BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Definisi IrigasiKata irigasi berasal dari kata irrigate dalam Bahasa Belanda dan Irrigation dalam Bahasa Inggris. Irigasi adalah adalah usaha yang dilakukan manusia untuk penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian, meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia disebut menyiram.
1.2 Sejarah Irigasi
Sistem irigasi sudah mulai dikenal sejak peradaban Mesir Kuno yang memanfaatkan Sungai Nil untuk pengairan pertanian mereka. Di Indonesia irigasi tradisional pun telah berlangsung sejak jaman nenek moyang. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam cara pengairan dan bercocok tanam pada masa kerajaan – kerjaan yang ada di Indonesia yaitu dengan cara membendung sungai secara bergantian untuk dialirkan ke sawah – sawah. Cara lain untuk pengairan adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bamboo yang disambungkan yang menggunakan cara dengan membawa ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi dibidang tata guna air ditingkat usaha tani.
Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dibuat untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksploitasi tanah jajahannya. Sejarah irigasi di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu sebagai berikut :
1. Masa Pra-Kolonial
Dalam pembangunan sistem irigasi di Indonesia, masa pra-kolonial ditandai dengan wujud kegiatan dengan kuatnya kearifan lokal yang sangat tinggi. Teknologi dan kelembagaan lokal sangat menentukan keberadaan sistem irigasi saat itu.
Sistem irigasi yang ada umumnya mempunyai skala luas sawah yang kecil dan terbatas. Sehingga pada masa ini sangat menaruh perhatian pada capital social dari masyarakat sendiri.
2. Masa Kolonial
Pada masa colonial ini, pembangunan irigasi sudah mulai diintervensi oleh kepentingan pemerintah kolonial. Pembangunan dan pengelolaan irigasi yang sebelumnya banyak dikelola oleh masyarakat, sebagian telah diasimilasikan dengan pengelolaan melalui birokrasi pemerintah. Teknologi yang digunakan dan kelembagaan pengelola juga sudah dikombinasikan antara kemampuan masyaraktat lokal dengan teknologi kelembagaan yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya manajemen pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan kombinasi antara potensi kapital sosial yang ada di masyarakat dengan kemampuan birokrasi pemerintah kolonial.
3. Masa Revolusi atau Pasca Kolonial
pembangunan dan pengelolaan irigasi secara eksiting tidak banyak berbeda dengan era kolonial.
4. Masa Orde Baru
Pada masa orde baru ini oleh sebagian pengamat disebut sebagai kebangkitan rezim pemerintah. Pada masa ini ditandai dengan adanya kebangkitan peran pemerintah dalam memperkuat sektor pangan nasional. Sehingga aspek pembangunan dan rehabilitasi besar – besaran dibidang irigasi, banyak dilakukan oleh pemerintah. Pada masa ini, pemerintah berhasil menggantikan undang-undang pengairan versi pemerintah Kolonial, menjadi UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Akibat sangat kuatnya orientasi pemerintah untuk meraih swa-sembada pangan atau beras, maka kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi banyak dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan tersebut membawa konsekuensi ketidakjelasan peran masyarakat dalam keirigasian, yang akibat selanjutnya menjadi masyarakat lokal yang pasif.
5. Masa Pasca Orde Baru atau Reformasi
Pada masa ini dapat juga disebut sebagai respon masyarakat terhadap sistem pembangunan dan pendekatan pembangunan yang totaliter dan sentralistis yang terjadi pada Orde baru. Sehingga masyarakat menuntut adanya reformasi pelaksanaan dan pendekatan pembangunan, termasuk melakukan regulasi ulang dalam berbagai sector pembangunan. Dalam masa ini lahir UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, dan PP No. 20/2006 tentang irigasi. Seharusnya pada masa ini tidak mengulang pendekatan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana pemerintah sangat mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada masa ini perlu dibangun suatu sistem dan mekanisme pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang memberi peran yang lebih nyata kepada masyarakat, dan juga perlu dijadikan masa kebangkitan capital social masyarakat dalam sistem keirigasian Indonesia pada saat sekarang dan untuk kedepannya.
1.3.1 Maksud dari irigasi adalah :
Segala kegiatan yang berhubungan dengan usaha mendapatkan air untuk sawah, ladang, perkebunan, dan usaha pertanian lainnya.
Usaha tersebut meliputi :
Pembuatan sarana prasarana untuk membawa dan membagi air sampai petak sawah secara teratur.
Membuang kelebihan air yang tidak diperlukan. 1.3.2 Tujuan dari Irigasi adalah :
a. Secara Langsung
Membasahi tanah, agar dicapai kondisi yang baik untuk tumbuhnya tanaman.
Menjaga kesetimbangan kandungan air dan udara dalam tanah.
Mengangkut bahan pupuk untuk perbaikan tanah.
b. Secara Tidak Langsung menunjang usaha pertanian dengan cara : Mengatur suhu tanah
Membersihkan tanah Memberantas hama
Mempertinggi permukaan air tanah Membersihkan air kotor
Kolmatase
1.4 Akibat Irigasi a. Secara Positif :
Menaikkan nilai komersial tanah.
Merangsang sector lain untuk lebih maju b. Secara Negatif :
Pemberian air berlebihan dan pembuangan sisa air lebih kurang sempurna sehingga terjadi over irrigated dan mengakibatkan tanaman menjadi busuk.
