BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Ringkasan Case Perpanjangan Kontrak Karya PT.Freeport Indonesia
di Papua
Indonesia merupakan negara yang sangat luas, yaitu 1,904,569 Kilometer.
Dengan bentangan wilayah yang sangat luas tersebut, Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar baik SDA hayati maupun non-hayati. Apabila potensi kekayaan alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal, Indonesia dapat menjadi negara yang makmur, bahkan dapat mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih menjadi angan-angan untuk saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak tepat atau faktor-faktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik Indonesia tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ketika itu membuka pasar yang seluas-luasnya bagi investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya pada masa Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi asetterhadap perusahaan asing yang ada di Indonesia.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan sebuah anak perusahaan dari
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang merupakan salah satu perusahaan
tambang terbesar di dunia dan beroperasi di negara Amerika Serikat. Awal
perjalanan PTFI di Indonesia dimulai sejak tahun 1967 pada masa pemerintahan
wilayah Irian Jaya dengan membangun area tambang di sekitar Papua Barat
dimana didalamnya terkandung bijih besi, tembaga, emas, dan perak.
Saat ini, PTFI menghadapi permasalahan dengan perundang-undangan
pemerintah, yaitu Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) No.4
Tahun 2009 Pasal 170 yang menetapkan kewajiban pemegang Kontrak Karya
perusahaan pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambangan di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU
diundangkan. Hal ini membuat PTFI harus mempertimbangkan dan melakukan
studi kelayakan terhadap pendirian pabrik smelter di dalam negeri. Sedangkan
batas waktu yang ditentukan telah dilanggar oleh PTFI, karena sudah melampaui
7 tahun pada tahun 2016.
Menurut (Kemenperindag 2014), Smelter adalah sebuah fasilitas
pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti
timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapat tingkat yang memenuhi
standar sebagai bahan baku produk akhir. Proses tersbut telah meliputi
pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian.
Menanggapi UU yang dikeluarkan ini, PTFI melakukan kerjasama dengan
perusahaan PI. Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia untuk pembangunan
smelter pengolahan 60 persen konsentrat tembaga hasil penambangan PTFI pada
tahun 2013. Akan tetapi, pembangunan smelter ini diperkirakan tidak dapat tepat
waktu pada tahun 2014 dan baru dapat terealisasi pada tahun 2017.
Penandatangan perjanjian kerjasama dengan kedua perusahaan local tersebut
Selain itu, pada tahun 1996 PTFI telah melakukan patungan dengan perusahaan
Mitsubishi dalam membangun pabrik peleburan tembaga di Gresik. Peleburan 40
persen bijih tembaga telah dilakukan pada PT Smelting yang merupakan pabrik
peleburan di Gresik (Kemenperin, 2013).
Mengetahui hal tersebut Gubernur Papua, Lukas Enembe menolak rencana
PTFI untuk membangun pabrik smelter di Gresik. Hal ini dikarenakan menurut
Lukas, apabila seluruh industri berada di luar Papua, maka Papua tidak dapat maju
dan masyarakat Papua akan terus dilanda kemiskinan dan kebodohan. Lukas
menegaskan apabila PTFI tidak membangun smelter di Papua, maka sebaiknya
PTFI keluar saja dari Papua.
Selain permasalahan smelter ini, PTFI juga menghadapi permasalahan
serius mengenai izin perpanjangan kontrak karya PTFI di Indonesia. Hal ini
dikarenakan umur karir PTFI di Indonesia akan genap berumur 60 tahun pada
tahun 2021 jika dilihat dari tahun operasional PTFI. Sesuai dengan kontrak yang
ditandatangani oleh PTFI, kontrak karya PTFI akan berakhir setelah 30 tahun
dengan perpanjangan satu kali dari waktu operasional perusahaan sehingga karir
PTFI akan berakhir apabila pemerintah tidak menyetujui pengajuan perpanjangan
kontrak karya PTFI yang diajukan oleh PTFI.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa keuntungan yang diberikan PTFI kepada Indonesia?
2. Apa saja solusi yang dapat diterapkan dalam menanggulangi permasalahan
yang timbul dari kegiatan investasi terhadap FDI (Foreign Direct Investment)
3. Apa peranan PTFI dalam meningkatkan tingkat perekonomian di Papua?
4. Apa upaya yang dilakukan oleh PTFI menghadapi permasalahan ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat disimpulkan tujuan dari penelitian
adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui keuntungan yang diberikan PTFI kepada Indonesia.
