• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadilan Pajak dan Biaya Kepatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Keadilan Pajak dan Biaya Kepatu"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Keadilan Pajak dan Biaya Kepatuhan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas Tindakan Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Nurhapizah Majida, Cornelius Rantelangib, and Iskandarb abFaculty Of Economics and Business, Mulawarman University

Correspondence: nurhapizah.majid13@mhs.feb.unmul.ac.id

ABSTRACT

Tax evasion is an active business taxpayer in terms of reducing, eliminating, illegal manipulation of the tax payable or not to pay tax payable as appropriate. This action is believed to be influenced by two factors, namely as tax fairness and compliance costs. If the tax fairness has been applied properly, then the taxpayer will be less likely to commit tax evasion and when the cost of compliance is too high, then the taxpayer will tend to evade taxes. Theoretically this study are expected to enrich and give some empirical evidence about factors that influence the adoption of taxpayers perceive towards tax evasion action, so it can be useful for academics, practitioners and policy makers. The population of this study are the individual taxpayer that spread accross the Regional Office of Directorate General of Taxation in Samarinda. The sampling technique in this study is purposive sampling with any criteria individual taxpayer that have freelance work of 60 respondents. Freelancer work is the work performed by an individual who has special skills to earn income which is not bound by an employment relationship, such as lawyers, accountants, architects, sportsmen and the like. The analysis of research data on this study using PLS (Partial Least Square). The main findings of the study provide information that: (1) tax fairness has positive influence on taxpayer perceive towards tax evasion action, and (2) compliance cost has positive influence on taxpayer perceive towards tax evasion action.

Keywords: compliance cost; perceive; tax evasion; tax fairness.

PENDAHULUAN

Ditjen pajak, mencatat masih tinggi praktik penggelapan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, melihat saja pada tahun 2014, kasus perpajakan naik 280% dari tahun 2013. Dimana, tahun 2014 terdapat 42 kasus dan diketahui tahun 2013 hanya 15 kasus (CNN Ekonomi Indonesia, 2015). Salah satu kasus penggelapan pajak yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur telah diketahui wajib pajak orang pribadi yang berinisial KL terbukti melakukan pelanggaran pajak, dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan keterangan yang isinya tidak benar atau palsu dalam ketentuan pembayaran pajak, yang menimbulkan kerugian terhadap negara sebesar Rp 6,4 miliar (detiknews, 2014).

(2)

tahun 2015, tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Data yang didapat dari Ditjen Pajak (2015), Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Ditjen Pajak mencapai 30.044.103 Wajib Pajak, yang terdiri atas 2.472.632 Wajib Pajak Badan, 5.239.385 Wajib Pajak orang pribadi Non Karyawan, dan 22.332.086 Wajib Pajak orang pribadi karyawan. Sedang menurut data BPS 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang. Artinya, baru 29,4% Wajib Pajak orang pribadi yang mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak. Tercatat di tahun 2015 dari total 30.044.103 Wajib Pajak yang terdaftar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 18.159.840 Wajib Pajak wajib SPT, tetapi dari jumlah tersebut baru 10.945.567 Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan atau 60,27% dari jumlah total Wajib Pajak wajib SPT. Jumlah Wajib Pajak yang menyampaikan SPT tersebut terdiri atas 676.405 Wajib Pajak Badan, 827.228 Wajib Pajak orang pribadi non karyawan, dan 9.431.934 Wajib Pajak orang pribadi karyawan. Artinya rasio kepatuhan Wajib Pajak Badan baru mencapai 57.09%, Wajib Pajak orang pribadi non karyawan 40.75%, dan Wajib Pajak orang pribadi karyawan 63.22%. Dari penelitian yang telah ada menyimpulkan bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak merupakan hasil dari tindakan penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini membuktikan bahwa penggelapan pajak di Indonesia berpengaruh besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Rendahnya presentase kepatuhan pajak bisa saja dipengaruhi oleh biaya-biaya dalam memenuhi kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan pajaknya yang menurut mereka, biaya tersebut adalah sesuatu yang membebankan mereka.

(3)

terhadap peredaran bruto. Jadi jika wajib pajak dalam keadaan rugi pun, dengan penggenaan PPh Final seseorang atau badan usaha tetap harus membayar pajak (Ruston dalam ORTAX, 2013). Berdasarkan Latar Belakang penelitian di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1) Apakah keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan pengelapan pajak.

