• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN DALAM PARADIGMA KRITIS pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBANGUNAN DALAM PARADIGMA KRITIS pdf"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN DALAM PARADIGMA KRITIS Oleh: Tantan Hermansah dan Endriatmo Soetarto

ABSTRAK

Pembangunan adalah term yang cukup membius di abad ini. Tidak Terkecuali dalam pengembangan kebijakan sosial. Untuk itu, agar tidak terjebak pada ekstase pembangunan itu sendiri, maka pendekatan yang tepat harus dipergunakan. Salah satunya dengan pendekatan kritis. Pendekatan kritis secara sederhana menawarkan bahwa sejatinya pembangunan harus berdiri pada keberpihakan yang nyata. Sehingga pembangunan bukan tujuan, tapi alat untuk mengembangkan kesejahteraan sosial.

Key words: Pembangunan, Kesejahteraan, Teori Kritis

I. PENDAHULUAN

Pembangunan merupakan term yang paling populer dalam sistem sebuah pemerintahan. Hal demikian terjadi karena term ini

merupakan representasi dari sebuah proses kemajuan pada sebuah entitas, bangsa, komunitas, dan sebagainya, serta

merupakan ‗wujud nyata‘ keberperanan sebuah negara dalam menyejahterakan masyarakatnya. Oleh karena melibatkan publik dan pemerintahan, term ini tentu mengandung bias politik.

Sehingga pembangunan akan berkaitan erat dengan kebijakan di tingkat elit politik. Bahkan tidak jarang pembangunan merupakan

‗ideologi‘ sebuah proyek dan gagasan kemajuan.

Dalam konteks Indonesia setidaknya wacana pembangunan

mengkristal dalam proyek politik Orde Baru dalam slogannya yang

(2)

dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meskipun ideologi

pembangunanisme itu ‗pernah‘ bersejarah, namun ternyata

pembangunan yang hanya mengandalkan tampakan fisik semata tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Orde Baru, seperti kita saksikan sendiri, kemudian ambruk berkeping-keping.

Masuklah Orde Reformasi dengan segala program dan proyeknya. Bagaimana arah pembangunan dari orde ini, belum bisa nampak dengan jelas (meskipun dalam semua target dan rumusan

pembangunan disebutkan dalam Propenas). Gonjang-ganjing politik, kepemimpinan, persoalan sosial seperti konflik horizontal di berbagai wilayah, serta ancaman disintegrasi terlalu menyita banyak waktu pemerintahan kita, sehingga meraka terlihat abai dalam merumuskan arah pembangunan Indonesia ke depan. Dengan berbagai realitas tersebut, tulisan ini ingin melihat sisi lain dari program pembangunan, yakni mengajukan analisis pembangunan dengan perspektif kritis.

II. PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN SOSIAL 1. Hakekat Kebijakan Sosial

Satu masalah krusial dalam proses transformasi sosial dewasa ini adalah krisis kebijakan sosial (social policy) yang sering

menimbulkan konflik antara pihak pembuat kebijakan dengan masyarakat. Kebijakan sosial yang sejatinya menjadi instrumen sosial dalam mengatur sumber daya ekonomi dan politik demi kesejahteraan masyarakat banyak sering disalahartikan dan disalahgunakan terutama oleh praktek teknokrasi yang kuat (strong technocracy) dengan proses pembuatan kebijakan sosial yang cenderung elitis.

Kebijakan sosial merupakan suatu raison d’etre bagi tata sosial-politik modern yang disebut republik. Republik (res publica),

sesuai dengan artinya, adalah urusan atau kepentingan publik. Di dalam sebuah res publica semua masyarakat satu suara terutama

dalam menginginkan adanya ‗hidup bersama‘ (shared life) dalam sebuah tatanan kebangsaan.Tatanan kebangsaan tersebut

(3)

penghargaan atas setiap tindakan atau eksistensi seseorang. Dengan kata lain, sebuah res publica memberikan kemungkinan yang besar kepada masyarakat untuk hidup lebih sejahtera sekaligus beradab. Di sini bangsa dan negara Indonesia adalah cita-cita mengenai sebuah tatanan res publica (urusan bersama).

Dalam pergulatan sosial dan kebangsaan menuju res publica sejati, maka setiap elemen kebangsaan: negara, masyarakat dan pasar (sektor bisnis) harus bersatu untuk menciptakannya. Termasuk di dalamnya adalah setiap produk perundangan yang dikeluarkan untuk menciptakan asas legalitas harus tetap

disandarkan kepada prinsip res publica. Dengan sendirinya setiap kebijakan yang tidak mencerminkan kepentingan res publica, atau hanya untuk memenuhi kepentingan sekelompok tertentu harus ditentang kemunculannya. Dengan demikian, kebijakan sosial bersifat publik bukan karena ia menjadi urusan pemerintah saja, melainkan karena perkaranya menyangkut urusan kesejahteraan bersama (common welfare).

Sebagai contoh yang baik adalah kebijakan politik yang

dikeluarkan oleh Pemerintah AS di masa F.D. Roosevelt1 dan Bill Clinton2. Di dua masa yang berbeda tersebut, kondisi

perekenomian AS sedang berada pada masa kritis—meskipun dengan tensi yang berbeda-beda.

Di masa FD. Roosevelt AS tengah mengalami apa yang dikenal

sebagai ‗the great depression’. ‘The great depression’ adalah satu keadaan sosial-ekonomi masyarakat AS sedang ada dalam kondisi krisi yang sangat parah. Bank-bank berhenti karena tidak ada dana yang bisa digulirkan; pabrik-pabrik tutup karena tidak modal; pelayanan publik seperti kesehatan dan sanitasi,

1 Beberapa bahan untuk menjelaskan tentang F.D. Roosevelt diambil dari William D. Pederson and Frank J. Williams (ed.) Franklin D. Roosevelt an Abraham Lincoln: Competing Perspectives Two Great Presidencies, M.E. Sharpe: England. 2003; dan Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

(4)

perumahan layak dan sebagainya sangat buruk; pengangguran meningkat dan sebagainya. Sehingga keadaaan seperti itu jika dibiarkan begitu saja akan berdampak kepada situasi sosial politik dan sistem demokrasi yang jadi acuan politik bangsa itu, terutama karena berkembangnya paham komunis.

Namun demikian, FD. Roosevelt justru menyerukan kepada rakyatnya agar menghadapi krisis bersama-sama. Seruan yang kemudian diwujudkan dalam penyaluran dana ke bank-bank, perlindungan pekerja, peningkatan pelayanan publik dengan menggunakan dana pemerintahan federal dan sebagainya,

akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan rakyat AS kepada pemerintahannya.

Hampir serupa dengan FD. Roosevelt, Clinton juga melakukan program peningkatan kesejahteraan dengan slogannya reformasi kesejahteraan. Dengan reformasi yang dilakukanya, Clinton bukan saja berhasil menahan laju defisit anggaran yang terjadi selama pemerintahan sebelumnya, Bush, malah lebih dari itu ia mampu meningkatkan dana devisa pemerintahan berlipat-lipat.

Inti dari keberhasilan kedua pemimpin tersebut karena dalam melaksanakan kebijakannya selalu berpihak kepada publik.