2) Untuk mengetahui solusi atas pemasalahan yang timbul dari kegiatan
investasi terhadap Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia.
3) Untuk menganalisis pengaruh keberadaan PTFI terhadap tingkat
perekonomian di Papua.
4) Untuk melihat upaya yang dilakukan oleh PTFI menghadapi permasalahan
BAB II
LANDASAN TEORI
Berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah, terdapat beberapa teori
dan penjelasan yang dapat dijabarkan untuk menjawab persoalan yang dihadapi
terkait dengan kasus “Perpanjangan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia di
Papua” dan dampaknya bagi negara Indonesia.
2.1Pengertian Kontrak Karya
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya
dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing Pasal 1 Ayat 1, yang dimaksud dengan Kontrak
Karya adalah:
“perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara.”
Dalam Kontrak Karya ini, yang menjadi subyek adalah Pemerintah Indonesia
dan badan hukum Indonesia. Mengenai jangka waktu berlakunya Kontrak
Karya tersebut bergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan pertambangan. Untuk kegiatan eksploitasi, jangka waktu berlaku
Kontrak Karya adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang.
2.2Teori “The Political and Legal Environments Facing Business”
Menurut (Daniels et al, 2015), pengertian dari political system adalah
activities. The mission of a political system is clear-cut: integrate different groups into a functioning, self-governing society.”
Berdasarkan definisi di atas, sistem politik adalah dimensi struktur dan
dinamika kekuasaan pemerintah yang (1) menentukan lembaga, organisasi,
dan kelompok kepentingan dan (2) menentukan norma-norma dan aturan yang
mengatur kegiatan politik. Misi dari sistem politik adalah jelas:
mengintegrasikan kelompok yang berbeda ke dalam fungsi, masyarakat
pemerintahan sendiri. Sistem politik yang baik seharusnya dapat mendukung
perdamaian dan kemakmuran masyarakat. Apabila sistem politik suatu negara
mengalami kegagalan, maka akan menyebabkan ketidakstabilan,
pemberontakan dan terjadinya disintegrasi antar masyarakat.
2.2.1 Individualisme versus Kolektivisme
Individualisme menekankan kepada prioritas terhadap kebebasan
individu, ekspresi diri, dan kemerdekaan pribadi bahwa setiap individu
memiliki hak asasi tertentu (Daniels et al, 2015). Melindungi kebebasan
individu untuk dapat bertindak seperti yang mereka inginkan tetapi tidak
melanggar kebebasan orang lain merupakan peranan penting pemerintah.
Implikasi hal ini dalam dunia bisnis, yaitu adanya pendekatan Laissez-Faire.
Pendekatan ini menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur dalam
urusan bisnis setiap pemain bisnis, tetapi pasar harus dapat beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip neoliberal dari fundamentalisme pasar bebas.
Sedangkan prinsip neoliberal itu sendiri adalah cara pandang kebijakan yang
negara yang menganut paham ini adalah Spanyol, Jepang, Irlandia, Yunani,
Portugal, dan Amerika Serikat.
Kolektivisme menekankan bahwa kepentingan kelompok, partai,
komunitas, kelas, masyarakat atau bangsa merupakan prioritas dibandingkan
kepentingan individu. Implementasi kolektivisme dalam dunia bisnis
menyatakan bahwa kepemilikan atas aktiva (assets), alokasi sumber daya,
struktur industri, perilaku perusahaan, dan tindakan manajer mengarah kepada
tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota
masyarakat. Keputusan bisnis yang dibuat oleh kelompok dan untuk
kepentingan kelompok juga. Dalam kondisi masyarakat dalam suatu negara
yang menganut adanya kolektivisme memposisikan pemerintah untuk
mengatur pasar dan mempromosikan kesetaraan sosia, hak-hak buruh,
kesetaraan pendapatan, dan demokrasi di tempat kerja dengan tujuan
kesejahteraan bangsa dapat menjadi prioritas di atas kepentingan individu
(Daniels et al, 2015). Contoh negara yang menganut paham ini adalah
Argentina, China, Vietnam, Jepang, Korea Selatan, Mesir, Brazil, Taiwan, dan
Meksiko.
