di luar wilayah Negara akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar

negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya di sana. Demikian juga halnya gedung perwakilan,

jadi pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan itu disebabkan faktor

ekstrateritorialitas tersebut.

Oleh kerana seorang diplomat itu dianggap tetap berada di negerinya maka

ketentuan-ketentuan Negara penerima tidak berlaku padanya. Memang benar peraturan

perundang-undangan suatu Negara tidak berlaku terhadap warga negara asing yang tinggal I negaranaya

masing-masing.6

Pada abad ke-16 dan 17 teori exterritoriality ini sangat menonjol dipergunakan bagi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, di mana wakil diplomatik dianggap

bukan sebagai subyek hukum negara penerima.7 Sebagai konsekuensi daripada prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat diterima karena sukar untuk menyesuaikan diri dengan teori

exterritorialty ini. Terbukti dalam hal peraturan lalu lintas jalan raya misalnya, dalam praktiknya sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat diplomatik itu harus tunduk

pada peraturan lalu lintas negara setempat. Walaupun dalam negara penerima seseorang mesti

berjalan di sebelah kanan, dan peraturan lalu lintas di negara si diplomat mengaharuskan

berjalan di sebelah kiri, maka diplomat itu pun harus mengikuti aturan lalu lintas negara

setempat, jika tidak ia sendiri akan merasakan akibatnya, misalnya mengalami tabrakan.8

2.1.2 Teori Repersentatif

Menurut teori ini baik pejabat diplomatic maupun perwakilan diplomatic mewakili

negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasistas itulah pejabat negara dan

perwakilan diplomatic asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan di negara

6

Ibid Hlm 547 7

Castel J.G., International Law, dalam Syahmin AK, Op.Cit. hal. 70

8

(8)

8

penerima. Memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan kepada pejabat-pejabat

diplomatic asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim,

kebesaran, kedaulatan serta kepala negaranya.

Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana negara penerima memberikan

semua hak, kebebasan dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan

terhadap raja itu sendiri. 9 Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang berbunyi

Par im parem habet imperium”10, maksudnya suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya. Berkaitan dengan adagium

ini, jika seorang agen diplomatik dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya

(sending state), maka ia kebal atau tidak dapat diberlakukan hukum dan jurisdiksi dari negara

yang menerimanya (receiving state). Sehingga dalam teori sifat seorang diplomat sebagai

simbol negara, pada hakekatnya pejabat diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang

kepala negara atau negara pengirim yang bersangkutan.

2.1.3 Teori Kebutuhan Fungional

Menurut teori ini hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik

hanya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatic tersebut

dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada

kepentingan fungsi terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga

daoat diciptakan eseimbangan antara kebutuan negara pengiri dan hak-hak negara penerima.

Teori ini kemudian didukung oleh konvensi wina 1961. Pembukaan konvensi tersebut

dengan jelas menyatakan “tujuan hak-hak itimewa dan kekebalan-kekebalan terebut bukan untuk menguntungkan orang perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan yang efisiesn

fungsi-fungsi misi diplomatic sebagai wakil negara”.11 Sir Gerald Fitzmaurice, reporter khusus yang ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional untuk merumuskan rancangan

Konvensi wina 1961 menyadari bahwa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya ia beranggapan bahwa exterritoriality theory tidak akan mendekatkan penyelidikan., demikian pula tanggapan dari anggota-anggota lainnya yang bahkan

mengkritik yang cukup tajam. Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut, Komisi

9

Ibid 10

F Ijswara, 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, dalam Syahmin AK, Ibid. hal 71.

(9)

9

Hukum Internasional kemudian membatasi diri memberikan tanggapan terhadap rancangan

pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ikatan:

a. Di antara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan

pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan

diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung

exterritoriality theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan

representative character theory yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan

negara pengirim

b. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang

kecenderungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-tugasnya.

c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini dalam

menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat memberikan

keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat perwakilan

dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya sendiri.12

2.2 Landasan Yuridis

Didalam perkembangan pergaulan internasional dirasakan perlu dibuat konvensi

internasional, yang merupakan dasar hukum tertulis yang umumnya dapat digunakan oleh

semua negara secara timbale balik.Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi Wina

1961 tentang hubungan diplomatik.Dengan demikian masalah hubungan diplomatik tersebut

tidak hanya menurut hukum kebiasaan namun terdapat hukum secara tertulis.

