R
eformasi
S
ektor
K
eamanan
:
S
ebuah
P
engantar
Penulis
Ikrar Nusa Bhakti adalah professor riset bidang intermestic affairs di Pusat Penelitian Politik-LIPI. Anggota Pokja ProPatria untuk Reformasi Sektor Keamanan dan anggota tim perumus RUU Intelijen versi masyarakat Sipil yang dimotori oleh Pacivis Universitas Indonesia dan Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI).
Insitute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang menjadi kontributor Tool ini, yaitu Ikrar Nusa Bhakti, Al-A’raf, Beni Sukadis, Jaleswari Pramodhawardani, Mufti Makaarim, Bambang Widodo Umar, Ali. A Wibisono, Dian Kartika, Indria Fernida, Hairus Salim, Irawati Harsono, Fred Schreier, Stefan Imobersteg, Bambang Kismono Hadi, Machmud Syafrudin, Sylvia Tiwon, Monica Tanuhandaru, Ahsan Jamet Hamidi, Hans Born, Matthew Easton, Kristin Flood, dan Rizal Darmaputra. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Tim pendukung penulisan naskah Tools ini, yaitu Sri Yunanto, Papang Hidayat, Zainul Ma’arif, Wendy A. Prajuli, Dimas P Yudha, Fitri Bintang Timur, Amdy Hamdani, Jarot
Suryono, Rosita Nurwijayanti, Meirani Budiman, Nurika Kurnia, Keshia Narindra, R Balya Tauik H, Rully Akbar, Barikatul Hikmah, Munandar Nugraha,
Febtavia Qadarine, Dian Wahyuni dan Heri Kuswanto. Terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) atas dukungannya terhadap program ini, terutama mereka yang terlibat dalam diskusi dan proses penyiapan naskah ini, yaitu Philip Fluri, Eden Cole dan Stefan Imobersteg. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman atas dukungan pendanaan program ini.
Tool Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar
Tool Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar ini adalah bagian dari Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit. Toolkit ini dirancang untuk memberikan pengenalan praktis tentang RSK di Indonesia bagi para praktisi, advokasi dan pembuat kebijakan disektor keamanan. Toolkit ini terdiri dari 17 Tool berikut :
IDSPS
Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) didirikan pada pertengahan tahun 2006 oleh beberapa aktivis dan akademisi yang memiliki perhatian terhadap advokasi Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dalam bingkai penguatan transisi demokrasi di Indonesia paska
1998. IDSPS melakukan kajian kebijakan pertahanan keamanan, resolusi konlik dan hak asasi manusia (policy research) mengembangkan dialog antara berbagai stakeholders (masyarakat sipil, pemerintah, legislatif, dan institusi lainnya) terkait dengan kebijakan untuk mengakselerasi proses reformasi
sektor keamanan, memperkuat peran serta masyarakat sipil dan mendorong penyelesaian konlik dan pelanggaran hukum secara bermartabat.
DCAF
Pusat Kendali Demokratis atas Angkatan Bersenjata Jenewa (DCAF, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik dan reformasi sektor keamanan. Pusat ini melakukan penelitian tentang praktek-praktek yang baik, mendorong pengembangan norma-norma yang sesuai ditingkat nasional dan internasional, membuat usulan-usulan kebijakan dan mengadakan program konsultasi dan bantuan di negara yang membutuhkan. Para mitra DCAF meliputi para pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, organisasi-organisasi internasional dan para aktor sektor keamanan seperti misalnya polisi, lembaga peradilan, badan intelijen, badan keamanan perbatasan dan militer.
Layout
Peran Parlemen Dalam Reformasi Sektor Keamanan 2.
Departemen Pertahanan dan Penegakan Supremasi Sipil Dalam 3.
Reformasi Intelijen dan Badan Intelijen Negara 6.
Desentralisasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah 7.
Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di 8.
Indonesia
Polisi Pamongpraja dan Reformasi Sektor Keamanan 9.
Pengarusutamaan Gender di Dalam Tugas-Tugas Kepolisian 10.
Pemilihan dan Rekrutmen Aktor-Aktor Keamanan 11.
Pasukan Penjaga Perdamaian dan Reformasi Sektor Keamanan 12.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan 13.
Komisi Intelijen 14.
Program Pemolisian Masyarakat 15.
Kebebasan Informasi dan Reformasi Sektor Keamanan 16.
Tool Pelatihan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Kajian Reformasi Sektor Keamanan ini ditujukan khususnya untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS Indonesia untuk melakukan riset, analisis dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci pengawasan sector keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.
Kepentingan mendasar aktivitas OMS untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor keamanan telah diakui sebagai instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan publik dalam pengawasan demokrasi adalah krusial untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi diseluruh sektor keamanan. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik: OMS tidak hanya bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah tapi juga sebagai pedoman kepuasan publik atas kinerja institusi dan badan yang bertanggungjawab atas keamanan publik dan pelayanan terkait. Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah semua memberi masukan pada proses ini.
Sebagai tambahan, advokasi oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil mewakili kepentingan komunitas-komunitas lokal dan kelompok-kelompok individu bertujuan sama yang membantu memberi suara pada aktor-aktor termarjinalisasi dan membawa proses perumustan kebijakan pada jendela perspektif yang lebih luas lagi. Konsekuensinya, OMS memiliki peran penting untuk dijalankan, tak hanya di negara demokratis tapi juga di negara-negara paskakonlik, paskaotoritarian dan non demokrasi, dimana aktivitas OMS masih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan para elit yang memonopoli proses politik.
Tapi kemampuan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengawasan sektor keamanan bergantung pada kompetensi pokok dan juga kapasitas institusi organisasi mereka. OMS harus memiliki kemampuan-kemampuan inti dan alat-alat untuk terlibat secara efektif dalam isu-isu pengawasan keamanan dan reformasi peradilan. Sering kali, kapasitas OMS tidak seimbang dan terbatas, karena kurangnya sumber daya manusia, keuangan, organisasi dan isik yang dimiliki. Pengembangan kapasitas relevan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil biasanya melibatkan peningkatan kemampuan, pengetahuan dan praktik untuk melakukan analisa kebijakan, advokasi dan pengawasan, seiring juga dengan kegiatan manajemen internal, manajemen keuangan, penggalangan dana dan penjangkauan keluar.
OMS dapat berkontribusi dalam reformasi sektor keamanan dan pemerintahan melalui banyak cara, antara lain: Memfasilitasi dialog dan debat mengenai masalah-masalah kebijakan
•
Mendidik politisi, pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai isu-isu spesiik terkait •
Memberdayakan kelompok dan publik melalui pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk isu-isu spesiik •
Membagi informasi dan ilmu pengetahuan khusus mengenai kebutuhan dan kondisi local dengan para pembuat •
kebijakan, parlemen dan media
Meningkatkan legitimasi proses kebijakan melalui pencakupan lebih luas akan kelompok-kelompok maupun •
perspektif-perspektif sosial yang ada
Mendukung kebijakan-kebijakan keamanan yang representatif dan responsif akan komunitas lokal •
Mewakili kepentingan kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kebijakan •
Meletakkan isu keamanan dalam agenda politik •
Menyediakan sumber ahli, informasi dan perspektif yang independen •
Melakukan riset yang relevan dengan kebijakan •
Menyediakan informasi khusus dan masukan kebijakan •
Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas institusi-institusi keamanan •
Mengawasi/memonitor reformasi dan implementasi kebijakan •
Menjaga keberlangsungan pengawasan kebijakan •
Mempromosikan pemerintah yang responsif •
Kata Pengantar
Menciptakan landasan yang secara pasti mempengaruhi kebijakan dan legitimasi badan-badan di level •
eksekutif sesuai dengan kepentingan masyarakat
Memfasilitasi perubahan demokrasi dengan menjaga pelaksanaan minimal standar hak asasi manusia dalam •
rejim demokratis dan non demokratis
Menciptakan dan memobilisasi oposisi publik sistematis yang besar terhadap pemerintahan lokal dan nasional •
yang non demokratis dan non representatif
Menjamin dibangun dan dikelola secara baik sektor keamanan yang akuntabel, responsif dan hormat akan segala bentuk hak asasi manusia adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik. Pengembangan kapasitas OMS untuk memberi informasi dan mendidik publik akan prinsip-prinsip pengawasan dan akuntabilitas sektor keamanan, serta norma-norma internasional akan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik hádala satu cara untuk membangun dukungan dan tekanan di bidang ini.