2.2.2 Political Ideology
Ideologi adalah sebuah visi yang terintergrasi. Ideologi politik
menetapkan bagaimana masyarakat harus mengatur dirinya sendiri dan
menguraikan metode untuk dapat digunakan sebagai sarana pendukung
(Daniels et al, 2015). Setiap negara menganut ideologi politik yang
prinsip-prinsip liberal yang menjunjung tinggi nilai kebebasan yang tidak
terbatas dalam pemikiran, agama, keyakinan, politik, dan lainnya. Pluralisme
juga muncul ketika dua atau lebih kelompok berada pada satu negara. Adanya
perbedaan dalam hal bahasa, struktur kelas, latar belakang etnis, warisan suku,
atau agama. Sebuah sistem pluralistik memaksa para pejabat untuk melakukan
negosiasi mengenai kebijakan.
2.2.3 The Legal Environment
Sistem hukum menentukan aturan yang mengatur perilaku, proses
dimana hukum ditegakkan, dan prosedur yang digunakan untuk
menyelesaikan keluhan. sistem hukum berbeda di berbagai negara karena
variasi dalam tradisi, preseden, penggunaan, adat, atau ajaran agama. Setiap
sistem hukum mendukung pembentukan bisnis, mengatur transaksi, dan
menstabilkan hubungan. Sistem hukum modern terbagi menjadi tiga
komponen:
(1) Hukum konstitusi, yang diterjemahkan konstitusi negara menjadi sebuah
sistem terbuka dan hanya hukum, pengaturan kerangka bagi pemerintah
dan mendefinisikan wewenang dan prosedur lembaga politik untuk
membangun hukum.
(2) Hukum pidana, yang melindungi masyarakat dengan menentukan apa
perilaku kriminal, dan resep hukuman bagi mereka yang melanggar
(3) Hukum perdata dan komersial, yang menjamin keadilan dan efisiensi
dalam transaksi bisnis dengan menetapkan hak pribadi dan obat tertentu
untuk mengatur perilaku antara individu.
Sistem Hukum di Indonesia oleh Hans Kelsen diatur dalam UU No.10
Tahun 2004 tentang formulasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah;
2.2.4 Tipe-Tipe Sistem Hukum
Menurut Daniels et al (2015), ada lima tipe sistem hukum di seluruh dunia,
yaitu:
1) Hukum Umum (Common Law)
Hukum umum merupakan sebuah sistem hukum yang bergantung pada
keputusan yang dibuat oleh hakim melalui putusan pengadilan.
2) Hukum Perdata (Civil Law)
Hukum perdata merupakan sebuah sistem hukum yang didasarkan pada
aplikasi hukum perundang-undangan yang ketat.
3) Hukum Teokratis (Theocratic Law)
Sistem hukum teokratis bergantung pada ajaran agama, sila, dan
agama, yang mengatur transaksi bisnis dan hubungan sosial berdasarkan
interpretasi mereka dari kitab suci masing-masing agama.
4) Hukum Adat (Customary Law)
Sistem hukum adat mencerminkan kebijaksanaan pengalaman sehari-hari
atau, lebih formal, abadi warisan spiritual dan pandangan filosofis waktu
dihormati. Sistem hukum ini didasarkan pada norma-norma jangka
panjang.
5) Hukum Campuran (Mixed Law)
Sistem Hukum Campuran merupakan sebuah sistem yang muncul ketika
suatu negara menggunakan dua atau lebih jenis sistem hukum di atas. Hal
ini berarti pluralisme hukum terjadi ketika dua atau lebih sistem hukum
berlaku secara kumulatif atau interaktif.
Gambar 2.1 Peta Sistem Hukum Negara di Dunia Sumber: Daniels et al, 2015
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa negara yang memiliki sistem hukum
fully-mixed adalah Afrika dan Asia. Filipina, Afrika Selatan, dan Guyana
mengikuti sistem hukum campuran antara hukum sipil dan hukum umum.
hukum umum, hukum teokratis, dan hukum adat. Bangladesh, Singapura,
dan Pakistan memiliki campuran antara hukum umum dan hukum
teokratis. Indonesia, Djibouti, dan Oman memiliki sistem hukum
campuran antara hukum teokratis dengan kode sipil.
