• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penerapan Kode Etik Jurnalistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Evaluasi Penerapan Kode Etik Jurnalistik"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI MASSA

EVALUASI PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK

DALAM JURNALISME DI INDONESIA

Tugas ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Dosen Pengampu : Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si

Disusun oleh :

FEBY GRACE ADRIANY

147045003

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia saat ini sudah berada pada era dimana kebebasan pers sangat terjamin dan dihargai. Kondisi pers Indonesia jauh lebih maju bila dibandingnya dengan negara-negara tetangga seperti misalnya Malaysia, dimana masih ada kontrol yang sangat ketat dari pemerintah tentang pemberitaan yang dimuat atau disiarkan oleh media massa. Pada prinsipnya pers yang maju idealnya sudah menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme dengan baik dan profesional, karena pers Indonesia dianggap sebagai pilar keempat demokrasi

setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Bahkan bisa dikatakan bahwa pers bahkan mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power.

Namun dalam praktek jurnalisme pers di Indonesia, masih ditemukan kekurangan di sana-sini termasuk pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Banyaknya media massa penyedia informasi jurnalistik membuat tingkat persaingan menjadi semakin tinggi, sehingga kecepatan dan kemasan berita menjadi daya tarik utama, mengingat isi sebagian besar media massa lebih kurang serupa. Namun persaingan yang tinggi akhirnya membuat kerja wartawan meninggalkan aspek-aspek profesionalitas dan etika. Pelanggaran yang dilakukan bisa berupa kesalahan data, narasumber yang tidak kredibel, gambar yang tidak sesuai hingga pemberitaan yang tidak berimbang akibat tekanan politik.

Kebebasan pers bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Ini berarti bahwa kewajiban moril pers dalam memberitakan segala sesuatu yang faktual bukanlah kewajiban moril tanpa batas. Untuk itu pers nasional diharapkan tetap kritis, edukatif, profesional, handal, berwibawa dan bebas dari intervensi negara maupun rongrongan pemilik modal. Pekerja pers di Indonesia pun perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Selain itu pengawasan dari Dewas Pers dan organisasi wartawan juga menjadi kunci bagi pelaksanaan

Kode Etik Jurnalistik di Indonesia. Bila pers Indonesia bekerja profesional dengan kaidah-kaidah yang berlaku, maka otomatis pelaksanaan demokrasi di negara ini pun bisa berjalan

(3)

PEMBAHASAN

1. Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik adalah kumpulan atau himpunan norma atau etika di bidang jurnalistik yang dibuat oleh, dari dan untuk wartawan. Aturan-aturan ini dibuat sebagai kaidah penuntun moral dan etika para wartawan dalam menjalankan profesinya, agar para wartawan tidak bekerja sembarangan dan tetap menghargai serta menghormati hak orang lain.

Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode :

1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik

Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru yang masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan. Pada masa ini belum muncul pemikiran untuk menyusun Kode Etik Jurnalistik, akibatnya pada periode ini pers berjalan tanpa kode etik.

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1

Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, ketika organisasi ini lahir juga belum memiliki kode etik. Saat itu hanya ada semacam konvensi yang dituangkan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.

3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI

Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya. Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik

(4)

oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril, disahkan pada 30 September 1968. Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.

4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2

Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan. Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai Wartawan,

ditegaskan bahwa wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah milik PWI.

5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik

Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi, paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang-Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya, dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000. Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.

Dalam Kode Etik Jurnalistik terkandung sejumlah asas seperti (1) asas demokratis

(5)

dimana wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum sehingga wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.

Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini ditandatangani oleh 29 organisasi pers di Jakarta pada 14 Maret 2006. Dewan Pers menetapkannya melalui Surat Keputusan Nomor 03/SK-DP/III/2006 yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008. Ada 11 pasal dalam Kode Etik Jurnalistik dengan isi lengkap :

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik

perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi;

(6)

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

(7)

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

(8)

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh

organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Karena Kode Etik Jurnalistik dibuat dan disusun oleh komunitas wartawan, maka sanksi yang diberikan berupa sanksi moral atau organisatorial, dengan sanksi terberat adalah pemecatan dari organisasi media tempatnya bekerja. Memang sanksi ini terkesan lebih ringan daripada sanksi yang diperoleh bila melakukan pelanggaran hukum, namun idealnya di negara yang industri medianya lebih maju dan profesional, insan media lebih takut kepada sanksi organisasi. Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap kode etik profesi akan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai wartawan.

