• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Sektor Keamanan Sebuah Pengant (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformasi Sektor Keamanan Sebuah Pengant (1)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

R

eformasi

S

ektor

K

eamanan

:

S

ebuah

P

engantar

(4)

Penulis

Ikrar Nusa Bhakti adalah professor riset bidang intermestic affairs di Pusat Penelitian Politik-LIPI. Anggota Pokja ProPatria untuk Reformasi Sektor Keamanan dan anggota tim perumus RUU Intelijen versi masyarakat Sipil yang dimotori oleh Pacivis Universitas Indonesia dan Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI).

Insitute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang menjadi kontributor Tool ini, yaitu Ikrar Nusa Bhakti, Al-A’raf, Beni Sukadis, Jaleswari Pramodhawardani, Mufti Makaarim, Bambang Widodo Umar, Ali. A Wibisono, Dian Kartika, Indria Fernida, Hairus Salim, Irawati Harsono, Fred Schreier, Stefan Imobersteg, Bambang Kismono Hadi, Machmud Syafrudin, Sylvia Tiwon, Monica Tanuhandaru, Ahsan Jamet Hamidi, Hans Born, Matthew Easton, Kristin Flood, dan Rizal Darmaputra. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Tim pendukung penulisan naskah Tools ini, yaitu Sri Yunanto, Papang Hidayat, Zainul Ma’arif, Wendy A. Prajuli, Dimas P Yudha, Fitri Bintang Timur, Amdy Hamdani, Jarot

Suryono, Rosita Nurwijayanti, Meirani Budiman, Nurika Kurnia, Keshia Narindra, R Balya Tauik H, Rully Akbar, Barikatul Hikmah, Munandar Nugraha,

Febtavia Qadarine, Dian Wahyuni dan Heri Kuswanto. Terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) atas dukungannya terhadap program ini, terutama mereka yang terlibat dalam diskusi dan proses penyiapan naskah ini, yaitu Philip Fluri, Eden Cole dan Stefan Imobersteg. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman atas dukungan pendanaan program ini.

Tool Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

Tool Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar ini adalah bagian dari Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit. Toolkit ini dirancang untuk memberikan pengenalan praktis tentang RSK di Indonesia bagi para praktisi, advokasi dan pembuat kebijakan disektor keamanan. Toolkit ini terdiri dari 17 Tool berikut :

IDSPS

Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) didirikan pada pertengahan tahun 2006 oleh beberapa aktivis dan akademisi yang memiliki perhatian terhadap advokasi Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dalam bingkai penguatan transisi demokrasi di Indonesia paska

1998. IDSPS melakukan kajian kebijakan pertahanan keamanan, resolusi konlik dan hak asasi manusia (policy research) mengembangkan dialog antara berbagai stakeholders (masyarakat sipil, pemerintah, legislatif, dan institusi lainnya) terkait dengan kebijakan untuk mengakselerasi proses reformasi

sektor keamanan, memperkuat peran serta masyarakat sipil dan mendorong penyelesaian konlik dan pelanggaran hukum secara bermartabat.

DCAF

Pusat Kendali Demokratis atas Angkatan Bersenjata Jenewa (DCAF, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik dan reformasi sektor keamanan. Pusat ini melakukan penelitian tentang praktek-praktek yang baik, mendorong pengembangan norma-norma yang sesuai ditingkat nasional dan internasional, membuat usulan-usulan kebijakan dan mengadakan program konsultasi dan bantuan di negara yang membutuhkan. Para mitra DCAF meliputi para pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, organisasi-organisasi internasional dan para aktor sektor keamanan seperti misalnya polisi, lembaga peradilan, badan intelijen, badan keamanan perbatasan dan militer.

Layout

Peran Parlemen Dalam Reformasi Sektor Keamanan 2.

Departemen Pertahanan dan Penegakan Supremasi Sipil Dalam 3.

Reformasi Intelijen dan Badan Intelijen Negara 6.

Desentralisasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah 7.

Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di 8.

Indonesia

Polisi Pamongpraja dan Reformasi Sektor Keamanan 9.

Pengarusutamaan Gender di Dalam Tugas-Tugas Kepolisian 10.

Pemilihan dan Rekrutmen Aktor-Aktor Keamanan 11.

Pasukan Penjaga Perdamaian dan Reformasi Sektor Keamanan 12.

Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan 13.

Komisi Intelijen 14.

Program Pemolisian Masyarakat 15.

Kebebasan Informasi dan Reformasi Sektor Keamanan 16.

(5)

Tool Pelatihan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Kajian Reformasi Sektor Keamanan ini ditujukan khususnya untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS Indonesia untuk melakukan riset, analisis dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci pengawasan sector keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Kepentingan mendasar aktivitas OMS untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor keamanan telah diakui sebagai instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan publik dalam pengawasan demokrasi adalah krusial untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi diseluruh sektor keamanan. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik: OMS tidak hanya bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah tapi juga sebagai pedoman kepuasan publik atas kinerja institusi dan badan yang bertanggungjawab atas keamanan publik dan pelayanan terkait. Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah semua memberi masukan pada proses ini.

Sebagai tambahan, advokasi oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil mewakili kepentingan komunitas-komunitas lokal dan kelompok-kelompok individu bertujuan sama yang membantu memberi suara pada aktor-aktor termarjinalisasi dan membawa proses perumustan kebijakan pada jendela perspektif yang lebih luas lagi. Konsekuensinya, OMS memiliki peran penting untuk dijalankan, tak hanya di negara demokratis tapi juga di negara-negara paskakonlik, paskaotoritarian dan non demokrasi, dimana aktivitas OMS masih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan para elit yang memonopoli proses politik.

Tapi kemampuan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengawasan sektor keamanan bergantung pada kompetensi pokok dan juga kapasitas institusi organisasi mereka. OMS harus memiliki kemampuan-kemampuan inti dan alat-alat untuk terlibat secara efektif dalam isu-isu pengawasan keamanan dan reformasi peradilan. Sering kali, kapasitas OMS tidak seimbang dan terbatas, karena kurangnya sumber daya manusia, keuangan, organisasi dan isik yang dimiliki. Pengembangan kapasitas relevan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil biasanya melibatkan peningkatan kemampuan, pengetahuan dan praktik untuk melakukan analisa kebijakan, advokasi dan pengawasan, seiring juga dengan kegiatan manajemen internal, manajemen keuangan, penggalangan dana dan penjangkauan keluar.

OMS dapat berkontribusi dalam reformasi sektor keamanan dan pemerintahan melalui banyak cara, antara lain: Memfasilitasi dialog dan debat mengenai masalah-masalah kebijakan

Mendidik politisi, pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai isu-isu spesiik terkait •

Memberdayakan kelompok dan publik melalui pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk isu-isu spesiik •

Membagi informasi dan ilmu pengetahuan khusus mengenai kebutuhan dan kondisi local dengan para pembuat •

kebijakan, parlemen dan media

Meningkatkan legitimasi proses kebijakan melalui pencakupan lebih luas akan kelompok-kelompok maupun •

perspektif-perspektif sosial yang ada

Mendukung kebijakan-kebijakan keamanan yang representatif dan responsif akan komunitas lokal •

Mewakili kepentingan kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kebijakan •

Meletakkan isu keamanan dalam agenda politik •

Menyediakan sumber ahli, informasi dan perspektif yang independen •

Melakukan riset yang relevan dengan kebijakan •

Menyediakan informasi khusus dan masukan kebijakan •

Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas institusi-institusi keamanan •

Mengawasi/memonitor reformasi dan implementasi kebijakan •

Menjaga keberlangsungan pengawasan kebijakan •

Mempromosikan pemerintah yang responsif •

Kata Pengantar

(6)

Menciptakan landasan yang secara pasti mempengaruhi kebijakan dan legitimasi badan-badan di level •

eksekutif sesuai dengan kepentingan masyarakat

Memfasilitasi perubahan demokrasi dengan menjaga pelaksanaan minimal standar hak asasi manusia dalam •

rejim demokratis dan non demokratis

Menciptakan dan memobilisasi oposisi publik sistematis yang besar terhadap pemerintahan lokal dan nasional •

yang non demokratis dan non representatif

Menjamin dibangun dan dikelola secara baik sektor keamanan yang akuntabel, responsif dan hormat akan segala bentuk hak asasi manusia adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik. Pengembangan kapasitas OMS untuk memberi informasi dan mendidik publik akan prinsip-prinsip pengawasan dan akuntabilitas sektor keamanan, serta norma-norma internasional akan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik hádala satu cara untuk membangun dukungan dan tekanan di bidang ini.