Sehingga di sinilah kita bisa melihat manifestasi res publica dalam kebijakan politik. Kedua pemimpin tersebut hanya satu contoh dari sekian contoh yang banyak. Namun intinya, setiap kebijakan yang berpihak kepada publik—rakyat banyak--, selalu berujung kepada meningkatkatnya kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negaranya.

Dalam tatanan demokrasi, setiap kebijakan merupakan bentuk dari kontrak politik yang berjenjang; sehingga tiap urusan kenegaraan dalam lembaga, bentuk dan detailnya merupakan urusan publik, urusan segenap warga negara3. Sehingga prisip

‗hidup bersama‘ (shared life) yang kita sebut sebagai ‗Indonesia‘ merupakan bentuk wujud akhir dan orientasi dari sebuah

(5)

kebijakan yang disusun sebagai cita-cita sebuah tatanan res publica (urusan bersama).

Dalam konteks seperti ini kita bisa melacak bagaimana spirit res publica sangat bersambungan erat dengan krisis nasional yang tengah terjadi. Sebab ketika spirit untuk mendukung terciptanya res publica tidak ada, hampir bisa dipastikan bahwa kita tengah berada di gerbang krisis. Di titik soal ini pula, sekali lagi, mungkin kita sepaham bahwa apabila terasa ada ancaman yang beresiko tinggi terhadap tatanan sosial-politik yang mendasari

kelangsungan hidup bersama kita, maka itulah ‗krisis nasional‘.

Alasan latar belakang bahwa kita ini adalah bagian dari suatu

‗bangsa‘ yang harus memelihara persatuan dan kesatuan tidaklah

sukar untuk direka-reka, baik itu lewat pengalaman ‗sejarah

politik‘ maupun dari ‗identitas sosial-kultural‘-nya yang telah ditanamkan sejak berabad-abad lalu oleh nenek moyang dan orang-orang tua kita. Dikatakan ‗direka-reka‘ karena kelahiran

‗bangsa‘ (nation) memang tidak pernah terindentifikasi secara gamblang, apalagi bersifat given. Dalam bahasa Anderson,

kelahiran ‗bangsa‘ tak lain karena ia memang dialasi sebuah

imagined community4. Suatu proses yang melahirkan embrio sense of nation namun tak bisa dibidik secara akurat oleh kita kapan sesungguhnya momen kelahiran itu tumbuh.

Menarik sorotan Herry-Priyono (2003) yang mengkonstatir bahwa

heboh kita tentang ‗pemimpin dan kepemimpinan‘ bisa jadi hanyalah kegaduhan kita mengenai ketidakberdayaan dan

mungkin juga kemalasan diri kita untuk mengkoordinir cita-cita hidup bersama dalam wadah sebuah bangsa itu menjadi sebuah realitas. Di sisi lain, bangsa ini juga tengah mengalami kesanksian kepada tegaknya supremasi hukum dalam kehidupan mereka.

(6)

Memang ketaatan kepada hukum dan aturan dibenarkan hanya jika hukum dan aturan itu mengacu kepada kemaslahatan umum dan kebaikan bersama (general welfare and publlic good). Namun demikian, apapun keadaannya, bagaimanapun produk hukumnya, bangsa ini yang jelas tengah mengalami ketidakpercayaan yang sangat besar5.

Sehingga untuk menegakkannya, prinsip persamaan antar manusia (egalitarianisme) menjadi kunci penting. Pandangan persamaan ini menghasilkan pola partisipasi umum dari seluruh warga negara, yang sekali lagi tanpa diskriminasi. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat dengan sendirinya harus

berkembang faham kemajemukan (pluralisme). Di sini warga dapat bergaul dengan tulus dengan perbedaan-perbedaan yang tetap dapat dibingkai oleh keadaban (pluralism is genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap untuk menerima perbedaan semata-mata tidak sebagai kenyataan belaka, melainkan sebagai

kelebihan (asset). Sebab, perbedaan ini dapat memperkaya dan memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang (cross breeding) seperti yang dikenal dalam bidang biologi, atau pertukaran silang budaya dalam istilah Lombard6.

2. Kebijakan Sosial yang Bukan-Publik

Dengan melihat berbagai gejala sosial yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan permasalahan kebijakan sosial, ternyata belum sepenuhnya mencerminkan sebuah kebijakan yang memihak kepada publik. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebijakan sosial

yang terjadi selama ini sebagai ‗kebijakan bukan publik‘. ‗Kebijakan bukan-publik‘ muncul dari persepsi yang dibangun

‗hanya‘ oleh penguasa saja. Kebijakan ini lahir sebagai bentuk perwujudan ‗keberkuasaan‘ negara dalam menentukan berbagai

hal—terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Salah satu bentuk ‗kebijakan bukan publik‘ adalah ideologi

5 Herry-Priyono, 2003. Kepemimpinan Republik Kita. Makalah. Tulisan ini juga kemudian diterbitkan oleh Kompas. Selengkapnya lihat: www.kompas.com/kompas-cetak/0310/01/Bentara/580407.htm - 58k

(7)

pembangunan Orba yang lebih mengandalkan pertumbuhan (dengan konsepsinya sendiri).

Berdasarkan kepada logika bahwa masyarakat Indonesia saat itu lebih memerlukan kesejahteraan ekonomi—ketimbang politik, langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soeharto adalah melakukan pembaruan ekonomi. Dengan suatu ketetapan MPRS tentang pembaruan ekonomi yang bisa dijadikan acuan bagi langkah-langkahnya ke depan, atas dukungan para ekonom UI yang menjadi penasehat ekonominya, keluar lah TAP MPR No. XXIII, tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembaruan Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

TAP MPRS yang isinya digodok oleh tim ekonomi Soeharto dibawah pimpinan Dr. Widjojonitisastro ini, dikemudian hari dikenal sebagai tonggak dari pembentukan idiologi, arah dan strategi pembangunan di masa Orde Baru (Visi Pembangunan Orde Baru). Isi ketetapan MPRS tersebut merinci tiga tahap program pembangunan7. Pertama, tahap penyelamatan, yaitu mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi; kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi lewat pengendalian inflasi dan memperbaiki struktur ekonomi; ketiga, tahap pembangunan ekonomi.

Dalam rangka pelaksanaan TAP tersebut, maka tanggal 25 Juli 1966 atas inisiatif Soeharto dibentuk kabinet baru yang

diberinama Kabinet Ampera. Sedangkan untuk menangani masalah-masalah ekonomi secara efektif, ia membentuk badan khusus yang diketuainya, yaitu Dewan Stabilisasi Ekonomi. Tugas dari Dewan ini adalah merumuskan dan menerapkan peraturan pemerintah mengenai stabilisasi ekonomi dan mengamati

perkembangan pasar sehari-hari.

Selanjutnya para ekonom yang selama ini bekerja dibelakang kepemimpinannya diangkat secara resmi menjadi penasehat Presiden. Mereka adalah Dr. Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Dr. Emil Salim, Dr. Ali Wardhana, dan Dr. Subroto; yang

(8)

kesemuanya kelak masing-masing pernah menduduki jabatan sebagai Menteri di bidang perekonomian. Di kemudian hari, sejarah kepemimpinan Soeharto tidak bisa dipisahkan dari peranan para ekonom tersebut; dan merekalah yang kemudian menjadi kelompok teknokrat yang merancang dan mengendalikan roda kebijakan ekonomi selama pemerintahan Presiden Soeharto.