Sejak 1998, demokrasi Indonesia yang semakin berkembang dan kebangkitannya sebagai aktor kunci ekonomi Asia telah memberi latar belakang pada debat reformasi sektor keamanan paska-Suharto. Fokus dari perdebatan reformasi sektor keamanan adalah kebutuhan akan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktik di lapangan dan penganggaran. Beberapa inisiatif yang terjadi berjalan tanpa mendapat masukan dari comunitas OMS Indonesia.
Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) telah mengelola pembuatan, implementasi dan publikasi dari Tool Pelatihan ini sebagai sebuah komponen dari pekerjaan yang terus berjalan di bidang hak asasi manusia dan tata kelola sektor keamanan yang demokratis di Indonesia. Tool ini merupakan kerangka kunci permasalahan dalam pengawasan sektor keamanan yang mudah dipahami sehingga OMS di luar Jakarta dapat mempelajari dan memiliki akses pada konsep-konsep kunci dan sumber daya relevan untuk menjalankan tugas mereka di tingkat lokal.
Proyek ini adalah satu dari tiga proyek yang ditangani antara IDSPS dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), sementara proyek lainnya berfokus pada membangun kapasitas OMS di seluruh kawasan Indonesia untuk bekerja sama dalam isu-isu tata kelola sektor keamanan melalui berbagai pelatihan (workshop) dan pembuatan Almanak Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Tool ini menggambarkan kapasitas komunitas OMS Indonesia untuk menganalisa isu-isu pengawasan sektor keamanan dan mengadvokasi reformasi jangka panjang, tool ini juga mengindikasikan kepemilikan lokal yang menjadi pendorong internal dari proses reformasi sektor keamanan Indonesia.
Akhirnya, DCAF berterimakasih pada dukungan Kementrian Luar Negeri Republik Jerman yang mendanai keseluruhan proyek ini sebagai bagian dari program dua tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dari reformasi sektor keamanan di Indonesia di seluruh institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.
Jenewa, Agustus 2009
Eden Cole
Kata Pengantar
Institute for Defense, Security and Peace Studies
(IDSPS)
Penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), IDSPS menyimpulkan bahwa kalangan masyarakat sipil telah melakukan pelbagai upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi sektor keamanan (RSK), terutama paska 1998. Upaya-upaya tersebut dilakukan seiring dengan transisi politik di Indonesia dari Rezim Orde Baru yang otoriter menuju satu rezim yang lebih demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia.
Pelbagai upaya yang telah dilakukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tersebut antara lain berupa: (1) pengembangan wacana-wacana RSK, (2) advokasi reformulasi dan penyusunan legislasi atau kebijakan strategis maupun operasional di sektor keamanan, (3) dorongan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan keamanan, dan (4) pengawasan dan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan serta pelanggaran hukum yang melibatkan para pihak di level aktor keamanan, pemerintah dan parlemen, serta memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, IDSPS mencatat bahwa peran-peran OMS dalam mengawal RSK pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono umumnya bergerak dalam orientasi yang tersebar, parsial, tanpa konsensus dan distribusi peran yang ketat, serta terkesan lebih pragmatis bila dibanding dengan perannya dalam 2 periode pemerintahan sebelumnya —pemerintahan B. J. Habibie dan pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Kecenderungan ini di satu sisi menunjukkan bahwa tantangan advokasi RSK seiring dengan perjalanan waktu, dimana konsentrasi dan kemauan politik pemerintah cenderung menurun sehingga strategi dan pola advokasi OMS berubah. Di sisi lain, seiring dengan tumbangnya Rezim Soeharto sebagai musuh bersama, kemungkinan terjadi kegamangan dalam hal isu dan strategi advokasi juga muncul.
Ini ditunjukkan dalam temuan IDSPS lainnya perihal fakta bahwa OMS belum dapat menindaklanjuti opini dan wacana yang telah dikembangkannya hingga menjadi wacana kolektif pemerintah, DPR dan masyarakat sipil. Strategi advokasi yang dijalankan OMS belum diimbangi dengan penyiapan perangkat organisasi yang kredibel, jaringan kerja yang solid, komunikasi dan diseminasi informasi kepada publik yang kontinyu, serta pola kerja dan jaringan yang konsisten.
Mengingat OMS merupakan salah satu kekuatan sentral dalam mengawal transisi demokrasi dan RSK sebagaimana terlihat dalam perubahan rezim politik Indonesia tahun 1997-1998, maka OMS dipandang perlu melakukan konsolidasi dan reformulasi strategi advokasinya seiring perubahan politik nasional dan global serta dinamika transisi yang kian pragmatis. Paling tidak OMS dapat memulai upaya konsolidasi dan reformasi strategi advokasinya dengan mengevaluasi dan mengkritik pengalaman advokasi yang telah dilakukannya sembali melihat efektivitas dan persinggungan stretegis di lingkungan OMS dalam memastikan tercapainya tujuan RSK.
Penelitian IDSPS menyimpulkan setidaknya ada tiga pola advokasi RSK yang bisa dilakukan lebih lanjut oleh OMS. Pertama, menguatkan pengaruh di internal pemerintah dan pengambil kebijakan. Kedua, menjaga konsistensi peran kontrol dan kelompok penekan terhadap kebijak-kebijakan strategis di sektor keamanan. Ketiga, memperkuat wacana dan pemahanan tentang urgensi RSK yang dikembangkan.
Buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit, merupakan serial Tool yang terdiri dari 17 topik isu-isu RSK yang relevan di Indonesia, yang disusun dan diterbitkan untuk menunjang agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK di atas. Seluruh topik dan modul disusun oleh sejumlah praktisi dan ahli dalam isu-isu RSK yang selama ini terlibat aktif dalam advokasi agenda dan kebijakan strategis di sektor keamanan. Penulisan dan penerbitan Tools ini merupakan kerjasama antara IDSPS dengan Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), dengan dukungan pemerintah Republik Federal Jerman.
Dengan adanya buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit ini, seluruh pihak yang berkepentingan melakukan advokasi RSK dan mendorong demokratisasi sektor keamanan dapat memiliki tambahan referensi dan informasi, sehingga upaya untuk mendorong kontinuitas advokasi RSK seiring dengan upaya mendorong demokratisasi di Indonesia dapat berjalan maksimal.
Jakarta, 8 September 2009
Daftar Isi
Akronim
Pengantar
1.
Kendala Membangun TNI yang Profesional
2.
Reformasi Polri
3.
Reformasi Intelijen
4.
Perlunya Pengawasan Intelijen
5.
5.1. Jaring-Jaring Pengawasan Intelijen
Penutup
6.
Daftar Pustaka
7.
Bacaan Lanjutan
8.
Lampiran
9.
vii
1
4
10
13
16
16
18
22
22
Akronim
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
AD Angkatan Darat
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASIS Australian Secret Intelligent Service
BIN Badan Intelijen Negara
CIA Centre Intelligence Agency
CSO Civil Society Organization
DK-PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
DPD Dewan Perwakilan Daerah
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD-GR Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong
DPR-GR Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong
GCPP Government’s Global Conlict Prevention Pool
HAM Hak Asasi Manusia
KIRIN Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara
Kowil Komando Kewilayahan
Kowilhan Komando Wilayah Pertahanan
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs Millennium Development Goals
MPR Majelis Pemusyawaratan Rakyat
MPRS Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
OECD-DAC The Organization for Economic Co-Operation and Development-Development
Assistance Committee
Polri Kepolisian Republik Indonesia
RSK Reformasi Sektor Keamanan
RUU Rancangan Undang-Undang
SANDI Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen
SASS South African Secret Service
SSR Security Sector Reform
TNI Tentara Nasional Indonesia
Tanpa terasa, lebih dari sepuluh tahun sudah
reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang bergerak
pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total di
segala bidang. Sejalan dengan itu, berbagai kelompok
masyarakat sipil berupaya agar reformasi sektor
keamanan (security sector reform) juga berjalan
searah dengan reformasi politik untuk membangun
suatu sistem demokrasi yang diidam-idamkan. Namun
kenyataan di sana sini menunjukkan betapa hal
tersebut masih menjadi impian yang amat panjang.