Sejak 1998, demokrasi Indonesia yang semakin berkembang dan kebangkitannya sebagai aktor kunci ekonomi Asia telah memberi latar belakang pada debat reformasi sektor keamanan paska-Suharto. Fokus dari perdebatan reformasi sektor keamanan adalah kebutuhan akan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktik di lapangan dan penganggaran. Beberapa inisiatif yang terjadi berjalan tanpa mendapat masukan dari comunitas OMS Indonesia.

Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) telah mengelola pembuatan, implementasi dan publikasi dari Tool Pelatihan ini sebagai sebuah komponen dari pekerjaan yang terus berjalan di bidang hak asasi manusia dan tata kelola sektor keamanan yang demokratis di Indonesia. Tool ini merupakan kerangka kunci permasalahan dalam pengawasan sektor keamanan yang mudah dipahami sehingga OMS di luar Jakarta dapat mempelajari dan memiliki akses pada konsep-konsep kunci dan sumber daya relevan untuk menjalankan tugas mereka di tingkat lokal.

Proyek ini adalah satu dari tiga proyek yang ditangani antara IDSPS dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), sementara proyek lainnya berfokus pada membangun kapasitas OMS di seluruh kawasan Indonesia untuk bekerja sama dalam isu-isu tata kelola sektor keamanan melalui berbagai pelatihan (workshop) dan pembuatan Almanak Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Tool ini menggambarkan kapasitas komunitas OMS Indonesia untuk menganalisa isu-isu pengawasan sektor keamanan dan mengadvokasi reformasi jangka panjang, tool ini juga mengindikasikan kepemilikan lokal yang menjadi pendorong internal dari proses reformasi sektor keamanan Indonesia.

Akhirnya, DCAF berterimakasih pada dukungan Kementrian Luar Negeri Republik Jerman yang mendanai keseluruhan proyek ini sebagai bagian dari program dua tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dari reformasi sektor keamanan di Indonesia di seluruh institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Jenewa, Agustus 2009

Eden Cole

(7)

Kata Pengantar

Institute for Defense, Security and Peace Studies

(IDSPS)

Penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), IDSPS menyimpulkan bahwa kalangan masyarakat sipil telah melakukan pelbagai upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi sektor keamanan (RSK), terutama paska 1998. Upaya-upaya tersebut dilakukan seiring dengan transisi politik di Indonesia dari Rezim Orde Baru yang otoriter menuju satu rezim yang lebih demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia.

Pelbagai upaya yang telah dilakukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tersebut antara lain berupa: (1) pengembangan wacana-wacana RSK, (2) advokasi reformulasi dan penyusunan legislasi atau kebijakan strategis maupun operasional di sektor keamanan, (3) dorongan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan keamanan, dan (4) pengawasan dan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan serta pelanggaran hukum yang melibatkan para pihak di level aktor keamanan, pemerintah dan parlemen, serta memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, IDSPS mencatat bahwa peran-peran OMS dalam mengawal RSK pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono umumnya bergerak dalam orientasi yang tersebar, parsial, tanpa konsensus dan distribusi peran yang ketat, serta terkesan lebih pragmatis bila dibanding dengan perannya dalam 2 periode pemerintahan sebelumnya —pemerintahan B. J. Habibie dan pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Kecenderungan ini di satu sisi menunjukkan bahwa tantangan advokasi RSK seiring dengan perjalanan waktu, dimana konsentrasi dan kemauan politik pemerintah cenderung menurun sehingga strategi dan pola advokasi OMS berubah. Di sisi lain, seiring dengan tumbangnya Rezim Soeharto sebagai musuh bersama, kemungkinan terjadi kegamangan dalam hal isu dan strategi advokasi juga muncul.

Ini ditunjukkan dalam temuan IDSPS lainnya perihal fakta bahwa OMS belum dapat menindaklanjuti opini dan wacana yang telah dikembangkannya hingga menjadi wacana kolektif pemerintah, DPR dan masyarakat sipil. Strategi advokasi yang dijalankan OMS belum diimbangi dengan penyiapan perangkat organisasi yang kredibel, jaringan kerja yang solid, komunikasi dan diseminasi informasi kepada publik yang kontinyu, serta pola kerja dan jaringan yang konsisten.

Mengingat OMS merupakan salah satu kekuatan sentral dalam mengawal transisi demokrasi dan RSK sebagaimana terlihat dalam perubahan rezim politik Indonesia tahun 1997-1998, maka OMS dipandang perlu melakukan konsolidasi dan reformulasi strategi advokasinya seiring perubahan politik nasional dan global serta dinamika transisi yang kian pragmatis. Paling tidak OMS dapat memulai upaya konsolidasi dan reformasi strategi advokasinya dengan mengevaluasi dan mengkritik pengalaman advokasi yang telah dilakukannya sembali melihat efektivitas dan persinggungan stretegis di lingkungan OMS dalam memastikan tercapainya tujuan RSK.

Penelitian IDSPS menyimpulkan setidaknya ada tiga pola advokasi RSK yang bisa dilakukan lebih lanjut oleh OMS. Pertama, menguatkan pengaruh di internal pemerintah dan pengambil kebijakan. Kedua, menjaga konsistensi peran kontrol dan kelompok penekan terhadap kebijak-kebijakan strategis di sektor keamanan. Ketiga, memperkuat wacana dan pemahanan tentang urgensi RSK yang dikembangkan.

(8)

Buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit, merupakan serial Tool yang terdiri dari 17 topik isu-isu RSK yang relevan di Indonesia, yang disusun dan diterbitkan untuk menunjang agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK di atas. Seluruh topik dan modul disusun oleh sejumlah praktisi dan ahli dalam isu-isu RSK yang selama ini terlibat aktif dalam advokasi agenda dan kebijakan strategis di sektor keamanan. Penulisan dan penerbitan Tools ini merupakan kerjasama antara IDSPS dengan Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), dengan dukungan pemerintah Republik Federal Jerman.

Dengan adanya buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit ini, seluruh pihak yang berkepentingan melakukan advokasi RSK dan mendorong demokratisasi sektor keamanan dapat memiliki tambahan referensi dan informasi, sehingga upaya untuk mendorong kontinuitas advokasi RSK seiring dengan upaya mendorong demokratisasi di Indonesia dapat berjalan maksimal.

Jakarta, 8 September 2009

(9)

Daftar Isi

Akronim

Pengantar

1.

Kendala Membangun TNI yang Profesional

2.

Reformasi Polri

3.

Reformasi Intelijen

4.

Perlunya Pengawasan Intelijen

5.

5.1. Jaring-Jaring Pengawasan Intelijen

Penutup

6.

Daftar Pustaka

7.

Bacaan Lanjutan

8.

Lampiran

9.

vii

1

4

10

13

16

16

18

22

22

(10)

Akronim

ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AD Angkatan Darat

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ASIS Australian Secret Intelligent Service

BIN Badan Intelijen Negara

CIA Centre Intelligence Agency

CSO Civil Society Organization

DK-PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

DPD Dewan Perwakilan Daerah

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRD-GR Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong

DPR-GR Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong

GCPP Government’s Global Conlict Prevention Pool

HAM Hak Asasi Manusia

KIRIN Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara

Kowil Komando Kewilayahan

Kowilhan Komando Wilayah Pertahanan

LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs Millennium Development Goals

MPR Majelis Pemusyawaratan Rakyat

MPRS Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

OECD-DAC The Organization for Economic Co-Operation and Development-Development

Assistance Committee

Polri Kepolisian Republik Indonesia

RSK Reformasi Sektor Keamanan

RUU Rancangan Undang-Undang

SANDI Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen

SASS South African Secret Service

SSR Security Sector Reform

TNI Tentara Nasional Indonesia

(11)

Tanpa terasa, lebih dari sepuluh tahun sudah

reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang bergerak

pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total di

segala bidang. Sejalan dengan itu, berbagai kelompok

masyarakat sipil berupaya agar reformasi sektor

keamanan (security sector reform) juga berjalan

searah dengan reformasi politik untuk membangun

suatu sistem demokrasi yang diidam-idamkan. Namun

kenyataan di sana sini menunjukkan betapa hal

tersebut masih menjadi impian yang amat panjang.