2.2.5 Legal Issues dalam Bisnis Internasional
Berikut ini adalah isu-isu hukum yang dapat terjadi pada bagian
operasional perusahaan:
a. Starting a Business
Memulai bisnis melibatkan kegiatan seperti mendaftar nama, memilih
struktur pajak yang sesuai, memperoleh lisensi dan izin, mengatur
kredit, dan mengamankan asuransi.
b. Making and enforcing contracts
Setelah perusahaan telah dibangun dan berjalan, perusahaan masuk dan
menegakkan kontrak dengan pembeli dan penjual. Keabsahan kontrak
sangat penting untuk transaksi bisnis. Konvensi PBB tentang Kontrak
untuk Penjualan Barang Internasional menetapkan pedoman untuk
negosiasi dan menegakkan kontrak. Namun, standar bervariasi di
seluruh sistem hukum yang berbeda. Negara yang menggunakan sistem
hukum umum, biasanya memiliki kontrak yang tepat dan terperinci,
sedangkan negara dengan sistem hukum sipil memiliki kontrak atau
c. Hiring and firing local workers
Setiap negara memiliki undang-undang setempat yang mencakup
hampir setiap aspek dari proses perekrutan tenaga kerja mulai dari
bagaimana tenaga kerja lokal negara tersebut dipekerjakan, jumlah yang
seharusnya dibayarkan kepada tenaga kerja, jumlah jam kerja
operasional tenaga kerja, dan ada atau tidaknya persyaratan tertentu
yang dapat menentukan mereka dapat dipecat. Sebagai contoh, negara
Cina yang memberikan fleksibilitas yang paling tinggi dalam
perekrutan dan pemecatan serta kebijaksanaan terbesar dalam
pengaturan kondisi kerja (jam kerja, upah minimum, dan manfaat).
Sebaliknya, pada negara Angola, Belarus, dan Paraguay membatasi
pemecatan karyawan dan memberlakukan pembayaran gaji yang murah
hati.
d. Closing down the business
Menutup bisnis juga melibatkan hukum suatu negara. Di Amerika
Serikat, misalnya, Internal Revenue Service mengharuskan melaporkan
penjualan aset, pembayaran kepada subkontraktor, dan penghentian
rencana pensiun.
Di negara Irlandia, Jepang, Kanada, dan Hong Kong proses penutupan
bisnis dapat dilakukan dengan cepat (antara 4-8 bulan) dan murah
2.3Foreign Direct Investment
Menurut Charles.W.L.Hill (2011), Foreign Direct Investment (FDI) terjadi
ketika sebuah perusahaan melakukan investasi langsung dengan campur
tangan langsung dari pihak investor dalam operasional usaha untuk
memproduksi atau memasarkan produk di negara lain. Ketika sebuah
perusahaan telah melakukan FDI, maka perusahaan tersebut menjadi
perusahaan multinasional. Ada dua bentuk utama dari FDI, yaitu:
1) Greenfield Investment
Investasi yang dilakukan dengan cara mendirikan fasilitas untuk
melakukan kegiatan operasional di negara tertentu. Dengan
menggunakan cara ini, perusahaan-perusahaan investor dapat
melakukan kegiatan operasional secara efisien dan efektif karena
potensi dari tenaga kerja dipilih berdasarkan standar perusahaan
sendiri tidak bergantung pada perusahaan lain yang diakuisisi. Hal ini
akan mempengaruhi produktivitas karyawan dan hubungan kerja
karyawan.
2) Acquisition or Merger
Investasi yang dilakukan dengan melakukan pembelian atau
penggabungan dengan perusahaan yang sudah ada di negara tertentu.
Akuisisi dilakukan apabila perusahaan investor ingin mendapatkan
sumber daya yang cepat dan aman seperti tenaga kerja yang sudah
terkoordinir dengan baik. Dengan membeli sebuah perusahaan,
manajemen tetapi juga organisasi yang memiliki pengalaman dalam
mengkoordinasikan fungsi seperti pengembangan produk dan
penjualan berikutnya. Selain itu, perusahaan investor dapat
memperoleh identifikasi merek, dan akses jaringan distribusi untuk
memasarkan produk-produknya.