Diharapkan nantinya semua wartawan di Indonesia merupakan wartawan yang berpredikat (1) profesional, artinya memiliki kompetensi dalam bidang jurnalistik,

(9)

2. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik

Walaupun sudah memiliki sebuah kode etik bagi profesi wartawan, namun pada prakteknya tak jarang wartawan atau institusi media yang tidak mengindahkan aturan dan norma dalam kode etik jurnalistik. Pelanggaran dilakukan dalam berita-berita yang ditayangkan di televisi, dimuat di media cetak, media online ataupun radio, contohnya :

 Menerima amplop di kalangan wartawan masih menjadi kebiasaan, biasanya pemberi dan penerima berdalih amplop yang diberikan tidak ditujukan untuk mempengaruhi isi pemberitaan, namun hanya untuk menjaga hubungan baik.

Padahal logikanya, bila hubungan baik tercipta, bukan tidak mungkin sang wartawan akan sungkan menulis pemberitaan yang mengkritisi narasumbernya tersebut.

Contoh :

Pemberian amplop kepada wartawan masih marak ditemukan di wilayah Jawa Tengah. Bupati Pekalongan Amat Antono menyatakan bahwa amplop diberikan atas nama pertemanan dan bukan sebagai suap. Amplop biasanya diberikan kepada wartawan yang diundang meliput pada acara-acara Pemerintah Kabupaten Pekalongan dan wartawan diminta mengisi daftar hadir. Dana yang digunakan oleh pemerintah daerah ini berasal dari anggaran daerah bagian Humas dan Protokol. Hal yang sama juga terjadi di Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. ( http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/03/078534312/ganjar-hapus-amplop-wartawan-bupati-malah-cuek)

Praktek pemberian amplop bagi wartawan melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 6

yang berbunyi : “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak

menerima suap”. Pemberian fasilitas baik berupa uang atau barang dikhawatirkan akan mempengaruhi indepedensi dan netralitas wartawan dalam menulis berita.  Masih banyak media yang memuat nama jelas dan foto atau gambar pelaku atau

korban kejahatan di bawah umur tanpa memburamkannya. Padahal sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.

Contoh :

(10)

wajah pelaku dengan jelas tanpa memburamkannya (http://www.kompasiana.com/ ombrill/perlindungan-anak-dalam-paket-berita-tv_55291a2c6ea8345a4d8b459f).

Tindakan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi ”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Dalam tafsirannya, tidak hanya nama ataupun gambar, namun juga identitas lain yang memungkinkan orang lain untuk melacaknya. Selanjutnya menurut Kode Etik Junalistik, anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16

tahun dan belum menikah.

Aturan ini juga diperkuat dalam Standar Program Siaran (SPS), pasal 15 butir 3 yang menyebutkan, “Program siaran yang menampilkan anak dan/ atau remaja dalam peristiwa/ penegakkan hukum wajib disamarkan wajah dan identitasnya”. Secara jelas Pasal 15 butir (3) menyebutkan, anak di bawah umur wajib disamarkan identitasnya.

 Masih banyak wartawan yang tidak paham mengenai „off the record’. Menurut Kode

Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini. Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta.

Contoh :

Seorang wartawan satu harian di Yogyakarta melakukan wawancara dengan narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat, diungkapkan bahwa ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp 5 juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan.

Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan narasumber tersebut kepada wartawan, yang akhirnya memilih jalur hukum untuk menuntut sang

wartawan.

(11)

keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya keterangan off the record harus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the record sepenuhnya menjadi tangung jawab pers yang menyiarkannya.

 Untuk mendapatkan berita yang bagus dan terdepan, tak jarang media juga memuat narasumber atau data yang tidak benar. Padahal dalam pasal 4 Kode Etik Jurnalistik disebutkan “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”.