Terlepas dari berbagai kendala yang ada, satu hal

terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap

memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar

cita-cita reformasi menjadi kenyataan. Demokrasi

memang bukan tujuan akhir dari reformasi total,

melainkan bagaimana melalui sistem demokrasi itu

negeri yang kita cintai ini dapat mencapai masyarakat

yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan

terjadi checks and balances dalam sistem politik yang

berjalan.

Secara khusus, reformasi sektor keamanan, khususnya

reformasi TNI, Polri dan Intelijen Negara, masih

menunjukkan berbagai kendala. Reformasi TNI dan

Polri dapat dikatakan baru menyentuh aspek-aspek

legal (hukum) dan struktural yang amat terbatas, dan

belum menyentuh aspek-aspek budaya tingkah laku

aparat-aparatnya. Sedangkan reformasi intelijen dapat

dikatakan masih sedang merangkak dan belum ada

aturan hukumnya. Rancangan Undang-Undang (RUU)

Intelijen yang digagas oleh Badan Intelijen Negara

(BIN) hanya sebatas ingin memberikan payung hukum

bagi institusi-institusi intelijen negara, namun belum

menyentuh aspek-aspek praktek-praktek intelijen

yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan

aspek-aspek pengawasan intelijen negara.

Lebih khusus lagi, terlalu naif dan membahayakan

jika reformasi sektor keamanan secara privilege

diserahkan kepada institusi-institusi TNI, Polri dan

Intelijen Negara, tanpa mengikutsertakan berbagai

kalangan pemangku kepentingan, seperti politisi,

akademisi, lembaga-lembaga non-pemerintah, praktisi

hukum dan kalangan masyarakat sipil lainnya. Karena

jika ini diserahkan kepada ketiga institusi tersebut,

aturan legal yang mereka buat tentunya hanya ingin

memberi kerangka hukum bagi aktivitas keseharian

mereka. Jika ini terjadi, berarti kita memberikan cek

kosong bagi institusi-institusi tersebut untuk membuat

aturan-aturan perundang-undangan yang sesuai

dengan kepentingan-kepentingan sektoral mereka.

Lebih buruk lagi, reformasi internal yang ketiga

institusi tersebut jalankan tentunya sesuai dengan

yang mereka inginkan, dengan deinisi keamanan negara yang tidak berubah, yaitu bagaimana mencapai

stabilitas keamanan untuk kepentingan negara

(baca: pemerintah yang berkuasa dan ketiga institusi

tersebut) dengan menaikan keamanan insani (human security). Pada gilirannya, reformasi internal semacam

itu hanya akan membuka kotak pandora, yaitu secara

lambat tapi pasti metamorfosa peran sosial politik

ketiga institusi itu seperti pada masa Orde Baru akan

menjelma kembali dalam bentuknya yang lain.

Alih-1. Pengantar

Reformasi Sektor Keamanan :

Sebuah Pengantar

RSK adalah sebuah konsep reformasi di bidang keamanan yang :

Bersifat holistik, mulai dari aktor,

1.

disiplin dan aktivitas;

Bergerak di dalam prinsip dan norma

2.

demokratis;

Dengan demikian tujuan akhir dari SSR

3.

(12)

Kotak 1

Apa yang Dimaksud Dengan RSK?

Reformasi Sektor Keamanan (RSK) atau Security Sector Reform (SSR) merupakan sebuah konsep untuk mereformasi atau membangun kembali sektor keamanan negara sejalan dengan prinsip demokrasi, profesionalisme dan penegakan HAM. Bahkan, RSK juga dapat dikaitkan sebagai bagian dari tren internasional dalam memberikan perlindungan terhadap keamanan insani (human security) setiap manusia.

Konsep ini pertama kali muncul pada awal 1990-an di Eropa Timur. RSK dilaksanakan ketika sector keamanan di sebuah negara mengalami disfungsi dan kehilangan kemampuan untuk memberikan keamanan pada negara dan warga negaranya secara efektif dan sejalan dengan prinsip-prinsp demokratis.

Terkait dengan deinisi, hingga hari ini belum ada kesepakatan bersama diantara masyarakat internasional dalam mendeinisikan pengertian RSK. Dalam kebutuhan menjelaskan deinsi RSK, tulisan ini akan mengambil tiga contoh deinisi yang masing-masing diberikan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), UK Government’s Global Conlict Prevention Pool (GCPP) dan

The Organisation for Economic Co-operation and Development–Development Assistance Committee (OECD-DAC).

DK-PBB menulis,

“Dewan Keamanan PBB meyakini bahwa RSK ‘penting untuk konsolidasi perdamaian dan stabilitas, mempromosikan penurunan kemiskinan, peratuhan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan otoritas legal pemerintah, dan mencegah negara jauh ke dalam konlik”. Oleh karena itu, Dewan Keamanan menekankan bahwa reformasi sektor keamanan harus didorong oleh konteks dan kebutuhannya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lain. Dewan Keamanan mendukung negara untuk memformulasikan program reformasi sektor keamanannya secara holistik yang mencakup rencana strategis, struktur institusi, manajemen sumberdaya, kapasitas operasional, pengawasan sipil dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dewan Keamanan menekankan kebutuhan akan realisasi yang seimbang di semua aspek reformasi sektor keamanan, termasuk kapasitas institusi, kemampuan pembayaran (affordability) dan keberlangsungan dari program-program tersebut. Dewan Keamanan melihat keterkaitan antaran reformasi sektor keamanan dan faktor-faktor penting lain dalam stabilisasi dan rekonstruksi, antara lain keadilan transisi, pelucutan senjata, demobilisasi, repatriasi/pembayaran ganti rugi, reintegrasi dan rehabilitasi dari mantan pejuang, kontrol atas senjata kecil dan ringan, termasuk juga isu-isu kesetaraan jender, anak dan konlik bersenjata, dan hak asasi manusia”.

Sementara GCPP mendeinisikan RSK sebagai,

“sebuah konsep luas yang meliputi berbagai disiplin ilmu, actor dan aktivitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, RSK merujuk pada kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu keamanan, legislasi, structural dan pengawasan, semua dalam kerangka norma-norma dan prinsip-prinsip demokrasi.” ”

Sedangkan menurut OECD-DAC, RSK adalah,

“bertujuan untuk meningkatkan negara-negara partner untuk memenuhi cakupan kebutuhan keamanan dalam masyarakat mereka melalui cara yang konsisten dengan norma-norma demokrasi dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi dan peraturan hukum. RSK mencakup, dan juga lebih dari, fokus sempit bantuan keamanan tradisional dalam pertahanan, intelijen dan kepolisian.”

(13)

alih kematangan demokrasi yang terbentuk, malah

demokrasi itu sendiri akan berada di ujung tanduk.

Secara umum, reformasi sektor keamanan tidak saja

melingkupi aktor-aktor konvensional seperti TNI, POLRI

dan BIN, namun juga termasuk aktor-aktor lain seperti

Parlemen, Departemen Pertahanan, serta Pemerintah

Daerah dan Institusi Satuan Polisi Pamong Praja. Dari

sisi isu, reformasi sektor keamanan terkait dengan

isu-isu seperti otonomi daerah, penegakan Hak Asasi

Manusia, pengarusutamaan gender, polisi masyarakat,

anggaran dan pembiayaan sektor keamanan, seleksi

dan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan,

komisi pengawas intelijen, manajemen perbatasan,

kebebasan informasi, serta peran penjagaan

perdamaian.

Seluruh isu-isu di atas dirangkum dalam serial Tools

ini, dengan pertimbangan bahwa ini merupakan

sekumpulan tema dan isu yang dipandang relevan

dengan advokasi reformasi sektor keamanan yang

dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil

di Indonesia.