Di bawah kepemimpinan sera bayang-bayang para teknokrat ini, maka arah dan strategi pembangunan bergerak dari pendulum politik (menitik beratkan pada pembangunan politik) ke pendulum ekonomi (menitik beratkan pembangunan ekonomi). Sehingga kalau pada masa demokrasi terpimpin sering muncul kata-kata

‗politik adalah panglima‘ maka selama kepemimpinan Presiden Soeharto semboyannya adalah ‗politik no, ekonomi yes‘.

Kepemimpinan yang menempatkan pembangunan ekonomi

sebagai haluan utama sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi Soeharto. Sejak sebagai Panglima TT-IV/Diponegoro ia memang sangat menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan pokok

(ekonomi) para anak buahnya. ‗…masalah mereka yang

sebenarnya berputar soal kebutuhan pokok, soal atap tempat berlindung, soal menyekolahkan anak, soal kesehatan. Saya tahu bukan senjata saja yang dapat memenangkan peperangan, tetapi

juga yang berada dibelakang senjata itu. …maka saya

berkesimpulan, perlu dibangun kegiatan koperasi di seluruh kesatuan TT-IV/Diponegoro..‘, demikian tutur Soeharto dalam otobiografinya.

Dalam perkembangannya kemudian, gagasannya ini menjadi titik awal dari munculnya era bisnis militer dengan menggunakan Yayasan atau Koperasi; yang dalam berbagai kegiatannya antara lain memanfaatkan kemampuan bisnis para pengusaha,

khususnya keturunan China, seperti Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan lain sebagainya. Oleh para pengkritiknya, pola kegiatan

ekonomi bisnis seperti ini dianggap menjadi sumber dari praktek KKN, yang sejak dekade 1990-an semakin merusak kredibilitas kepemimpinannya.

Dari sini, sesungguhnya kebijakan pembangunan ekonomi

(9)

dari kebijakan yang diambilnya hanya berujung kepada

kesejahteraan sebagian kalangan yang menjadi kolega penguasa saja. Dengan gagasan ‗trickle down effect‘nya, pemerintahan Orde

Baru mengandaikan bahwa dengan ‗mengkatrol‘ sebagian orang

untuk menjadi pebisnis (konglomerat), secara otomatis kalangan bawah akan merasakan kesejahteraan karena ada tetesannya. Orde Baru melupakan pembangunan politik, sehingga di era ini relasi bisnis dengan politik yang terjadi selalu tidak sehat; keduanya berdiri tidak dalam konpetisi untuk menesejaterakan rakyat, namun individu-individu. Di sini pula ketimpangan sosial bermula.

Sehingga secara ringkas kebijakan bukan publik muncul karena beberapa anggapan yang didasarkan pada kenyataan berikut:

1. Kebijakan sosial seringkali lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi daripada sebagai aktualisasi kedaulatan masyarakat yang seharusnya tercermin dalam produk kebijakan itu sendiri.

2. Kebijakan sosial yang semestinya untuk memenuhi kepentingan publik juga kurang sigap di dalam menanggapi perubahan dan dinamika masyarakat yang sangat kompleks, bahkan terlihat kaku dan dipaksakan.

3. Keterlibatan masyarakat secara substantif dalam proses kebijakan sosial (baik pada tahap formulasi, implementasi maupun evaluasi) juga sangat minim--untuk tidak mengatakan absen sama sekali. Publik hanya menjadi sasaran dan obyek dari kebijakan (yang belum tentu tepat), dan bukan sebagai pihak yang turut menentukan, mengawasi dan mengkritik proses kebijakan sosial tersebut.

Dalam hal ini, kebijakan sosial yang dikeluarkan selalu

(10)

sangat parasitik8. Padahal demokrasi membuka kesempatan untuk melakukan koreksi, perbaikan, dan pergantian kekuasaan lewat pemilihan umum. Pemilu membuka peluang bagi

terselenggaranya persaingan politik secara terbuka dan fair. Agar pemilu demokratis, harus berlaku pula faham liberal yang

menjamin kebebasan, hak asasi, dan persamaan martabat manusia.

Patronase birokrasi atas partai-partai tak hanya berdampak pada munculnya diskriminasi, pemihakan, dan subyektivitas dalam

‗pembinaan politik‘, tapi juga makin hilangnya moralitas politik di

antara para pelaku politik sendiri. Pencopotan Megawati Soekarnoputri dan penobatan kembali Soerjadi dalam PDI merupakan contoh paling jelas dari kecenderungan tersebut. Di sisi lain, ukuran keberhasilan perjuangan politik pun lebih

ditafsirkan sebagai kemampuan merebut kursi ketimbang sebagai upaya terus-menerus memperkokoh tradisi berdemokrasi9.

Dalam konteks seperti ini pula pemerintah demokrasi yang

bersendi pada kedaulatan rakyat, lebih-lebih lagi terpanggil bahwa tugas dan komitmennya adalah mewujudkan kesejahteraan

rakyat. Memberantas kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja. Mewujudkan keadilan dengan menempuh kebijakan sosial ekonomi yang berdimensi pemerataan dan keadilan serta tegaknya hukum yang adil dan pasti. (kompas, Kamis, 17 Juli 2003).

Namun demikian, di aras kekuasaan sendiri terjadi berbagai ironi. Sebagai contoh adalah terbitnya beberapa kepres yang

mengandung bias kekuasaan: 11 Keppres yang mangandung materi muatan UU atau PP, 32 Keppres yang mangandung materi muatan terlalu teknis, 2 Keppres yang mengandung materi

muatan Perda, dan 1 Keppres yang materi muatannya telah melangkahi kewenangan yudikatif. Bahkan ada 8 Keppres yang

8 Masalah paternalisme dan parasitik ini diulas cukup tegas oleh Soesilo Bambang Yudhoyono,. Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik dan Good Governance. Bogor: Brighten Press, 2003

(11)

legalitasnya dipertanyakan, berbau kepentingan keluarga/kolega dekat penguasa dan sebagainya (MTI, 1998).

Kelemahan-kelemahan seperti disinggung di atas sesungguhnya tidak terlepas dari hakekat Kebijakan Sosial Tradisional itu

sendiri. Secara ringkas, model kebijakan sosial tradisional adalah sebagai berikut:

Hakekat Kebijakan Sosial Tradisional

Desain Didesain sebagai kebijakan teknokratis

untuk memenuhi ‗kebutuhan-kebutuhan‘ dari penerima pasif atas berbagai transfer dan layanan

Metodologi Bersandar pada basis epistemologi

positivistik dengan model kuantitatif dan obyektivistik

Proses Kebijakan disusun dan dilaksanakan sebagai tahapan yang berbeda dan

berturutan yang dipisahkan secara tegar (rigid), yaitu antara tahap formulasi, implementasi, dan evaluasi

Cakupan Kebijakan sosial mencakup kebutuhan-kebutuhan (needs) yang dianggap berlaku umum dengan mengabaikan dimensi pemaknaan subyektif atas problem dari pihak penerima kebijakan yang sangat beragam

(12)

Pelaku Negara-bangsa sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan kebijakan sosial—delivery melalui jalur kementerian menurut sektor-sektor tertentu

Partisipasi Publik

Kebijakan disusun secara top-down dan satu arah. Partisipasi publik sangat lemah dan kalaupun dilibatkan hanya pada tahap persiapan penyusunan (formulasi)

kebijakan, tanpa ada akses atas pengawasan, kontrol dan input balik

terhadap proses pelaksanaan kebijakan itu sendiri

Sumber: Moh. Shohibuddin, 2003

Berangkat dari konstruk positivisme, praktek teknokrasi adalah suatu bentuk penggunaan pengetahuan yang rigid oleh para pembuat kebijakan dalam menganalisis masalah sosial dan

menyusun kebijakan publik. Muatan positivisme dapat dilihat dari paradigma para teknokrat (pelaku teknokrasi) yang memodelkan permasalahan sosial seakan-akan dia merupakan sebuah entitas yang bersifat rasional. Selanjutnya dalam menyusun kebijakan publik, teknokrat positivisme menggunakan pendekatan

sistematis, metodis, terukur, dan bersifat teknis.