2) Apakah biaya kepatuhan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.

Persepsi Penggelapan Pajak

Persepsi merupakan suatu anggapan individu mengenai suatu hal yang menurutnya adalah sesuatu yang benar maupun tidak benar untuk dilakukan. Dimana, tanggapan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya maupun dari individu itu sendiri. Lingkungan sekitar yang dimaksud bisa dari pengalaman yang dirasai oleh orang sekitarnya, dan dari individu itu sendiri merupakan sesuatu yang memang menjadi kemauannya. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa persepsi Penggelapan pajak (Tax evasion) timbul dari pengalaman yang dirasakan wajib pajak itu sendiri, dari kemauan atau keinginan wajib pajak dalam melakukan Penggelapan pajak (Tax evasion) terhadap perpajakan Indonesia yang membuat persepsi bahwa tindakan Penggelapan pajak (Tax evasion) adalah suatu hal yang benar untuk dilakukan, tanpa melihat dari konsekuensi yang akan wajib pajak dapat ketika melakukan tindakan penggelapan pajak. Dalam hal ini individu akan mengartikan penggelapan pajak merupakan tindakan yang tidak etis, kadang-kadang etis, atau bahkan selalu etis.

(4)

berupa kuisioner yang pertanyaannya mengenai persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.

Teori Persepsi (Theory of Perception)

Persepsi timbul dari beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Gaspersz (1997:35), adalah pertama pengalaman masa lalu (terdahulu) dapat mempengaruhi seseorang karena manusia biasanya akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Kedua keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan. Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan. Ketiga pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan pengalaman yang telah dialaminya. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi seseorang.

Selain itu, menurut Thoha (2004:141) persepsi pada umumnya terjadi dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.

Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

Teori perilaku terencana ini dapat dikaitkan dengan timbulnya perilaku seorang individu yang ditentukan oleh niat dan motivasi individu tersebut. Sedangkan, menurut Ajzen (2006), munculnya niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor penentu yaitu : 1) Keyakinan Individu (Behavioral beliefs), yaitu suatu keyakinan dari individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi dari hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation) apakah perilaku tersebut positif atau negative. 2) Keyakinan Normatif (Normative beliefs), yaitu suatu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply), yang menjadi referensi seperti keluarga, teman, atasan, atau konsultan pajak untuk menyetujui atau menolak melakukan suatu perilaku yang diberikan. 3) Keyakinan Kontrol Perilaku (Control beliefs), yaitu suatu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan di tampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya tersebut (perceive power).

Keadilan Pajak

Keadilan pajak oleh Siahaan (2010:112), dibagi ke dalam tiga pendekatan aliran pemikiran, yaitu :

(5)

dan beberapa ahli perpajakan tentang keadilan, mereka mengatakan bahwa keadilan harus didasarkan pada prinsip manfaat. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah. Jasa pemerintah ini meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip ini maka sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda tergantung pada struktur pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu prinsip manfaat tidak hanya menyangkut kebijakan pajak saja, tetapi juga kebijakan pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak.

2) Prinsip Kemampuan Membayar (Ability to pay principle), pendekatan yang kedua yaitu prinsip kemampuan membayar. Dalam pendekatan ini, masalah pajak hanya dilihat dari sisi penerimaan Negara terlepas dari sisi pengeluaran publik (pengeluaran pemerintah untuk membiayai pengeluaran bagi kepentingan publik). Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Prinsip kemampuan membayar secara luas digunakan sebagai pedoman pembebanan pajak. Pendekatan prinsip kemampuan membayar dipandang jauh lebih baik dalam mengatasi masalah retribusi pendapatan dalam masyarakat, tetapi mengabaikan masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik.

3) Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertikal, pendekatan ini menarik kesimpulan bahwa terdapat dua kelompok besar keadilan pajak, yaitu : a) Keadilan Horizontal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak dalam jumlah yang sama. Dengan demikian prinsip ini hanya menerapkan prinsip dasar keadilan berdasarkan undang-undang. Misalnya untuk penghasilan, untuk orang yang berpenghasilan sama harus membayar jumlah pajak yang sama. b) Keadilan Vertikal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih besar. Dalam hal ini nampak bahwa prinsip keadilan vertikal juga memberikan perlakuan yang sama seperti halnya pada prinsip keadilan horizontal, tetapi beranggapan bahwa orang yang mempunyai kemampuan berbeda, harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda pula.