Ketentuan-ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan pun tidak terlepas masuk dalam hasil

12Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.), 1958, Vol. II

(10)

10

konvensi Wina 1961, dimana dapat kita jumpai dalam pasal 22 sampai pasal 31, hal mana

dapat dapat diklasifikasi dalam :

1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan

beserta arsip-arsip, kita jumpai dalam pasal 22,24, dan30.

2. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau

pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 25, 26, dan27.

3. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil

diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 29 dan31.

Selain dari pada Konvensi Wina 1961 juga telah dilakukan pembagian tentang kekebalan dan

keistimewaan diplomatik oleh Law Commision, dalam 3 hal yang pokok :

1. Immunities relating to the premises of the mission and to its archives 2. Those concerning the work of the mission

3. Personal immunities and privileges of the envoy6

Mengenai hak-hak diplomatik itu sendiri bukanlah dari hukum internasional itu sendiri

melainkan dari hukum kebiasaan internasional.seperti pendapat dari Oppenheim:

The privileges which according to International Law, once preserved by envoy are not rights given to them by International La, but rights given by Municipal law of receiving states in compliance with an international right belonging to their home states. However, as right are accorded to the by Municipal Law, the distinctions is without substantial significance.”13

13

(11)

11 BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Jenis Metode Penulisan

Jenis penulisan ini adalah yuridis normative, yakni didefinisikan sebagai suatu

procedural penulisan ilmiah demi menemukan fakta atas logika keilmuan hukum yaitu

berdasarkan norma-norma. Dalam penelitian ini penulis menelaah bahan hukum atau data

baik primer maupun sekunder untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penulisan.

3.2 Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dlaam penelitian ini adalah data sekunder sebagai data

utama, yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer yakni norma-norma hukum meliputi :

a. Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubunga diplomatic

b. Konvensi Wina tahun 1963 tentang hubungan konsuler

2. Bahan hukum sekunder yakni literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan

yang dikaji yang berasal dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel dan makalah, pendapat

ahli dari segi kepustakaan, serta internet.

3. Bahan hukum tersier berupa kamus, yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia dan

berbagai kamus lain yang dibutuhkan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data melalui metode literature research, undang-undang,

buku-buku, makalah, artiker dalam editorial, media massa, serta situs internet yang sesuai dengan

masalah yang dibahas. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumen

dan studi pustaka. Studi dokumen mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan permalasahan dan studi pustaka adalah cara pengumpulan data melalui identifikasi

buku referensi dan media massa seperti Koran, internet serta bahan lain yang relevan denga

permasalahan yang diteliti, serta peratauran perundang-undangan, buku, dan arsip lainnya

sebagaimana yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelaah. Data kemudian diolah

hingga menghasilkan suatu analisis deskriptif.

(12)

12

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diinveritarisasai, diklasifikasi,

dan dianalisis dengan menggunakan yuridis kualitatif, dengan langkah-langkah kategorisasi

dan interpretasi. Analisis yuridis kulaitatif tersebut dilakukan melalui penalaran berdasarka

logika untuk dapat menarik kesimpulan yang logis, sebelum disusun dalam bentuk karya

(13)

13 BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kekebalan Diplomatik dalam Hukum Internasional

Pejabat diplomatic dan misi-misi diplomatic di suatu negara berada dalam suatu

situasi yang khusus. Misi diplomatic tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam

melakukan tugas-tugas resmi di negara penerima. Keadaan khusus ini berakibat diberikannya

kepada pejabat ataupun perwakilan tetap jaminan-jaminan yang memungkinkan atau

mempermudah pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut. Kemudahan-kemudahan ini

diberikan dalam bentuk hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan. Berikut beberapa

penjelasan terkait hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut .

4.1.1 Kekebalan Pribadi

Para pejabat diplomatik tidak boleh diganggu guat dan harus mendapat perlindungan

sepenuhnya dari negara penerima. Perlindungan terhadap para pejabat diplomatic terutama

kepala perwakilan adalah praktek yang telah berlaku semenjak zaman dahulu. Negara-nega

selalu melindungi utusan-utusan asing dari serangan atau gangguan terhadap duta besar yang

dapat merusak hubungan kedua negara dan bahkan dapat berakibat perang.