(13)

inilah yang tidak masuk dalam kamus para teknoktrat positivisme ketika menyusun kebijakan publik sehingga kebijakan yang

dihasilkan dengan mengandalkan asumsi yang rigid dan tuna makna tidak jarang justru menghasilkan masalah.

Dari tabel di atas terlihat bahwa kebijakan sosial tradisional ditandai oleh sekurangnya empat keterbatasan mendasar berikut ini.

1. Reduksionistis; didasarkan pada paradigma positivistik

yang membatasi problem pada sesuatu yang ‘riil’ dan ‘obyektif’ serta dalam rangka kepentingan teknis (cq. rasionalitas

instrumental) (gambaran singkat bisa dilihat di atas).

2. Statis; identifikasi masalah dianggap dapat dicapai melalui

telaah secara obyektif dan netral, berlaku umum, dengan mengabaikan sifat dinamis, konstitutif dan interaktif dari kenyataan sosial; singkatnya, bercorak absolutis.

Dalam hal ini kita banyak menemukan betapa segala kebijakan pembangunan merupakan perpanjangan tangan dari proyek pemerintah pusat, yang telah melalui serangkaian telaahan

mereka. Sehingga ekspresi-ekspresi multi-kultural yang berbeda di berbagai wilayah dan daerah tidak diperhatikan. Bahkan di

beberapa kasus, ekspresi budaya lokal tersebut dipamerkan di

musem provinsi, yang dilihat hanya sebagai ‗tontonan‘ yang hanya

dilihat sebagai kesatuan Indonesia10.

Di era reformasi, ketika segala keterbukaan yang dipelopori Habibie terjadi, ekspresi ini kemudian diakomodir lewat Undang-undang tentang Otonomi Daerah, yakni UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 yang dengan adanya UU ini, secara otomatis segala ekspresi keragaman kultural dituntut untuk maju sendiri (namun tetap dalam kerangkan kesatuan dan kebangsaan Indonesia), dengan mengurangi banyak peranan pemerintahan pusat.

(14)

3. Sentralistik-korporatis; semua tahapan proses kebijakan adalah monopoli dari para expert dan badan-badan publik negara yang dilakukan secara top-down sebagai sebuah keputusan

teknokratis; dengan hanya melibatkan tingkat minimal partisi- pasi publik. Sifat sentralistis ini pada rezim Orde Baru bahkan

berkembang lebih jauh dalam wujud praktek korporatisme. Dalam praktek ini penyelenggaraan kebijakan sosial disalurkan dengan mengandalkan pada institusi-institusi kemasyarakatan yang diciptakan negara itu sendiri. Akibatnya, institusi-institusi kemasyarakatan tersebut lebih berfungsi sebagai representasi kepentingan supra-struktur daripada sebagai aktualisasi gerakan masyarakat.

Korporatisme Negara yang pernah dilakukan oleh Orde Baru di antaranya membuat/mendorong berdirinya lembaga-lembaga masyarakat warga (civil society) yang disponsori oleh negara dan menjadikannya satu-satunya lembaga masyarakat yang mewadahi satu ekspresi sosial-agama-kultural. Sebagai contoh, tahun 1975, pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI)yang

bertugas: Pertama, memberikan fatwa atas berbagai persoalan keagamaan. Kedua, mempererat tali persaudaraan Islam. Ketiga, mewakili umat Islam dalam komunikasi dengan kelompok agama lain. Keempat, menjadi mediator antara pemerintah dengan

ulama. Dan kelima, menerjemahkan kebijakan pemerintah mengenai pembangunan agar mudah dipahami masyarakat umum. MUI merupakan sampel dari salah satu strategi politik

utama Orde Baru yakni ‗korporatisme negara‘ di mana berbagai organisasi agama, profesi, dan semacamnya disatukan dalam satu wadah tunggal untuk mempermudah kendali negara. Bahkan, pemerintah Orde Baru pada tanggal 17 Juni 1985, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan UU No 8/1985 tentang

Organisasi Masyarakat (ormas), di mana seluruh organisasi sosial yang ada harus mencantumkan Pancasila sebagai asas

organisasinya. Rupa-rupanya Orde Baru hendak pula

mengendalikan ‗jiwa‘ atau ‗roh‘ ormas dengan penerapan ‗asas tunggal‘11. Selain MUI tentu masih banyak lagi bentuk

11 Pratikno, “Kelembagaan Politik Desa”.Makalah Disampaikan pada Pertemuan

(15)

korporatisme negara yang terwujud dalam kehidupan sosial-politik.

Apa yang dipertontonkan rejim Orde Baru tersebut selain

merupakan bentuk korporatisme negara juga merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan. Dalam hal ini publik hampir tidak

memiliki kekuasaan, karena segalanya merupakan relaitas dari politik serba-negara (etatism). Sehingga dalam konteks seperti ini, negara menjadi satu-satunya wadah tempat terjadinya proses sosial yang terjadi pada warganya.

4. Ekonomistis; kebijakan sosial adalah produk dari

identifikasi kebutuhan sebagai sesuatu yang bersifat ekonomistis semata dan dengan unit sasaran yang terpaku pada ekonomi rumah tangga. Hal ini mengesampingkan hal-hal lain, misalnya menyangkut isu-isu khas dalam masyarakat pluralistik, seperti soal identitas, sistem nilai dan sosial yang beragam, distribusi aspirasi dan pengetahuan, dan sebagainya.

Dalam beberapa hal, ekonomisme merupakan bentuk lain dari pembangunanisme. Namun demikian, term ini memiliki

kerawanan arti karena bisa diartikan sebagai spirit untuk ‗hanya‘ mengambil keuntungan ekonomi saja dalam berbagai investasi, baik itu politik, sosial, maupun budaya.

III. Arah Baru

Menyadari keterbatasan di atas, maka perlu arah baru bagi kebijakan sosial yang lebih dinamis dan responsif serta bisa mendekatkan pada definisi dasarnya sebagai alat untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat. Arah baru ini sebenarnya telah tercermin dalam perkembangan wacana kebijakan mutakhir yang mulai bergeser pada penekanan atas karakter perubahan dari setiap kebijakan; yakni melalui wacana perubahan kebijakan (policy change), bukan lagi pembuatan kebijakan (policy making).