Seperti telah disebutkan di atas, reformasi sektor

keamanan yang terjadi di dalam tubuh TNI dan Polri,

barulah pada tahapan awal atau generasi pertama,

yaitu baru pada tahapan terbentuknya UU No 2/2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU

No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU

No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Berbagai perangkat UU lain yang terkait dengan TNI

dan Polri masih harus dibuat agar kedua institusi

tersebut dapat menjadi masing-masing sebagai

kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang

profesional dan patut dibanggakan oleh seluruh

rakyat Indonesia. TNI dan Polri secara institusional

dan bersamaan juga sudah keluar dari peran sosial

politik mereka, seperti tidak lagi berada di MPR, DPR,

DPD dan DPRD. Namun, Panglima TNI dan Kapolri

masih ikut di dalam sidang-sidang kabinet, yang

berarti secara langsung atau tak langsung menjadi

anggota kabinet. Idealnya TNI dan Polri diwakili

oleh kementerian sipil. Generasi kedua reformasi

TNI dan Polri masih belum terbentuk, yaitu adanya

kerangka kerja demokratik yang memungkinkan

lembaga-lembaga perwakilan politik dan Civil Society

Organization (CSO) dapat berpartisipasi aktif untuk

mengawal jalannya reformasi itu, sehingga kedua

institusi itu benar-benar profesional dan menjalankan

tugas, fungsi dan perannya sesuai dengan UU yang

berlaku.

Lebih parah lagi ialah institusi-institusi intelijen

negara yang masih belum berubah dan bahkan belum

memiliki perangkat hukum bagi kerja mereka. RUU

yang mereka buat masih sekedar memberi payung

hukum yang membenarkan aktivitas mereka, dengan

Kotak 2

Empat Dimensi Penting RSK

Sumber: OECD DAC, Security System Reform and Governance Guidelines, 2004, http://www.oecd.org/ dataoecd/8/39/31785288.pdf

RSK memiliki 4 dimensi penting yaitu:

Dimensi politik: penerapan prinsip kontrol

sipil atas lembaga-lembaga keamanan dan lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor keamanan.

Dimensi institusional: transformasi isik dan

teknis atas lembaga-lembaga keamanan.

Dimensi ekonomi: dimensi ini terkait dengan

penganggaran dan pembiayaan lembaga-lembaga keamanan.

Dimensi sosial: ini terkait dengan peran

(14)

Sejak lahirnya pada 5 Oktober 1945 hingga kini,

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak pernah lepas

dari keterlibatannya dalam kehidupan politik bangsa.

Perannya yang kuat semasa revolusi kemerdekaan

1945-1949, terbangunnya NKRI pada 17 Agustus

1950, perannya dalam mengatasi

pemberontakan-pemberontakan daerah 1957-1961 dan peran sentral

ABRI melalui penerapan Darurat Militer, masuknya

TNI dalam Kabinet, Dewan Nasional dan

Perusahaan-perusahaan Negara sejak Juli 1957, masuknya TNI ke

dalam MPRS, DPR-GR, DPRD-GR sejak Dekrit 5 Juli

1959, disusul dengan Trikora 1961-1963, Dwikora

1963-1966, dan peran dominannya di bidang politik,

ekonomi dan sosial budaya pada era Orde Baru

1966-1998, menyebabkan jiwa pretorian sebagai “the

guardian of the state” dan citra “mesianistik” sebagai

satu-satunya institusi yang paling berhak menafsirkan

dan menjamin kepentingan tertinggi bangsa dan

negara, begitu melekat pada korps perwira TNI.

Dengan kata lain, jiwa pretorian dan citra mesianistik

itu sudah mengental dalam hati sanubari para perwira

TNI. Dalam diri para prajurit ABRI/TNI, terinternalisasi

dua prinsip dasar, yaitu: pertama, Prinsip Kelahiran

(The Birth Right Principle) di mana mereka merasa

berhak untuk menentukan ke mana arah negara ini

sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam

proses kelahiran negara RI; kedua, prinsip kompetensi

(the Competence Principle) di mana mereka merasa

militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola

negara. Ini menyebabkan sangat sulit bagi TNI untuk

mengubah dan mereformasi diri dari paradigma

“Tentara Politik” (dan “Tentara Niaga”), menjadi

“Tentara Profesional”, yaitu tentara yang lebih

mengedepankan paradigma militer profesional yang

2. Kendala Membangun

TNI yang Profesional

mengenyampingkan kerangka kerja demokratik yang

menjunjung tinggi HAM, demokrasi dan kebebasan

sipil.

Tulisan singkat ini berupaya untuk mendeskripsikan

dan menganalisis reformasi sektor keamanan yang

telah berjalan di Indonesia. Sudah sampai tahap mana

reformasi berjalan dan langkah-langkah positif apa

saja yang dapat kita lakukan agar perjalanan reformasi

tersebut mulus. Namun, harus diakui, penulis lebih

otoritatif dan percaya dalam mengupas reformasi di

tubuh TNI dan Intelijen Negara, ketimbang reformasi

Polri, karena sejak 1995 penulis memang sudah aktif

dalam mengupas reformasi TNI yang berawal dari

rencana Presiden Soeharto untuk mengakhiri peran

sosial politik ABRI, disusul dengan keikutsertaan

penulis secara akademis dan praktis dalam reformasi

TNI sejak 1998. Ini dilanjutkan dengan keikutsertaan

penulis di Propatria, Departemen Pertahanan RI dan

Sesko TNI dalam membuat RUU Pertahanan Negara

sampai menjadi UU, RUU TNI, RUU Perbantuan TNI

(masih sekedar rancangan), pengaturan Dewan

Keamanan Nasional (versi LIPI dan masyarakat sipil)

dansebagainya. Reformasi intelijen juga menjadi

pantauan penulis sejak 2005, khususnya sejak

keikutsertaan penulis di Pacivis UI (dan Sandi) untuk

membangun kerangka kerja demokratik bagi intelijen

negara. Sedangkan dengan reformasi Polri, hanya

sedikit pengalaman yang penulis ikuti bersama

Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi Sektor

Keamanan di bidang Polri, serta RiDep dan Imparsial.

Karena itu, penulis harus mengakui bahwa dirinya

bukanlah orang yang otoritatif berbicara soal reformasi

(15)

Paradigma sebagai “Tentara Politik” (Political Army) ini

amat berpengaruh kuat pada terhambatnya reformasi

internal TNI, termasuk dalam hal ini reformasi doktrin

dan validasi organisasi TNI, serta reformasi dalam

penentuan jabatan dan jenjang kepangkatan di dalam

TNI. Faktor-faktor lingkungan sosial, budaya, politik,

ekonomi dan keamanan domestik dan internasional

juga memberi kendala bagi reformasi internal TNI

tersebut.

Mungkin sangat sedikit dari kita yang mau menerima

kenyataan bahwa setiap perubahan politik di Indonesia

pasti melibatkan ABRI ataupun TNI, baik sebagai aktor

dominan maupun, lebih sering lagi, sebagai aktor di

belakang layar. Sebagai contoh, penerbitan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante

dan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi

negara, tak terlepas dari desakan dan dukungan TNI

kepada Presiden Soekarno untuk mengakhiri sistem

Demokrasi Liberal/Konstitusional. Perubahan politik

pada 1965 dan gerakan reformasi pada 1998 juga

tak terlepas dari campur tangan militer.

Gerakan mahasiswa 1965 yang didukung TNI-AD

melahirkan Orde Baru dengan bangunan sebuah

sistem Demokrasi Pancasila yang memungkinkan

Mengenai reformasi TNI, lihat antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al.,

1 Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999; Lihat juga, Ikrar

Nusa Bhakti, “Trends in Indonesian Student Movements in 1998,” dalam Geoff Forrester and R.J. May, eds., The fall of Soeharto, Bathurst: Crawford House Publishing, 1998.

ABRI menancapkan kuku-kukunya dalam berbagai

bidang kehidupan ipoleksosbudkam. Peranan ABRI

dalam politik bahkan sudah melebihi porsinya, atau

mencapai military overreach. Tak heran jika seorang

wartawan Australia, David Jenkins, mengatakan

bahwa yang terjadi pada saat itu bukanlah

dwi-fungsi ABRI, melainkan satu dwi-fungsi ABRI, yaitu bahwa

ABRI menjalankan segalanya (The ABRI is running

everythings).

Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998

juga tak terlepas dari dukungan dan peranan militer.