Dalam pasal 29 Konvensi Wina : Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat,

tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan

negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan

atas diri, kebebasan dari martabatnya. Perlindungan ini juga dilengkapi dengan jaminan

kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima seperti yang disebutkan dalam

pasal 26 Komvensi adalah kewajiban pemerintah di negara akreditasi mengambil semua

tindakan yang diperlukan untuk melindungi pejabat diplomatik dari tindakan kekerasan.14

Seperti juga halnya dengan kantor-kantor perwakilan, terdapat dua aspek kekebalan

yaitu kewajiban negara penerima untuk tidak melakukan hak-hak berdaulat terutama hak-hak

penegakan hukum dan kewajiban memperlakukan pejabat diplomatic dengan hormat dan

14Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore

(14)

14

melindungi mereka dari gangguan orang-orang lain serta gangguan terhadap kebebasan dan

martabat mereka.15

Walaupun para diplomat asing disuatu negara dilindungi oleh norma-norma

internasional yang terjadi biasanya bukan dari para penguasa tuan rumah tetapi dari

tindakan-tindakan teroris atau kelompok radikal yang menimbulkan suasana ketidaktentraman bagi

para diplomat asing yang berada di negara tersebut. Maraknya masalah terorisme ini,

serangan, penculikan atau pembunuhan terhadap para diplomat mengakibatkan timbulnya

upaya-upaya pembuatan pengaturan-pengaturan konvensional mengingat sifat

internasionalnya tindakan-tindakan terorisme tersebut.

Atas upaya tersebut ditandatangani Konvensi Washington DC 2 Februari 1971.

Konvensi tersebut berlaku bagi negara negara benua amerikan (OAS) yang berisikan

ketentuan-ketentuan untuk mencegah dan menghukum tindakan terorisme. Atas desakan

Sekretaris Jenderal PBB, Majelis Umum menerima satu konvensi dengan jangkauan

universal pada tanggal 14 desember 1973, yaitu UN Convention on the prevention and punishment if crimes against internationally protected persons, including diplomatic agents. Sesuai konvensi ini negara tempat pelarian teroris mempunyai kewajiba untuk mengekstradisi

teroris tersebut atau menjatuhkan hukuman kepada mereka.16

4.1.2 Kekebalan Yuridiksional

Diplomat bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalah

kriminal, namun Pasal 32 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bila seorang diplomat

melakukan tindakan kriminal di negara akreditasi tentunya tergantung negara pengirim atau

kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatik. Bila

kekebalan itu ditanggalkan maka tidak ada halangan bagi peradilan negara penerima untuk

mengadilinya. Penanggalan kekebalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas

Akibat paling penting dari tidak boleh diganggu gugatnya seorang diplomat adalah

haknya bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalah-masalah criminal.

Dapatlah dikatakan bahwa kekebalan para diplomat bersifat mutlak dan dalam keadaan

(15)

15

tindakan criminal di negara akreditasi tentunya tergantung dari pemerintah atau kepala

perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatic seorang diplomat.17

Kalau kekebalan tersebut ditanggalkan tentunya tidak ada halangan bagi peradilan

negara oenerima untuk mengadilinya. Bila tidak diadili oleh negara penerima bukan berarti

bahwa diplomat tersebut sama sekali bebas dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi

hukuman oleh peradilan negaranya apalagi hukum pidana kebanyakan negara memberikan

wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum

kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga negaranya di luar negeri.

Bila perbuatan criminal dilakukan seorang diplomat, negara penerima dapat

melaporkan peristiwanya kepada pemerintah negara pengirim dan dalam kasus-kasus yang

serius dapat memintanya kembali pulang dan diadili sesuai peraturan perundang-undangan

negerinya sendiri. Terhadap pelanggaran yang sangat serius misalnya ikut serta berkomplot

untuk menggulingkan pemerintah yang sah.