FDI merupakan investasi yang menggunakan biaya yang cukup besar karena
perusahaan harus menanggung biaya membangun fasilitas produksi di negara
asing atau mengakuisisi perusahaan asing. FDI memiliki resiko karena
masalah yang terkait dengan budaya negara tertentu dimana "aturan
permainan" bisnis mungkin sangat berbeda. Namun, resiko dari kegiatan
ekspor yang dapat dilakukan oleh perusahaan asing apabila tidak melakukan
FDI akan lebih besar dan memakan biaya lebih mahal apabila ada barang yang
terkena biaya bea cukai maupun hilang pada saat perjalanan. Strategi kegiatan
eksportasi sering terkendala oleh biaya transportasi dan hambatan
perdagangan. Ketika biaya transportasi ditambahkan ke biaya produksi,
menjadi tidak menguntungkan untuk kapal beberapa produk melalui jarak
yang besar. Oleh karena itu, perusahaan asing lebih memilih FDI
BAB III
PEMBAHASAN
PT. Freeport Indonesia (PTFI) pertama kali beroperasi pada tahun 1967 di
Indonesia yang berlokasi Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Barat. Aktivitas
pertambangan PTFI di Papua hingga saat ini telah berlangsung selama 49 tahun.
Pada tahun 1967, PTFI berhasil membangun tambang Ertsberg, seiring
perkembangannya PTFIberhasil membangun tambang keduanya pada tahun 1998
yang dinamakan tambang Grasberg dikawasan Tembaga Pura, Kabupaten
Mimika.
PTFI merupakan perusahaan Afiliasi dari Freeport McMoRan Cooper &
Gold, perusahaan publik di bidang tembaga yang terbesar di dunia yang berpusat
di Phienix, Arizona, Amerika Serikat. PTFI melakukan usaha tambangnyadengan
memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga,
emas dan perak dan memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas
dan perak keseluruh penjuru dunia.
Menurut Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) No.4
Tahun 2009 Pasal 170 yang menetapkan kewajiban pemegang Kontrak Karya
perusahaan pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambangan di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU
diundangkan. Hal ini membuat PTFI harus mempertimbangkan dan melakukan
studi kelayakan terhadap pendirian pabrik smelter di dalam negeri. Sedangkan
7 tahun pada tahun 2016. Oleh karena itu, PTFI harus segera membangun smelter
sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi agar kontrak karya PTFI dapat
diperpanjang di Indonesia.
Berdasarkan Lembar Fakta yang dipublikasikan oleh PTFI pada Gambar
3.1 dapat terlihat bahwa PTFI beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya
yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun
1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Masa berlaku Kontrak
Karya pertama PTFI adalah 30 tahun. Kemudian pada tahun 1991, Kontrak Karya
PTFI diperpanjang menjadi 30 tahun dengan pengajuan perpanjangan 2 kali
dengan 10 tahun dalam sekali perpanjangan. Jadi, Kontrak Karya Freeport akan
berakhir di tahun 2021 jika pemerintah tidak menyetujui pengajuan perpanjangan
yang diajukan oleh PTFI.
Berdasarkan Kontrak Karya yang telah ditandatangani PTFI, PTFI memperoleh
konsesi penambangan di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000
hektar. 1 Acres = 0.4047 Ha). Lalu, terdapat penambahan luas penambangan PTFI
(disebut Blok B) seluas 6,5 juta acres (atau seluas 2,6 juta ha). Dari Blok B ini
yang sudah di lakukan kegiatan eksplorasi seluas 500 ribu acres (atau sekitar 203
ribu ha). Dengan menandatangani Kontrak Karya, PTFI melakukan Foreign
Direct Investment (FDI) dengan cara Greenfield Investment, yaitu dengan
membangun perusahaan di kabupaten Mimika, Papua. Selain itu, PTFI juga
mempekerjakan sumber daya manusia lokal dan melakukan produksi sendiri di
Indonesia. Tetapi apakah dampak FDI yang dibawa oleh PTFI positif bagi
Indonesia atau tidak. Dapat dilihat bahwa dengan adanya perusahaan asing yang
masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia mendapatkan beberapa hal positif
sebagai berikut:
1. Adanya transfer teknologi dan keahlian manajerial
2. Pengenalan teknologi produksi yang baru serta akses ke jaringan
internasional
3. Sebagai sumber dana untuk pembangunan, terutama bagi
negara berkembang seperti Indonesia.