Lalu apa kepentingan militer ikut serta menjatuhkan

pemerintahan Soeharto? Pertama, di mata sebagian

perwira tinggi militer, kepentingan Soeharto tidak lagi

identik dengan kepentingan militer, khususnya

TNI-AD. Soeharto sudah bermain mata dengan kelompok

Islam politik, bisnis putra-putri Soeharto juga sudah

melebihi batas, bahkan melebihi kepentingan bisnis

tentara; kedua, TNI-AD tak ingin melihat hancurnya

negeri ini akibat pergolakan politik yang ada; ketiga,

perubahan politik harus sesuai dengan kepentingan

militer, khususnya TNI-AD. Karena itu, tidaklah

mengherankan jika ABRI adalah organisasi pertama

yang melakukan reformasi sektor keamanan atau

reformasi internal, melalui apa yang mereka sebut

Kotak 3

Komponen-Komponen RSK

Pembiayaan yang tepat atas sektor keamanan (

right-inancing)

Pengaturan atas lembaga-lembaga keamanan swasta (

Private Military Companies, PMC dan Private

Security Companies, PSC)

(16)

sebagai “Paradigma Baru ABRI.” Melalui dukungan

politik atas perubahan itu, khususnya di era Presiden

Habibie, tidaklah mengherankan jika reformasi

TNI merupakan reformasi internal yang segalanya

ditentukan oleh ABRI. Situasi ini menyebabkan

betapa sulitnya masyarakat sipil menembus benteng

kekuatan militer, karena partai-partai politik dan

politisi sebagian besar tidak memiliki keberanian

untuk menegakkan kerangka kerja demokratik untuk

TNI. Mereka bahkan terpecah-pecah dalam berbagai

kepentingan politik dan bahkan mengerdilkan dirinya

sendiri dalam berhadapan dengan militer.

Kendala utama dan terbesar bagi TNI untuk menjadi

tentara yang profesional ialah masih terjadinya

politisasi tentara oleh kalangan elite politik sipil. Tak

heran jika pada berbagai kesempatan, Panglima TNI

Jenderal Endriartono Sutarto saat itu mengingatkan

“TNI hanya akan menjadi alat pertahanan negara.

Tidak boleh partisan, tidak boleh memihak kekuatan

sipil manapun”. Peringatan tersebut sesungguhnya

bukan hanya ditujukan kepada seluruh prajurit TNI,

tetapi juga bagi para elit politik sipil. Ini sejalan dengan

dengan paradigma baru TNI yang ingin menanggalkan

peran sosial politik yang pernah dinikmatinya sejak

1957 yang kemudian mendominasi kehidupan sosial,

ekonomi dan politik bangsa (military overreach) pada

era Orde Baru yang berakhir pada runtuhnya rejim Orde

Baru pada 21 Mei 1998. Panglima TNI yang sekarang,

Jenderal TNI Djoko Santoso, juga selalu mengingatkan

agar apara anggota TNI bersikap netral dalam pemilu

legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada

2009 ini.

Problem politisasi tentara ini merupakan fenomena

nyata yang sungguh sulit untuk diatasi di era reformasi

yang menganut sistem multi partai yang sangat

kompetitif. Pada situasi ini, upaya untuk melakukan

kontrol obyektif melalui berbagai perangkat kebijakan

negara akan menghadapi kendala dari

kekuatan-kekuatan politik yang saling berkompetisi tersebut.

Berbagai elite politik dari partai-partai besar dan kecil,

baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok,

berupaya untuk menarik TNI agar mendukung

kebijakan dan kepentingan politiknya.

Dalam kadar yang lebih buruk, elit partai-partai politik

yang berkuasa berupaya untuk melakukan kontrol

subyektif terhadap institusi TNI. Ini terjadi bukan saja

pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden

Megawati Sukarnoputri, melainkan juga berlanjut

pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Patut pula disayangkan, para elit partai bukannya

memberikan arah pada kalangan masyarakat bahwa

TNI merupakan alat pertahanan negara yang tunduk

pada otoritas politik sipil dan hanya menjalankan

politik negara, tetapi justru mengikuti arus politik

massa yang sebagian tidak lagi menentang terjunnya

TNI dalam politik. Fenomena ini tampak jelas pada

Pemilu Presiden putaran satu dan dua di tahun 2004

Kotak 4

Siapa Sajakah yang Dimaksud Sektor Keamanan

Luasnya komponen RSK ini dengan demikian juga berpengaruh pada luasnya aktor-aktor yang menjadi bagian sektor keamanan, beberapa diantaranya adalah:

Angkatan bersenjata

(17)

dan Pilkada Langsung pada 2005 ini. Lebih parah lagi,

tidak sedikit partai-partai politik yang pada pilkada

2006 yang akan mengajukan calon dari mantan

TNI, yang berarti mereka kurang percaya diri atau

minder untuk memilih kader-kader partai yang murni

sipil sebagai bakal calon dalam berbagai pilkada di

daerah. Ini bukan hanya terjadi di Golkar dan PDI-P,

tetapi juga di PAN dan bahkan PKS. Tanpa disadari

oleh para elite politik sipil, politisasi tentara ini pada

gilirannya telah menyebabkan kewenangan otoritas

politik sipil terhadap TNI menjadi lemah. Pada pemilu

2009, tampak nyata betapa tarikan bagi TNI untuk

berpolitik juga masih kental terjadi. Tengok misalnya

bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mensinyalir adanya perwira tinggi TNI-AD yang diduga

mengampanyekan ”Asal Bukan S” atau ABS yang

dikonotasikan Asal Bukan SBY. Kita juga tahu bahwa

pada pemilu presiden 2009 ini ada beberapa mantan

jendera TNI yang giat berkampanye untuk menjadi

presiden RI. Mereka adalah SBY sebagai incumbent,

Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Sutiyoso,

Letjen (Purn) Prabowo Soebianto, dan Mayjen (Purn)

Saurip Kadi. Dikhawatirkan para mantan Jenderal

ini akan menarik para mantan anak buahnya untuk

memobilisasi keluarga besar TNI atau kalangan sipil

lainnya pada pemilu presiden Juli (dan September)

mendatang.

Kendala kedua adalah tiadanya keinginan para

pengambil keputusan politik pada tingkat pusat dan

daerah untuk memahami secara benar berbagai

perangkat perundang-undangan yang terkait dengan

pertahanan negara, khususnya UU No 3/2002 tentang

Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang

Tentara Nasional Indonesia. Tidaklah mengherankan

jika, antara lain, mekanisme lama dalam pembelian

alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI masih

terus berjalan, seperti hiruk pikuk pembelian empat

pesawat Sukhoi dan dua helikopter Mi-35, serta

rencana pembelian kapal patroli KAL-35 oleh Provinsi

Riau Bangka Belitung dan DKI Jakarta pada 2003,

kasus senjata Koesmayadi, dan kasus pembelian

panser dari Perancis untuk pasukan TNI yang dikirim

ke Lebanon pada Oktober 2006.

Kotak 5

Mengapa Perlu RSK?

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk melihat signiikansi RSK, khususnya bagi negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi:

Aktor keamanan merupakan entitas unik yang diberikan hak untuk menggunakan instrumen 1.

kekerasan. Aktor keamanan merupakan perwujudan negara dan menggunakan instrument kekerasan hanya melalui persetujuan rakyat dengan tujuan untuk melindungi negara dan warganegara. Dengan demikian aktor keamanan tidak diperbolehkan terlibat di dalam politik dan penggunaan kekerasan hanya diperbolehkan jika mendapatkan persetujuan rakyat. Namun karakter demikian tidak dimiliki oleh aktor-aktor keamanan di negara-negara yang sedang menjalani transisi demokrasi karena pada masa rejim otorritarian aktor-aktor keamanan ini memiliki kekuasaan hampir tak terbatas dan minim kontrol sehingga perlu untuk direformasi.

Transisi demokrasi juga menghendaki dituntaskannya persoalan-persoalan pelanggaran HAM 2.

masa lalu sebagai landasan untuk melangkah ke masa depan dimana salah satu bentuk penuntasan tersebut adalah dengan memformat ulang sistem dan bentuk dari aktor-aktor keamanan sehingga memiliki karakter yang profesional, akuntabel dan minim pelanggaran HAM.