Namun sudah merupakan prinsip yang berlaku secara umum bahwa pejabat

diplomatic sama sekali tidak dapat dihukum di negara akreditasi untuk perbuatan criminal

yang mungkin dilakukannya. Di samping itu haruslah selalu diingat bahwa kendatipun kebal

dari tuntutan hukum, seorang diplomat untuk kepentingannya sendiri dan untuk nama baik

negerinya harus mematuhi undang-undang dan peraturan setempat dan tidak terdorong dalam

kegiatan-kegiatan yang menjurus pada pelanggaran peraturan-peraturan setempat.

4.1.3 Pembebesan Pajak

Pejabat diplomat bebas dari pungutan pajak yang dilakukan oleh negara penerima,

perkecualian untuk pungutan-pungutan lokal seperti penggunaan listrik air dll. Harta benda

tak bergerak milik pribadi di negara penerima tetap dikenai pajak. Para pejabat diplomatik

tidak membayar pajak di negara akreditasi karena dari segi prinsip, pembayaran pajak

merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak-pajak hanya dipungut oleh

negara terhadap warga - negaranya dan orang-orang asing bukan diplomat yang berdiam di

negara tersebut atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Oleh karena itu, pajak-pajak tidak

dapat dikenakan baik terhadap personil diplomatik maupun terhadap gedung perwakilan,

kecuali pajak-pajak lokal atau pembayaran jasa-jasa yang diberikan kepada perwakilan.

17

(16)

16

Dalam pasal 34 konvnsi wina memang berisikan ketentuan mengenai pembebasan

pajak seperti pajak barang bergerak atau tidak bergerak, pajak pusat, daerah dan kotapraja,

tetapi ketentuan bebas pajak tersebut ditandai dengan banyaknya pengecualian seperti pajak

tidak langsug, harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di negara penerima,

pajak-pajak tanah milik, pajak-pajak atas penghasilan pribadi yang bersumber di negara penerima, biaya

yang dioungut atas jasa khusus dan biaya pendaftaran, oengadilan atau pencatatan.18

Masalah bebas pajak ini termasuk hal peka dalam hubungan diplomatic antar negara

dan bahkan sering dijadikan pertikaian diplomatic dengan negara tuan rumah menyangkut

soal pajak ini.

4.1.4 Hak Istimewa Anggota Pejabat Diplomatik

Hak istimewa dan kekebalan anggota keluarga pejabat diplomatik: Pasal 37 Konvensi

Wina 1961 menegaskan bahwa anggota-anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik

yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan.

Hak dan kekebalan tersebut dibatasi kepada anggota keluarga yang berdiam dengan pejabat

diplomatik yang bersangkutan. 19

Demikianlah pasal 37 konvensi wina dengan jelas menegaskan bahwa

anggota-anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatic yang merupakan bagian rumah tangga,

memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan. Tentunya dengan pengertian bahwa bagian

dari rumah tangga tersebut bukan warga negara penerima.

Adalah suatu hal yang normal bila hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan yang

dimiliki oleh para pejabat diplomatic berlaku juga kepada istri dan anggot-anggota keluarga

mereka. Disepakati bahwa naggota-anggota suatu keluarga dari seorang pejabat diplomatik

juga dapat memliki kekebalan tersebut. Tapi perlu diingat bahwa

kekebalan-kekebalan tersebut harus dibatasi kepada anggota-anggota keluarga yang berdiam dengan

pejabat diplomatic yang bersangkutan.

4.1.5 Hak Istimewa dan Kekebalan Anggota Perwakilan lainnya dan Pembantu Rumah

Tangga

Untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga negara penerima

juga mendapat hak istimewa dan kekebalan. Status kelompok orang-orang tersebut diatur

pada pasal 37 konvensi wina 1961 sebagaimana disebutkan bahwa naggota keluarga pejabat

18

Boer Mauna, Ibid hlm 554 19

(17)

17

diplomatic yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan

kekebalan-kekebalan. Selanjutnya anggota-anggota staf administrasi dan teknik dari

perwakilan bersama anggota-anggota keluarga mereka memperoleh hak-hak istimewa dan

kekebalan-kekbalan kecuali bila kebebasan dari hukum perdata dan tata usaha negara

penerima tidak meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan di luar tugas mereka.