Sedang asas keadilan pajak dibedakan menjadi dua : 1) Benefit principle, wajib pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya yang disediakan oleh pemerintah. 2) Ability principle, pajak dibedakan kepada wajib pajak atas dasar kemampuan membayar dan penghasilannya.

Biaya Kepatuhan (Compliance cost)

(6)

Direct money cost, adalah biaya-biaya yang uang tunai atau cash money yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran ke konsultan dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak. 2) Time cost, adalah pengorbanan waktu, yaitu waktu yang terpakai oleh wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yang digunakan untuk membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan pajak, dan waktu yang dikorbankan untuk pergi pulang kantor pajak.

Kajian Penelitian Terdahulu

Menurut Mardiasmo (2009) dalam Sumarnisasi (2011), menyatakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, perundang-undangan dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Syahrani dan Pratomo (2014) yang dilakukan di Bandung menunjukkan bahwa adanya pengaruh negatif keadilan pajak terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak. Penelitian McGee (2006) mengemukakan pandangan mengenai penggelapan pajak dimana menurut hasil penelitiannya penggelapan merupakan perilaku yang tidak pernah beretika. Selain itu, penelitian yang dilakukan McGee, et. al (2008) yang dilakukan di Hong Kong dan Amerika menghasilkan bahwa variabel keadilan memiliki pengaruh yang kuat terhadap etika penggelapan pajak. Alasan-alasan yang mendukung pandangan ini antara lain bahwa setiap masyarakat mempunyai kewajiban dan hak kepada negaranya untuk membayar pajak. Dimana kewajiban tersebut adalah melakukan penyetoran pajak terutangnya dan hak adalah memperoleh manfaat dari penyetoran tersebut.

(7)

persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak semakin rendah. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti mengambil hipotesis yang pertama adalah :

H1 : Keadilan Pajak berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.

Compliance cost atau biaya kepatuhan pajak merupakan sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh individu wajib pajak dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembayaran/penyetoran perpajakan. Wajib pajak yang telah berupaya untuk patuh dengan membayar kewajiban perpajakannya akan sangat merasa dirugikan apabila besanya biaya kepatuhan cukup tinggi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kurniwati dan Toly (2014) yang dilakukan di Surabaya Barat menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang positif biaya kepatuhan terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Penelitian Sariani, Wahyuni, dan Sulindawati (2016) yang dilakukan di Singaraja menghasilkan variabel biaya kepatuhan pajak memiliki pengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak. Alasan yang mendukung pernyataan ini adalah setiap wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya akan mengorbankan biaya dalam melakukan kewajibannya tersebut. Sehingga biaya tersebut akan bersifat membebani mereka.

Perilaku penggelapan pajak oleh wajib pajak orang pribadi mengenai biaya kepatuhan disini dapat dikaitkan dengan teori perilaku terencana. Dalam teori perilaku terencana (perceived behavioral control), menjelaskan bahwa keberadaan hal-hal tertentu dapat mendukung atau menghambat perilaku seseorang. Dalam memenuhi kewajiban dan hak perpajakannya, wajib pajak mengeluarkan sejumlah biaya. Biaya-biaya yangdikeluarkan tersebut seharusnya tidak memberatkan wajib pajak dan tidak menjadi faktor penghambat wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya. (Kurniawati, 2014). Berdasarkan uraian di atas maka ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya berbagai biaya yang dikorbankan dalam pembayaran pajak juga akan mempengaruhi sikap wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak. Semakin tinggi biaya kepatuhan yang berlaku, maka persepsi seorang wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak juga semakin tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang kedua adalah :

H2 : Biaya Kepatuhan berpengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.

METODE PENELITIAN

(8)

Model Kerangka Konsep Penelitian

H1(-)

H2(+)

Setiap indikator mempunyai satu pertanyaan. Selanjutnya, masing-masing indikator diukur dengan menggunakan skala Likert dengan skor paling rendah 1 (Sangat Tidak Setuju), 2 (Tidak Setuju), 3 (Ragu-ragu), 4 (Setuju), dan paling tinggi 5 (Sangat Setuju).. Semakin tinggi skor angka variabel mengindikasikan bahwa semakin tinggi pula tingkat penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survey tipe confirmatory research yang didasarkan pada pengambilan data melalui kuisioner (Hartono, 2009:45). Populasi dalam penelitian ini adalah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Kota Samarinda. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan judgement sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa responden adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian (Hartono, 2008:68). Kriteria sampel yang peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah : 1) Wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Kota Samarinda. 2) Wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas. 3) Wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas lebih dari tiga tahun.