4. Kenaikan produksi dan pendapatan nasional negara sasaran.
5. Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang dan pembentukan modal
(capital formation).
6. Mendorong pembangunan regional dan sektoral.
8. Membuka lapangan pekerjaan
Tetapi di samping beberapa hal positif, FDI juga dapat menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat Indonesia seperti berikut:
1. Munculnya dominasi industrial, yang berpotensi mematikan industri dalam
negeri yang kalah dalam segi modal.
2. Ketergantungan teknologi.
3. Perubahan budaya.
4. Berpotensi menganggu perencanaan perekonomian.
Gambar 3.3 Data Produksi dan Penjualan Tembaga PT.Freeport McMoRan Inc Akhir Tahun 2013 dan 2014
Sumber: www.investor.fcx.com
satu pabrik saja di Papua dibandingkan dengan negara lain yang memiliki
beberapa pabrik. PTFI berhasil memproduksi 915 juta pounds tembaga dan
berhasil menjual 885 juta pounds tembaga pada tahun 2013. Pada tahun 2014,
berhasil memproduksi 636 juta pounds tembaga dan menjual 664 juta pounds
tembaga.
Pada Gambar 3.4 dapat terlihat bahwa hasil produksi dan penjualan emas
di Indonesia merupakan penghasil terbanyak dengan memproduksi 1.130 ribu
ounces emas dan berhasil menjual 1.096 ribu ounces emas pada tahun 2014. Oleh
karena itu, PTFI merupakan penyumbang terbesar dan bisa dibilang sebagai
primadona bagi Freeport McMoran dalam mesin pencetak uang. Hasil penjualan
emas di Indonesia menyumbang 93,59 persen penjualan emas perusahaan
Freeport McMoran.
Gambar 3.4 Data Produksi dan Penjualan Emas, Molybdenum, dan Cobalt PT.Freeport McMoRan Inc Akhir Tahun 2013 dan 2014
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan PTFI
sebanyak 664 juta pon tembaga dengan harga jual $ 3,09 dan 1.168 ribu ons emas
dengan harga jual $ 1.231. Setelah ditotal, ternyata hasil keuntungan dari
penjualan emas dan tembaga asal Indonesia menghasilkan $ 1.439.860. Jika
dikalikan dengan kurs USD $ 1 seharga Rp 12.000, maka hasil pendapatan PTFI
adalah Rp 17.278.320.000. Sedangkan penjualan keseluruhan yang didapatkan
oleh Freeport McMoran Inc adalah 3.888 juta pon tembaga dan 1.248 ribu ons
emas. Total penjualan emas dan tembaga yang didapatkan oleh Freeport
McMoran Inc pada tahun 2014 adalah $ 1.548.302 (Rp 18.579.624.000). Hal ini
menunjukkan bahwa hasil pendapatan PTFI merupakan 93 persen dari seluruh
penjualan emas dan tembaga yang dilakukan oleh perusahaan Freeport McMoran
Inc.
Tabel 3.1 Banyaknya Penduduk Provinsi Papua Menurut Kabupaten dan Jenis Kelamin 2005 dan 2013 Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
[18] Tolikara 23,232 20,948 44,180 110.90 68,407 56,919 125,326 120.18
Papua 970,299 905,089 1,875,388 107.20 1,603,158 1,429,330 3,032,488 112.16
Sumber : papua.bps.go.id
Menurut Tabel 3.1, dapat terlihat adanya peningkatan jumlah penduduk
Papua menjadi hampir dua kali lipat dari tahun 2005 hingga tahun 2013. Pada
tahun 2013, jumlah penduduk Papua adalah 3.032.488 orang. Sedangkan pada
Tabel 3.2, angka persentase kemiskinan masyarakat Papua mengalami penurunan
dari tahun 2009-2012. Angka persentase kemiskinan masyarakat Papua pada
tahun 2009 adalah 34,77% dan pada tahun 2012 adalah 30,66. Tetapi pada tahun
2013 mengalami kenaikan kembali menjadi 31,52%.
Tabel 3.2 Persentase Penduduk di Provinsi Papua Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009-2013
9413 Boven Digoel 27.01 25.79 23.52 22.79 23.70
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua,
bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua
dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika
pada Tabel 3.2. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada.