1.5 Sumber Air Irigasi
1.5.1 Air Permukaan Tanah :
a. Air Retensi Alam berasal dari rawa dan danau. b. Air Sungai
c. Air Retensi Buatan seperti : waduk 1.5.2 Air Dalam Tanah :
a. Air Kapiler, merupakan persediaan air untuk tanaman yang sedikit membutuhkan air (tidak untuk irigasi).
b. Air Tanah Dangkal didapat dengan pemompaan.
c. Air Tanah Dalam didapat dengan pemompaan atau tanpa pemompaan (air Artesis).
d. Air dalam kantong perut bumi didapat dengan pemompaan 1.6 Tipe Sistem Irigasi
1.6.1 Sistem Gravitasi
Air irigasi dibawa ke sawah dengan cara gravitasi. Sistem ini bangunan utama melintang sungai, saluran dan bangunan pengatur distribusi air. Sistem Gravitasi dibedakan menjadi :
1. Run-Off River System
Didasarkan pada debit harian sungai (debit andalan), sedangkan debit yang lebih besar dilimpahkan ke hilir. Bangunan pengambilan dengan bendung atau barrage.
2. Storage atau Reservoir System
Bila terjadi debit besar pada musim penghujan, debit air ditampung di reservoir, untuk digunakan pada musim kekurangan air.
1.6.2 Sistem Irigasi Pompa
Dalam usaha menaikkan air ke permukaan tanah digunakan pompa. Sistem pompa diklasifikasikan :
1. Irigasi Pompa dari Air Permukaan Air permukaan bias berasal dari :
Air danau, waduk, dan rawa. 2. Irigasi Pompa dari Air Tanah
Air tanah berasal dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. 3. Irigasi Pasang Surut
Pada saat debit sungai besar dan akibat pasang air laut, terjadi peluapan air sungai atau penggenangan disekitar sungai. Daerah genangan tersebut dimanfaatkan sebagai daerah irigasi.
1.7 Metode Irigasi
1.7.1 Irigasi Permukaan
a. Metode Petak (Border or Border Strip Flooding)
Daerah persawahan dibagi dalam petak – petak ukuran 9 – 18 m lebar dan panjang 100 – 400 m. Air digenangkan melalui saluran atau dari petak sebelah atasnya. Banyak dipakai pada lahan dengan kemiringan 0.002 – 0.004.
b. Metode Penggenangan dengan Kontrol Ketinggian (Check Flooding) Petak sawah dibatasi dengan tanggul ± 30 cm yang dibuat dengan mengikuti kontur.
c. Metode Penggenangan Cekungan (Basin Flooding)
Sistem ini untuk irigasi tanaman keras atau pohon. Air dialirkan ke setiap cekungan yang terisi satu pohon atau beberapa pohon, air dialirkan cekungan satu ke cekungan yang lain.
d. Metode Pemberian Air Melalui Parit atau Alur yang Sejajar (Furrow Flooding)
Saluran pembawa dapat menggunakan saluran tertutup atau terbuka. Alur atau parit sejajar panjangnya sekitar 90 – 190 m. Permukaan tanah yang basah berkisar antara ½ sampai dengan 1/5 bagian sehingga dapat mengurangi penguapan. Seringkali alur kontur dibuat untuk menyesuaikan permukaan tanah.
e. Metode Alur Kecil (Corrugated Method)
Air dari saluran utama dialirkan ke saluran distribusi yang akhirnya secara merata memberikan air pada alur – alur kecil.
1.7.2 Irigasi Curah atau Pancar (Sprinkler Irrigation)
Sprinkler Irrigatian dilakukan dengan pemberian air dari atas permukaan tanah dalam bentuk pancaran yang menirukan hujan.
Lahan sempit
Sumber air terbatas, perlu efisiensi tinggi Untuk lahan yang bergelombang
Cocok untuk tanaman buah – buahan, sayuran, rumput, dll. Metode ini sangat membantu untuk :
a. Tanaman dengan akar dangkal b. Tumbuhnya tunas tanaman baru c. Mengontrol temperature tanah
d. Mengatur kelembapan yang diperlukan tanaman tertentu (misalnya tembakau)
e. Pemeliharaan tanaman kopi (Coffee culture) f. Mencegah pembekuan pada daerah bersalju g. Pemberian pupuk menjadi lebih efektif 1.7.3 Irigasi Tetes (Drip atau TrickerIrrigation)
Irigasi ini direncanakan memberikan air pada daerah perakaran tanaman. a. Circuler Sprinkler atau Rotary Sprinkler
Sangat cocok untuk luas lahan > 1 ha. b. Fix Nozzle Pipe
Pipa dipasang parallel dengan jarak 16 m. 1.8 Kwalitas Air Irigasi
Hal – hal yang mempengaruhi kwalitas air : a. Konsentrasi garam dalam air irigasi b. Konsentrasi garam dalam air tanah
c. Perbandingan Ion Sodium; kalsium dan magnesium d. Konsentrasi unsur dan senyawa beracun
e. Konsentrasi boron f. Kadar lumpur dalam air g. Keseimbangan garam dan air
Parameter kwalitas air yang paling penting adalah : Nilai pH
Total Disolved Solidis (TDS), atau jumlah hancuran bahan padat dalam air
1 ≤ 400 Cocok untuk irigasi
-2 401 – 600 pH < 9.00 pH > 9.00
3 601 – 800 pH < 8.50 pH > 8.50
4 801 – 1000 pH < 8.00 pH > 8.00
5 1001 – 1200 - Tidak Diolah
6 ≥ 1201 - Tidak Cocok
Klasifikasi kwalitas air yang didasarkan pada konsentrasi garam dalam air (Salinitas) yang dinyatakan dalam Daya Hantar Listrik (DHL) :
No Conductivity (DHL)
Micromhos/cm Kecocokan untuk irigasi ( Reaksi Tanaman ) 1 ≤ 250 Sangat aman, pengaruh salinitas terhadap
tanaman dapat diabaikan.