Terlepas dari berbagai kendala yang ada, satu hal
terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap
memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar
cita-cita reformasi menjadi kenyataan. Demokrasi
memang bukan tujuan akhir dari reformasi total,
melainkan bagaimana melalui sistem demokrasi itu
negeri yang kita cintai ini dapat mencapai masyarakat
yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan
terjadi checks and balances dalam sistem politik yang
berjalan.
Secara khusus, reformasi sektor keamanan, khususnya
reformasi TNI, Polri dan Intelijen Negara, masih
menunjukkan berbagai kendala. Reformasi TNI dan
Polri dapat dikatakan baru menyentuh aspek-aspek
legal (hukum) dan struktural yang amat terbatas, dan
belum menyentuh aspek-aspek budaya tingkah laku
aparat-aparatnya. Sedangkan reformasi intelijen dapat
dikatakan masih sedang merangkak dan belum ada
aturan hukumnya. Rancangan Undang-Undang (RUU)
Intelijen yang digagas oleh Badan Intelijen Negara
(BIN) hanya sebatas ingin memberikan payung hukum
bagi institusi-institusi intelijen negara, namun belum
menyentuh aspek-aspek praktek-praktek intelijen
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan
aspek-aspek pengawasan intelijen negara.
Lebih khusus lagi, terlalu naif dan membahayakan
jika reformasi sektor keamanan secara privilege
diserahkan kepada institusi-institusi TNI, Polri dan
Intelijen Negara, tanpa mengikutsertakan berbagai
kalangan pemangku kepentingan, seperti politisi,
akademisi, lembaga-lembaga non-pemerintah, praktisi
hukum dan kalangan masyarakat sipil lainnya. Karena
jika ini diserahkan kepada ketiga institusi tersebut,
aturan legal yang mereka buat tentunya hanya ingin
memberi kerangka hukum bagi aktivitas keseharian
mereka. Jika ini terjadi, berarti kita memberikan cek
kosong bagi institusi-institusi tersebut untuk membuat
aturan-aturan perundang-undangan yang sesuai
dengan kepentingan-kepentingan sektoral mereka.
Lebih buruk lagi, reformasi internal yang ketiga
institusi tersebut jalankan tentunya sesuai dengan
yang mereka inginkan, dengan deinisi keamanan negara yang tidak berubah, yaitu bagaimana mencapai
stabilitas keamanan untuk kepentingan negara
(baca: pemerintah yang berkuasa dan ketiga institusi
tersebut) dengan menaikan keamanan insani (human security). Pada gilirannya, reformasi internal semacam
itu hanya akan membuka kotak pandora, yaitu secara
lambat tapi pasti metamorfosa peran sosial politik
ketiga institusi itu seperti pada masa Orde Baru akan
menjelma kembali dalam bentuknya yang lain.
Alih-1. Pengantar
Reformasi Sektor Keamanan :
Sebuah Pengantar
RSK adalah sebuah konsep reformasi di bidang keamanan yang :
Bersifat holistik, mulai dari aktor,
1.
disiplin dan aktivitas;
Bergerak di dalam prinsip dan norma
2.
demokratis;
Dengan demikian tujuan akhir dari SSR
3.
Kotak 1
Apa yang Dimaksud Dengan RSK?
Reformasi Sektor Keamanan (RSK) atau Security Sector Reform (SSR) merupakan sebuah konsep untuk mereformasi atau membangun kembali sektor keamanan negara sejalan dengan prinsip demokrasi, profesionalisme dan penegakan HAM. Bahkan, RSK juga dapat dikaitkan sebagai bagian dari tren internasional dalam memberikan perlindungan terhadap keamanan insani (human security) setiap manusia.
Konsep ini pertama kali muncul pada awal 1990-an di Eropa Timur. RSK dilaksanakan ketika sector keamanan di sebuah negara mengalami disfungsi dan kehilangan kemampuan untuk memberikan keamanan pada negara dan warga negaranya secara efektif dan sejalan dengan prinsip-prinsp demokratis.
Terkait dengan deinisi, hingga hari ini belum ada kesepakatan bersama diantara masyarakat internasional dalam mendeinisikan pengertian RSK. Dalam kebutuhan menjelaskan deinsi RSK, tulisan ini akan mengambil tiga contoh deinisi yang masing-masing diberikan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), UK Government’s Global Conlict Prevention Pool (GCPP) dan
The Organisation for Economic Co-operation and Development–Development Assistance Committee (OECD-DAC).
DK-PBB menulis,
“Dewan Keamanan PBB meyakini bahwa RSK ‘penting untuk konsolidasi perdamaian dan stabilitas, mempromosikan penurunan kemiskinan, peratuhan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan otoritas legal pemerintah, dan mencegah negara jauh ke dalam konlik”. Oleh karena itu, Dewan Keamanan menekankan bahwa reformasi sektor keamanan harus didorong oleh konteks dan kebutuhannya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lain. Dewan Keamanan mendukung negara untuk memformulasikan program reformasi sektor keamanannya secara holistik yang mencakup rencana strategis, struktur institusi, manajemen sumberdaya, kapasitas operasional, pengawasan sipil dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dewan Keamanan menekankan kebutuhan akan realisasi yang seimbang di semua aspek reformasi sektor keamanan, termasuk kapasitas institusi, kemampuan pembayaran (affordability) dan keberlangsungan dari program-program tersebut. Dewan Keamanan melihat keterkaitan antaran reformasi sektor keamanan dan faktor-faktor penting lain dalam stabilisasi dan rekonstruksi, antara lain keadilan transisi, pelucutan senjata, demobilisasi, repatriasi/pembayaran ganti rugi, reintegrasi dan rehabilitasi dari mantan pejuang, kontrol atas senjata kecil dan ringan, termasuk juga isu-isu kesetaraan jender, anak dan konlik bersenjata, dan hak asasi manusia”.
Sementara GCPP mendeinisikan RSK sebagai,
“sebuah konsep luas yang meliputi berbagai disiplin ilmu, actor dan aktivitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, RSK merujuk pada kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu keamanan, legislasi, structural dan pengawasan, semua dalam kerangka norma-norma dan prinsip-prinsip demokrasi.” ”
Sedangkan menurut OECD-DAC, RSK adalah,
“bertujuan untuk meningkatkan negara-negara partner untuk memenuhi cakupan kebutuhan keamanan dalam masyarakat mereka melalui cara yang konsisten dengan norma-norma demokrasi dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi dan peraturan hukum. RSK mencakup, dan juga lebih dari, fokus sempit bantuan keamanan tradisional dalam pertahanan, intelijen dan kepolisian.”
alih kematangan demokrasi yang terbentuk, malah
demokrasi itu sendiri akan berada di ujung tanduk.
Secara umum, reformasi sektor keamanan tidak saja
melingkupi aktor-aktor konvensional seperti TNI, POLRI
dan BIN, namun juga termasuk aktor-aktor lain seperti
Parlemen, Departemen Pertahanan, serta Pemerintah
Daerah dan Institusi Satuan Polisi Pamong Praja. Dari
sisi isu, reformasi sektor keamanan terkait dengan
isu-isu seperti otonomi daerah, penegakan Hak Asasi
Manusia, pengarusutamaan gender, polisi masyarakat,
anggaran dan pembiayaan sektor keamanan, seleksi
dan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan,
komisi pengawas intelijen, manajemen perbatasan,
kebebasan informasi, serta peran penjagaan
perdamaian.
Seluruh isu-isu di atas dirangkum dalam serial Tools
ini, dengan pertimbangan bahwa ini merupakan
sekumpulan tema dan isu yang dipandang relevan
dengan advokasi reformasi sektor keamanan yang
dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil
di Indonesia.
