• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Melayu Sebagai Sumber Informasi d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Naskah Melayu Sebagai Sumber Informasi d"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

Naskah Melayu Sebagai Sumber Informasi dalam Kajian Islam Lokal1

Oleh: Hasbullah2 E-mail: melayu77@ymail.com

Abstrak:

Kajian-kajian mendalam tentang teks (naskah) Melayu dapat membantu disiplin ilmu tertentu dan juga mendorong pemahaman generasi terkini akan jatidirinya sebagai sebuah bangsa yang besar. Menurut para ahli, di dalam naskah-naskah Melayu termaktub gagasan-gagasan masyarakat tentang kebudayaannya. Kajian terhadap naskah Melayu mampu memberikan sumbangsih nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan juga menyokong pemahaman generasi saat ini terhadap masyarakat dan kebudayaannya di masa lalu. Konstruksi sejarah lokal belum banyak dilakukan oleh para ahli, karena memang kekurangan sumber. Oleh karena itu, naskah merupakan sumber yang penting dan otentik yang dapat menjelaskan dan menggambarkan keadaan suatu masyarakat beserta kebudayaannya. Dengan demikian, kajian terhadap naskah-naskah Melayu perlu ditingkatkan, karena melalui kajian tersebut akan memberikan informasi tentang berbagai macam aspek kehidupan, termasuk keagamaan.

Key Words: Naskah Melayu dan Islam Lokal.

Pendahuluan

Produk budaya Nusantara dalam bentuk tradisi tulis yang disebut naskah

(manuscript) tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi kekayaan

bangsa. Naskah ini ditulis dengan aksara dalam bahasa daerah dan sudah

berkembang kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di dalamnya prasasti,

sedangkan tradisi tulis dalam bentuk naskah berusia seribu tahun lebih. Sebagian

besar naskah-naskah itu saat ini tersimpan dalam koleksi publik yang jumlahnya

mencapai puluhan ribu dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang menjadi koleksi

pribadi.3

Naskah (manuscript) merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang

mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat

(2)

2 | P a g e

peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana,

masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh

lebih besar4. Naskah yang sejauh ini masih sering diabaikan keberadaannya, dan

hanya mendapatkan perhatian dari kelompok orang tertentu saja, khususnya para

filolog dan pustakawan – sesungguhnya menyimpan makna dan dimensi yang

sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan

berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu.5

Tradisi penulisan naskah pada masa lalu, di wilayah Indonesia khususnya,

dan di Nusantara pada umumnya, tampaknya pernah terjadi dalam rentang waktu

yang relatif panjang. Hal ini terutama jika mempertimbangkan jumlah naskah

Nusantara tersebut yang luar biasa banyak, tidak terbatas pada bidang

kesusastraan saja, tetapi juga mencakup bidang lain seperti filsafat, adat istiadat,

sejarah, hukum, obat-obatan, teknik, agama, dan lain-lain. Naskah-naskah tersebut

sebagian telah tersimpan di perpustakaan, baik di dalam maupun di luar negeri,

dan sebagian lagi masih “tercecer” di tangan masyarakat.

Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keagamaan (baca:

Islam) merupakan salah satu jenis kategori naskah yang jumlahnya relatif banyak.

Hal ini tidak terlalu mengherankan, mengingat kenyataan bahwa ketika Islam –

dengan segala kekayaan budayanya – masuk di wilayah Nusantara pada

umumnya, dan di wilayah Melayu-Indonesia pada khususnya ini, budaya

tulis-menulis sudah relatif mapan6, sehingga ketika terjadi persentuhan antara Islam

dan budaya tulis-menulis tersebut, maka muncullah berbagai aktivitas penulisan

naskah-naskah keagamaan yang memang menjadi media paling efektif untuk

melakukan transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama

Indonesia dan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama

Melayu-Indonesia itu dan murid-muridnya.