2 250 – 750
Aman dibawah kondisi praktis, untuk tanaman yang sensitif terhadap salinitas produksi berkurang.
3 750 – 2250 Aman hanya untuk tanah yang lolos air, produksi tanaman kurang baik.
4 2250 – 4000
Kurang mendukung untuk irigasi, untuk tanaman tertentu sangat tidak cocok dan produksi kecil.
5 > 4000 Tidak cocok untuk irigasi, hanya sedikit tanaman yang berproduksi.
BAB II
DESKRIPSI TEKNIS
PERENCANAAN BANGUNAN IRIGASI
Untuk membawa air dari sumbernya hingga ke petak-petak sawah diperlukan adanya saluran irigasi. Jika saluran irigasi yang telah ada belum memiliki tinggi muka air yang mencukupi untuk dialirkan ke saluran induk maka perlu adanya bangunan guna menaikkan tinggi muka air tersebut.
Kriteria dan perencanaan teknis dari bangunan irigasi dalam suatu jaringan irigasi mutlak diperlukan, karena di dalamnya menyangkut kemampuan bangunan tersebut untuk menahan tekanan dari air sungai itu sendiri. Analisa teknis dalam perencanaan bangunan irigasi yang perlu dilakukan antara lain : 1. Dimensi bangunan irigasi itu sendiri yang ideal, dalam arti mampu menahan
beban yang ditimbulkan oleh air sungai. 2. Efisiensi hidrolis.
3. Metode pelaksanaan yang paling efektif untuk dilaksanakan.
4. Pemilihan bahan material untuk agregat beton bangunan utama tersebut. Untuk menunjang perencanaan teknis bangunan irigasi tersebut diperlukan data-data penunjang sebagai berikut :
1. Data topografi, yakni meliputi seluruh daerah aliran sungai untuk menemukan lokasi bendung yang ideal.
2. Data hidrologi, yakni data aliran sungai yang meliputi data banjir yang andalan untuk menentukan debit maksimum yang melalui mercu bendung. 3. Data morfologi, yakni data karakteristik material sungai yang akan dibendung
termasuk di dalamnya kandungan sedimen, distribusi butir, dan lain-lain. 4. Data geologi, yakni data keadaan atau kondisi umum permukaan tanah daerah
yang bersangkutan, kedalaman lapisan keras dan sebagainya.
5. Data mekanika tanah, antara lain data pondasi, bahan konstruksi, sumber bahan timbunan, agregat untuk beton, parameter tanah yang harus digunakan. 2.2. Kondisi Topografi
yang menunjang dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Data-data topografi yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
a) Peta lokasi topografi aliran sungai (DAS) dengan skala 1 : 100 yang menunjukkan aliran sungai mulai dari sumbernya sampai muaranya di laut. Garis-garis kontur harus diberikan setiap 25 meter. Berdasarkan peta ini disiapkan profil memanjang sungai tersebut dan juga luasnya daerah aliran sungai (DAS) dapat diukur.
b). Peta situasi aliran sungai dimana bangunan utama akan dibuat. Peta ini sebaiknya berskala 1 : 2000. Peta ini juga harus meliputi jarak 1 km ke hulu dan 1 km ke hilir bangunan utama dan melebar 250 meter dari masing-masing tepi sungai. Peta ini juga harus dilengkapi dengan garis ketinggian setiap 1 meter, kecuali di dasar sungai dimana diperlukan garis ketinggian setiap 0,5 meter. Peta ini juga harus mencakup lokasi alternatif yang sudah diidentifikasikan serta panjang yang diliput harus memadai agar dapat diperoleh informasi mengenai bentuk denah sungai.
c). Gambar potongan memanjang sungai dengan potongan melintang setiap 50 meter. Panjang potongan memanjang skala horisontalnya sama dengan skala pada peta poin b, skala vertikalnya 1 : 200. Panjang potongan melintangnya adalah 50 meter dari kedua tepi sungai. Elevasi akan diukur pada jarak maksimum 25 meter atau untuk beda ketinggian 0,25 meter tergantung mana yang dapat dicapai lebih dahulu.
d). Pengukuran detail pada situasi bendung yang sebenarnya harus dipersiapkan yang menghasilkan peta berskala 1 : 500 untuk area seluas kurang lebih 50 ha (1000 x 500 m). Peta tersebut harus memperlihatkan bagian-bagian lokasi bangunan utama secara lengkap, termasuk lokasi kantong lumpur dan tanggul penutup.
foto udara dari berbagai tahun pengambilan juga tersedia, amak ini akan lebih menguntungkan untuk penyelidikan perilaku dasar sungai. Bangunan-bangunan yang ada di sungai di hulu dan di hilir bangunan utama yang direncanakan harus diukur dan dihubungkan dengan hasil- hasil pengukuran bangunan utama. 2.3. Kondisi Hidrologi
Yang dimaksud dengan kondisi hidrologi adalah kondisi debit banjir rencana maksimum untuk bangunan pengelak, diambil sebagai debit banjir dengan kala ulang 10 tahun. Banjir dengan periode ulang 100 tahun di perlukan untuk mengetahui tinggi tanggul banjir dan pengontrol keamanan bangunan utama.