Seperti telah disebutkan di atas, reformasi sektor
keamanan yang terjadi di dalam tubuh TNI dan Polri,
barulah pada tahapan awal atau generasi pertama,
yaitu baru pada tahapan terbentuknya UU No 2/2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU
No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU
No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Berbagai perangkat UU lain yang terkait dengan TNI
dan Polri masih harus dibuat agar kedua institusi
tersebut dapat menjadi masing-masing sebagai
kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang
profesional dan patut dibanggakan oleh seluruh
rakyat Indonesia. TNI dan Polri secara institusional
dan bersamaan juga sudah keluar dari peran sosial
politik mereka, seperti tidak lagi berada di MPR, DPR,
DPD dan DPRD. Namun, Panglima TNI dan Kapolri
masih ikut di dalam sidang-sidang kabinet, yang
berarti secara langsung atau tak langsung menjadi
anggota kabinet. Idealnya TNI dan Polri diwakili
oleh kementerian sipil. Generasi kedua reformasi
TNI dan Polri masih belum terbentuk, yaitu adanya
kerangka kerja demokratik yang memungkinkan
lembaga-lembaga perwakilan politik dan Civil Society
Organization (CSO) dapat berpartisipasi aktif untuk
mengawal jalannya reformasi itu, sehingga kedua
institusi itu benar-benar profesional dan menjalankan
tugas, fungsi dan perannya sesuai dengan UU yang
berlaku.
Lebih parah lagi ialah institusi-institusi intelijen
negara yang masih belum berubah dan bahkan belum
memiliki perangkat hukum bagi kerja mereka. RUU
yang mereka buat masih sekedar memberi payung
hukum yang membenarkan aktivitas mereka, dengan
Kotak 2
Empat Dimensi Penting RSK
Sumber: OECD DAC, Security System Reform and Governance Guidelines, 2004, http://www.oecd.org/ dataoecd/8/39/31785288.pdf
RSK memiliki 4 dimensi penting yaitu:
Dimensi politik: penerapan prinsip kontrol
•
sipil atas lembaga-lembaga keamanan dan lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor keamanan.
Dimensi institusional: transformasi isik dan
•
teknis atas lembaga-lembaga keamanan.
Dimensi ekonomi: dimensi ini terkait dengan
•
penganggaran dan pembiayaan lembaga-lembaga keamanan.
Dimensi sosial: ini terkait dengan peran
•
Sejak lahirnya pada 5 Oktober 1945 hingga kini,
Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak pernah lepas
dari keterlibatannya dalam kehidupan politik bangsa.
Perannya yang kuat semasa revolusi kemerdekaan
1945-1949, terbangunnya NKRI pada 17 Agustus
1950, perannya dalam mengatasi
pemberontakan-pemberontakan daerah 1957-1961 dan peran sentral
ABRI melalui penerapan Darurat Militer, masuknya
TNI dalam Kabinet, Dewan Nasional dan
Perusahaan-perusahaan Negara sejak Juli 1957, masuknya TNI ke
dalam MPRS, DPR-GR, DPRD-GR sejak Dekrit 5 Juli
1959, disusul dengan Trikora 1961-1963, Dwikora
1963-1966, dan peran dominannya di bidang politik,
ekonomi dan sosial budaya pada era Orde Baru
1966-1998, menyebabkan jiwa pretorian sebagai “the
guardian of the state” dan citra “mesianistik” sebagai
satu-satunya institusi yang paling berhak menafsirkan
dan menjamin kepentingan tertinggi bangsa dan
negara, begitu melekat pada korps perwira TNI.
Dengan kata lain, jiwa pretorian dan citra mesianistik
itu sudah mengental dalam hati sanubari para perwira
TNI. Dalam diri para prajurit ABRI/TNI, terinternalisasi
dua prinsip dasar, yaitu: pertama, Prinsip Kelahiran
(The Birth Right Principle) di mana mereka merasa
berhak untuk menentukan ke mana arah negara ini
sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam
proses kelahiran negara RI; kedua, prinsip kompetensi
(the Competence Principle) di mana mereka merasa
militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola
negara. Ini menyebabkan sangat sulit bagi TNI untuk
mengubah dan mereformasi diri dari paradigma
“Tentara Politik” (dan “Tentara Niaga”), menjadi
“Tentara Profesional”, yaitu tentara yang lebih
mengedepankan paradigma militer profesional yang
2. Kendala Membangun
TNI yang Profesional
mengenyampingkan kerangka kerja demokratik yang
menjunjung tinggi HAM, demokrasi dan kebebasan
sipil.
Tulisan singkat ini berupaya untuk mendeskripsikan
dan menganalisis reformasi sektor keamanan yang
telah berjalan di Indonesia. Sudah sampai tahap mana
reformasi berjalan dan langkah-langkah positif apa
saja yang dapat kita lakukan agar perjalanan reformasi
tersebut mulus. Namun, harus diakui, penulis lebih
otoritatif dan percaya dalam mengupas reformasi di
tubuh TNI dan Intelijen Negara, ketimbang reformasi
Polri, karena sejak 1995 penulis memang sudah aktif
dalam mengupas reformasi TNI yang berawal dari
rencana Presiden Soeharto untuk mengakhiri peran
sosial politik ABRI, disusul dengan keikutsertaan
penulis secara akademis dan praktis dalam reformasi
TNI sejak 1998. Ini dilanjutkan dengan keikutsertaan
penulis di Propatria, Departemen Pertahanan RI dan
Sesko TNI dalam membuat RUU Pertahanan Negara
sampai menjadi UU, RUU TNI, RUU Perbantuan TNI
(masih sekedar rancangan), pengaturan Dewan
Keamanan Nasional (versi LIPI dan masyarakat sipil)
dansebagainya. Reformasi intelijen juga menjadi
pantauan penulis sejak 2005, khususnya sejak
keikutsertaan penulis di Pacivis UI (dan Sandi) untuk
membangun kerangka kerja demokratik bagi intelijen
negara. Sedangkan dengan reformasi Polri, hanya
sedikit pengalaman yang penulis ikuti bersama
Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi Sektor
Keamanan di bidang Polri, serta RiDep dan Imparsial.
Karena itu, penulis harus mengakui bahwa dirinya
bukanlah orang yang otoritatif berbicara soal reformasi
Paradigma sebagai “Tentara Politik” (Political Army) ini
amat berpengaruh kuat pada terhambatnya reformasi
internal TNI, termasuk dalam hal ini reformasi doktrin
dan validasi organisasi TNI, serta reformasi dalam
penentuan jabatan dan jenjang kepangkatan di dalam
TNI. Faktor-faktor lingkungan sosial, budaya, politik,
ekonomi dan keamanan domestik dan internasional
juga memberi kendala bagi reformasi internal TNI
tersebut.
Mungkin sangat sedikit dari kita yang mau menerima
kenyataan bahwa setiap perubahan politik di Indonesia
pasti melibatkan ABRI ataupun TNI, baik sebagai aktor
dominan maupun, lebih sering lagi, sebagai aktor di
belakang layar. Sebagai contoh, penerbitan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante
dan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi
negara, tak terlepas dari desakan dan dukungan TNI
kepada Presiden Soekarno untuk mengakhiri sistem
Demokrasi Liberal/Konstitusional. Perubahan politik
pada 1965 dan gerakan reformasi pada 1998 juga
tak terlepas dari campur tangan militer.
Gerakan mahasiswa 1965 yang didukung TNI-AD
melahirkan Orde Baru dengan bangunan sebuah
sistem Demokrasi Pancasila yang memungkinkan
Mengenai reformasi TNI, lihat antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al.,
1 Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999; Lihat juga, Ikrar
Nusa Bhakti, “Trends in Indonesian Student Movements in 1998,” dalam Geoff Forrester and R.J. May, eds., The fall of Soeharto, Bathurst: Crawford House Publishing, 1998.
ABRI menancapkan kuku-kukunya dalam berbagai
bidang kehidupan ipoleksosbudkam. Peranan ABRI
dalam politik bahkan sudah melebihi porsinya, atau
mencapai military overreach. Tak heran jika seorang
wartawan Australia, David Jenkins, mengatakan
bahwa yang terjadi pada saat itu bukanlah
dwi-fungsi ABRI, melainkan satu dwi-fungsi ABRI, yaitu bahwa
ABRI menjalankan segalanya (The ABRI is running
everythings).
Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998
juga tak terlepas dari dukungan dan peranan militer.
Lalu apa kepentingan militer ikut serta menjatuhkan
pemerintahan Soeharto? Pertama, di mata sebagian
perwira tinggi militer, kepentingan Soeharto tidak lagi
identik dengan kepentingan militer, khususnya
TNI-AD. Soeharto sudah bermain mata dengan kelompok
Islam politik, bisnis putra-putri Soeharto juga sudah
melebihi batas, bahkan melebihi kepentingan bisnis
tentara; kedua, TNI-AD tak ingin melihat hancurnya
negeri ini akibat pergolakan politik yang ada; ketiga,
perubahan politik harus sesuai dengan kepentingan
militer, khususnya TNI-AD. Karena itu, tidaklah
mengherankan jika ABRI adalah organisasi pertama
yang melakukan reformasi sektor keamanan atau
reformasi internal, melalui apa yang mereka sebut
Kotak 3
Komponen-Komponen RSK
Pembiayaan yang tepat atas sektor keamanan (
•
right-inancing)Pengaturan atas lembaga-lembaga keamanan swasta (
•
Private Military Companies, PMC dan PrivateSecurity Companies, PSC)
sebagai “Paradigma Baru ABRI.” Melalui dukungan
politik atas perubahan itu, khususnya di era Presiden
Habibie, tidaklah mengherankan jika reformasi
TNI merupakan reformasi internal yang segalanya
ditentukan oleh ABRI. Situasi ini menyebabkan
betapa sulitnya masyarakat sipil menembus benteng
kekuatan militer, karena partai-partai politik dan
politisi sebagian besar tidak memiliki keberanian
untuk menegakkan kerangka kerja demokratik untuk
TNI. Mereka bahkan terpecah-pecah dalam berbagai
kepentingan politik dan bahkan mengerdilkan dirinya
sendiri dalam berhadapan dengan militer.
Kendala utama dan terbesar bagi TNI untuk menjadi
tentara yang profesional ialah masih terjadinya
politisasi tentara oleh kalangan elite politik sipil. Tak
heran jika pada berbagai kesempatan, Panglima TNI
Jenderal Endriartono Sutarto saat itu mengingatkan
“TNI hanya akan menjadi alat pertahanan negara.
Tidak boleh partisan, tidak boleh memihak kekuatan
sipil manapun”. Peringatan tersebut sesungguhnya
bukan hanya ditujukan kepada seluruh prajurit TNI,
tetapi juga bagi para elit politik sipil. Ini sejalan dengan
dengan paradigma baru TNI yang ingin menanggalkan
peran sosial politik yang pernah dinikmatinya sejak
1957 yang kemudian mendominasi kehidupan sosial,
ekonomi dan politik bangsa (military overreach) pada
era Orde Baru yang berakhir pada runtuhnya rejim Orde
Baru pada 21 Mei 1998. Panglima TNI yang sekarang,
Jenderal TNI Djoko Santoso, juga selalu mengingatkan
agar apara anggota TNI bersikap netral dalam pemilu
legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada
2009 ini.
Problem politisasi tentara ini merupakan fenomena
nyata yang sungguh sulit untuk diatasi di era reformasi
yang menganut sistem multi partai yang sangat
kompetitif. Pada situasi ini, upaya untuk melakukan
kontrol obyektif melalui berbagai perangkat kebijakan
negara akan menghadapi kendala dari
kekuatan-kekuatan politik yang saling berkompetisi tersebut.
Berbagai elite politik dari partai-partai besar dan kecil,
baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok,
berupaya untuk menarik TNI agar mendukung
kebijakan dan kepentingan politiknya.
Dalam kadar yang lebih buruk, elit partai-partai politik
yang berkuasa berupaya untuk melakukan kontrol
subyektif terhadap institusi TNI. Ini terjadi bukan saja
pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden
Megawati Sukarnoputri, melainkan juga berlanjut
pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Patut pula disayangkan, para elit partai bukannya
memberikan arah pada kalangan masyarakat bahwa
TNI merupakan alat pertahanan negara yang tunduk
pada otoritas politik sipil dan hanya menjalankan
politik negara, tetapi justru mengikuti arus politik
massa yang sebagian tidak lagi menentang terjunnya
TNI dalam politik. Fenomena ini tampak jelas pada
Pemilu Presiden putaran satu dan dua di tahun 2004
Kotak 4
Siapa Sajakah yang Dimaksud Sektor Keamanan
Luasnya komponen RSK ini dengan demikian juga berpengaruh pada luasnya aktor-aktor yang menjadi bagian sektor keamanan, beberapa diantaranya adalah:
Angkatan bersenjata
dan Pilkada Langsung pada 2005 ini. Lebih parah lagi,
tidak sedikit partai-partai politik yang pada pilkada
2006 yang akan mengajukan calon dari mantan
TNI, yang berarti mereka kurang percaya diri atau
minder untuk memilih kader-kader partai yang murni
sipil sebagai bakal calon dalam berbagai pilkada di
daerah. Ini bukan hanya terjadi di Golkar dan PDI-P,
tetapi juga di PAN dan bahkan PKS. Tanpa disadari
oleh para elite politik sipil, politisasi tentara ini pada
gilirannya telah menyebabkan kewenangan otoritas
politik sipil terhadap TNI menjadi lemah. Pada pemilu
2009, tampak nyata betapa tarikan bagi TNI untuk
berpolitik juga masih kental terjadi. Tengok misalnya
bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mensinyalir adanya perwira tinggi TNI-AD yang diduga
mengampanyekan ”Asal Bukan S” atau ABS yang
dikonotasikan Asal Bukan SBY. Kita juga tahu bahwa
pada pemilu presiden 2009 ini ada beberapa mantan
jendera TNI yang giat berkampanye untuk menjadi
presiden RI. Mereka adalah SBY sebagai incumbent,
Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Sutiyoso,
Letjen (Purn) Prabowo Soebianto, dan Mayjen (Purn)
Saurip Kadi. Dikhawatirkan para mantan Jenderal
ini akan menarik para mantan anak buahnya untuk
memobilisasi keluarga besar TNI atau kalangan sipil
lainnya pada pemilu presiden Juli (dan September)
mendatang.
Kendala kedua adalah tiadanya keinginan para
pengambil keputusan politik pada tingkat pusat dan
daerah untuk memahami secara benar berbagai
perangkat perundang-undangan yang terkait dengan
pertahanan negara, khususnya UU No 3/2002 tentang
Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia. Tidaklah mengherankan
jika, antara lain, mekanisme lama dalam pembelian
alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI masih
terus berjalan, seperti hiruk pikuk pembelian empat
pesawat Sukhoi dan dua helikopter Mi-35, serta
rencana pembelian kapal patroli KAL-35 oleh Provinsi
Riau Bangka Belitung dan DKI Jakarta pada 2003,
kasus senjata Koesmayadi, dan kasus pembelian
panser dari Perancis untuk pasukan TNI yang dikirim
ke Lebanon pada Oktober 2006.
Kotak 5
Mengapa Perlu RSK?
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk melihat signiikansi RSK, khususnya bagi negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi:
Aktor keamanan merupakan entitas unik yang diberikan hak untuk menggunakan instrumen 1.
kekerasan. Aktor keamanan merupakan perwujudan negara dan menggunakan instrument kekerasan hanya melalui persetujuan rakyat dengan tujuan untuk melindungi negara dan warganegara. Dengan demikian aktor keamanan tidak diperbolehkan terlibat di dalam politik dan penggunaan kekerasan hanya diperbolehkan jika mendapatkan persetujuan rakyat. Namun karakter demikian tidak dimiliki oleh aktor-aktor keamanan di negara-negara yang sedang menjalani transisi demokrasi karena pada masa rejim otorritarian aktor-aktor keamanan ini memiliki kekuasaan hampir tak terbatas dan minim kontrol sehingga perlu untuk direformasi.