Dalam wacana ini, kebijakan tidak dibayangkan lagi sebagai suatu produk yang final dan ditetapkan secara searah. Namun,

(16)

timbal-balik di antara berbagai pihak yang berkepentingan atasnya. Dengan kata lain, wacana ini memandang kebijakan

sosial sebagai ‗a matter of public negotiation‘ yang memungkin terus berubah dan diperbaikinya setiap tahapan proses kebijakan sosial, baik pada fase formulasi, implementasi maupun evaluasi.

Dengan adanya wacana perubahan kebijakan ini, yang diikuti dengan inovasi kebijakan, maka kebijakan sosial lalu menjadi sesuatu yang lentur dan tidak bisa dianggap sebagai hal yang kaku atau apalagi final oleh pihak yang merasa memiliki otoritas atasnya. Hal itu dengan sendirinya akan membuka ruang bagi

‗debat publik‘; suatu tuntutan yang kian tak terelakkan ketika

peran-peran politik dari masyarakat semakin kuat sejalan dengan berlangsungnya proses demokratisasi (Ruang Sosial

Semi-Otonom).

Contoh Jalinan Politik dan Ekonomi

Dari rangkaian fakta dan berita di media massa, terutama

sedikitnya dari berbagai fakta deskriptif di atas tadi, hal tersebut memperlihatkan bahwa ekonomi dan politik saling mempengaruhi, terutama jika bidang ekonomi politik dan politik ekonomi ini

masuk dalam konteks negara yang sedang membangun – seperti Indonesia. Kesalingterpengaruhan antara politik dan ekonomi sebenarnya bukan diskursus yang baru. Dari sejarah, pemikiran politik dan ekonomi terlihat bahwa politik dan ekonomi memang saling mengandaikan. Dalam diskursus klasik, politik selalu diartikan sebagai persoalan kekuasaan atau lebih tepat dikata politik berbicara bagaimana mengelola dan mempertahankan kekuasaan. Sementara itu, ekonomi didefinisikan sebagai

persoalan hajat hidup manusia. Lebih banyak ekonomi dikatakan sebagai bagaimana mengusahakan, mengelola dan

mendistribusikan secara lebih baik sumber daya yang pada kenyataannya mempunyai keterbatasan atau langka.

Dari margin pembatasan istilah di atas maka sebetulnya ekonomi dan politik sekaligus sebaliknya memuat sebuah sinergi pengaruh. Sinergi dua bidang itu adalah ketika ekonomi melingkupi,

(17)

aspek kekuasaan. Kekuasaan yang mempunyai kemampuan memberikan proses jaminan dan kepastian cara bermain dan berbagi hasil dalam konteks manajemen sumber daya yang langka. Dan itu soal politik.

Sebaliknya ketika sebuah struktur kekuasaan politis menjadi tujuan tetap saja harus didukung dengan kemauan dan

kemampuan pengaturan, pengelolaan hajat hidup yang layak bagi para warganya. Kekuasaan politis yang legitim bukan semata-mata harus mempunyai legitimasi sosial tapi juga harus mempunyai legitimasi ekonomis yang terwujud dalam sistem manajemen kehidupan ekonomis yang layak atau setidaknya adil.

Kekuasaan politis akan mengalami ‗delegitimasi‘apabila politik tidak memberikan jaminan kehidupan ekonomi yang adil, jaminan kepastian hukum dan jaminan solidaritas warga negara yang plural.12

Menuju Paradigma Kritis dalam Kebijakan Sosial

Sebelum menjelaskan bagaimana model paradigma kritis dalam kebijakan sosial, ada baiknya kita melihat cermin untuk arah baru ini, yakni reformasi kebijakan sosial yang termuat dalam gerakan

‗jalan ketiga‘. Tujuh tesis kebijakan sosial yang dikemukakan oleh Giddens (1999) dalam ‗the third way’ adalah: Pertama, perlu ada kesadaran bahwa ekonomi dan politik lebih merupakan seni. Sampai titik tertentu, banyak ekonom dan ahli politik menyatakan bahwa mereka sering membuat kebijakan yang tidak selalu dapat memecahkan seluruh persoalan. Kedua, perlu ada kesadaran bahwa energi kebijakan ekonomi dan politik masih banyak berhitung dengan fakta sosial yang tumbuh dalam masyarakat, yaitu pertumbuhan real ekonomi rakyat, fluktuasi masalah ekonomi dan sosial, kemiskinan, soal pengangguran dan

pemerataan hasil ekonomi yang cepat berubah dalam hitungan detik dan menit.

Ketiga, perlu ada kesadaran bahwa negara harus memperhatikan meritokrasi terbatas dan kebijakan negara investasi sosial. Dalam

(18)

meritokrasi terbatas, kebijakan sosial dan ekonomi berpusat pada

kesempatan yang sama dan ‗fair‘. Kesempatan untuk

memdapatkan sumber barang dan jasa yang langka tetap harus dibuka meski kemampuan untuk mencapainya tidak sama. Negara berinvestasi secara sosial dengan tetap memperhatikan jaminan dan perlindungan sosial tapi tidak serta merta bahwa

negara menciptakan ‗generasi malas‘ atau masalah ketidakadilan

dalam prinsip pemberian jaminan sosial.

Keempat, masalah welfare-state (negara sejahtera) bukan semata-mata soal ekonomi. Tapi negara sejahtera mempunyai akar

historis dan ideologis, di mana negara wajib menyelenggarakan dan menjamin kesejahteraan warganya. Dan ini adalah soal politik. Kelima, skema kapitalisme yang berhati nurani

(compassionate capitalism) adalah preseden politik dalam skema ekonomi politik yang berkembang sampai sekarang. Politik dan ekonomi tidak lagi selalu berada dalam ranah ideologi yang berbeda. Kenyataan sekarang banyak negara yang menganut

sistem mixed economy dan mengambil ‗jalan ketiga‘ daripada

sekedar soal negara kapitalistis (dengan dasar ekonomi liberalisme klasik dan Keynesianisme) atau negara sosialis. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan partai jalan tengah yang merangkul

kapitalisme dan memeluk sistem sosial seperti Inggris dengan kebijakan Tony Blair, Italia dengan ekonomi mixed-nya Romano Prodi, Jerma dengan sosial demokratnya Gerard Schoeder, ekonomi Amerika yang gilang gemilangnya Clintonomics.

Keenam, modifikasi mixed-economy ini mengakibatkan timbulnya gejala dan agenda ekonomi politik global dan multilateral. Dan ini melibatkan perusahaan multinasional. IMF, World Bank, WTO, EU justru menjadi multinational enterprises yang mempunyai

kekuatan hegemoni bagi sistem politik dan ekonomi lokal.

(19)

institusi sosial yang sah, yaitu negara. Sehingga negara masih penting. 13

Dari tujuh tesis yang digambarkan oleh Giddens di atas, kita bisa memetik pelajaran berharga tentang upaya yang menyeluruh dan terpadu dari suatu kebijakan yang memihak kepada publik. Dengan pulus-minusnya, ‗third way’ merupakan bentuk dari kebijakan yang sedapat mungkin diarahkan kepada pemihakan publik lebih besar ketimbang kelompok tertentu.

Arah baru seperti dikemukakan di atas sudah sepatutnya apabila diarahkan untuk dapat mewujudkan suatu paradigmatic shift dalam kebijakan sosial. Dalam kaitan ini, Teori Kritis dalam khazanah ilmu sosial dapat dijadikan sebagai alternatif paradigmatik untuk pergeseran dimaksud.