Elevasi tanggul hilir sungai dari bangunan utama didasarkan pada tinggi banjir dengan periode ulang 50 tahun. Periode ulang tersebut akan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yang terkena akibat banjir yang mungkin terjadi serta pada nilai ekonomisnya tanah dan semua pra sarananya.
Data hidrologi yang dibutuhkan adalah data hujan dan data debit yang berguna untuk menentukan debit rencana. Rangkaian data debit banjir rencana untuk berbagai periode ulang harus andalan. Hal ini berarti harga-harga tersebut harus didasarkan pada catatan-catatan banjir sebenarnya yang mencakup jangka waktu yang cukup lama.
Perhitungan debit rendah andalan dengan periode ulang yang diperlukan, dibutuhkan untuk menilai luas daerah potensial yang dapat diairi dari sungai yang bersangkutan.
2.4. Kondisi Morfologi
Data-data fisik yang diperlukan dari sungai adalah : 1. Kandungan dan ukuran sedimen
2. Tipe dan ukuran sedimen dasar 3. Pembagian (distribusi) ukuran butir 4. Banyaknya sedimen dalam waktu tertentu
5. Pembagian sedimen secara vertikal dalam sungai
Di sini kandungan sedimen selama banjir mendapat perhatian khusus karena sedimen sangat mudah sekali terbawa oleh air yang akhirnya dapat menyebabkan pendangkalan pada sungai. Jika sungai sudah terjadi pendangkalan maka akan berpengaruh terhadap perencanaan hidrolisnya.
2.5. Kondisi Geologi
Kondisi geologi di sini dimaksudkan sebagai keadaan tanah daerah aliran sungai yang akan direncanakan sebagai tempat bangunan utama tersebut. Untuk itu kita memerlukan data-data geologi yang merupakan kondisi umum permukaan tanah daerah yang bersangkutan, meliputi : keadaan geologi lapangan, kedalaman lapisan keras, sesar, kelolosan atau permeabilitas tanah dan bahaya gempa.
Geologi permukaan suatu daerah harus diliput pada peta geologi pemukaan.
Skala peta yang harus dipakai adalah :
1. Peta daerah dengan skala 1 : 100.000 atau 1 : 50.000 2. Peta semi detail dengan skala 1 : 25.000 atau 1 : 5000 3. Peta detail dengan skala 1 : 2000 atau 1 : 100
Evapotranspirasi (ET)
transpirasi evaporasi
Terjadi pada saat yang sama
tebal dan derajat pelapukan tanah penutup (overburden) harus diperkirakan karena hal ini mempengaruhi kekuatan bangunan utama yang akan dibangun.
Dalam banyak hal, pengeboran tanah mungkin diperlukan untuk secara tepat mengetahui lapisan dan tipe batuan yang ada. Hal ini sangat penting untuk merencanakan pondasi bendung. Adalah perlu untuk mengetahui kekuatan pondasi bendung itu sendiri, dan juga untuk keperluan bahan bangunan yang diperlukan, seperti agregat untuk beton, batu untuk pasangan atau batu candi, pasir dan kerikil. Untuk memperhitungkan stabilitas bendung yang direncanakan maka kekuatan gempa juga perlu diketahui.
BAB III
PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN DIMENSI
3.1 Perhitungan Debit Saluran Irigasi Utama 3.1.1 Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah : sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan.
Penguapan bisa terjadi melalui permukaan air (evaporasi) maupun daun – daun tanaman (transpirasi).
Bila kedua proses penguapan tersebut terjadi bersama – sama terjadilah Evapotranspirasi.