Selain itu, banyaknya naskah keagamaan – terutama dengan unsur tasawuf

– juga terkait dengan kenyataan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses

(3)

3 | P a g e

sejak abad ke-13, bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang

dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang

kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang

mereka sampaikan kepada masyarakat setempat.8

Naskah Sebagai Sumber Informasi

Dalam masyarakat Melayu feodal naskah (manuscript) merupakan

satu-satunya sumber informasi tertulis yang dapat digunakan dan diwarisi sampai saat

ini. Oleh sebab itu, naskah mengandung berbagai isi dan dapat dikaji dari berbagai

segi, seperti bahasa, budaya filsafat, agama, dan sebagainya. Selain itu, penulisan

naskah dalam masyarakat Melayu masa lalu tidak dimaksudkan sebagai karya

sejarah atau sastra, melainkan sebagai informasi, mendidik, dan menghibur. Oleh

karena itu, naskah Melayu wajar dikaji sebagai sumber informasi, meskipun tidak

ada salahnya dikaji dari segi sastra. Karya yang dihasilkan oleh masyarakat

Melayu masa lalu lebih mementingkan hasil karya yang indah bahasanya, baik

isinya, tinggi nilai moralnya, dan yang terpenting adalah yang dapat

mendatangkan faedah. Namun hingga kini pengetahuan kita tentang naskah

Melayu amat terbatas. Keterbatasan tersebut disebabkan tidak banyak yang sudah

dikaji dan juga belum adanya kesepakatan diantara pakar tentang definisi dan

konsep hikayat, sejarah, pengarang, dan sebagainya.9

Naskah (manuscript) dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari

berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan

berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah merupakan salah satu

warisan budaya bangsa di antara berbagai artefak lainnya, yang kandungan isinya

mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku

masyarakat masa lalu. Justifikasi tambahan naskah Melayu lebih wajar dikaji

sebagai sumber informasi tidak lain karena ia sudah sekian lama menjadi asas

bagi orang Melayu berkomunikasi, mengurus diri, membuat keputusan, mendapat

(4)

4 | P a g e

Tradisi penulisan berbagai dokumen dan informasi dalam bentuk

manuskrip tampaknya pernah terjadi secara besar-besaran di Indonesia pada masa

lalu, terutama jika dilihat dari melimpahnya jumlah naskah yang dijumpai

sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa asing seperti Arab dan Belanda, atau

dalam bahasa-bahasa daerah. Menurut Mu’jizah11 dari sekitar 726 bahasa yang

ada di Indonesia, kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai sistem tulisan dan

tertuang dalam bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa itu adalah (1) Aceh, (2)

Batak, (3) Melayu, (4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa Melayu di Sumatra

Tengah dan Selatan, (6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali, (10) Bugis, (11)

Sasak, (12) Makassar, (13) Buton.

Di antara bahasa daerah di dunia Melayu-Nusantara yang menjadi sarana

transmisi berbagai ajaran Islam melalui naskah-naskahnya, bahasa Melayu

merupakan salah satu bahasa yang paling luas pemakaiannya. Hal ini

dimungkinkan karena pada abad ke-14 dan 15 – ketika proses Islamisasi

berlangsung – bahasa Melayu sedang menjadi bahasa lingua franca di wilayah

ini12. Selain bahasa Melayu, bahasa Jawa juga tidak kurang pentingnya sebagai

bahasa yang belakangan banyak memperkaya khazanah keilmuan Islam ketika

bahasa ini digunakan untuk menuliskan ajaran Islam yang semula disampaikan

secara lisan.13

Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, terutama jika dikaitkan dengan

belum dikenalnya alat pencetakan secara luas hingga abad ke-19, khususnya di

wilayah Melayu-Nusantara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini kita

menjumpai khazanah naskah nusantara hampir tidak terhitung jumlahnya, baik

yang berkaitan dengan bidang sastra, filsafat, adat istiadat, dan terutama bidang

keagamaan (Islam). Dalam hal naskah-naskah keagamaan, tampak bahwa jumlah

naskahnya kelihatan lebih menonjol, terutama karena terkait dengan proses

Islamisai di nusantara yang banyak melibatkan para ulama produktif di zamannya.