RSK juga berkaitan dengan kebutuhan penyuksesan program

3. global Millenium Development Goals

(MDGs). Melalui RSK, diharapkan, program-program MDGs, seperti pembangunan berkelanjutan, demokratisasi, pengentasan kemiskinan, penyebarluasan perdamaian dan keamanan bagi masyarakat dapat terpenuhi.

(18)

Kendala ketiga adalah dari kalangan masyarakat

sendiri. Jika dilihat sejak 1997 sampai 2003, terjadi

penurunan yang amat signiikan atas penentangan masyarakat terhadap terjunnya kembali TNI ke dalam

kancah politik nasional maupun lokal. Jika pada

1997, dari berbagai survei, persentasi mereka yang

menentang mencapai sekitar 70%, maka sejalan

dengan perkembangan waktu tentangan tersebut telah

menurun menjadi sekitar 50% pada tahun 2000 dan

37% pada 2003. Angka tersebut mungkin saja berubah

pada 2005 lalu khususnya dengan adanya kenaikan

harga BBM yang sudah terjadi dua kali dalam setahun

di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita juga

belum tahu apa pandangan masyarakat atas bakal

calon kepala daerah dari kalangan mantan militer

yang diusung oleh berbagai parpol pada pilkada 2005

dan 2006. Namun, kenyataannya pada tingkatan

pilkada, calon dari mantan militer tampaknya kurang

populer, sementara pada tingkatan pelpres, tidak

sedikit masyarakat yang masih menginginkan capres

atau cawapres dari kalangan mantan militer.

Penurunan persentase tersebut mungkin diakibatkan

oleh persepsi masyarakat bahwa elite politik sipil

lebih asyik memperjuangkan kepentingan ekonomi

dan politiknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat

banyak, sehingga mengesankan bahwa para politisi

sipil tersebut sebagai “penjahat-penjahat yang

menyabotase demokrasi”. Ini juga terjadi karena

masyarakat masih memiliki persepsi bahwa hanya

TNI aktif atau pensiunan yang mampu menciptakan

stabilitas keamanan di Indonesia. Sebagian

masyarakat tampaknya tidak menyadari bahwa tanpa

memiliki posisi kekuasaan politik pun, TNI adalah alat

negara yang memiliki tugas utama menjaga kedaulatan

nasional Indonesia dan mengatasi separatisme

bersenjata, serta memiliki tugas perbantuan tidak

permanen kepada Polri dalam mengatasi konlik

Kendala keempat berasal dari sebagian kalangan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih

mendikotomikan antara anggaran pemerintah di

bidang pertahanan dengan anggaran bidang sosial.

Kalangan ini tidak setuju jika anggaran pertahanan

dinaikkan, khususnya anggaran kesejahteraan

prajurit TNI dan pembelian persenjataan modern bagi

TNI. Tanpa adanya kompensasi untuk meningkatkan

kesejahteraan prajurit, membeli persenjataan modern,

dan amunisi yang cukup bagi latihan tempur, kita tidak

mungkin memiliki TNI yang profesional. Kemampuan

negara untuk mencukupi hanya 30-70 persen

kebutuhan TNI, menyebabkan institusi dan individu

dalam TNI masih berbisnis, mendapatkan anggaran

non-bujeter dari institusi pemerintah dan swasta, dan

lebih buruk lagi menjadikan institusi dan

individu-individu di dalam TNI sebagai tentara bayaran atau

soldier of fortune”.

Kendala kelima dan terakhir adalah dari dalam

institusi TNI sendiri. Meski tidak diutarakan secara

tegas di muka umum, sampai kini masih terdapat

kecenderungan kembalinya TNI ke pemikiran

konservatif bahwa otoritas politik sipil kurang mampu

mengambil keputusan politik yang cepat dalam

mengatasi gejolak keamanan di berbagai daerah yang

berkonlik dan masih kuatnya persepsi bahwa hanya militer yang memiliki jiwa pretorian dan segalanya

demi negara (propatria).

Fenomena lain, sampai kini sangat sulit bagi kalangan

TNI untuk menerima gagasan agar panglima TNI

berada di bawah Menteri Pertahanan. TNI juga masih

membuat kebijakan sendiri mengenai pembangunan

kekuatan TNI yang tidak didasari oleh review atas

kemampuan TNI dan perkembangan lingkungan

strategis atau Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan.

Kaji ulang itu sendiri masih dalam bentuk draft awal

(19)

Penghapusan bisnis militer pada 2009 sesuai dengan

amanat UU No 34/2004 juga nampaknya bukan

suatu hal yang mudah. Rekomendasi dari tim evaluasi

yang dipimpin oleh Ery Riyana Hardjapamekas yang

sudah diserahkan ke presiden pada akhir 2008

lalu, tampaknya tidak akan diimplementasikan agar

persoalan bisnis TNI itu tuntas pada Oktober 2009.

Sejak 2004 tampak jelas betapa sudah terjadi

pengalihan saham atau pun aset yang dimiliki TNI yang

dulu dibisniskan. Upaya untuk mendapatkan dana di

luar APBN seperti melalui bisnis militer ini menyimpan

suatu bahaya, yaitu terciptanya jejaring bayangan

(shadow networks). Karakteristiknya adalah: pertama,

terjadinya interaksi yang leksibel yang melibatkan aktor militer dengan berbagai struktur birokrasi,

bisnis, politik dan beragam lapisan masyarakat;

kedua, adanya kemampuan aktor-aktor militer untuk

melakukan intrusi ke pembuatan kebijakan-kebijakan

publik di hampir semua sektor.2

Selain itu, alih-alih komando teritorial yang merupakan

The government skeleton” pada masa Orde Baru

akan dihapuskan, malah ia akan menjelma atau

bermetamorfosa menjadi Komando Kewilayahan

(Kowil) yang lagi-lagi lebih mengedepankan

penanganan keamanan dalam negeri seperti konlik komunal, terorisme, dan penanganan bencana alam,

ketimbang sebagai bangunan pertahanan keamanan

untuk menghadapi ancaman dari luar. Bahkan ada

rencana TNI untuk menghidupkan kembali Komando

Wilayah Pertahanan (Kowilhan) seperti sebelum

1982. Bangunan ini bukan suatu hal yang negatif jika

memang untuk memperkuat pertahanan nasional

dari ancaman luar. Namun jika ini didasari pemikiran

untuk memperkuat atau menandingi institusi birokrasi

sipil dan Polri, maka berarti tak ada perubahan dalam

cara berpikir dan bertindak TNI.

Mengenai

2 off-budget militer lihat, Andi Widjajanto, ed., Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Propatria, 2004, hal. 90-91.

Kotak 6

Pengalaman Turki

RSK di Turki dipicu oleh 2 faktor, pertama, adalah persyaratan dari negara-negara Eropa bagi pembentukan sektor keamanan yang demokratis, akuntabel, transparan, terawasi dan terkontrol secara objektif oleh pemerintah dan masyarakat sipil, jika Turki berkeinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Sementara faktor kedua adalah fenomana dominasi militer di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Turki sehingga mendorong masyarakat sipil di Turki menuntut penghapusan dominasi tersebut.

RSK di Turki ditujukan untuk menyeimbangkan kedudukan sipil dan militer di dalam perumusan dan pengawasan kebijakan keamanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan langsung untuk mereformasi sistem keamanan Turki ditargetkan pada dua hal yaitu perubahan konsepsi dan formulasi kebijakan keamanann kearah yang lebih adaptif terhadap nasukan dari pihak sipil. Kedua, menghilangkan kesenjangan pengetahuan antara sipil dan militer tentang keamanan, pertahanan dan strategi.

Sementara pendekatan tidak langsung ditujukan pada penguatan masyarakat sipil, akademisi, dan media massa agar mampu memberikan masukan dalam isu-isu keamanan dan mengawasi sektor keamanan dengan efektif.

Beberapa capaian dari RSK di Turki diantaranya adalah disahkannya Paket Demokrasi Agustus 2003. Paket ini memiliki 3 sasaran yaitu: 1) mengharmonisasikan produkhukum Turki dengan persyaratan menjadi anggota Uni Eropa; 2) menghantikan pengaruh militer di ranah politik, dan; 3) menguatkan legitimasi sipil di sektor keamanan.