Praksis sebagai tindakan komunikatif, sebaliknya, merupakan tindakan yang dicirikan oleh interaksi yang bersifat inter-subyektif dengan bahasa sehari-hari. Praksis ini tidak didasarkan pada

orientasi penaklukan, seperti halnya dalam ‗paradigma kerja‘,

melainkan lebih dimaksudkan untuk mencapai konsensus kolektif yang bebas dominasi. Dan konsensus semacam itu hanya bisa dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif yang berhasil melakukan interaksi komunikatif yang memuaskan.

Dengan demikian, ‗kritik‘ dalam tindakan komunikatif mencakup

pengertian sebagai berikut

1. Ia adalah kritik karena membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan dengan memberi perangkat pada semua pihak untuk membebaskan diri dari selubung ideologi dan kesadaran palsu yang ada pada masing-masing pihak.

2. Namun demikian, kritik itu bukanlah lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan lewat cara argumentasi. Revolusi adalah kritik dalam kerangka hubungan kerja di mana kritik berarti perjuangan kelas revolusioner; penaklukan kelas oleh kelas.

(20)

3. Kritik dalam tindakan komunikatif didasarkan pada sentralitas argumentasi: partisipan berusaha membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa

yang disebut ‗klaim-klaim kesahihan‘. Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.

Kebijakan Sosial Berparadigma Kritis

Sebuah kebijakan sosial, dengan begitu, dapat disebut berparadigma kritis apabila ia didasarkan pada tindakan

komunikatif dengan mencerminkan dua pengertian kritik yang disebutkan di atas, baik pada tataran substansi, prosedur maupun proses.

Sementara, tujuan kebijakan bukan lagi untuk menghasilkan suatu desain yang bercorak teknokratis. Melainkan untuk mempertinggi kapasitas semua pihak dalam rangka negosiasi kepentingan dan pandangan menuju sebuah konsensus yang bebas dan setara tanpa ada dominasi.

Prasyarat-prasyarat

Menggeser paradigma kebijakan sosial yang sudah mapan menuju ke paradigma kritis tentu bukan soal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus dibenahi dan bahkan dibentuk kembali guna mewujudkan idealitas tersebut.

1. Rasionalisasi Kekuasaan

Kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan, melainkan juga harus otentik dan rasional. Dalam arti, kekuasaan harus dicerahi dengan otentisitas dan diskusi rasional yang bersifat publik agar para anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentu-kan arah perkembangan politis, termasuk pula meng-arahkan kemajuan teknis dan ekonomis masyarakat.

(21)

diindahkan. Melalui rasionalisasi kekuasaan inilah terbuka ruang bagi dialog kritis antara pemerintah dengan publik luas. Dengan dialog kritis ini maka setiap kebijakan sosial yang dibuat dapat mencerminkan secara mendasar perhimpitan yang erat antara social control dari pihak masyarakat dengan social engineering dari pihak negara.

Dengan sendirinya, dialog kritis ini mengandaikan adanya

rasionalitas politik dari semua pihak. Dan hal ini sejalan dengan hakekat hubungan komunikatif itu sendiri yang menempatkan proses argumentasi pada posisi sentral. Dengan demikian, pencabutan kebijakan mengurangi subsidi BBM misalnya, seharusnya didasarkan atas pertimbangan rasional melalui sebuah diskursus terbuka. Dan bukannya sekedar atas dasar kalkulasi politik sesaat.

Sehingga dengan model dialog kritis tersebut, paham naturalisme dalam politik yang sangat bertentangan dengan sistem negara-bangsa yang didasarkan atas gagasan kewargaan, demokrasi, dan nilai-nilai keadaban (sivilitas), sedikit banyak bisa dihancurkan. Seperti diketahui, sistem negara-bangsa merupakan unit sosial-politik yang dibangun atas asas keterlibatan dan keputusan aktif

dari ‗warga negara‘ (bukan ‗kawula‘) menurut prinsip ‗perjanjian sosial‘ (social contract). Keterlibatan dan keputusan aktif ini diwujudkan melalui pemilu dan saluran-saluran partisipasi lain yang mengejawentahkan suatu mandat publik yang harus

dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh para pemimpin lembaga publik. Dalam sistem politik demikian, kepemimpinan bersifat kontraktual dan bukannya given. Lagi pula, ia hanyalah satu komponen belaka dalam proses penyelenggaran kehidupan bersama dalam wadah negara-bangsa. Sebab, selain pemimpin ini, warga negara sebagai subyek politik yang otonom juga merupakan komponen yang tak bisa diabaikan dalam kehidupan dan proses politik sistem negara-bangsa modern.

Seperti dimaklumi, proses politik merupakan ajang di mana

(22)

saling berjuang untuk membela kepentingannya, namun individu dan kelompok ini adalah bagian dari sebuah entitas sosial yang sama dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan demikian, apabila

entitas ini tidak diinginkan terpuruk dalam situasi ‗homo homini lupus‘, maka proses politik yang harus dibangun adalah yang

dapat memelihara dan membangun kolektivitas sosial ini; yang tumpuan utamanya tak lain terletak pada kekuatan tindakan komunikatif14.

Dalam pengertian itu, maka proses politik dan penyelenggaraan kekuasaan di negara kita tidak bisa lagi dijalankan hanya berkisar pada lingkaran elit yang terbatas, seperti dilakukan dalam model pembangunan kita di masa lampau yang serba teknokratis dan bercorak top-down. Namun, ia harus diceburkan ke tengah-tengah masyarakat, yakni ke dalam sebuah proses komunikatif yang kritis dan terbuka. Dengan begitu, masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam debat publik untuk menentukan arah perkembangan politis yang hendak dibuat, termasuk pula

mengarahkan kemajuan teknis dan ekonomis masyarakat. Melalui debat publik ini maka proses politik merupakan proses agregasi kepentingan bersama yang lahir dari kerelaan dan konsensus bersama yang otentik, dan bukannya hasil manipulasi dari segelintir elit yang (didukung oleh kultur paternalistik) bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat.

Namun demikian, tindakan komunikatif ini hanya akan otentik apabila didasarkan pada prinsip rasionalitas politik dan

kekuasaan, mulai dari aras wacana hingga aras tindakan. Wacana dan tindakan politik yang unpredictable; menyalahi kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakat, tidak berdasar pada asas-asas pemikiran logis, yang bercorak menang-kalah, ataupun yang kian memperkeruh problem yang ada, sama sekali bukanlah cerminan dari prinsip rasionalitas ini. Proses komunikatif pada intinya merupakan interaksi yang bersifat intersubyektif, dan

14 Selengkapnya lihat Jurgen Habermas, “Reason and The Rationalization of

(23)

dalam konteks penyelenggaraan hidup bersama ia diarahkan untuk dapat mencapai konsensus kolektif yang sejati dan bebas dominasi. Oleh karena itu, proses komunikatif ini sangatlah menekankan sentralitas argumentasi. Bagaimana mungkin akan dapat terjadi proses argumentasi yang produktif dan mengantar pada konsensus kolektif yang sejati apabila ia tidak

mengindahkan rasionalitas politik yang jernih, sehat dan

konstruktif, sebagaimana yang dituntut oleh asas penyelenggaraan perpolitikan yang modern?