Sejauh penelitian yang pernah dilakukan, naskah Melayu hampir tak

terhitung jumlahnya, bisa mencapai puluhan atau ratusan ribu, bahkan mencapai

(5)

5 | P a g e

sebenarnya belum diketahui secara pasti, karena jumlahnya terus bertambah

dengan ditemukannya koleksi-koleksi baru dan terus berkurang karena banyak

naskah yang rusak karena tidak dirawat. Mengenai jumlah naskah Melayu, Ismail

Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980)

menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.00014. Menurut Ding

Choo Ming,15 dari 10.000 naskah Melayu tersebut, hanya 30 % saja telah dikaji.

Hal ini bermakna masih banyak lagi pengetahuan dan informasi tentang

masyarakat lokal yang belum diketahui. Sampai saat ini naskah Melayu tersimpan

hampir di 29 negara, yaitu: (1) Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria, (4)

Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7) Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark,

(10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia, (13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia,

(16) Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18) Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia,

(21) Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24) Singapura, (25) Spanyol, (26)

Srilangka, (27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand.16

Naskah Melayu dan Islam Lokal

Dalam kajian Islam nusantara, berbagai informasi dan sumber otentik yang

dihasilkan dalam konteks Islam lokal menjadi penting untuk dijadikan sebagai

sumber primer penelitian. Dengan lebih memberikan apresiasi terhadap berbagai

sumber lokal, maka keragaman Islam nusantara akan diapresiasi sebagai produk

dari sebuah proses akulturasi budaya lokal dengan nilai-nilai normatif agama,

dalam hal ini, Islam. Setiap studi tentang dunia Islam selalu terkait dengan

masalah hubungan antara peradaban Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lokal

dari kawasan-kawasan yang mengalami pengislaman. Realisasi masalah hubungan

ini melahirkan pra-anggapan terdapatnya bukan saja suatu identifikasi Islam

melainkan juga pemisahan antara unsur-unsur yang boleh dianggap mempunyai

asal Islam dengan unsur-unsur lain yang kehadirannya tidak dapat dikaitkan

dengan agama Islam17. Faham keagamaan – baik dalam bentuk mazhab fiqh

(6)

6 | P a g e

spiritual, dan dengan demikian rasa kebudayaan tertentu pada kehidupan

masyarakat muslim di suatu kawasan tertentu.18

Dalam konteks naskah keagamaan ini, dua pola transmisi keilmuan yang

terjadi di wilayah nusantara tersebut pada gilirannya membentuk pula dua

kelompok bahasa naskah: pertama, naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa

Arab; dan yang kedua, naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah.

Dalam perkembangannya, jumlah naskah tersebut kemudian semakin

membengkak dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu, baik

yang dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun yang

dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepentingan komersil.

Sepanjang sejarahnya, terlebih dalam konteks Indonesia, keberadaan

naskah-naskah tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tradisi besar Islam

yang sejak abad ke-7 sudah mulai merembes masuk ke wilayah

Melayu-Nusantara. Dalam hal ini, Islam diyakini membawa tradisi tulis di kalangan

masyarakat Melayu-Nusantara19, sehingga dalam perkembangannya tradisi Islam

ini turut mendorong lahirnya sejumlah besar naskah, khususnya naskah-naskah

keagamaan. Melalui tradisi Islam ini misalnya, masyarakat Melayu-Nusantara

mulai memiliki kebiasaan untuk mencatatkan berbagai pemikiran dan hal penting

lainnya dengan menggunakan tulisan Jawi (bahasa Melayu dengan aksara Arab)

atau bahasa Pegon (Bahasa Jawa dan Sunda dengan aksara Arab), di samping

tentunya dengan bahasa Arab itu sendiri.

Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin luasnya cakupan wilayah

islamisasi, distribusi naskah-naskah keagamaan tersebut pun semakin luas. Pada

gilirannya, ketika naskah-naskah tersebut dibaca, dipahami, dan diresepsi

kandungan isinya oleh masyarakat di berbagai daerah, maka muncul pula berbagai

bentuk apresiasi dan resepsi dari masyarakat pembacanya, yang kemudian

dituangkan juga dalam bentuk penulisan naskah, yang dalam hal ini penulis sebut

sebagai “naskah-naskah lokal”- sekadar untuk membedakannya dengan naskah-naskah berbahasa Arab, yang beberapa di antaranya ditulis oleh ulama non

(7)

7 | P a g e

Naskah-naskah lokal tersebut ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti

Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Sasak, dan Wolio. Dalam konteks ini, keberadaan

naskah-naskah lokal menjadi sangat penting karena menggambarkan berbagai

bentuk ungkapan masyarakat – dengan bahasanya masing-masing – atas teks-teks

yang mereka baca. Umumnya, artikulasi satu masyarakat bahasa, dan masa

tertentu akan berbeda dengan artikulasi masyarakat bahasa, dan masa lainnya,

kendati pada mulanya mereka membaca teks yang sama, sehingga dengan

demikian muncul dinamika yang sedemikian kaya atas teks tersebut. Lebih jauh,

kaitannya dengan Islam, naskah-naskah lokal tersebut akan memberikan data yang

sangat kaya mengenai dinamika Islam di masing-masing daerah.

Tulisan-tulisan tersebut 'terutama pada periode awal' dituangkan bukan

hanya di atas kertas, tetapi dalam berbagai media (alas naskah) seperti batu, daun

lontar, bambu, kayu, tulang, tanduk, kulit hewan, dan sebagainya. Dalam

kenyataannya, pengaruh tulisan Arab yang kemudian menghasilkan tulisan Jawi

dan Pegon tersebut tidak saja terlihat dalam naskah-naskah keagamaan, tetapi juga

dalam naskah-naskah sastra yang secara substansi tidak berkaitan langsung

dengan Islam. Produksi naskah-naskah Islam di Nusantara semakin 'menjadi-jadi'

pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama ketika Aceh menjadi pusat kegiatan

intelektual Islam, dan melahirkan ulama-ulama kenamaan seperti Hamzah

Fansuri, Shamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdurrauf Singkel,

yang luar biasa produktif dalam menghasilkan naskah, baik untuk kepentingan

belajar mengajar maupun untuk kepentingan lainnya20. Tradisi naskah di wilayah

Aceh ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Nusantara, tidak saja

di wilayah Sumatera, melainkan juga ke wilayah lainnya di Pulau Jawa, bahkan

sampai ke Buton21. Akibatnya, di berbagai wilayah tersebut banyak dijumpai

naskah-naskah lokal yang secara spesifik menyimpan pengetahuan tentang

berbagai hal yang berkaitan dengan wilayahnya.

Kajian yang mendalam perlu dilakukan terhadap naskah-naskah yang

terdapat di berbagai daerah, karena kuat dugaan ada keterkaitan warna

(8)

8 | P a g e

Karim22 telah menunjukkan adanya keterkaitan tersebut, seperti pemikiran

Hamzah Fansuri tentang wahdatul wujud (selanjutnya melahirkan pemikiran

martabat tujuh bukan saja diamalkan di Aceh, melainkan juga di Buton. Hal ini

terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan sultan-sultan Buton, martabat tujuh

bukan saja menjadi satu aliran pemikiran, melainkan juga dijadikan

undang-undang pemerintahan kesultanan. Contoh lain yang ditunjukkan oleh Ab. Razak

Ab. Karim adalah kitab Sirath al-Mustqim karya Abdul Rauf Singkel tidak hanya

tersebar di wilayah Sumatera, melainkan tersebar di seluruh kawasan, terutama di

tempat-tempat yang terdapat masyarakat Islam. Kitab ini ditemukan di Bangkok,

Buton, Sambas, Pontianak, Sukadana, Ketapang, dan lain-lain. Naskah ini

digunakan sebagai pandauan bagi masyarakat Islam, teruatama dalam masalah

fiqh.

Melihat keterkaitan antara Islam dengan dunia pernaskahan Nusantara

seperti dijelaskan di atas, maka tidak dapat dihindari bahwa naskah jelas

merupakan salah satu elemen terpenting dalam upaya merekonstruksi berbagai

pemikiran intelektual Islam, khususnya Islam lokal, karena naskah mencerminkan

adanya pertemuan budaya, sosial, politik, dan intelektual antara budaya lokal dan

Islam dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, penelitian terhadap naskah

akan lebih memperkaya wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia

khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya. Dalam konteks Islam lokal

inilah, peran naskah-naskah tersebut sangat signifikan, terutama jika

mempertimbangkan bahwa kajian atas wacana Islam lokal sejauh ini belum

dilakukan secara maksimal.