3.1.2 Perhitungan Debit Diketahui :
*Data dari TUGAS
Luas lahan = 1845,5 Hektar Kebutuhan air = 1,31 lt/det/hektar η Effisiensi Irigasi
= 71 % 0,71
* Dengan Rumus :
Keterangan :
q = Kebutuhan air untuk tanaman lt/dt/hektar A = Luas lahan sawah
η = Effisiensi irigasi
Q = q x A
η
Q = 1,31 x 1845,5
0,71 Q = 3405,07
Jadi debit saluran irigasi utama (induk) sebesar 3,4051 m3/det
3.1.3 Perencanaan Dimensi Saluran
Dengan data sebagai berikut akan merencanakan dimensi suatu saluran : Direncanakan lebar dasar saluran (b) = 3 m
Kemiringan dasar saluran (So) = 0,0024 Koefisien kekerasan manning saluran (N) = 0,021 Kemiringan dinding saluran (m) = 1
Kedalaman air (h) dihitung dengan cara coba – coba
Debit saluran = 3,4051 m3/det
Menentukan tinggi saluran dengan rumus :
Sampai di 100% di dapatkan dengan ketinggian 0.646 m
3.2 Perencanaan Dimensi Alat Ukur Debit Drempel
Dimana:
b = Lebar ambang
h = tinggi muka air diatas ambang • Cukup sesuai utk daerah datar • Kehilangan tinggi relatif kecil • Pembuatannya mudah
• Perlu pembersihan sedimen di hulu ambang
Dengan data berikut :
Debit Saluran Irigasi (Q) = 3,405 m³/dt Direncanakan Lebar Alat ukur (b) = 2 m
Merencanakan tinggi (h) :
Merencanakan lebar alat ukur dengan ketentuan b = 2h
Menentukan zau yang berada di elevasi muka air hilir
Menentukan Elevasi muka air alat ukur drempel
Didapatkan ketinggian Elevasi hulu alat ukur 81,9 m
3.3Didapatkan ketinggian Elevasi hulu alat ukur 81,9 m Perencanaan Dimensi Intake
Dengan data sebagai berikut :
P intake direncanakan = 2 m
h2 = E1 M.A. Hulu A U – E1 Ambang Intake = 2.55 m
Z direncanakan = 0.16 m
h1 = h2 + z = 2.7 m
Lebar pintu intake direncanakan 2 x 1m = 2 m
Dengan menentukan debit persatuan lebar maka akan didapat nilai k η dan
q=Q
Maka didapat dengan tinggi bukaan pintu 0.78 m 3.4 Tinggi Bendung
3.5 Lebar Bendung Effisien dan Tinggi Muka Air Diatas Mercu
Lebar bendung adalah jarak antara pangkal bendung (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil.
Dalam menentukan lebar bendung, faktor utama yang dapat dipakai adalah pertimbangan lebar sungai yang ada. Ketentuan untuk lebar maksimum bendung adalah 1.2 kali lebar rerata sungai pada ruas yang stabil. Hal ini mempunyai tujuan agar setelah bendung dibangun, tidak terlalu banyak mengganggu aliran sungai.
Lebar efektif bendung (Be) dihubungkan dengan lebar bendung yang sebenarnya / lebar mercu bendung (B) dengan persamaan :
Beef = B – 2.(n.Kp + Ka). He B = b – p - t
Dimana :
Be = lebar efektif bendung B = lebar mercu bendung
hd
t = jumlah lebar pilar Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi dinding samping He = tinggi tekan total di atas mercu n = jumlah pilar.
Diketahui :
Debit banjir Q20thn = 349.48 m3/det
Lebar sungai = 54.75 m
Lebar bendung total (Bt=6/5 B) = 65.7 m Tebal pilar pintu penguras (tp) = 2 (2 x 1 m)
Kp = 0.1 Pilar bulat
Ka = 0 bulat dan sudut 30º arah aliran Lebar pintu penguras = 2.5 m
Untuk mengetahui nilai ketinggian Hd maka dengan cara coba – coba nilai Hd yang direncanakan harus sama dengan hasil nilai Hd yang diperhitungkan.
Vo=Q
A Vo=349,48
425,95
3.6 Profil Lengkung Bendung
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercuse waktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan kebawah mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, Us. Army Corps of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut :
Y
Ho=−K x( X Ho)
n
Dimana :
X dan Y = koordinat – koordinat permukaan hilir Hd = tinggi energy rencana diatas mercu
K dan n = parameter yang tergantung pada kecepatan aliran dan kemiringan hilir
Dan saya memilih menggunakan tipe Ogee yang pertama :
Kemiringan permukaan air vertical : k = 0,502
n = 1.86 R1 = 0.2 x Hd R1 = 0.2 x 1.8361 R1 = 0.36 m R2 = 0.5 x Hd R2 = 0.5 x 1.8361 R2 = 0.91 m
Jika dibuat sebuah grafik maka akan menghasilkan lengkungan yang halus :
Untuk mencari nilai Yc/Ho dan Xc/Ho dapat menggunakan grafik dan untuk memperoleh Xc dan Yc maka dikalikan dengan Ho.
3.7 Peredam Energi Bendung
Kedalaman air (h) hilir peredam energy dihitung dengan cara coba – coba
Maka diketahui nilai Hn = 1.6441 m
Dengan cara coba – coba :
Sampai di persentase 100% maka nilai d1 didapatkan 0.4221 m
V1= Q
F1= 12,60256635
√
9.81x0.4221F1=6,1933
Bila digunakan peredam tanpa balok penghalang :
Untuk F1 > 4.5 maka dianjurkan menggunakan peredam energi USBR tipe III Kontrol fungsi :
F1 = 6,1933 m
3.8 Perlindungan Hilir dengan Batu Kosong Kecepatan air hilir peredam V2 =
V2= Q
B x d1−0.5
V2= 349,48 65,7x0.7894
V2=4,199 m
dt
Diameter batuan kosong d40 = 0.4185 m Diameter batuan kosong 60% ≥ 0.4185 m
3.9 Lantai Muka
diatas lantai muka, yang dapat mengakibatkan erosi di bawah tanah dan kehilangan beda tinggi energi per satuan panjang pada jalur rembesan sehingga dalam perancangan bendungan ini harus direncanakan lantai muka yang aman dari rembesan air yang mengalir kearah tubuh bendung. Dalam perancangan lantai muka, penulis memakai 2 teori untuk pemecahan masalah ini yaitu Teori Bligh dan Teori Lane.