Pada tahun 2013, BPS mencatat sekitar 20,37 persen penduduk Mimika dalam
kondisi miskin dengan jumlah penduduk yang miskin di Papua sebanyak 31,52%
dari 3.032.448 jumlah penduduk Papua. Yang berarti 955.827 orang yang berada
Gambar 3.5 Persentase Jumlah Karyawan PTFI Sumber: www.ptfi.co.id
Berdasarkan data yang diperoleh pada situs PTFI, mereka mempekerjakan
97,5% orang Indonesia dari 30.004 orang dengan 34,68% masyarakat asli Papua
asli. Hal ini berarti PTFI hanya mempekerjakan 4.174 masyarakat asli Papua.
Sedangkan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Papua,
jumlah penduduk Papua adalah 3.032.488 orang pada tahun 2013. Hal ini berarti
persentase masyarakat Papua yang merupakan tenaga kerja PTFI adalah hanya
0,3%.
Oleh karena itu, kesejahteraan penduduk tidak meningkat dengan adanya
PTFI di daerah tersebut. Penduduk asli papua yang tinggal di lokasi operasional
PTFI, hidup di bawah garis kemiskinan dan terpaksa menghidupi diri dengan
mencari emas dari sisa limbah yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut.
Sebenarnya, apabila diteliti lebih jauh, kontrak karya ini memiliki banyak
kerugian bagi Indonesia karena dapat dikatakan kontrak karya ini bukanlah
urusan manajemen dan operasional diserahkan seluruhnya kepada penambang dan
pemerintah tidak memiliki kontrol sama sekali dalam aspek manajemen dan
kegiatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan walaupun pemerintah
memiliki saham. Berbeda dengan kontrak kerja sama dimana kontrol atas
manajemen dan operasional perusahaan tetap dimiliki oleh pemerintah, sehingga
apapun yang dilakukan oleh perusahaan harus melakukan pengajuan izin kepada
pemerintah terlebih dahulu. Hal lain yang menojol adalah pembagian royalty,
tertulis pada kontrak karya pemerintah menerima royalty sekian persen dari hasil
produksi tetapi seluruh biaya menjadi tanggungan perusahaan. Sedangkan dalam
kontrak kerja sama, seluruhnya adalah milik negara dan akan dibagi antara milik
negara dan milik perusahaan setelah dikurangi biaya produksinya.
Dalam kontrak karya ini, banyak pula penyimpangan-penyimpangan atas
regulasi yang ada di Indonesia. PTFI diperkenankan memindahkan penduduk
yang berada dalam wilayah kontrak karyanya. Hal ini bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria, pasal 3
dalam Undang-Undang tersebut menyebutkan:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Pasal tersebut sudah jelas mengatakan bahwa Negara mengakui hak adat,
sedangkan pada kenyataannya PTFI memberikan konsensi yang terletak di atas
tanah tersebut. Seperti diketahui, besaran royalti yang dibayarkan PTFI selama ini
lebih rendah dari yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap setiap badan usaha.
Semenjak diberlakukan PP No 45/2003, PTFI seharusnya membayar 3,75 persen
royalti untuk emas. Untuk tembaga, royalti yang ditetapkan adalah sebesar 4
persen dari harga jual per kilogram, dan royalti perak ditetapkan sebesar 3,25
persen dari harga jual per kilogram. Kenyataannya, PTFI masih membayarkan
tarif royalti kepada Indonesia sesuai dengan Kontrak Karya tahun 1991. Dalam
Kontrak Karya tersebut, besar royalti tembaga sebesar 1,5 persen dan royalti emas
dan perak hanya sebesar 1 persen dari harga jual.
Selain itu, PTFI belum dapat memenuhi permintaan pemerintah kepada
PTFI untuk membangun smelter dalam kurun 5 tahun sejak tahun 2009 ketika UU
Minerba No.4 dikeluarkan. Apabila PTFI ingin pemerintah dapat menyetujui
pengajuan perpanjangan kontrak karyanya, PTFI harus dapat memenuhi seluruh
peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Indonesia. Mulai dari pada
saat PTFI ingin memasuki pasar Indonesia, mengambil serta mengolah SDA yang
dimiliki oleh negara Indonesia hingga dijual kembali kepada pelanggan, PTFI
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1Kesimpulan
1) Keuntungan yang diberikan oleh PT.Freeport Indonesia kepada negara
Indonesia adalah hanya royalti dari hasil penjualan hasil tambang
(SDA) di Papua dan penyedia lowongan pekerjaan bagi 30.004 orang
karyawan yang terdiri dari 97,5% masyarakat Indonesia.