Selanjutnya akan ditunjukkan beberapa contoh kajian naskah yang dibuat

oleh para peneliti yang memperlihatkan adanya dialektika antara Islam dengan

budaya lokal yang membentuk corak khas Islam lokal. Kajian yang dilakukan

oleh Kun Zachrun Istanti23 terhadap naskah Cerita Syekh Baginda Mardam

dengan jelas memperlihatkan adanya integrasi antara Islam dengan budaya Jawa.

Naskah yang bertemakan tasawuf ini dapat dikelompokkan ke dalam sastra Islam

(9)

9 | P a g e

perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam, terutama

aspek-aspek tasawuf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab

tasawuf. Ciri utama kesastraan kejawen adalah mempergunakan bahasa Jawa dan

sangat sedikit mengungkapkan syariat. Nama-nama yang sering dipergunakan

untuk menyebut kesastraan Islam kejawen ialah primbon, wirid, dan suluk. Isi

suluk dan wirid berkaitan dengan ajaran tasawuf24.

Demikian juga halnya dengan kajian yang dibuat oleh Oman

Fathurrahman25 terhadap naskah Tanbih Masyi Mansub ila-Thariq

al-Qusyasyiyy karya Abdul Rauf Singkel yang dapat dijadikan rujukan dalam

menjelaskan corak tasawuf di Indonesia. Dalam naskah ini terlihat dengan jelas

corak tasawufnya adalah perpaduan antara tasawuf falsafi dan tasawuf amali. Hal

ini terlihat dari rujukan as-Singkili terhadap tokoh-tokoh dari kedua aliran

tersebut. Pandangan ini diperkuat dari penjelasan as-Singkili yang menekankan

pentingnya ajaran-ajaran syariat agama, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah

lainnya. Sehingga, menurut as-Singkili, tidak ada alasan bagi seorang sufi – yang

sudah mencapai tingkat maqam tertentu – untuk meningggalkan ajaran-ajaran

syariat. Pola pemikiran neo-sufisme ini memberikan pengaruh yang besar

terhadap perkembangan corak tasawuf nusantara di kemudian hari. Kesannya

dapat dilihat dari corak tasawuf yang dikembangkan oleh para ulama Melayu abad

ke-18, seperti Abdul Samad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, dan

Daud al-Fatani.26

Bentuk perpadauan Islam dengan budaya lokal lainnya dapat dilihat dari

berbagai naskah tentang sala watan yang dikaji oleh Amir Rochyatmo27.

Sala watan adalah nama seni vokal yang bertolak dari kalimat salawat. Bacaan ini

didendangkan dengan diberi nada dan melodinya disesuaikan dengan tradisi

melodi setempat. Bacaan salawat yang dilagukann itu digubah oleh para ulama

untuk mengangungkan Nabi Muhammad dalam bentuk pujian dan sanjungan.

Sala watan diadakan dalam rangka perkawinan, khitanan, tujuh bulan kehamilan,

puputan (tali pusat tanggal), dan lain-lain. Sala watan bertolak dari bacaan kalimat

(10)

10 | P a g e

bernafaskan Islam dan selanjutnya membentuk tembang puji-pujian yang tumbuh,

hidup, dan berkembang secara lisan. Tembang puji-pujian itu pada mulanya

sebagai pengisi waktu menjelang shalat berjamaah. Kandungan isinya berupa

salawat, doa, dan nasehat untuk berbuat kebajikan. Namun fungsinya berkembang

dan berperan aktif dalam peringatan-peringatan keagamaan dan upacara adat

sepanjang daur hidup. Tembang puji-pujian itu telah mulai beranjak ke bentuk

kesenian yang dapat diundang untuk tampil dan disaksikan di dalam hajatan.

Bacaan sala watan ada dalam bentuk bahasa Arab, Melayu, Jawa, atau kombinasi

di antara bahasa tersebut.