Sampel merupakan bagian dari jumlah atau kateristik yang dimiliki oleh populasi. Oleh karena populasi penelitian dirasakan terlalu besar, maka diambil sampel dengan menggunakan rumus Hair et al. (2008), dengan jumlah maksimum 60 responden. Teknik Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan: 1) Uji Validitas digunakan untuk mengukur keabsahan atau kevalidan suatu kuesioner, yaitu suatu kuesioner mampu mengungkapkan

(9)

sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Hartono dan Abdillah, 2009:58). Peneliti akan menguji reliabilitas item pada setiap konstruk melalui pengujian validitas konstruk menggunakan SmartPLS ver. 3.0 M3, yaitu uji validitas konvergen dan uji validitas diskriminan. 2) Uji Reabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Reliabilitas item diuji dengan melihat Koefisien Alpha dengan melakukan Reliability Analysis dengan SmartPLS Ver 3.0 M3. Hartono dan Abdillah (2009:71) mengemukakan bahwa uji validitas seluruh konstruk di tahapan-tahapan awal studi juga dapat dilihat dari nilai outer loading dengan level minimal ±0,30 dan rule of thumb yang biasanya digunakan untuk membuat pemeriksaan awal dari matrik faktor adalah ±0,30 dipertimbangkan telah memenuhi level minimal, untuk loading ±0,40 dianggap lebih baik, dan untuk loading lebih dari 0,50 dianggap signifikan secara praktikal. Nilai reliabilitas yang dianggap cukup adalah antara 0,5 sampai dengan 0,6 dan composite reliability dinilai lebih baik dalam mengestimasi konsistensi internal suatu konstruk. Berikut ini parameter pengukuran outer model menurut Hartono dan Abdillah (2009:44).

Pengukuran Inner Model dalam penelitian ini menggenakan: 1) R 2

digunakan untuk mengukur tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen. Semakin tinggi nilai R2 berarti semakin baik model prediksi dari model penelitian yang diajukan. 2) Koefisien Path menunjukkan tingkat signifikan dalam pengujian hipotesis. Skor koefisien path yang ditunjukkan oleh nilai T-statistic, harus diatas 1,96 untuk hipotesis dua ekor (two-tailed), dan diatas 1,64 untuk hipotesis satu ekor (one-tailed). Ketika nilai t-statistic lebih dari l,96 (two tailed) atau 1,64 (one tailed) maka hasil penelitian dapat diterima, tetapi jika nilai t-statistic dibawah angka tersebut maka hasil penelitian ditolak. Pengujian hipotesis H1 hingga H2 menggunakan analisis PLS. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti saran dari Hartono dan Abdillah (2009:63), sebagai berikut : 1) Menentukan level signifikan atau nilai kritis alpha (α) yaitu sebesar 5% dan power 80%. 2) Melihat nilai statistics pada tampilan output bootsraping program SmartPLS. Jika nilai t-statistics lebih dari 1.64 (one tailed) maka hipotesis diterima, namun jika nilai t-t-statistics kurang dari 1.64 maka hipotesis ditolak. 3) Melihat nilai koefisien atau original sample pada setiap path untuk mengetahui arah pengaruh setiap konstruk.

HASIL PENELITIAN

(10)

Hasil Statistik Deskriptif Keadilan Pajak (X1)

Keadilan pajak adalah kesamaan perlakuan pajak ke semua wajib pajak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Variabel laten ini mempunyai 3 indikator yang dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan statistik deskriptif variabel keadilan pajak yang ditunjukkan dengan dengan presentase jawaban responden dan nilai rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel berikut ini:

Deskriptif Variabel Keadilan Pajak (X1)

Indikator Variabel Presentase Jawaban Responden (%) Rata-rata (mean)

1 2 3 4 5

Prinsip Manfaat (X11) 0 6 18 13 23 3,883

Prinsip Kemampuan (X12) 0 6 16 17 21 3,883

Keadilan Peraturan Pajak

(X13) 0 6 17 16 21 3,867

Rata-rata Presentase 0 10% 28,4% 25,6% 36% 3,878 Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017

Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator prinsip kemampuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,883. pada indikator prinsip manfaat menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,883. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator keadilan dalam peraturan pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,867. Hasil temuan statistik deskriptif yang terdapat di tabel 4.5 di atas diperoleh nilai rata-rata (mean) variabel keadilan pajak sebesar 3,878, sehingga dapat diartikan bahwa sebagian besar responden sangat mementingkan perlakuan pajak yang adil kepada mereka. Adanya, keadilan yang baik kepada wajib pajak maka wajib pajak akan lebih cenderung patuh kepada peraturan pajak dan akan menghindari dari melakukan penggelapan pajak.