2) Solusi dari masalah utama terkait dengan Foreign Direct Investment
(FDI) adalah pemerintah harus tegas dalam menjalankan kebijakan
yang telah disepakati dan mengubah konsep pemikiran bahwa FDI
tidak selalu membawa dampak positif bagi negara Indonesia.
3) PT.Freeport Indonesia (PTFI) mempekerjakan 34,68% masyarakat asli
Papua dari 30.004 total karyawan yang dimiliki. Tetapi tingkat
kemiskinan masyarakat Papua tidak mengalami penurunan dengan
adanya PTFI yang memberikan lapangan kerja bagi masyarakat Papua.
Hal ini berarti ada dan tidak adanya PTFI tidak mempengaruhi tingkat
perekonomian masyarakat Papua.
4) Upaya yang dilakukan oleh PTFI sejauh ini adalah menjalin kerja sama
dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak pada bidang smelter dan
memulai pekerjaan pembangunan smelter di Gresik.
4.2Saran
1) Saran bagi pemerintah, pemerintah seharusnya dapat menanggapi
dengan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Freeport
Indonesia terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama. Terutama
mengenai masalah yang terkait dengan kontrak yang dilakukan
bersama PTFI tentang jangka waktu pengelolaan, agar masyarakat
2) PT.Freeport Indonesia seharusnya menaati seluruh aturan hukum
Indonesia mengenai penanaman modal asing dalam rangka menjalin
hubungan baik dengan pemerintah Indonesia, dan juga sebagai
kewajiban untuk kelangsungan dalam menjalankan usaha di wilayah
DAFTAR PUSTAKA
Daniels, John D., Lee H. Radebaugh, and Daniel P. Sullivan. International Business: Environments and Operations. 15th edition., global edition. Boston; Harlow: Pearson, 2015.
Detik. “Gubernur Papua Ancam Usir Freeport Jika Tak Bangun Smelter di Papua,” Detik online. Homepage Online. Available from http://news.detik.com/berita/2818429/gubernur-papua-ancam-usir-freeport-jika-tak-bangun-smelter-di-papua?n991104466: Internet; Accessed 1 Maret 2016.
Dkn. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” Dkn online. Homepage Online. Available from http://dkn.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Undang-
Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentang-Pokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf: Internet;
Esdm. “KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1614 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMROSESAN PERMOHONAN KONTRAK KARYA DAN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL ASING,” Esdm online. Homepage Online.
Available from
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/2009/UU%204%202009.pdf: Internet; Accessed 3 Maret 2016.
Esdm. “PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2003 TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA,”
Esdm online. Homepage Online. Available from
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/2009/UU%204%202009.pdf: Internet; Accessed 3 Maret 2016.
Kemenkeu. “UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10
TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN,” Kemenkeu online. Homepage Online.
Available from
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2004/10TAHUN2004UU.htm: Internet; Accessed 5 Maret 2016.
Kemenperin. “Belum Bangun Pabrik Smelter, Perusahaan Tambang Dilarang Ekspor,” Kemenperin online. Homepage Online. Available from http://www.kemenperin.go.id/artikel/7247/Belum-Bangun-Pabrik-Smelter,-Perusahaan-Tambang-Dilarang-Ekspor: Internet; Accessed 1 Maret 2016.
Kemenperin. “Freeport Pastikan Bangun Smelter,” Kemenperin online.
Homepage Online. Available from
http://www.kemenperin.go.id/artikel/8638/Freeport-Pastikan-Bangun-Smelter: Internet; Accessed 1 Maret 2016.
Kompas. “Kementrian ESDM Tagih Janji Smelter Freeport,” Kompas online.
Homepage Online. Available from
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/10/100714126/Kementeria n.ESDM.Tagih.Janji.Smelter.Freeport: Internet; Accessed 1 Maret 2016.
Penataanruang. “UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN,” Penataanruang online. Homepage Online. Available from http://www.penataanruang.net/taru/hukum/UU_No11-1967.htm: Internet; Accessed 6 Maret 2016.
Peng, Mike W., and Klaus E. Meyer. International Business. London: Cengage Learning, 2011.