Anggota-anggota staf pemantu perwakilan yang bukan warga neg a setempat

memperoleh kekebalan-kekebalan sehuungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan

dalam rangka tugasnya dan juga bebas dari pungutan dalam pajak-pajak atas pendapatan yang

mereka terima. Mengenai pembantu rumah tangga anggota-anggota perwakilan dibebaskan

dari pungutan pajak juga dapat memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan

sejauh diperbolehkan negara penerima.

Jelas bahwa anggota-anggota staf administrasi dan teknik bersama keluarga mereka

apalagi pembantu-pembantu rumah tangga para staf diplomatic tidak mempunyai hak-hak

istimewa dan kekebalan-kekebalan penuh seperti yg dimiliki oleh anggota-anggota staf

diplomatic beserta keluarga.

4.1.6 Kekebalan Korespondensi

Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing sesuatu

negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan bebas guna

kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan asing tersebut, tanpa

mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan yang

dilakukan oleh negara-negara lainnya.

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan

asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah

hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan

berbagai macam perhubunngan komunikasi. Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara

pejabat diplomatik tersebut dengan pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara

penerima, maupun dengan perwakilan diplomatik asing lainnya. 20

Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa

korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak dapat

20

(18)

18

diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi tersebut

haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi perwakilan dan

fungsinya.

4.1.7 Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik

Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara universal

tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat kerja atau kantor

perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina

1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman

secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961. Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai

suatu hak dari gedung perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat

diplomatik utnuk mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung

perwakilan dan tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu

gugat atau inviolable

4.1.8 Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit.

Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya diberikan.

Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti Belanda dan Perancis

telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan

masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang ditempatkan di negara tersebut.

Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara tegas

dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang berpergian

melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya wajib memberikan

hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya yang diperlukan dalam rangka

menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau kembali. Hak-hak yang sama juga

diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian secara

terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para

diplomat beserta anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga memperoleh

perlindungan khusus dan bebas dari penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat

(19)

19

dengan ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak

mempunyai keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka.21

4.1.9 Perjalanan karena force majeure

Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat hubungan

antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak.

Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam

hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure antara lain adanya pesawat yang

dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison

pada tahun 1971. Pengadilan di inggris menolak untuk memberikan kekebalan terhadap

proses ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja,

pemegang paspor diplomatik, dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu

pemerintah sesuatu negara. Penting pula bahwa diplomat harus diangkat oleh pemerintahnya

yang pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga.22

4.2 Kasus Pelanggaran Kekebalan Diplomatik

4.2.1 Kasus Posisi

Kasus penahanaan duta besar di Italia bermula dengan terjadinya tuduhan

penembakan yang dilakukan marinir Italia yang bernama Salvatore girone dan Missimiliano

Latorre terhadap dua orang nelayan India yang bernama, Ajesh Binki dan Valentine alias

Gelastine, masing-masing warga tamil nadu dan kerala, yang menyebabkan kematian kedua

nelayan India tersebut yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2012. Kematian kedua nelayan

yang dilakukan mariner Italia yang merupakan bagian dari detasemen Perlindungan Kapal

Angkatan Laut Italia di atas kapal tanker minyak MV Enrica Lexie, di Zona Tambahan di

lepas pantai negara bagian Kerala, selatan India. Melihat kedua nelayannya mati akibat

penembakan dari marinir Italia, Pihak India langsung menangkap kedua marinir di kepolisian

setempat.Penembakan dan penangkapan ini memicu perdebatan antara kedua pemerintahan

(20)

20

Mahkamah Agung (MA) India menegaskan bahwa pengadilan negara mereka

memiliki yuridiksi untuk mengadili kedua tersangka, hal sama serupa yang dilakukan

Mahkamah Agung (MA) Italia yang juga bersikukuh bahwa kedua warganegaranya itu harus

diadili di negaranya sendiri dengan alasan insiden terjadi di wilayah perairan internasional.

Sebelum kedua pemerintah Italia dan India menemukan kesepakatan dimana kedua tersangka

akan diadili, Duta Besar (DUBES) Italia untuk India, Daniele Mancini meminta kepada India

untuk memperbolehkan pulang kedua marinirnya tersebut selama empat pekan untuk

melakukan pemilihan umum. Pihak India pun menyepakati permohonan tersebut. Dan

sebelumnya India juga memperbolehkan kedua tersangka marinir tersebut untuk

menghabiskan natalnya bersama keluarganya dikampung halamannya.24

Setelah marinir Italia dipulangkan ke negaranya Italia untuk melakukan pemilihan

umum, Italia mengumumkan kedua marinir mereka tidak dapat diserahkan kembali ke India

sesuai yang sudah dijadwalkan.