Teori Bligh
H=Elevasi MAB Hulu−Elevasi MAB Hilir
H=6,48−3,64
H=2,84m
L=29,24(Gambar)
C=5Tabel kerikil Sedang H<L
C
2,84<29,2402 5
2,84<5,84804 baik
Teori Lane
CL x H<Lv+1 3Lh 1,8x2,84<9,8878+1
315,558 5,11036<15,0737 baik
BAB IV
ANALISA STABILITAS BENDUNG
Analisis stabilitas bendung ini dilakukan untuk mengetahui besarnya tekanan gaya – gaya yang bekerja pada tubuh bendung, seperti gaya berat, gaya gempa, tekanan lumpur, gaya hidrostatik, dan gaya uplift pressure.
4.2 Gaya Berat
Gaya berat ini dihitung dengan arah vertikal kebawah yang garis kerjanya melewati titik berat konstruksi. Agar memudahkan perhitungan maka tubuh bendung dibagi menjadi beberapa bagian.
Elemen ϒ B (m) H (m) Volume (m3) Berat (G)(Ton) Lengan (m) Momen(Ton.m)
1 2,4 0,75 0,18 0,090 0,216 4,49 0,9698
2 2,4 0,75 0,06 0,045 0,108 4,55 0,4914
3 2,4 0,75 0,24 0,120 0,288 3,96 1,1405
4 2,4 1,51 3,36 5,074 12,177 4,17 50,7766
5 2,4 0,5 0,33 0,110 0,264 3,24 0,8554
6 2,4 0,5 3,03 1,515 3,636 3,16 11,4898
7 2,4 1 0,99 0,660 1,584 2,56 4,0550
8 2,4 1 3,04 3,040 7,296 2,41 17,5834
9 2,4 1,92 3,04 3,891 9,339 1,23 11,4868
10 2,4 1,51 1 1,510 3,624 4,17 15,1121
11 2,4 0,51 1 0,510 1,224 4,63 5,6671
12 2,4 1,92 1 1,920 4,608 0,96 4,4237
Contoh Perhitungan :
Volume=B(m)x H(m)x Faktor bentuk
Volume=0,75x0,06x2
3
Volume=0,090m3 Berat(G)=Volume m3x γ Berat(G)=0,09x2,4
Berat(G)=0,216Ton
Lengan=jarak dari titik berat dan titik tinjau
Lengan=4,49m
Momen=Berat(G) (Ton)x Lengan(m)
Momen=0,216x4,49
Momen=0,9698ton. m
4.3 Tekanan Lumpur
Endapan lumpur yang dibawa aliran air yang kemudian mengendap dimuka bendung menimbulkan tekanan lumpur dari arah horizontal dan dari arah vertikal ke bawah.
Data yang diketahui : Φ Lumpur = 22
Air
ϒ = 1,62 t/m3
s
ϒ = Lumpur – Airϒ ϒ
s
ϒ = 1,62 – 1
s
Ka=
(
1−sinΦGayaWs=0,5x19,6249x0,62 x0,45496
GayaWs=2,767859378ton
Lengan Momen=2,48m
MomenGuling=Lengan Momen x Gaya
MomenGuling=2,48x2,7679
MomenGuling=6,86429ton. m
4.4 Gaya Gempa
Gaya gempa ini dihitung dengan arah horizontal yang garis kerjanya melewati titik berat konstruksi. Agar memudahkan perhitungan maka tubuh bendung dibagi menjadi beberapa bagian.
G=0,09x2,4
G=0,216ton
K(gaya gempa)=G x F
K(gaya gempa)=0,216x0,1949
K(gaya gempa)=0,0421ton
Momen=K x Lengan Momen
Momen=0,0421x5,53
Momen=0,23281ton. m
Eleme
n n Z
ac
m/det² m ad g f G(Ton) L (m) K
1 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 0,22 5,53 0,04
2 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 0,11 5,39 0,02
3 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 0,29 5,45 0,06
4 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 12,18 3,68 2,37
5 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,194
9 0,26 5,13 0,05
6 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,194
9 3,64 3,51 0,71
7 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 1,58 4,36 0,31
9 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 9,34 1,97 1,82
10 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 3,62 1,50 0,71
11 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 1,22 0,50 0,24
12 2,1 0,75 120 0,89 1,912 9,81 0,1949 4,61 0,50 0,90
Jumlah 44,36 40,04 8,65
4.5 Gaya Hidrostatik
Gaya hidrostatik disebabkan oleh gaya tekan air yang menggenangi tubuh bendung sehingga menimbulkan gaya tekan air dari arah horizontal dan dari arah vertikal kebawah.