Penerapan Kajian Naskah Melayu dalam Konstruksi Sejarah Islam di

Indonesia

Berbagai teori tentang Islam di Indonesia – baik mengenani asal muasal,

para pembawa, dan waktu kedatangannya – telah banyak dkemukakan para

sarjana. Sebagian teori mengatakan bahwa Islam datang ke bumi Nusantara pada

abad ke-12 Masehi, berasal dari Anak benua India dan dibawa oleh orang-orang

Arab bermazhab Syafi’i. Teori lain mengatakan bahwa Islam di Nusantara ini

berasal dari Arab dan dibawa oleh para pedagang sejak abad ke-7 dan ke-8 M.

Teori ketiga menyebutkan bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dibawa oleh

pedagang, melainkan leh para sufi yang berasal dari Timur Tengah sejak abad

ke-13. Menurut Azyumardi Azra28 teori terakhir ini lebih masuk akal bila

dibandingkan dengan teori-teori lainnya, terutama jika melihat keberhasilan

Islamisasi penduduk Nusantara dalam jumlah besar pada abad ke-13. Jika kita

menilik kepada beberapa sumber lokal, seperti Sejarah Melayu29, Sulalatus

Salatin30, Bustanus Salatin, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan lain-lain – meskipun

seringkali dibumbui dengan mitos dan legenda – maka diperoleh informasi bahwa

kemungkinan Islam datang ke Nusantara berasal dari wilayah Arab pada abad

(11)

11 | P a g e

Uka Tjadrasasmita32 menyebutkan beberapa contoh penerapan kajian

naskah terhadap konstruksi sejarah Islam dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial

dalam berbagai aspek, antara lain: (1) Sejarah Politik, (2) Sejarah Sosial, (3)

Sejarah Ekonomi- Perdagangan, (4) Sejarah Kebudayaan, (5) Peradilan, dan (6)

Literatur tentang Keagamaan (Lektur Keagamaan).

Salah satu bentuk sejarah sosial yang menggunakan hasil kajian naskah

dalam penulisan sejarah dilakukan oleh R.A. Hoesein Djajadiningrat.

Naskah-naskah yang dikaji antara lain Bustanus Salatin, Tajus Salatin, Hikayat Aceh, dan

lain sebagainya yang kemudian diterapkan untuk rekonstruksi kesultanan Aceh33.

Karya R.A. Hoesein Djajadiningrat yang juga menerapkan kajian naskah dalam

konstruksi sejarah adalah penelitian Disertasi Doktornya (terjemahan dalam

bahasa Indonesia tahun 1983)34. Meskipun penerapan hasil kajian naskah ini baru

dikaitkan dengan sejarah konvensional, dan belum dikaitkan dengan sejarah

berpendekatan ilmu-ilmu sosial, namun mampu mendorong ahli filologi lainnya

untuk mencoba memakai sumber-sumber naskah itu historiografi sejarah

konvensional, yaitu mengenai timbul tenggelamnya kekuasaan kerajaan dan

silsilah dinasti kerajaan. Karya lain yang juga menggunakan hasil kajian naskah

dilakukan oleh H.J. de Graaf & TH. Pigeud35 dalam menjelaskan dan

merekonstruksi kekuatan Islam di Jawa. Karya yang cukup mengagumkan dengan

menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,

dan bahkan hukum adat) dilakukan oleh Denys Lombard. Lombard36

memanfaatkan berbagai sumber, baik yang berasal dari sumber Eropa, Cina, dan

berbagai naskah lokal.

Contoh karya sejarah sosial ialah pemberontakan petani Cilegon yang

ditulis sebagai Disertasi oleh Sartono Kartodirdjo37. Contoh lain mengenai

historiografi Islam tentang sosial politik termasuk gerakan keagamaan adalah

karya Karel A. Steenbrink38. Karya Steenbrink memberikan gambaran tentang

peristiwa sosial-politik, peran ulama, kehidupan agama, dan kebijaksanaan

pemerintah Hindia Belanda dalam bidang peradilan dan perhajian pada abad

(12)