Oleh karena itu, rasionalitas politik merupakan tuntutan utama bangsa kita apabila bangsa ini ingin mengembangkan sistem dan kultur politik negara-bangsa yang modern. Tuntutan ini mengimplikasikan bahwa semua komponen bangsa ini, baik dari kalangan elit maupun komponen masyarakat sipil,

semestinya mampu mengembangkan keberadaban politik berupa wacana dan tindakan politik yang rasional, konstruktif, inspiring, dan mendekatkan pada upaya penyelesaian masalah15. Dalam kaitan ini, maka tuntutan pengembangan Indonesia masa depan meniscayakan budaya perpolitikan baru yang tidak lagi bersandar kepada asumsi-asumsi naturalistis atas proses politik; ataupun

kepada penokohan sang pemimpin sebagai sosok ‗hero‘ yang serba ‗jago‘ dan mumpuni. Penyelenggaran kehidupan kebangsaan kita

pada masa mendatang, tampaknya, akan lebih banyak menuntut budaya politik yang benar-benar berpijak pada landasan

‗rasionalitas emansipatoris‘ dan bukannya rasionalitas ‗akal

-akalan‘ (strategic rationality). Yakni rasionalitas politik yang sehat

yang mampu mengembangkan tindakan komunikatif yang seluas mungkin dan memberi peluang bagi siapa pun untuk

berpartisipasi membangun konsensus yang jujur, seraya menjauhkan kehendak untuk menang sendiri.16

Dengan adanya rasionalisasi politik, dengan sendirinya, beban sosial kebijakan rasionalisasi ekonomi ditanggung bersama, tetapi golongan yang lebih kuat menanggung beban lebih besar. Adapun di Indonesia, rakyat sudah banyak kehilangan pekerjaan karena

15 Jumhur Hidayat, “Soekarno dan Soeharto”. Diakses dari http:// kompas.com/kompas-cetak/0304/23/ekonomi/273629.htm (06/30/03 13:44:29)

(24)

krisis ekonomi, tetapi masih harus menanggung beban besar. Sementara para pejabat dan politisi justru menerima peningkatan pendapatan. Jelas, itu kebijakan yang tidak bersinambung. Risiko sosialnya tinggi, tetapi manfaat ekonominya tidak ada17.

2. Partisipasi Publik

Partisipasi publik adalah pasangan yang tak terpisahkan dari rasionalisasi kekuasaan. Jangkauan partisipasi ini tidak sekedar bersifat prosedural, namun juga substantif. Dalam arti, konsensus yang otentik hanya akan terjadi apabila publik memberikan

partisipasinya dalam arti seluas-luasnya. Partisipasi ini tidak terbatas pada konteks pengambilan keputusan-keputusan

spesifik, namun juga menjangkau ‗partisipasi kognitif‘ mengenai

definisi-definisi situasi dari kehidupan mereka yang menjadi landasan dalam mengambil keputusan-keputusan yang teknis-spesifik tadi.

Bentuk partisipasi publik itu harus didorong terwujud di berbagai aras. Namun minimal, kebijakan politik dan sosial yang

komprehensif yang meliputi kebijakan pemerintahan dan

mekanisme pasar. Dengan peluang partisipasi publik yang besar, sangat mungkin sistem kontrol dari masyarakat dan negara terjadi sehat, kompetitf dan seimbang.

3. Public Sphere dan Tatanan Civil Society

Namun, semua hubungan kritis-komunikatif tadi hanya mungkin apabila ada kelembagaan yang bisa mewadahi-nya. Di sini ‗ruang

publik‘ menjadi prinsip yang sentral karena ia merupakan ‗ruang

sosial semi-otonom‘ yang memungkinkan terjadinya diskursus rasional dan kritis mengenai isu-isu publik tanpa ada dominasi

dan paksaan dari pihak manapun. Apa yang disebut ‗ruang publik‘

itu sendiri bukanlah sesuatu yang mengawang-awang--lautan verbal belaka. Sebaliknya, ia mestilah terjangkarkan dalam

tatanan civil society yang kuat untuk mendapatkan landasan dan kekuatan sosialnya.

(25)

Secara ringkas karakter public sphere yang melekat pada civil society itu harus memiliki karakter berikut:

1. Masyarakat mandiri

Dengan begitu, masyarakat-warga negara tak lain adalah masyarakat yang mandiri, yang bisa mengurus dirinya sendiri. Kemandirian sekarang menjadi sifat atau ciri masyarakat-warga negara. Dalam sejarah, kemandirian adalah hasil dari perjuangan masyarakat. Mengenai hal ini munculnya masyarakat-warga negara biasanya dikaitkan dengan kelas menengah yang mandiri, yang diawali dengan bourgeois society - kelas borjuis yang mandiri secara ekonomis dan dengan begitu justru memiliki political

bargaining power yang lumayan.

Kemandirian menjadi syarat mutlak dari kemungkinan

masyarakat-warga negara. Secara konkret kemandirian dapat dilihat dari kapasitas tawar-menawar antara masyarakat dengan negara, dalam hal ini pemerintah. Pemerintah (baca: negara) tidak bisa bersikap sewenang-wenang, karena bukan masyarakat yang tergantung pada negara, sebaliknya negara yang tergantung pada masyarakat. Dalam negara di mana sudah ada masyarakat-warga negara yang kukuh, para politikus sangat menyadari hal ini.

2. Masyarakat Hukum

Masyarakat-warga negara mewujudkan dan mendapatkan kemandiriannya lewat hukum. Dalam konteks kenegaraan modern, negara tidak pernah tampil lewat orang sebagai pribadi semata-mata, melainkan lewat hukum. Hukum tak lain adalah perwujudan perjanjian antara para warga negara sendiri, dan masyarakat-warga negara dengan negara. Dengan kata lain,

hukumlah wasit dan hakim bagi siapa pun dalam negara modern.

Keberlakuan hukum yang umum dan pasti menjadi salah satu ciri dari eksistensi dan keberhasilan masyarakat-warga negara.

(26)

Dalam masyarakat seperti inilah setiap individu bisa menggantungkan cita-citanya setinggi langit.

Masih ada lagi ciri civil society tersebut, sebab sebagai sebuah diskursus, jelas konsep ini akan terus mengalami evolusi. Namun yang pasti, dengan dasar pikiran ini, maka sebenarnya kita juga

sedang menuju pada uraian yang mengagas tentang ‗masyarakat madani‘ (civil society) atau istilahlainnya adalah ‗masyarakat warga‘. Dengan masyarakat madani kita menerima isyarat tentang

keharusan adanya identitas yang dipunyai bersama, sekurang-kurangnya melalui persetujuan tidak langsung tentang garis-garis besar pranata politik. Dengan kata lain, kewargaan dengan hak dan tanggung jawabnya adalah bagian utuh dari pengertian masyarakat madani. Kewargaan memberi landasan masyarakat madani. Menjadi bagian dari keseluruhan adalah prasyarat bagi keseluruhan itu untuk menjadi masyarakat. Karena itu pribadi, dalam masyarakat madani, diakui hak-hak asasinya oleh Negara. Namun sebagai imbalan, ia dituntut penunaian kewajibannya kepada Negara. Ketika Negara karena kegagalannya telah

kehilangan kepercayaan warganya, maka kewargaan itu sendiri akan menjadi sasaran pengorbanan pertama. Ketika legitimasi pemerintah runtuh, masyarakat madani juga terancam mengalami fragmentasi. Karena itulah tidak bermakna apa-apa menguatkan masyarakat madani, tanpa Negara yang cukup tangguh18.