Normal
gaya B H W Lengan momen Momen Arah
g
H V
1 0,51 4,65 1,18575 2,5 2,9644 →
2 0,51 0,22 0,0561 4,93 0,27657 ↓
Jumlah 1,18575 0,0561 2,9644 0,27657
MomenTahan+Berat Bendung=124,33>2,9644 AMAN
W=B x H x faktor bentuk W=0,51x4,65x1
2
W=1,1858ton
Momen=W x Lengan Momen
Momen=1,18575x2,5
Momen=2,96438ton. m
gaya B H W Lengan momen
Momen
Arah Gulin
g Tahan
H V
1 1,84 6,48 5,9616 3,156 18,815 →
2 0,51 1,84 0,9384 4,871 4,57095 ↓
3 1,84 0,22 0,13493 4,968 0,6703
5 ↓
4 0,8 1,84 1,472 4,18 6,1529
6 ↓
5 0,8 1,84 1,472 3,38 4,97536 ↓
6 0,8 1,84 1,472 2,58 3,79776 ↓
7 0,8 1,84 1,472 1,78 2,62016 ↓
8 0,8 1,84 1,472 0,98 1,44256 ↓
9 0,41 1,84 0,7544 0,29 0,21878 ↓
10 0,82 1,84 0,7544 1,644 1,2402
3 ←
Jumlah 5,9616 6,96133 18,815 25,689
1
MomenTahan+Berat Bendung=149,74>18,815 Aman
W=B x H x faktor bentuk W=1,84x6,48x1
2
W=5,9616ton
Momen=5,9616x3,156
Momen=18,8148ton. m
4.6 Upfit – Preassure
Arah dari gaya uplift pressure adalah tegak lurus dengan bidang kontaknya. Untuk gaya ini harus dicari tekanan pada tiap – tiap titik sudut, dicari besarnya gaya yang bekerja pada tiap – tiap bidang. Secara umum besarnya tekanan pada setiap titik sudut.
Normal
Nama Hx Lx L Δ H Hasil
PB 4,65 1 29,14 2,7 4,5573
PC 4,65 1,51 29,14 2,7 4,5101
PD 4,65 2,51 29,14 2,7 4,4174
PE 4,65 3,51 29,14 2,7 4,3248
PF 4,65 4,51 29,14 2,7 4,2321
PG 4,65 5,01 29,14 2,7 4,1858
PH 4,65 6,01 29,14 2,7 4,0931
PI 4,65 7,01 29,14 2,7 4,0005
PJ 4,65 8,01 29,14 2,7 3,9078
Px Lx
Luas
Lengan Momen Hasil Kotak
Segitig a 4,5573 1
2,3001
5 4,67 10,742
4,5101 0,51 0,01205 4,76 0,0574
4,4174 1
4,3247
8 3,92 16,953
4,3248 1 0,04633 4,09 0,1895
4,2321 1 2,0929 3,17 6,6345
4,1858 0,5 0,01158 3,25 0,0376
4,0931 1
4,0004
8 2,42 9,6812
4,0005 1 0,04633 2,59 0,12
3,9078 1
7,1614
6 0,96 6,875
3,7299 1,92 0,17078 1,28 0,2186
Bidan
g Momen
5 7,0936 Jumla
h 51,509
Momen uplift-pressure 51,5085 < Momen tahan dari berat bendung 124,05 AMAN
Jika ditambah dengan kodisi gempa maka 51,741 < Momen tahan dari berat bendung 124,05 AMAN
Banjir
Nama Hx Lx L Δ H Hasil
PE 6,467 3,51 29,2961 5,019 5,8657 PF 6,467 4,51 29,2961 5,019 5,6943 PG 6,467 5,01 29,2961 5,019 5,6087 PH 6,467 6,01 29,2961 5,019 5,4374 PI 6,467 7,01 29,2961 5,019 5,266 PJ 6,467 8,01 29,296
1 5,019 5,0947 PK 6,467 9,93 29,296
1 5,019 4,7658
Px Lx
Luas
Lengan Momen Hasil Kotak Segitiga
4,5573 1
2,3001
5 4,67 10,742
4,5101 0,51 0,01205 4,76 0,0574
4,4174 1 4,32478 3,92 16,953
4,3248 1 0,04633 4,09 0,1895
4,2321 1 2,0929 3,17 6,6345
4,0931 1
4,0004
8 2,42 9,6812
4,0005 1 0,04633 2,59 0,12
3,9078 1
7,1614
6 0,96 6,875
3,7299 1,92 0,17078 1,28 0,2186
Bidan
g Momen
1 14,892 4 2 23,3438 3 8,95937 4 12,9657 5 9,18851 Jumla
h 69,3497
Momen uplift-pressure 69,3497 < Momen tahan dari berat bendung 124,05 AMAN
4.7 Daya Dukung Tanah Data yang didapat :
Ø = 30˚
D = 3,4276 m
Yw = 1 t/m
Gs = 2,56
C = 0,23
W = 21,5% 0,215
Sr=W x Gs
e
Jika dalam kondisi jenuh maka Sr = 1
Sr=W x Gs
40 95.7 81.3 100.4
45 172.3 173.3 297.5
48 258.3 287.9 780.1
50 347.5 415.1 1153.2
Nc = 37.2
Nq = 22.5
Ny = 9.7
qu=C . Nc+γ . D . Nq+0.5. B . γ . Ny
qu=8,556+77,5985+91,305
4.8 Kontrol Stabilitas Bendung
Kontrol stabilitas adalah syarat yang harus dipenuhi agar kondisi bendung stabil dan aman. Kontrol yang dilakukan adalah dengan cara membandingkan dengan faktor keamanan. Kontrol yang dilakukan adalah kontrol terhadap guling, kontrol terhadap geser, kontrol terhadap eksentrisitas, dan kontrol terhadap daya dukung tanah.