Transisi demokrasi juga menghendaki dituntaskannya persoalan-persoalan pelanggaran HAM 2.
masa lalu sebagai landasan untuk melangkah ke masa depan dimana salah satu bentuk penuntasan tersebut adalah dengan memformat ulang sistem dan bentuk dari aktor-aktor keamanan sehingga memiliki karakter yang profesional, akuntabel dan minim pelanggaran HAM.
RSK juga berkaitan dengan kebutuhan penyuksesan program
3. global Millenium Development Goals
(MDGs). Melalui RSK, diharapkan, program-program MDGs, seperti pembangunan berkelanjutan, demokratisasi, pengentasan kemiskinan, penyebarluasan perdamaian dan keamanan bagi masyarakat dapat terpenuhi.
Kendala ketiga adalah dari kalangan masyarakat
sendiri. Jika dilihat sejak 1997 sampai 2003, terjadi
penurunan yang amat signiikan atas penentangan masyarakat terhadap terjunnya kembali TNI ke dalam
kancah politik nasional maupun lokal. Jika pada
1997, dari berbagai survei, persentasi mereka yang
menentang mencapai sekitar 70%, maka sejalan
dengan perkembangan waktu tentangan tersebut telah
menurun menjadi sekitar 50% pada tahun 2000 dan
37% pada 2003. Angka tersebut mungkin saja berubah
pada 2005 lalu khususnya dengan adanya kenaikan
harga BBM yang sudah terjadi dua kali dalam setahun
di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita juga
belum tahu apa pandangan masyarakat atas bakal
calon kepala daerah dari kalangan mantan militer
yang diusung oleh berbagai parpol pada pilkada 2005
dan 2006. Namun, kenyataannya pada tingkatan
pilkada, calon dari mantan militer tampaknya kurang
populer, sementara pada tingkatan pelpres, tidak
sedikit masyarakat yang masih menginginkan capres
atau cawapres dari kalangan mantan militer.
Penurunan persentase tersebut mungkin diakibatkan
oleh persepsi masyarakat bahwa elite politik sipil
lebih asyik memperjuangkan kepentingan ekonomi
dan politiknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat
banyak, sehingga mengesankan bahwa para politisi
sipil tersebut sebagai “penjahat-penjahat yang
menyabotase demokrasi”. Ini juga terjadi karena
masyarakat masih memiliki persepsi bahwa hanya
TNI aktif atau pensiunan yang mampu menciptakan
stabilitas keamanan di Indonesia. Sebagian
masyarakat tampaknya tidak menyadari bahwa tanpa
memiliki posisi kekuasaan politik pun, TNI adalah alat
negara yang memiliki tugas utama menjaga kedaulatan
nasional Indonesia dan mengatasi separatisme
bersenjata, serta memiliki tugas perbantuan tidak
permanen kepada Polri dalam mengatasi konlik
Kendala keempat berasal dari sebagian kalangan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih
mendikotomikan antara anggaran pemerintah di
bidang pertahanan dengan anggaran bidang sosial.
Kalangan ini tidak setuju jika anggaran pertahanan
dinaikkan, khususnya anggaran kesejahteraan
prajurit TNI dan pembelian persenjataan modern bagi
TNI. Tanpa adanya kompensasi untuk meningkatkan
kesejahteraan prajurit, membeli persenjataan modern,
dan amunisi yang cukup bagi latihan tempur, kita tidak
mungkin memiliki TNI yang profesional. Kemampuan
negara untuk mencukupi hanya 30-70 persen
kebutuhan TNI, menyebabkan institusi dan individu
dalam TNI masih berbisnis, mendapatkan anggaran
non-bujeter dari institusi pemerintah dan swasta, dan
lebih buruk lagi menjadikan institusi dan
individu-individu di dalam TNI sebagai tentara bayaran atau
“soldier of fortune”.
Kendala kelima dan terakhir adalah dari dalam
institusi TNI sendiri. Meski tidak diutarakan secara
tegas di muka umum, sampai kini masih terdapat
kecenderungan kembalinya TNI ke pemikiran
konservatif bahwa otoritas politik sipil kurang mampu
mengambil keputusan politik yang cepat dalam
mengatasi gejolak keamanan di berbagai daerah yang
berkonlik dan masih kuatnya persepsi bahwa hanya militer yang memiliki jiwa pretorian dan segalanya
demi negara (propatria).
Fenomena lain, sampai kini sangat sulit bagi kalangan
TNI untuk menerima gagasan agar panglima TNI
berada di bawah Menteri Pertahanan. TNI juga masih
membuat kebijakan sendiri mengenai pembangunan
kekuatan TNI yang tidak didasari oleh review atas
kemampuan TNI dan perkembangan lingkungan
strategis atau Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan.
Kaji ulang itu sendiri masih dalam bentuk draft awal
Penghapusan bisnis militer pada 2009 sesuai dengan
amanat UU No 34/2004 juga nampaknya bukan
suatu hal yang mudah. Rekomendasi dari tim evaluasi
yang dipimpin oleh Ery Riyana Hardjapamekas yang
sudah diserahkan ke presiden pada akhir 2008
lalu, tampaknya tidak akan diimplementasikan agar
persoalan bisnis TNI itu tuntas pada Oktober 2009.
Sejak 2004 tampak jelas betapa sudah terjadi
pengalihan saham atau pun aset yang dimiliki TNI yang
dulu dibisniskan. Upaya untuk mendapatkan dana di
luar APBN seperti melalui bisnis militer ini menyimpan
suatu bahaya, yaitu terciptanya jejaring bayangan
(shadow networks). Karakteristiknya adalah: pertama,
terjadinya interaksi yang leksibel yang melibatkan aktor militer dengan berbagai struktur birokrasi,
bisnis, politik dan beragam lapisan masyarakat;
kedua, adanya kemampuan aktor-aktor militer untuk
melakukan intrusi ke pembuatan kebijakan-kebijakan
publik di hampir semua sektor.2
Selain itu, alih-alih komando teritorial yang merupakan
“The government skeleton” pada masa Orde Baru
akan dihapuskan, malah ia akan menjelma atau
bermetamorfosa menjadi Komando Kewilayahan
(Kowil) yang lagi-lagi lebih mengedepankan
penanganan keamanan dalam negeri seperti konlik komunal, terorisme, dan penanganan bencana alam,
ketimbang sebagai bangunan pertahanan keamanan
untuk menghadapi ancaman dari luar. Bahkan ada
rencana TNI untuk menghidupkan kembali Komando
Wilayah Pertahanan (Kowilhan) seperti sebelum
1982. Bangunan ini bukan suatu hal yang negatif jika
memang untuk memperkuat pertahanan nasional
dari ancaman luar. Namun jika ini didasari pemikiran
untuk memperkuat atau menandingi institusi birokrasi
sipil dan Polri, maka berarti tak ada perubahan dalam
cara berpikir dan bertindak TNI.
Mengenai
2 off-budget militer lihat, Andi Widjajanto, ed., Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Propatria, 2004, hal. 90-91.
Kotak 6
Pengalaman Turki
RSK di Turki dipicu oleh 2 faktor, pertama, adalah persyaratan dari negara-negara Eropa bagi pembentukan sektor keamanan yang demokratis, akuntabel, transparan, terawasi dan terkontrol secara objektif oleh pemerintah dan masyarakat sipil, jika Turki berkeinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Sementara faktor kedua adalah fenomana dominasi militer di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Turki sehingga mendorong masyarakat sipil di Turki menuntut penghapusan dominasi tersebut.
RSK di Turki ditujukan untuk menyeimbangkan kedudukan sipil dan militer di dalam perumusan dan pengawasan kebijakan keamanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan langsung untuk mereformasi sistem keamanan Turki ditargetkan pada dua hal yaitu perubahan konsepsi dan formulasi kebijakan keamanann kearah yang lebih adaptif terhadap nasukan dari pihak sipil. Kedua, menghilangkan kesenjangan pengetahuan antara sipil dan militer tentang keamanan, pertahanan dan strategi.
Sementara pendekatan tidak langsung ditujukan pada penguatan masyarakat sipil, akademisi, dan media massa agar mampu memberikan masukan dalam isu-isu keamanan dan mengawasi sektor keamanan dengan efektif.