Hal ini menimbulkan perenggangan hubungan diplomatik antara pemerintah Italia dan

India.Italia menuding India telah melanggar kasus perairan, dimana insiden terjadi di wilayah

perairan internasional.Italia meminta penyelesaian kasus ini melalui jalur

internasional.namun pihak India membantah dan meminta kepada pihak Italia untuk

menghormati kesepakatan yang telah dilakukan dan mengembalikan kedua tersangka ke India

seperti yang telah dijanjikan. Mahkamah Agung India pun mengangkat tentang penghinaan

pengadilan kepada Duta Besar Italia yang melanggar janjinya terhadap India, yang membuat

India melakukan tindakan pelarang bepergian bagi Duta Besar Italia tanpa persetujuan pihak

India. Keputusan yang dibuat pihak India menurut pihak Italia telah melanggar Hukum

Internasional terkait kekebalan diplomatic.25

4.2.2 Analisis Kasus

Hubungan diplomatik antarnegara-negara didunia harus dijaga, sebab dengan melakukan

hubungan diplomatik mendapatkan keuntungan, seperti mempermudah melakukan kerjasama

dengan negara lain, meningkatkan persahabatan dengan negara lain, dan lain-lain.

1. Penyebab Merenggangnya Hubungan Diplomatik antara Italia dengan India Mengenai

tentang kasus penahanan Duta Besar Italia di India, melihat kasusnya terdapat

beberapa aspek, yaitu:

24

http://jaringnews.com/internasional/asia/37708/larangan-bepergian-dubes-italia-dicabutma- india diakses 26 maret 2016 pukul 20:13 WIB

25

(21)

21

a. Adanya kasus penembakan yang dilakukan kedua marinir Italia yaitu pada saat

melakukan tugasnya menjaga kapal tanker milik Italia yang menembak mati

kedua nelayan India. Hal yang menambah renggangnya hubungan antarnegara ini

adalah ketidaksepakatan tentang dimana akan diadilinya penanganan kasus ini.

Para pihak menyatakan alasannya, Italia menyatakan bahwa kedua marinir

tersebut melakukan penembakan sebagai perlindungan diri dan mengatakan

bahwa nelayan India tersebut bertindak agresif bahkan sudah melakukan

tembakan peringatan, namun pihak India membantah dengan menyatakan bahwa

nelayan India tersebut tidak memiliki senjata dan menyatakan kejadian masih

berada di yuridiksi India sehingga kasus ini harus diadili oleh pengadilan India,

India juga menyatakan pernyataan marinir Italia hanya merupakan dalih untuk

membenarkan diri mereka.

b. Hubungan Diplomatik kedua negara semakin diperburuk dengan adanya

pelanggaran perjanjian yang dilakukan Duta Besar Italia terhadap Mahkamah

Agung India. Kejadian ini terjadi ketika Duta Besar Italia menjamin dirinya dan

melakukan perjanjian kepada pihak India untuk memulangkan sementara waktu

kedua marinir tersebut kembali ke Italia untuk melakukan haknya sebagai warga

Italia dalam melaksanakan pemilihan umum. India memperbolehkan kedua

marinir tersebut pulang kembali ke Italia selama empat pekan dan pemulangan

marinir ini juga pernah dilakukan dimana India memperbolehkan kedua marinir

ini menghabiskan masa-masa natalnya bersama keluarganya di Italia. Namun

ketika waktu dikembalikannya kedua mariner tersebut ke India, Italia menyatakan

tidak akan memulangkan kedua marinirnya dengan alasan kejadian tersebut terjadi

di perairan Internasional sehingga India tidak memiliki yuridiksi dalam mengadili

marinirnya.