4.8.1 Kontrol Guling
4.8.2 Kontrol Geser
Suatu konstruksi bendung tidak boleh bergeser akibat gaya – gaya yang bekerja, maka jumlah gaya vertikal harus lebih besar dibandingkan dengan jumlah gaya horizontal.
Normal : ΣV = 44,420 Σ H = 3,95361 Banjir : Σ V = 51,325
Σ H = 5,962
FK=Σ V x f
Σ H >1,5
Normal
FK=44,4196x0,75 3,953609378 >1,5
FK=8,42641>1,5 OK...
Banjir
FK=51,3249x0,75 5,9616 >1,5
4.8.3 Kontrol Eksentrisitas
Pada suatu konstruksi bendung yang menggunakan batu kali, maka tidak boleh adanya tegangan tarik, ini berarti bahwa resultan gaya – gaya yang bekerja harus masuk kern.
B=16,59
Jika digambar grafis maka akan masuk di kern resultan gayanya.
4.8.4 Kontrol Terhadap Daya Dukung Tanah
Tegangan yang terjadi akibat adanya gaya tekan dari bendung tidak boleh melebihi tegangan tanah yang diijinkan.
Normal
σ tanah=Σ V bendung dari bahaya longsoran tebing. Pada konstruksi dinding penahan tanah ini terbuat dari pasangan beton.
Dengan data : h = 8 m
Dengan ketentuan diatas :
B=5,6m
Diperkirakan data tanah asli :
Berat volume tanah (γt) = 1800 kg/m3 Sudut geser tanah (Ø) = 20˚
Kohesi (c) = 2000 kg/m2
Diperkirakan data tanah urugan :
Berat volume tanah (γt) = 2,2 kg/m3 2200 kg/m3 Sudut geser tanah (Ø) = 25˚
Kohesi (c) = 0,2 kg/m2
Beban akibat berat sendiri
Elemen B H ᵧ
W2 2,2 5,161 2400 1/2 1 13625,04 kg
W3 5,600 0,29 2400 1 1 3897,6 kg
Beban akibat tanah urugan
W6=B x H x F . Bentuk x γ beton
W6=2,2x5,161x1
2x2200
W6=12489,62kg
Beban akibat tanah aktif
Ka=
(
1−sin∅Beban akibat tanah pasif
Ka=
(
1−sin∅2x1800x1,597696x2,463913
Pa=3542,93Kg
m
Pa=3542,93x1(1per m panjang)
Pa=3542,93kg
Beban akibat gaya hidrostatis
Ph=1
2x γ air x H 2
Ph=1
2x1000x1x0,424
Ph=212Kg
Gaya – gaya vertikal pada keadaan normal
No Notasi Gaya (Kg) Arah ke titik A (m)
Momen di titik A (Kg.m)
1 W1 6912 0,6667 4608,2304
2 W2 13625,04 2,1333 29066,29783
3 W3 3897,6 2,8 10913,28
4 W6 12489,62 2,8667 35803,99365
5 W7 22708,4 4,6 104458,64
ΣPv 59632,66 ΣMA=19290,22
Gaya – gaya horizontal pada keadaan normal
No Notasi Gaya (Kg) Arah ke titik A (m)
Momen di titik A (Kg.m)
1 Pa 2559,912 7,019 17968,02241
2 Pp 3542,9253 0,333 1180,856995
3 Ph 212 0,6667 141,3404
ΣPv 6314,8373 ΣMA=19290,22
Kontrol stabilitas terhadap geser
FK geser=Fr
FK geser=30047,166
Kontrol stabilitas terhadap guling
FK guling=Σ Momen Penahan
Σ Momen Guling >1,5 FK guling=184850,44
19290,22 =9,583>1,5OK … . Kontrol terhadap daya dukung tanah
DAFTAR PUSTAKA
1. DirjenPengairan, DepartemenPekerjaanUmum 1986, StandarPerencanaanIrigasi,
KriteriaPerencanaan (KP-02), GalangPersada, Bandung.
2. DirjenPengairan, DepartemenPekerjaanUmum 1986, StandarPerencanaanIrigasi,
KriteriaPerencanaan (KP-04), GalangPersada, Bandung.
3. DirjenPengairan, DepartemenPekerjaanUmum 1986, StandarPerencanaanIrigasi,
KriteriaPerencanaan (KP-06), GalangPersada, Bandung.
4. Soenarno,Ir.PerhitunganBendungTetap, DIKLAT PUTL wilayah II, Bandung. 5. Mawardi,Erman,Drs,Dipl.AITdan Ir. Moch. Memed, Dipl.H.E,APU,2004.
6. Supriyan,Desi,2004. Hidrologi, Program studiKonstruksiBangunanSipil semester4, JurusanTeknikSipilPoliteknikNegeri Jakarta.
7. Supriyan,Desi,2006. JaringanIrigasiTeknis, Program studiKonstruksiBangunanSipil semester 5, JurusanTeknikSipilPoliteknikNegeri Jakarta.