Beberapa capaian dari RSK di Turki diantaranya adalah disahkannya Paket Demokrasi Agustus 2003. Paket ini memiliki 3 sasaran yaitu: 1) mengharmonisasikan produkhukum Turki dengan persyaratan menjadi anggota Uni Eropa; 2) menghantikan pengaruh militer di ranah politik, dan; 3) menguatkan legitimasi sipil di sektor keamanan.
Penulis tidak berani menyentuh reformasi Polri
karena tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan
hal itu. Namun dari bacaan yang ada, tampaknya
reformasi Polri pun baru menyentuh tahapan awal,
yaitu perubahan paradigma struktural, instrumental
dan kultural setelah Polri dipisahkan dari TNI. Ini juga
masih menyisakan reformasi pada tahap berikutnya,
yaitu: pengawasan terhadap Polri, masih adanya
politisasi polri, pentingnya desentralisasi struktur
kepolisian, dan masih adanya citra buruk Polri sebagai
akibat dari belum berubahnya tingkah laku aparat
polri dalam kesehariannya. Citra buruk ini mencakup
masih kuatnya budaya militeristik, korupsi, dan belum
profesionalnya sebagian besar aparat Polri.3
3. Reformasi POLRI
Lihat Tool 5 Tentang
Reformasi Polri
Paling sedikit ada empat masalah utama yang muncul
karena keberadaan jejaring bayangan ini. Pertama,
keterlibatan aktif aktor-aktor militer memungkinkan
jejaring ini untuk mengeksploitasi sumber daya
nasional dan lokal atau bahkan menjalankan kegiatan
ekonomi sendiri; kedua, minimnya sumber daya
menyebabkan adanya kompetisi yang tidak sehat antar
sesama aktor militer; ketiga, keterlibatan militer dalam
jejaring ini mempunyai implikasi negatif terhadap
profesionalisme militer, khususnya kesiagaan militer
dalam menjalankan tugas-tugas utamanya; keempat,
aktor militer dapat memanfaatkan jejaring bayangan
ini ini untuk mendapatkan sumber-sumber dana
non-bugeter itu untuk membiayai operasi-operasi
militer rahasia, khususnya operasi-operasi intelijen
dan teritorial yang menggunakan unit-unit/pasukan
khusus. Ini tentunya dapat membahayakan keamanan
negara dan manusia, serta tidak memungkinkan
otoritas sipil menerapkan prinsip supremasi sipil ke
institusi militer.
Reformasi TNI memang harus inkremental, melalui
proses tawar menawar, dialog, serta membangun
konsensus bersama ketimbang membuka konfrontasi.
Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila ada kontrol
obyektif sipil atas militer dan bukan melalui politisasi
Kotak 8
Menuju Polisi Sipil
Reformasi kepolisian berkaitan secara resiprokal dengan reformasi hukum, reformasi politik dan reformasi ekonomi. Reformasi dalam ketiga bidang tersebut sangat bergantung kepada suasana tertib, aman, jaminan terhadap kepastian hukum yang dihasilkan oleh reformasi kepolisian. Dilain ihak, reformasi kepolisian memerlukan legitimasi dari reformasi politik dan hukum. Ia juga memerlukan dukungan dari reformasi ekonomi. Sejalan dengan arah reformasi diberbagai bidang yang masih menjadi perdebatan, reformasi kepolisian juga tak luput dari dinamika itu. Akan tetapi, dari arah perdebatan itu, terdapat satu konsep yang seharusnya menjadi kesepakatan dalam arah reformasi kepolisian dalam masyarakat yang mengalami transisi demokrasi. Konsep itu dikenal sebagai polisi sipil. Polisi sipil dan masyarakat yang demokratis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Kata sipil menunjuk pada beberapa pengertian. Pertama, penghormatan kepada hak-hak sipil. Masyarakat yang demokratis pada dasarnya membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asazi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Kedua, sejalan dengan karakteristik pertama, dalam menjalankan tugasnya, polisi sipil harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility). Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab, bukan polisi yang biadab. Sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak kasar, mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya. Pertimbangan yang mendasari tindakan kepolisian tidak semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kekuasaan yang dimiliki, sekalipun pada level tertentu masih diperbolehkan. Penghargaan kepada masyarakat sebagai seorang yang bermartabat merupakan ciri pokok kinerja polisi sipil yang mempunyai integritas yang tinggi.
Ketiga, pengertian sipil juga dibedakan secara diametral dengan pengertian militer. Polisi sipil adalah polisi yang jauh dari karakteristik militer. Pengertian ini sejalan dengan deinisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional. Dalam perjanjian ini kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara kedudukan militer sebagai kekuatan yang didisain untuk berperang (combatant). Fungsi kepolisian juga berbeda jauh dari fungsi militer. Secara tradisional, fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Sementara itu fungsi militer berkaitan dengan perwujudan keamanan dari ancaman eksternal (external threat), dan berbagai operasi perdamaian dan operasi kemanusiaan. Kualitas polisi sipil diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat .
Kotak 7
Pengaturan Peran TNI – Polri?
TNI:
Sebagai alat pertahanan, tugas pokok TNI menegakkan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melindungi Indonesia dari ancaman dan gangguan. Tugas bantuan TNI diatur meliputi penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic mission), memberi bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dengan UU dan TNI ikut memelihara perdamaian dunia (peace keeping operation).
Polri:
Polri punya tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan perannya Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan professional.
Keempat, dalam pengertian yang lebih spesiik, polisi sipil juga dibedakan dari polisi rahasia. Polisi rahasia adalah polisi yang taat, patuh dan mengabdi kepada kepentingan politik penguasa yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat. Sebagai komponen yang penting dalam sistem pemerintahan yang otoriter, polisi rahasia sering dilekatkan dengan tindakan yang represif, pengekangan kebebasan kepada masyarakat, penangkapan semena-mena, bahkan penyiksaan. Konsepsi tentang polisi rahasia juga sering dilektakan dengan konsepsi tentang polisi negara (state police). Polisi sipil dilain pihak, harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat yang dalam negara demokratis merupakan pemilik kedaulatan. Jadi, polisi sipil bisanya mempunyai karakteristik sebagai polisi masyarakat, yaitu polisi yang menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Dalam karakter ini, polisi harus mewujudkan pola kerja yang menyalami, merangkul dan menyayangi masyarakat (police who cares), mengedepankan penggunaan komunikasi kepada masyarakat, bukan mengandalkan peluru tajam.
dengan adanya jarak dengan proses politik, baik yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, kinerja polisi sipil yang profesional juga harus transparan, dan akuntabel baik secara substantif maupun secara manajerial. Karakter ini berbeda secara diametral dengan kinerja polisi rahasia yang biasanya bekerja secara diam-diam, ekslusif, biadab dan sarat dengan warna politik.
Untuk meujudkan polisi yang berkarakter sipil diperlukan peningkatan profesionalitas. Secara singkat polisi yang profesional adalah polisi yang mendasarkan kinerjanya kepada ilmu pengetahuan dan sistem hukum yang berlaku. Dalam perspektif birokrasi pemerintahan, profesionalitas polisi dikaitkan dengan adanya jarak dengan proses politik, baik yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, kinerja polisi sipil yang profesional juga harus transparan, dan akuntabel baik secara substantif maupun secara manajerial. Karakter ini berbeda secara diametral dengan kinerja polisi rahasia yang biasanya bekerja secara diam-diam, ekslusif, biadab dan sarat dengan warna politik.
Di Indonesia, cita-cita akan terwujudnya polisi sipil memang masih belum menjadi kenyataan. Walaupun demikian arahnya sudah dapat dilihat misalnya dengan dikeluarkannya TAP MPR No VI/1999 dan TAP MPR No VII/1999. Kedua produk legislasi ini mengamanatkan pemisahan struktural antara institusi POLRI dengan TNI, dan menjadikan POLRI sebagai kekuatan polisi sipil yang mengutamakan hukum dan ketertiban .Tentu perubahan legislasi ini harus diikuti dengan perubahan dalam perlikau budaya dan peraturan dibawahnya agar cita-cita polisi sipil itu menjadi kenyataan.