Contoh :

TV One dilaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers oleh Mabes Polri karena melakukan rekayasa wawancara makelar kasus (markus) yang diduga palsu. Dalam wawancara tersebut TV One menyiarkan wawancara dengan orang yang wajahnya ditutupi topeng yang mengaku sebagai markus selama 12 tahun di lingkungan Mabes Polri. Polisi berhasil menyelidiki oknum markus tersebut yang bernama Andris Ronaldi alias Andis, yang mengaku bersedia tampil sebagai narasumber berdasarkan permintaan dari pihak pembawa acara dalam tayangan itu, Indy Rahmawati, dengan imbalan Rp1,5 juta. Andis sebenarnya berprofesi sebagai tenaga lepas pada bidang media hiburan (http://www.republika.co.id/

berita/breaking-news/hukum/10/05/05/114238-markus-palsu-tiga-karyawan-tv-one-diperiksa).

Selain melanggar Kode Etik Jurnalistik, siaran itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 Ayat 5 huruf a, yang menyebutkan isi siaran dilarang memfitnah, menghasut, dan atau bohong.

Pelanggaran terhadap aturan itu dapat dikenakan ancaman penjara paling lama lima tahun atau denda Rp10 miliar.

(12)

“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk” dimana independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers, sedangkan berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

Contoh :

Dalam Pemilu 2014 nampak jelas bahwa media massa menjadi alat propaganda dalam mendukung atau menjatuhkan pihak lain yang berbeda kepentingan politik.

Secara jelas MetroTV memberikan dukungan pada pasangan calon Joko Widodo – Jusuf Kalla dan TV One mendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Durasi dan arah pemberitaan sangat jelas menyatakan dukungan dan keberpihakan. Padahal keduanya menggunakan frekuensi publik. Frekuensi publik merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ( http://nasional.tempo.co/read/news/2014/03/26/078565564/dewan-pers-minta-bos-media-hormati-kode-etik).

 Dalam pemberitaan, media juga seringkali tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah dalam memuat kasus-kasus hukum. Berita dan judul yang bombastis justru menggiring pembaca atau audiens untuk menghakimi obyek pemberitaan menjadi bersalah, padahal proses hukum belum dilakukan. Idealnya asas praduga tak bersalah harus dijaga sampai ada kepastian hukum tetap.

Contoh :

Dalam kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang, jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Angelina Sondakh sudah terlebih dahulu divonis oleh media sebagai pihak yang bersalah. Bahkan ketika penyidik KPK belum menjadwalkan pemanggilan untuk pemeriksaan kepada Angelina Sondakh, media sudah menulis

bahwa Angelina Sondakh akan segera ditetapkan menjadi tersangka (

http://www.lensaindonesia.com/2011/10/15/angelina-sondakh-terancam-jadi-tersangka.html).

(13)

Pada dasarnya masih sangat banyak pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media massa dalam kegiatan jurnalismenya. Bila disimpulkan pelanggaran yang paling banyak berupa penggunaan sumber imajiner, memuat identitas foto pelaku dan korban anak-anak (biasanya kasus asusila), kurang paham makna „off the record‟, tidak emperhatikan kredibilitas narasumber, melanggar hak properti pribadi, memuat ilustrasi sembarangan, wawancara fiktif, tidak memakai akal sehat (common sense), sumber berita tidak jelas, tidak melayani hak jawab secara benar, membocorkan identitas narasumber.

3. Peran Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perjalanan jurnalisme di Indonesia masih sangat rentan dengan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, antara lain :

a. Faktor ketidaksengajaan

 Tingkat profesionalisme masih belum memadai :

 Tingkat upaya menghindari ketidaktelitian belum memadai  Tidak melakukan pengecekan ulang.

 Tidak memakai akal sehat.

 Kemampuan meramu berita kurang memadai.

 Kemalasan mencari bahan tulisan atau perbandingan.  Pemakaian data lama (out of date) yang tidak diperbarui.  Pemilihan atau pemakaian kata yang kurang tepat.  Tekanan deadline sehingga tanpa sadar terjadi kelalaian.

 Pengetahuan dan pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik memang masih terbatas.

b. Faktor kesengajaan

 Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi sejak awal sudah ada niat yang tidak baik.

 Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik Jurnalistik dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik.  Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau

(14)

 Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan kriminalitas sehingga sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya jurnalistik.

Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor ketidaksengajaan, maka termasuk dalam pelanggaran kategori 2, artinya masih dimungkinkan adanya ruang yang bersifat toleransi. Sehebat-hebatnya satu media pers, bukan tidak mungkin suatu saat secara tidak sengaja atau tidak sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus

seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan kekeliruan atau kesalahannya, pers yang bersangkutan segera memperbaiki diri dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik dengan benar, bahkan kalau perlu dengan meminta maaf.