(20)

Penulis tidak berani menyentuh reformasi Polri

karena tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan

hal itu. Namun dari bacaan yang ada, tampaknya

reformasi Polri pun baru menyentuh tahapan awal,

yaitu perubahan paradigma struktural, instrumental

dan kultural setelah Polri dipisahkan dari TNI. Ini juga

masih menyisakan reformasi pada tahap berikutnya,

yaitu: pengawasan terhadap Polri, masih adanya

politisasi polri, pentingnya desentralisasi struktur

kepolisian, dan masih adanya citra buruk Polri sebagai

akibat dari belum berubahnya tingkah laku aparat

polri dalam kesehariannya. Citra buruk ini mencakup

masih kuatnya budaya militeristik, korupsi, dan belum

profesionalnya sebagian besar aparat Polri.3

3. Reformasi POLRI

Lihat Tool 5 Tentang

Reformasi Polri

Paling sedikit ada empat masalah utama yang muncul

karena keberadaan jejaring bayangan ini. Pertama,

keterlibatan aktif aktor-aktor militer memungkinkan

jejaring ini untuk mengeksploitasi sumber daya

nasional dan lokal atau bahkan menjalankan kegiatan

ekonomi sendiri; kedua, minimnya sumber daya

menyebabkan adanya kompetisi yang tidak sehat antar

sesama aktor militer; ketiga, keterlibatan militer dalam

jejaring ini mempunyai implikasi negatif terhadap

profesionalisme militer, khususnya kesiagaan militer

dalam menjalankan tugas-tugas utamanya; keempat,

aktor militer dapat memanfaatkan jejaring bayangan

ini ini untuk mendapatkan sumber-sumber dana

non-bugeter itu untuk membiayai operasi-operasi

militer rahasia, khususnya operasi-operasi intelijen

dan teritorial yang menggunakan unit-unit/pasukan

khusus. Ini tentunya dapat membahayakan keamanan

negara dan manusia, serta tidak memungkinkan

otoritas sipil menerapkan prinsip supremasi sipil ke

institusi militer.

Reformasi TNI memang harus inkremental, melalui

proses tawar menawar, dialog, serta membangun

konsensus bersama ketimbang membuka konfrontasi.

Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila ada kontrol

obyektif sipil atas militer dan bukan melalui politisasi

(21)

Kotak 8

Menuju Polisi Sipil

Reformasi kepolisian berkaitan secara resiprokal dengan reformasi hukum, reformasi politik dan reformasi ekonomi. Reformasi dalam ketiga bidang tersebut sangat bergantung kepada suasana tertib, aman, jaminan terhadap kepastian hukum yang dihasilkan oleh reformasi kepolisian. Dilain ihak, reformasi kepolisian memerlukan legitimasi dari reformasi politik dan hukum. Ia juga memerlukan dukungan dari reformasi ekonomi. Sejalan dengan arah reformasi diberbagai bidang yang masih menjadi perdebatan, reformasi kepolisian juga tak luput dari dinamika itu. Akan tetapi, dari arah perdebatan itu, terdapat satu konsep yang seharusnya menjadi kesepakatan dalam arah reformasi kepolisian dalam masyarakat yang mengalami transisi demokrasi. Konsep itu dikenal sebagai polisi sipil. Polisi sipil dan masyarakat yang demokratis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Kata sipil menunjuk pada beberapa pengertian. Pertama, penghormatan kepada hak-hak sipil. Masyarakat yang demokratis pada dasarnya membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asazi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Kedua, sejalan dengan karakteristik pertama, dalam menjalankan tugasnya, polisi sipil harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility). Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab, bukan polisi yang biadab. Sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak kasar, mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya. Pertimbangan yang mendasari tindakan kepolisian tidak semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kekuasaan yang dimiliki, sekalipun pada level tertentu masih diperbolehkan. Penghargaan kepada masyarakat sebagai seorang yang bermartabat merupakan ciri pokok kinerja polisi sipil yang mempunyai integritas yang tinggi.

Ketiga, pengertian sipil juga dibedakan secara diametral dengan pengertian militer. Polisi sipil adalah polisi yang jauh dari karakteristik militer. Pengertian ini sejalan dengan deinisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional. Dalam perjanjian ini kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara kedudukan militer sebagai kekuatan yang didisain untuk berperang (combatant). Fungsi kepolisian juga berbeda jauh dari fungsi militer. Secara tradisional, fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Sementara itu fungsi militer berkaitan dengan perwujudan keamanan dari ancaman eksternal (external threat), dan berbagai operasi perdamaian dan operasi kemanusiaan. Kualitas polisi sipil diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat .

Kotak 7

Pengaturan Peran TNI – Polri?

TNI:

Sebagai alat pertahanan, tugas pokok TNI menegakkan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melindungi Indonesia dari ancaman dan gangguan. Tugas bantuan TNI diatur meliputi penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic mission), memberi bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dengan UU dan TNI ikut memelihara perdamaian dunia (peace keeping operation).

Polri:

Polri punya tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan perannya Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan professional.

(22)

Keempat, dalam pengertian yang lebih spesiik, polisi sipil juga dibedakan dari polisi rahasia. Polisi rahasia adalah polisi yang taat, patuh dan mengabdi kepada kepentingan politik penguasa yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat. Sebagai komponen yang penting dalam sistem pemerintahan yang otoriter, polisi rahasia sering dilekatkan dengan tindakan yang represif, pengekangan kebebasan kepada masyarakat, penangkapan semena-mena, bahkan penyiksaan. Konsepsi tentang polisi rahasia juga sering dilektakan dengan konsepsi tentang polisi negara (state police). Polisi sipil dilain pihak, harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat yang dalam negara demokratis merupakan pemilik kedaulatan. Jadi, polisi sipil bisanya mempunyai karakteristik sebagai polisi masyarakat, yaitu polisi yang menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Dalam karakter ini, polisi harus mewujudkan pola kerja yang menyalami, merangkul dan menyayangi masyarakat (police who cares), mengedepankan penggunaan komunikasi kepada masyarakat, bukan mengandalkan peluru tajam.

dengan adanya jarak dengan proses politik, baik yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, kinerja polisi sipil yang profesional juga harus transparan, dan akuntabel baik secara substantif maupun secara manajerial. Karakter ini berbeda secara diametral dengan kinerja polisi rahasia yang biasanya bekerja secara diam-diam, ekslusif, biadab dan sarat dengan warna politik.

Untuk meujudkan polisi yang berkarakter sipil diperlukan peningkatan profesionalitas. Secara singkat polisi yang profesional adalah polisi yang mendasarkan kinerjanya kepada ilmu pengetahuan dan sistem hukum yang berlaku. Dalam perspektif birokrasi pemerintahan, profesionalitas polisi dikaitkan dengan adanya jarak dengan proses politik, baik yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, kinerja polisi sipil yang profesional juga harus transparan, dan akuntabel baik secara substantif maupun secara manajerial. Karakter ini berbeda secara diametral dengan kinerja polisi rahasia yang biasanya bekerja secara diam-diam, ekslusif, biadab dan sarat dengan warna politik.

Di Indonesia, cita-cita akan terwujudnya polisi sipil memang masih belum menjadi kenyataan. Walaupun demikian arahnya sudah dapat dilihat misalnya dengan dikeluarkannya TAP MPR No VI/1999 dan TAP MPR No VII/1999. Kedua produk legislasi ini mengamanatkan pemisahan struktural antara institusi POLRI dengan TNI, dan menjadikan POLRI sebagai kekuatan polisi sipil yang mengutamakan hukum dan ketertiban .Tentu perubahan legislasi ini harus diikuti dengan perubahan dalam perlikau budaya dan peraturan dibawahnya agar cita-cita polisi sipil itu menjadi kenyataan.