12 | P a g e

yang relevan dengan sunjek kajiannya. Salah satu contoh kajian sejarah intelektual

atau sejarah pemikiran Islam yang sangat komprehensif ialah Disertasi Azyumardi

Azra39. Dengan sangat mengagumkan Azyumardi Azra berhasil memanfaatkan

tidak kurang dari 28 manuskrip sebagai sumber primernya untuk menelusuri

keterkaitan para ulama Melayu-Indonesia dan 'menjaringnya' dalam sebuah mata

rantai yang sangat panjang "dan tentu saja sangat signifikan" dengan para ulama

Timur Tengah abad 17 dan 18. Karya serupa yang juga menggunakan naskah

dibuat oleh Abdurrahman Mas’ud dalam Disertasinya40. Abdurrahman Mas’ud

memberikan potret historis perjalanan pesantren yang merupakan salah satu

bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia, dan peran para ulama besar yang

menjadi sumber inspirasi serta arsiteknya. Analisis terhadap biografi lima orang

ulama besar Indonesia menjelaskan perkembangan dan bentuk jaringan ulama

Nusantara yang terbentuk pada abad XVII sampai XIX serta posisi dan pengaruh

tanah haram dan pergulatan intelektual yang terdapat di dalamnya terhadap

perkembangan intelektual dan dinamika Umat Islam di Indonesia.

Kesimpulan

Berkaitan dengan penelitian atas wacana keagamaan (baca: Islam) lokal di

Indonesia, naskah – yang sayangnya masih sering terabaikan – sesungguhnya

merupakan salah satu sumber penting paling otentik yang dapat digunakan.

Melalui penelitian atas naskah-naskah keagamaan lokal tersebut, gambaran

tentang dinamika dan perkembangan Islam di suatu wilayah, dengan berbagai

kekhasannya, dapat secara mendalam dikemukakan. Sejumlah kajian atas

naskah-naskah keagamaan yang telah dilakukan oleh sejumlah sarjana menunjukkan

betapa besar sumbangsih naskah-naskah tersebut bagi dunia keilmuan, sehingga –

selain memperkaya literatur keagamaan – hasil kajiannya pun seringkali menjadi

rujukan utama para peneliti.

Naskah-naskah tersebut mencerminkan realitas dan perkembangan

(13)

13 | P a g e

merupakan sumber penting yang tidak dapat diabaikan dalam merekonstruksi

sejarah sosial masyarakat, dalam hal ini masyararakat nusantara. Mengabaikan

naskah-naskah dalam penulisan sejarah sosial sama artinya akan menghasilkan

periwayatan sejarah yang tidak akurat.

Catatan Akhir:

1 Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar Internasional “NASKAH ISLAM

NUSANTARA” , di Pekanbaru, 29 Juni – 1 Juli 2010.

2 Hasbullah adalah Dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin UIN SUSKA Riau. Sekarang

sedang menempuh Program S3 (Ph.D) di Jabatan Antropologi dan Sosiologi, Fakultas Sastera dan

Sains Sosial Universitas Malaya – Kuala Lumpur di bawah bimbingan Prof. Dr. Mohd Fauzi

Yaacob dan Prof. Dr. Wan Abdul Kadir Wan Yusoff.

3Mu‘jizah,“Program Pengembangan Pernaskahan Melayu”. Makalah disampaikan dalam

Seminar Bahasa dan Sastra Daerah Riau, Pekanbaru 13–14 Juli 2007.

4 Achadiati Ikram, Filologia Nusantara. disunting oleh Titik Pudjiastuti dkk., (Jakarta:

Pustaka Jaya, 1997), hlm. 24.

5 Baried, Siti Baroroh, dkk., Pengantar Teori Filologi. Cet. II. (Yogyakarta: Badan

Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1994), hlm. 2.

6 Achadiati Ikram, Op. Cit., hlm.139.

7Edi Sedyawati, “Menyikapi Warisan Budaya” dalam Media Indonesia, 25 Maret 2000.

8 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII. Cet. IV. (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32.

9Ding Choo Ming, “Manuskrip Melayu: Sumber Maklumat Peribumi Melayu”. Makalah

disampaikan dalam Seminar Telaah Naskah, tanggal 18 Juli 2010. Pekanbaru: UIN Suska Riau.

10Ibid.

11Mu‘jizah,Op. Cit.

12 Abdul Latiff Abu Bakar (penyunting), Sejarah di Selat Melaka. (Kuala Lumpur: United

Selangor Press, 1984), hlm. 23.