Sumber: S. Yunanto, Menuju Polisi Sipil, IDSPS,
Empat tahun sudah Pacivis Universitas Indonesia
tak henti-hentinya melontarkan gagasan mengenai
reformasi intelijen di Indonesia. Hasil kajiannya bukan
hanya berbentuk buku: Reformasi Intelijen Negara
(November 2005); Intelijen: Velox et Exactus (Januari
2006); Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia
(Agustus 2006); Negara, Intel, dan Ketakutan (Agustus
2006), dan terakhir; Hubungan Intelijen – Negara
1945-2004, melainkan juga Draft RUU Intelijen
Negara. Selain itu, Pacivis UI juga menjadi fasilitator
KIRIN (bukan merek bir di Jepang, melainkan Kelompok
Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara)
serta koordinator Simpul Aliansi Nasional untuk
Demokratisasi Intelijen (SANDI). Namun, dalam kurun
waktu yang sama, RUU Intelijen Negara yang digagas
oleh Badan Intelijen Negara (BIN), lenyap tak tahu
rimbanya, apakah sudah diajukan pemerintah ke DPR
ataukah masih dikutak-katik untuk diperbaiki. Dalam
hal Reformasi Sektor Keamanan, tampaknya hanya
reformasi intelijen negara yang belum mendapatkan
porsi perhatian yang cukup dari kalangan eksekutif,
legislative dan masyarakat sipil. Meski masih
banyak permasalahan di sana sini, reformasi TNI
dan Polri sudah berjalan sejak pertengahan 1998.
Dua reformasi sector keamanan tersebut, Reformasi
TNI dan Polri, sudah mulai menampakkan sinar di
ujung terowongan yang amat gelap. Tapi reformasi
intelijen negara, masih benar-benar gelap dan belum
menampakkan secercah sinar sedikit pun.
Dari 1945-2004, dalam kadar tertentu Indonesia
pernah menerapkan tipe Intelijen Politik, Militerisasi
Intelijen, ataupun Negara Intelijen. Namun, meski
reformasi di segala bidang dan demokratisasi sudah
mulai menggeliat dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir ini, kita belum merasakan adanya perubahan
tipe intelijen Indonesia dari Intelijen Politik ke Intelijen
Demokratik. Tengok saja apa yang terjadi di Indonesia
pada kurun waktu tersebut, praktek intelijen hitam
masih terus berlangsung, seperti penculikan para
aktivis pada 1997-1998, pembunuhan aktivis HAM
Munir pada 2004 dan masih kentalnya
praktek-praktek intelijen untuk kepentingan rejim yang
sedang berkuasa. Semua itu dilakukan atas nama
“keamanan negara”, walau tak jelas apa deinisi dari “keamanan negara” itu. Secara keseluruhan, cara
pandang intelijen negara mengenai ancaman juga
belum berubah, walau lingkungan strategis Indonesia
sudah jauh berubah dibandingkan dengan pada
1965. Simak saja istilah ancaman yang datang dari
: “Ekstrem kiri”, “Ekstrem Tengah”, “Ekstrem Kanan”
dan ”ekstrem lain-lain ” yang masih terus digunakan
walau demokrasi sudah semakin melembaga di bumi
nusantara. Intelijen negara kita masih belum menuju
pada intelijen yang professional. Padahal sekolah
intelijen modern sudah dibangun bahkan sampai
tingkatan S2. Peralatan sekolah/latihan baik yang
ada di markas BIN Kalibata ataupun sekolah-sekolah
di luar itu juga modern dan canggih.
Dari segi aturan perundang-undangan, Indonesia
hingga kini belum memiliki UU Intelijen Negara.
Gagasan mantan Kepala BIN Hendropriyono agar
BIN memiliki payung hukum, hanya berhenti pada
dikeluarkannya Keppres mengenai tugas pokok dan
fungsi BIN pada era Presiden Megawati Sukarnoputri.
Upaya BIN untuk membuat Draft RUU Intelijen
Negara juga mandeg, mungkin karena salah seorang
konseptornya, Mayjend. (Purn) Bom Suryanto, kini
menjadi Duta Besar RI di Papua Niugini (PNG) dan
tak ada orang lain yang menanganinya. Atau, sulit
mengambil keputusan dalam rapat-rapat koordinasi
antar dinas intelijen karena mereka yang diutus oleh
masing-masing instansinya “tidak memiliki wewenang
untuk memutuskan.”
Fragmentasi intelijen memang sudah terjadi, namun
fungsi dan perannya masih tumpang tindih. KIRIN
dan SANDI pernah melakukan pemisahan
dinas-dinas intelijen sesuai dengan bidang kerja mereka,
yaitu: intelijen domestik, intelijen luar negeri, intelijen
militer, intelijen yustisia, dan intelijen sipil. Namun
timbul pertanyaan, mengapa intelijen luar negeri
ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan? Jika
intelijen luar negeri Indonesia mirip dengan South
African Secret Service (SASS) atau Australian Secret
Intelijen Service (ASIS), apakah SASS dan ASIS itu
berada di bawah Dephan masing-masing negara atau
di bawah Departemen Dalam Negeri atau Department
of Prime Minister?
Intelijen negara kita juga belum memiliki pengawasan
berlapis dari tingkatan pengawasan internal,
pengawasan eksekutif, pengawasan legislatif, sampai
ke pengawasan publik dalam kadar tertentu. Semua
itu tentunya perlu diatur dalam undang-undang. Hingga
kini, sampai draft RUU Intelijen yang pernah penulis
baca, RUU itu hanya berisikan payung hukum bagi
intelijen negara untuk menjalankan tugas-tugasnya,
dan belum memenuhi standar UU intelijen yang
memungkinkan intelijen negara menjalankan
tugas-tugasnya dalam kerangka politik yang demokratik.
Seperti telah diuraikan di atas, intelijen negara
sebagai bagian dari sistem keamanan negara
merupakan satu-satunya institusi yang belum
tersentuh reformasi. Perilaku intelijen negara masih
belum berubah dibandingkan dengan pada masa
lalu. Mereka masih menciptakan budaya ketakutan
kepada masyarakat, membunuh, menugasi dirinya
sendiri, dan bahkan menghambur-hamburkan uang
negara seperti menggunakan Gus Dur Institute untuk
membayar sebuah perusahaan lobi AS puluhan ribu
dolar AS untuk melobby kalangan Kongres AS. Hal ini
agak aneh karena beberapa hal: pertama, apakah BIN
memiliki tugas untuk melakukan lobi-lobi politik yang
seharusnya dilakukan oleh Departemen Luar Negeri
RI dan Departemen Pertahanan RI; kedua, lobi untuk
mengubah citra TNI sebagai pelanggar HAM di mata
Kongres AS itu menunjukkan betapa tidak percayanya
institusi intelijen negara yang masih dikuasai oleh
kalangan militer terhadap institusi sipil; ketiga, BIN,
meskipun sudah banyak memiliki agen-agen intelijen
sipil, masih dikuasai oleh kalangan militer dan
berbudaya militeristik; keempat, kasus lobi ini juga
menunjukkan betapa tidak profesionalnya intelijen
negara kita yang tidak menggunakan lobi Indonesia di
AS seperti USINDO, malah menggunakan perusahaan
lobi yang tidak ada hasilnya. Kasus pembunuhan
aktivis HAM, Munir pada 7 September 2004 yang
diduga dilakukan agen intelijen BIN juga menunjukkan
betapa masih kentalnya institusi intelijen dengan
pola operasi masa lalu. Mereka melakukan
self-assesment bahwa Munir adalah musuh negara dan
Kotak 9
Pengalaman Fiji
Pada tahun 2003 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan di Fiji bekerjasama dengan Kementerian Perempuan memberikan masukan dalam proses kaji ulang sistem keamanan nasional di Fiji. Isu-isu yang dibahas didiskusikan bersama adalah:
mbagaimana proses kaji ulang dilakukan; 1)
isu-isu apa saja yang diidentiikasikan sebagai isu keamanan, dan; 2)
bagaimana memasukkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma internasional ke dalam program-3)