c. Pelanggaran perjanjian antara Italia dan India membuat ketegangan terjadi

antarnegara tersebut. Pihak India pun merespon atas pelanggaran perjanjian yang

dilakukan duta besar Italia, India melakukan penahanan terhadap Duta besar Italia

dengan tidak boleh meninggalkan India tanpa persetujuan India sampai kedua

marinir tersebut dikembalikan ke India. India juga melarang Duta Besarnya

Basant Kumar Gupta untuk kembali ke Italia. Tindakan yang dilakukan India

mendapat protes dari Italia yang menyatakan India telah melakukan pelanggaran

(22)

22

State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.” (agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam

bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus

memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang

tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya atau

martabatnya.) India berpendapat bahwa Duta Besar Italia telah menanggalkan

kekebalan dan keistimewaan Diplomatiknya ketika melakukan perjanjian dengan

-India.

2. Aturan Konvensi Wina 1961 yang dilanggar

- Konvensi Wina 1961 pasal 29, yaitu “The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall no beliable to any form of arrest or detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.” (agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan

hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap

serangan terhadap badannya, kebebasannya atau martabatnya.)

- Konvensi Wina 1961 pasal 31 ayat 1, yaitu: “seorang pejabat diplomatik kebal dari

yuridiksi pidana negara penerima.”

- Konvensi Wina 1961 pasal 31 ayat 1, yaitu: “He shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction”

- Konvensi Wina 1961 pasal 32 ayat 1dan 2, yaitu: 1. The immunity from jurisdiction of

diplomatic agents and of persons enjoying immunity under article 37 maybe waived by the sending state Waiver must always be express.

- Konvensi Wina 1961 pasal 41, yaitu tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan

diplomatik mereka, merupakan kewajiban bagi semua orang yang menikmati

kekebalan dan keistimewaan untuk menghormati peraturan-peraturan

perundang-undangan negara penerima. Bahkan mereka juga berkewajiban untuk tidak

(23)

23 BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Pejabat diplomatic dan misi-misi diplomatic di suatu negara berada dalam suatu

situasi yang khusus. Misi diplomatic tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam

melakukan tugas-tugas resmi di negara penerima. Keadaan khusus ini berakibat diberikannya

kepada pejabat ataupun perwakilan tetap jaminan-jaminan yang memungkinkan atau

mempermudah pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut. Kemudahan-kemudahan ini

diberikan dalam bentuk hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan. Berikut beberapa

penjelasan terkait hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut .

5.1.2 Hubungan diplomatik antarnegara-negara didunia harus dijaga, sebab dengan

melakukan hubungan diplomatik mendapatkan keuntungan, seperti mempermudah

melakukan kerjasama dengan negara lain, meningkatkan persahabatan dengan negara lain,

(24)

24

Daftar Pustaka

Boer Mauna ; 2013 ; Hukum Internasional Pengertian PEranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global ; Alumni ; Bandung;

F Ijswara, 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung.

Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore-Booth, Logman, London

and New York, 5th Edision 1979

Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit

Alumni, Bandung,

Oppenheim, L. MA, International Law, A Treaties, vol. I, peace eight edition,

Longmans, green and co Itd, 1958

Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan

Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, 1991

Referensi

Dokumen terkait

Critical Terms for Literary Study .University of Chicago press: Chicag. New York:

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana creative intelligence yang terdiri dari

Newton yang cenderung kuat pada otak kirinya tidak bisa lagi dianggap lebih.. hebat dibanding Picasso, yang kuat pada

- Belanja Mengikat adalah belanja yang harus dipenuhi /tidak bisa dihindari oleh pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja bagi hasil serta

Publikasi dari penulis yang sama dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara menambahkan huruf a, b, atau c dan seterusnya tepat di belakang tahun publikasi (baik

Bagian akhir karya ilmiah terdiri dari daftar pustaka, yang daftar referensinya memakai spasi tunggal dan idensi gantung (jarak antara referensi dengan spasi

Tanda tanya dipakai pada akhir pertanyaan langsung (tidak lazim dalam tulisan ilmiah) atau untuk menunjukkan keragu-raguan dalam suatu penyataan.. Tanda seru hampir tidak

70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya, serta Surat Penetapan Hasil Evaluasi Dokumen Kualifikasi Nomor : 602.1/07/POKJA/SATKER-PN-KTP/KONSULTANSI/V/2014, Tanggal 02 Mei