Hasil Statistik Deskriptif Biaya Kepatuhan (X2)

Biaya kepatuhan adalah semua biaya yang dikorbankan oleh wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya dalam melakukan penyetoran pajak. Variabel laten ini mempunyai 3 indikator yang dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan statistik deskriptif variabel keadilan pajak yang ditunjukkan dengan dengan presentase jawaban responden dan nilai rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel berikut ini:

Deskriptif Variabel Biaya Kepatuhan (X2)

Indikator Variabel

Presentase Jawaban Responden

(%) Rata-rata (mean)

1 2 3 4 5

Biaya Konsultan (X21) 0 3 16 28 13 3,850

(11)

Biaya Melaporkan Pajak (X23) 0 3 12 36 9 3,850 Rata-rata Presentase 0 10% 28,4% 25,6% 36% 3,850 Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017

Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator biaya konsultan menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,85. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator biaya menghitung pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,850. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator biaya melaporkan pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,850. Hasil temuan statistik deskriptif yang terdapat di tabel 4.6 di atas diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 3,850, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan ditambah biaya-biaya yang harus dikorbankan responden dalam proses memenuhi kewajiban perpajakannya akan membebani wajib pajak. Ketika hal itu terjadi maka, wajib pajak akan cenderung untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, malah melakukan hal sebaliknya seperti tindakan penggelapan pajak.

Hasil Statistik Deskriptif Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak (Y)

Penggelapan pajak adalah penghindaran pajak yang dilakukan secara sengaja oleh wajib pajak dengan melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Variabel laten ini mempunyai 3 indikator yang dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan statistik deskriptif variabel keadilan pajak yang ditunjukkan dengan presentase jawaban responden dan nilai rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel berikut ini:

Deskriptif Variabel Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak (Y)

Indikator Variabel Presentase Jawaban Responden (%) Rata-rata (mean)

1 2 3 4 5

Kurangnya Sosialisasi (Y11) 1 7 10 26 16 3,817

Peraturan Pajak yang Lemah (Y12) 1 5 15 20 19 3,850 Integritas yang Rendah (Y13) 3 4 10 23 20 3,883 Rata-rata Presentase 2,8% 8,9% 19,4% 38,3% 30,6% 3,850 Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017

(12)

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat menyebabkan wajib pajak tidak optimal dan tidak antusias dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pengujian Outer Model Indikator Konstruk

Hasil temuan pengujian algorithma indikator konstruk disajikan berdasarkan tabel 4.8 berikut ini:

Hasil Pengujian Algorithma Indikator Konstruk Uji Lapangan

Konstruk Cronbachs Alpha rho_A Composite Reliability AVE R Square

X1 0,921 0.993 0.948 0.747

X2 0,831 0.831 0.899 0.858

Y 0,768 0.799 0.867 0.687 0.238

Sumber: Data yang diolah, Tahun 2017

Keterangan: X1=Keadilan Pajak; X2=Biaya Kepatuhan; Y=Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak

Reabilitas. Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa nilai cronbachs alpha dan composite reliability semua kontruk telah lebih dari 0,60. Dengan demikian, setiap konstruk dalam model penelitian dapat dikatakan reliable. Validitas Konvergen. Nilai AVE seluruh konstruk seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.8 adalah lebih dari 0,50. Dengan demikian, nilai AVE tersebut telah memenuhi rule of thumb yang digunakan untuk menguji validitas konvergen (Hartono, 2009:71). Ini mengindikasikan bahwa data telah valid untuk dilakukan pengujian berikutnya. Validitas Diskriminan. Hasil temuan uji validitas diskriminan berdasarkan nilai cross loading pada lampiran 5 adalah nilai cross loading masing-masing indikator konstruk memiliki nilai yang lebih tinggi atau mengumpul pada kontruk yang telah ditetapkan. Hal ini membuktikan secara empiris bahwa setiap konstruk memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator di blok lainnya. R Square (R2). Nilai R2 persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak seperti yang dilihat pada tabel 4.8 adalah 0.238. Ini menjelaskan bahwa konstruk persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak dapat dijelaskan 24% melalui konstruk keadilan pajak dan biaya kepatuhan. Hal ini membuktikan bahwa model prediksi telah tepat untuk menjelaskan tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen.