Sumber: S. Yunanto, Menuju Polisi Sipil, IDSPS,

(23)

Empat tahun sudah Pacivis Universitas Indonesia

tak henti-hentinya melontarkan gagasan mengenai

reformasi intelijen di Indonesia. Hasil kajiannya bukan

hanya berbentuk buku: Reformasi Intelijen Negara

(November 2005); Intelijen: Velox et Exactus (Januari

2006); Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia

(Agustus 2006); Negara, Intel, dan Ketakutan (Agustus

2006), dan terakhir; Hubungan Intelijen – Negara

1945-2004, melainkan juga Draft RUU Intelijen

Negara. Selain itu, Pacivis UI juga menjadi fasilitator

KIRIN (bukan merek bir di Jepang, melainkan Kelompok

Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara)

serta koordinator Simpul Aliansi Nasional untuk

Demokratisasi Intelijen (SANDI). Namun, dalam kurun

waktu yang sama, RUU Intelijen Negara yang digagas

oleh Badan Intelijen Negara (BIN), lenyap tak tahu

rimbanya, apakah sudah diajukan pemerintah ke DPR

ataukah masih dikutak-katik untuk diperbaiki. Dalam

hal Reformasi Sektor Keamanan, tampaknya hanya

reformasi intelijen negara yang belum mendapatkan

porsi perhatian yang cukup dari kalangan eksekutif,

legislative dan masyarakat sipil. Meski masih

banyak permasalahan di sana sini, reformasi TNI

dan Polri sudah berjalan sejak pertengahan 1998.

Dua reformasi sector keamanan tersebut, Reformasi

TNI dan Polri, sudah mulai menampakkan sinar di

ujung terowongan yang amat gelap. Tapi reformasi

intelijen negara, masih benar-benar gelap dan belum

menampakkan secercah sinar sedikit pun.

Dari 1945-2004, dalam kadar tertentu Indonesia

pernah menerapkan tipe Intelijen Politik, Militerisasi

Intelijen, ataupun Negara Intelijen. Namun, meski

reformasi di segala bidang dan demokratisasi sudah

mulai menggeliat dalam kurun waktu 10 tahun

terakhir ini, kita belum merasakan adanya perubahan

tipe intelijen Indonesia dari Intelijen Politik ke Intelijen

Demokratik. Tengok saja apa yang terjadi di Indonesia

pada kurun waktu tersebut, praktek intelijen hitam

masih terus berlangsung, seperti penculikan para

aktivis pada 1997-1998, pembunuhan aktivis HAM

Munir pada 2004 dan masih kentalnya

praktek-praktek intelijen untuk kepentingan rejim yang

sedang berkuasa. Semua itu dilakukan atas nama

“keamanan negara”, walau tak jelas apa deinisi dari “keamanan negara” itu. Secara keseluruhan, cara

pandang intelijen negara mengenai ancaman juga

belum berubah, walau lingkungan strategis Indonesia

sudah jauh berubah dibandingkan dengan pada

1965. Simak saja istilah ancaman yang datang dari

: “Ekstrem kiri”, “Ekstrem Tengah”, “Ekstrem Kanan”

dan ”ekstrem lain-lain ” yang masih terus digunakan

walau demokrasi sudah semakin melembaga di bumi

nusantara. Intelijen negara kita masih belum menuju

pada intelijen yang professional. Padahal sekolah

intelijen modern sudah dibangun bahkan sampai

tingkatan S2. Peralatan sekolah/latihan baik yang

ada di markas BIN Kalibata ataupun sekolah-sekolah

di luar itu juga modern dan canggih.

Dari segi aturan perundang-undangan, Indonesia

hingga kini belum memiliki UU Intelijen Negara.

Gagasan mantan Kepala BIN Hendropriyono agar

BIN memiliki payung hukum, hanya berhenti pada

dikeluarkannya Keppres mengenai tugas pokok dan

fungsi BIN pada era Presiden Megawati Sukarnoputri.

Upaya BIN untuk membuat Draft RUU Intelijen

Negara juga mandeg, mungkin karena salah seorang

konseptornya, Mayjend. (Purn) Bom Suryanto, kini

menjadi Duta Besar RI di Papua Niugini (PNG) dan

tak ada orang lain yang menanganinya. Atau, sulit

mengambil keputusan dalam rapat-rapat koordinasi

(24)

antar dinas intelijen karena mereka yang diutus oleh

masing-masing instansinya “tidak memiliki wewenang

untuk memutuskan.”

Fragmentasi intelijen memang sudah terjadi, namun

fungsi dan perannya masih tumpang tindih. KIRIN

dan SANDI pernah melakukan pemisahan

dinas-dinas intelijen sesuai dengan bidang kerja mereka,

yaitu: intelijen domestik, intelijen luar negeri, intelijen

militer, intelijen yustisia, dan intelijen sipil. Namun

timbul pertanyaan, mengapa intelijen luar negeri

ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan? Jika

intelijen luar negeri Indonesia mirip dengan South

African Secret Service (SASS) atau Australian Secret

Intelijen Service (ASIS), apakah SASS dan ASIS itu

berada di bawah Dephan masing-masing negara atau

di bawah Departemen Dalam Negeri atau Department

of Prime Minister?

Intelijen negara kita juga belum memiliki pengawasan

berlapis dari tingkatan pengawasan internal,

pengawasan eksekutif, pengawasan legislatif, sampai

ke pengawasan publik dalam kadar tertentu. Semua

itu tentunya perlu diatur dalam undang-undang. Hingga

kini, sampai draft RUU Intelijen yang pernah penulis

baca, RUU itu hanya berisikan payung hukum bagi

intelijen negara untuk menjalankan tugas-tugasnya,

dan belum memenuhi standar UU intelijen yang

memungkinkan intelijen negara menjalankan

tugas-tugasnya dalam kerangka politik yang demokratik.

Seperti telah diuraikan di atas, intelijen negara

sebagai bagian dari sistem keamanan negara

merupakan satu-satunya institusi yang belum

tersentuh reformasi. Perilaku intelijen negara masih

belum berubah dibandingkan dengan pada masa

lalu. Mereka masih menciptakan budaya ketakutan

kepada masyarakat, membunuh, menugasi dirinya

sendiri, dan bahkan menghambur-hamburkan uang

negara seperti menggunakan Gus Dur Institute untuk

membayar sebuah perusahaan lobi AS puluhan ribu

dolar AS untuk melobby kalangan Kongres AS. Hal ini

agak aneh karena beberapa hal: pertama, apakah BIN

memiliki tugas untuk melakukan lobi-lobi politik yang

seharusnya dilakukan oleh Departemen Luar Negeri

RI dan Departemen Pertahanan RI; kedua, lobi untuk

mengubah citra TNI sebagai pelanggar HAM di mata

Kongres AS itu menunjukkan betapa tidak percayanya

institusi intelijen negara yang masih dikuasai oleh

kalangan militer terhadap institusi sipil; ketiga, BIN,

meskipun sudah banyak memiliki agen-agen intelijen

sipil, masih dikuasai oleh kalangan militer dan

berbudaya militeristik; keempat, kasus lobi ini juga

menunjukkan betapa tidak profesionalnya intelijen

negara kita yang tidak menggunakan lobi Indonesia di

AS seperti USINDO, malah menggunakan perusahaan

lobi yang tidak ada hasilnya. Kasus pembunuhan

aktivis HAM, Munir pada 7 September 2004 yang

diduga dilakukan agen intelijen BIN juga menunjukkan

betapa masih kentalnya institusi intelijen dengan

pola operasi masa lalu. Mereka melakukan

self-assesment bahwa Munir adalah musuh negara dan

Kotak 9

Pengalaman Fiji

Pada tahun 2003 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan di Fiji bekerjasama dengan Kementerian Perempuan memberikan masukan dalam proses kaji ulang sistem keamanan nasional di Fiji. Isu-isu yang dibahas didiskusikan bersama adalah:

mbagaimana proses kaji ulang dilakukan; 1)

isu-isu apa saja yang diidentiikasikan sebagai isu keamanan, dan; 2)

bagaimana memasukkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma internasional ke dalam program-3)

Referensi

Dokumen terkait

Status hukum keadaan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diberlakukan di sebagian atau seluruh wilayah nasional, apabila dinamika Ancaman keamanan berakibat

Ekspresi kalimat yang menerangkan keterlibatan TNI untuk terlibat sebagai institusi perbantuan Polri dalam mengatasi berbagai model ancaman keamanan nasional dalam negeri

Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pegawai Negeri

(1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan

kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi , sampai dengan debat publik tentang konsep dan persepsi RSK kalangan masyarakat sipil vis a vis pemerintah dan

Pada hal secara implisit telah dinyatakan dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa POLRI adalah sebagai pengelola keamanan dalam negeri, selain

(2) Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam

Dampak Positif Diberlakukannya Pembatasan Hak Memilih Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pembatasan hak memilih bagi TNI dan Polri dapat