Sebaliknya, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian pelanggarnya bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya setelah diberitahu atau diperingatkan tentang kekeliruannya. Berbagai macam argumentasi yang tidak relevan sering mereka kemukakan. Hanya setelah mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar dengan tepaksa mau mengikuti aturan yang berlaku.

Pengawasan terhadap pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers. Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers memiliki fungsi :

 Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain  Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers  Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik

 Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers

 Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah

 Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan

 Mendata perusahaan pers

(15)

Kode Etik Jurnalistik tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meskipun demikian terkadang teguran yang disampaikan oleh Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia tidak dihiraukan oleh media massa. Walau sudah mendapat teguran, namun media massa tetap melakukan pelanggaran yang sama. Seperti halnya dalam kasus keberpihakan media massa secara politik terhadap calon-calon tertentu dalam Pemilu 2014 silam. KPI Pusat memberikan teguran kepada 10 stasiun TV swasta karena melanggar Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Surat

Edaran KPI No. 101/K/KPI/01/14 tentang ketentuan butir surat kesepakatan bersama tentang Kepatuhan pada Ketentuan Pelaksanaan Kampanye Pemilu Melalui Media Penyiaran yang ditandatangani oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, KPI, dan Komisi Informasi Pusat. Langkah KPI Pusat menegur dan menjatuhkan sanksi terhadap lembaga penyiaran swasta yang melakukan pelanggaran jelas merupakan langkah yang positif dan konstruktif, namun sepanjang pelaksanaan Pemilu teguran ini tetap dipandang sebelah mata.

Salah satu faktor yang mungkin membuat sulitnya kontrol atas media massa ini adalah kepemilikan korporasi media, dimana satu pemilik bisa mempunyai beberapa jenis media dari berbagai platform, misalnya Harry Tanoesoedibyo sebagai pemilik MNC Group dibawah bendera PT Global Mediacommenguasai 40 persen media di tanah air antara lain media televisi RCTI, Global TV, SindoTV (sekarang Inews), televisi kabel, media radio Sindo Trijaya dan media online Okezone.com. Penguasaan besar atas media ini seringkali membuat pengusaha atau politikus percaya diri dan tidak takut terhadap teguran dari Dewan Pers atau KPI, apalagi keduanya hanya bisa memberikan peringatan.

4. Upaya yang Bisa Dilakukan

Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia hingga saat ini menjalankan tugasnya untuk menjaga kualitas produk-produk jurnalisme dan penyiaran. Hal ini dilakukan

semata-mata untuk menjaga masyarakat Indonesia bisa mendapatkan informasi yang benar, akurat dan beretika dan bertanggungjawab. Namun sayangnya memang dalam pelaksanaannya seringkali teguran yang diberikan oleh Dewan Pers dan KPI tidak diindahkan oleh media karena dianggap tidak akan memberikan sanksi yang berat.

(16)

Dengan adanya tambahan wewenang maka Dewan Pers dan KPI tidak hanya memberikan teguran, mengungkapkan keprihatinan, atau memberi rekomendasi pada Kementerian Kominfo untuk pencabutan hak siar namun bisa memberikan sanksi berat yang diharapkan bisa memberikan efek jera. Oleh karena itu, keberadaan Dewan Pers dan KPI harus ditingkatkan tidak hanya sebagai “watchdog” melainkan sebagai

implementation agency yang memiliki kewenangan menghukum atau menjatuhkan sanksi jika teguran atau aturannya tidak diimplementasikan atau tidak diindahkan. Penambahan wewenang ini hendaknya segera dilakukan dan dimuat dalam aturan-aturan

yang sah di negara ini. Diharapkan dengan penambahan wewenang maka dua institusi ini lebih punya taring dan posisinya lebih dihormati oleh media massa dan wartawan.

(17)

PENUTUP

Kode Etik Jurnalistik merupakan kode etik profesi wartawan yang menjadi panduan wartawan secara etik dalam menjalankan pekerjaan jurnalismenya. Karena dibuat oleh komunitas wartawan, maka sanksi yang diberikan kepada wartawan bila melanggar Kode Etik Junalistik hanyalah sebatas sanksi organisatorial dengan hukuman terberat berupa pemecatan dari medianya bekerja.