13 Achadiati Ikram, Op. Cit., hlm.138.

14 S.W.R. Mulyadi, Kodikologi Melayu. (Jakarta: FSUI, 1994).

15 Ding Choo Ming, Op. Cit.

16 Hendri Chambert-Loir & Oman Fathurrahman, Panduan Koleksi Naskah-Naskah

Indonesia Sedunia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999).

17 Gustave E. Von Grunebaum (ed.), Islam Kesatuan dalam Keragaman (terjemahan).

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983), hlm. 21.

18 Zakiyuddin Baidhawy & Mutohharun Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal.

(Surakarta: UMS, 2003), hlm. 50.

19 S.M. Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (terjemahan).

(Bandung: Mizan, 1990), hlm. 38.

20 Ab. Razak Ab. Karim, “Manuskrip-Manuskrip Melayu: Pemancar Gemerlapan Tamadun Kota Aceh dan Buton”. Makalah disampaikan dalam Seminar Telaah Naskah, tanggal 18

Juli 2010. Pekanbaru: UIN Suska Riau.

(14)

14 | P a g e

22Ibid.

23 Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Naskah Sebagai Sumber Pengetahuan Budaya.

(Pekanbaru: UNRI Press, 2000), hlm. 121.

24 Simuh, Aspek Mistik Islam dalam Wirid Hidayat Jati. (Yogyakarta: Yayasan Ilmu

Pengetahuan dan Kebudayaan ‘Panunggalan” Lembaga Javalogi, 1984), hlm. 3.

25 Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Op. Cit., hlm.223-234.

26 Azyumardi Azra, Op. Cit.

27 Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Op. Cit., hlm. 19-34.

28 Azyumardi Azra, Op. Cit. hlm. 32.

29 T.D. Situmorang & A. Teeuw, Sedjarah Melaju. (Jakarta: Balai Pustaka, 1952).

30 Abdul Samad Ahmad, Sulalat al-Salatin Sejarah Melayu. (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1986).

31 Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu; Kajian Tentang Tradisi Sejarah

Melayu Nusantara. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992).

32 Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian

Sejarah Islam di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI, 2006), hlm. 43.

33Ibid.

34 R.A. Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten: Sumbangannya

bagi pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa (terjemahan). (Jakarta: Djambatan, 1983).

35 H.J. De Graaf, & TH. Pigeud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah

Politik Abad XV dan XVI (terjemahan). (Jakarta : Grafiti Press, 2001).

36 Denys. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. 3 Jilid (terjemahan). (Jakarta: Gramedia,

2000).

37 Sartono Kartodirdjo, The Peasents Revolt of Banten in 1888: its Condition, Course and

Sequel. A Case Study of Social Movement in Indonesia. (Den Haag: Nijhoff, 1966).

38 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. (Jakarta:

Bulan Bintang, 1984.

39 Azyumardi Azra, Op. Cit.

40 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek

Referensi

Dokumen terkait

Anak secara naluriah aktif bergerak, anak akan menuju ke mana saja sesuai dengan yang diminatinya atau disenanginya serta dengan aktivitasnya itu, anak memenuhi kebutuhan

Ezzel kapcsolatban nem ártott volna azért ennek a ténynek az okát is keresni, hiszen a jelenség elsősorban azzal függ össze, hogy a példák latin megfelelőiben túlnyomórészt a

[r]

Dalam penelitian ini analisa univariat digunakan untuk menggambarkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan perubahan tekanan darah

Sedangkan Angka Melek Huruf penduduk umur 10 tahun ke atas di Kabupaten Purbalingga di Tahun 2012 tercermin dari penduduk yang pernah duduk di bangku sekolah yaitu sebesar

BAB IV Analisis Data terhadap Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah untuk Peningkatan Mutu Belajar Siswa terdiri dari dua bagian, yaitu Analisis Terhadap Penerapan Manajemen

Yoga Atma merupakan lembaga konsultasi dan konseling dengan memberikan tes psikologi sebagai alat ungkap masalah siswa, lembaga ini mendapat kepercayaan

sering terjadi. Efek samping yang pernah dilaporkan diantaranya sakit kepala, pusing, demam, mual, muntah, sakit otot, lemas, gatal, diare, dan mengantuk. Menurut WHO,