Civil society atau masyarakat madani lebih daripada sekedar kumpulan dan campuran berbagai bentuk asosiasi. Pengertian masyarakat madani juga mengacu kepada kualitas civility, yang tanpa itu lingkungan hidup sosial akan hanya terdiri atas faksi-faksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial; juga kesediaan menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak selalu bada jawaban yang benar atas suatu masalah.

18Nurcholish Madjid, 2001. “Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas

Masyarakat Madani”, dalam Masyarakat Warga dan pergulatan Demokrasi: Menyambut 70

(27)

Memang benar masyarakat madani adalah musuh otokrasi, kediktatoran dan bentuk-bentuk kekuasaan abitrer. Masyarakat madani adalah bagian organik demokrasi, dan ia menurut

definisinya sendiri adalah lawan dari rezim-rezim absolutisme. Akan tetapi mengharapkan masyarakat madani atau

mengkhawatirkan masyarakat madani akan mampu menurunkan pemimpin nasional atau meruntuhkan pemerintahan negara adalah sikap yang naif. Bahkan sebenarnya, seperti telah

disinggung di atas, hubungan antara pemerintah dan civil society lebih sering didefinisikan dalam kerangka kerja sama ketimbang konflik. Kita memerlukan kerangka dalam hubungan antara negara dan masyarakat baik dalam sebuah ruang yang mengikat keduanya dalam sebuah tali hubungan, mengendorkan, atau bahkan melepaskan dengan tanggung jawab manakala terjadi persimpangan jalan dalam prinsip-prinsip yang menentukan19. IV. PENUTUP

Meski sudah sangat membius, term pembangunan tetap perlu dikritisi dengan cermat dan cerdas. Godaan-godaan yang ditawarkan olehnya, sejatinya harus diantisipasi sejak dini, khususnya ketika hal itu mau diimplementasikan pada realitas praksis pembangunan di lapangan. Hal ini amat penting, sebab jika kita tidak hati-hati dan tidak cermat, bukan mustahil jika akhirnya, pembangunan yang sejatinya menjadi instrumen pembebasan manusia dari keterbelengguan akan akses kepada kesejahteraan, justru berbalik menjadi sumber malapetaka kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, ―Islam dan Masyarakat Madani‖. Diakses dari

"Indonesian Institute for Civil Society "

http://www.incis.or.id/ar_9.htm (07/02/03 10:34:17)

(28)

Anderson, Benedict R.O.G., 1990. Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, Itacha and London: Cornel

University Press.

Clinton, Bill, Between Hope and History: Meeting America’s

Chalengging for The 21st century, Random Houses-United States: New York, 1996

Habermas, Jurgen, 1984. ―Reason and The Rationalization of

Society‖, In The Theory of Communicative Action, Vol. I. Translated by Mc. Carthny. Boston: Beacon Press

Habermas, Jurgen, 1989. ―Life World and System: A Critique of Functionalist Reason‖. In The Theory of Communicative Action, Vol. II. Boston: Beacon Press

Haryatmoko, 2003. ―Etika Politik dan Civil Society‖. Diakses dari "Indonesian Institute for Civil Society :..."

http://www.incis.or.id/ar_7.htm (07/02/03 10:33:42).

Herry-Priyono, B., 2003. Kepemimpinan Republik Kita. Makalah.

Hidayat, Jumhur, 2000. ―Soekarno dan Soeharto‖. Diakses dari http://

kompas.com/kompas-cetak/0304/23/ekonomi/273629.htm (06/30/03 13:44:29)

Hidayat, Komaruddin, 2000. ―Kesantunan Politik,‖ Kompas, 7

Agustus.

Hikam, A.S. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES

Hill, Hal, 1994. Indonesia New Order, The Dinamics of Socio-economic Transformation. Australia: Allen & Unwin.

Juoro, Umar. ―Kebijakan Setengah Hati‖ dalam "Cides Online - Ekonomi." http://www.cides.or.id/(08/04/03 13:36:41)

(29)

Kusumah, Mulyana W. 2000. ―Kepemimpinan Nasional Abdurrahman Wahid dan Konsolidasi Demokrasi,‖ Kompas,

Kamis, 13 Juli.

Latif, Yudi dan M.R. Haryono. ―Mitos ‗Civil Islam‘" .: Indonesian

Institute for Civil Society :..." http://www.incis.or.id/ar_2.htm (07/02/03 10:29:53)

Lombard, Dennish, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1996.

Madjid, Nurcholish, 2000. ―Dilema Demokrasi di Indonesia‖,

Republika, 20 Juli 2000

Madjid, Nurcholish, 2001. ―Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas Masyarakat Madani‖, dalam Masyarakat Warga dan

pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 tahun Jacob Utama. Jakarta: Kompas

Mas‘oed, Mohtar, 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation.

Pabotinggi, 2003. ―Negara Tanpa Nasion, Nasion Tanpa Karakter‖. Diakses dari ― Indonesian Institute for Civil Society "

http://www.incis.or.id/ar_16.htm (07/02/03 10:41:26)

Pederson, William D., and Frank J. Williams (ed.) 2003. Franklin D. Roosevelt an Abraham Lincoln: Competing Perspectives Two Great Presidencies, M.E. Sharpe: England..

Sakai, Minako, 2002. ―Konflik Sekitar Devolusi Kekuasaan

Ekonomi dan Politik: Suatu Pengantar‖, dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi 68 tahun 2003.

Tagela, 2003. ―Civil Society dan Demokrasi untuk Apa?‖ Diakses

dari "Indonesian Institute for Civil Society "

http://www.incis.or.id/ar_4.htm (07/02/03 10:32:52).

(30)

http://:www.sosialista.org/071401(08/04/03 13:30:30)

Yudhoyono, Soesilo Bambang, 2003. Revitalisasi Ekonomi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air 21 mm/2 hari, setara dengan curah hujan 3.780 mm per tahun dengan pemberian pupuk 400 g NPKMg 12-12-17-2 per tanaman per tahun

Kaji konntak kulit Nilai dengan penilaian APGAR Berikan mata prophilaxis & vitamin K

Ada banyak sekali bahan daur ulang yang bisa dipakai untuk kerajinan tangan, contohnya kardus, koran, plastik makanan, hingga botol plastik6. Nah botol plastik ternyata bisa

yang dipersyaratkan tergantung dari bentuk sediaan dan ditentukan dengan penetapan Angka Lempeng Total dan Angka Kapang Khamir.  Tidak diperbolehkan

[r]

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai R Square mendekati satu artinya variabel yang diukur dengan labelisasi halal, pengetahuan konsumen, gaya hidup dan citra merek

Program pengembangan karantina pertanian, pengendalian mutu dan keamanan hasil pertanian ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produk pertanian agar memiliki nilai

8 Panitera Muda menerima berkas perkara dari Panitera, memeriksa apakah data Majelis Hakim dan Panitera Pengganti sudah dimasukkan ke dalam SIPP, dan memerintahkan