Dalam pelaksanaan di Indonesia ternyata masih marak ditemukan

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dan media massa terhadap Kode Etik Jurnalistik, seperti penggunaan sumber imajiner, memuat identitas foto pelaku dan korban anak-anak (biasanya kasus asusila), kurang paham makna „off the record‟, tidak emperhatikan kredibilitas narasumber, melanggar hak properti pribadi, memuat ilustrasi sembarangan, wawancara fiktif, tidak memakai akal sehat (common sense), sumber berita tidak jelas, tidak melayani hak jawab secara benar, membocorkan identitas narasumber. Pelanggaran ini bahkan tidak hanya dilakukan wartawan secara individu, namun kerap ditemukan pelanggaran secara institusi media.

Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia menjadi dua institusi yang berperan mengawasi jalannya Kode Etik Jurnalistik. Namun akibat lemahnya posisi dua lembaga ini, maka yang diberikan kepada media massa atau wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik hanyalah berupa teguran atau rekomendasi pada Kementerian Kominfo terkait hak siar. Minimnya wewenang Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia membuat teguran seringkali tidak diindahkan oleh media massa.

Oleh karena itu dibutuhkan sebuah perubahan substasial pada kewenangan Dewan Pers dan KPI agar lebih memiliki taring dalam mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Kewenangan Dewan Pers dan KPI bisa ditambah sehingga tak hanya memberikan teguran namun juga sanksi berat agar menimbulkan efek jera. Selain itu pembekalan wartawan

mengenai hak dan kewajibannya dalam menjalankan tugas jurnalismenya juga harus terus dilakukan oleh media massa tempatnya bekerja dan organisasi wartawan. Bila kedua hal ini

(18)

DAFTAR REFERENSI

Kode Etik Jurnalistik

Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers

Undang Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

http://frekuensimilikpublik.org/content.php?id=1&title=Apa.Hak.Saya.atas.Penggunaan.Frek uensi.oleh.Industri.TV akses 1 Juni 2015 pukul 14.35

http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86:pelanggaran-pelanggaran-kode-etik-jurnalistik&catid=1:etika-media&Itemid=6 akses akses 1 Juni 2015 pukul 14.40

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/03/078534312/ganjar-hapus-amplop-wartawan-bupati-malah-cuek akses 1 Juni 2015 pukul 13.45

http://www.kompasiana.com/ ombrill/perlindungan-anak-dalam-paket-berita-tv_55291a2c6ea8345a4d8b459f akses 1 Juni 2015 pukul 13.25

http://www.republika.co.id/ berita/breaking-news/hukum/10/05/05/114238-markus-palsu-tiga-karyawan-tv-one-diperiksa akses 1 Juni 2015 pukul 14.02

http://www.lensaindonesia.com/2011/10/15/angelina-sondakh-terancam-jadi-tersangka.html

akses 1 Juni 2015 pukul 13.22

http://theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=14978&type=120#.VZYb9 0bZZul akses 1 Juni 2015 pukul 14.50

Referensi

Dokumen terkait

penerapan kode etik jurnalistik pada kedua wartawan siber sekaligus

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah: Komunikasi Massa, Media Online, Jurnalistik, Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers, Berita,

Tesis yang berjudul PERS LOKAL DAN ETIKA JURNALISTIK (Studi Deskriptif tentang Penerapan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Media Cetak di Kota Solo) ini adalah karya penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan wartawan muslim di harian surat kabar Analisa terhadap kode etik jurnalistik terkhusus pasal 6,

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa wartawan Harian Tribun Timur Makassar sepenuhnya memahami Kode Etik Jurnalistik pasal 6 mengenai penyalahgunaan profesi

Penerapan kode etik jurnalistik berdasarkan pasal 1 wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk yang

Terdapat 11 pasal dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers yang harus dipatuhi, diantaranya adalah pertama, Pasal 1 berisi tentang Wartawan Indonesia bersikap independen,

60 Di dalam sebuah pemberitaan wartawan harus mentaati kode etik jurnalistik untuk tidak memberitakan sesuatu yang bersifat sadis, seperti berita yang menjelaskan dengan detail