Hasil Pengujian Model Struktural dan Hipotesis Penelitian

(13)

model struktural dan hipotesis dilakukan dengan melihat nilai estimasi koefisien jalur dan nilai kritis (t-statistics) yang signifikan pada α = 0,05. Hasil statistik data secara lengkap dapat dilihat pada bgian lampiran 5. Berdasarkan kerangka konseptual penelitian ini, maka pengujian model hubungan struktural dan hipotesis antar variabel penelitian ini akan dilakukan melalui pengujian koefisien jalur pengaruh langsung. Hal ini dikarenakan variabel penelitian bukan merupakan variabel moderasi.

Hasil pengujian model struktural (inner model) penelitian di evaluasi dan diuji dengan menggunakan uji signifikansi melalui koefisien path. Peneliti menggunakan teknik bootstrapping setelah melakuakan teknik algorithm dalam program SmartPLS (Partial Least Square) untuk melakukan pengujian signifikansi hubungan langsung antar konstruk dalam penelitian ini. Hasil uji model struktural dan hipotesis penelitian dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini: Sumber: Data yang diolah, Tahun 2017

Keterangan: X1=Keadilan Pajak; X2=Biaya Kepatuhan; Y=Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak

(14)

biaya kepatuhan mempengaruhi persepsi wajib pajak dalam melakukan penggelapan pajak sebagai perilaku yang baik (etis).

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa apakah keadilan pajak dan biaya kepatuhan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Responden penelitian ini berjumlah 60 orang Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Samarinda yang memiliki pekerjaan bebas. Setiap responden akan diberikan masing-masing satu kuesioner untuk diisi, yang dijadikan sebagai data untuk diolah/diuji. Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan pengujian yang telah dilakukan terhadap permasalahan dengan menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS), maka diambil kesimpulan sebagai berikut:

1) Keadilan Pajak Tidak Berpengaruh Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas Tindakan Penggelapan Pajak

Hasil pengujian dalam penelitian ini menemukan bahwa, keadilan pajak tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Hasil menemukan bahwa hasil penelitian tidak sesuai dengan pengembangan hipotesis. Hal ini dikarenakan kewajiban untuk membayar pajak merupakan kewajiban mutlak wajib pajak orang pribadi, sehingga ketika adil atau tidaknya perlakuan pajak yang berlaku bukan merupakan hal yang mempengaruhi wajib pajak orang pribadi dalam melakukan penggelapan pajak. Selain itu, banyaknya kasus penggelapan pajak akan membuat wajib pajak orang pribadi sebagai individu yang kritis untuk berpikir lebih baik tidak membayar pajak daripada uang pajak dikorupsi, sehingga penggelapan pajak dianggap perilakuyang baik (etis). Namun, hal ini dapat diatasi jika pihak pembuat kebijakan harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam menyusun kebijakan peraturan pajak yang akan ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan. Pihak pemerintah harus lebih baik dalam mengelola dan mendistribusikan dana yang bersumber dari pajak agar wajib pajak orang pribadi lebih percaya bahwa uang pajak yang telah disetorkan telah digunakan dengan baik. Sehingga akan tercipta kehidupan yang harmonis dan stabil dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata. 2) Biaya Kepatuhan Berpengaruh Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas Tindakan

Penggelapan Pajak

(15)

untuk menghitung pajak dan biaya untuk melaporkan pajak selain biaya untuk membayar pajak terutangnya. Bisa saja biaya tersebut sudah melebihi kemampuan wajib pajak orang pribadi, tetapi bisa juga wajib pajak orang pribadi yang mampu tidak mahu memenuhi kewajiban perpajakannya dikarenakan hal adminstrasi yang sulit. Oleh karena itu, keadaan ini dapat diminimalisir dengan cara mengurangi prosedur atau tahapan dalam administrasi pajak serta melakukan sosialisasi atau konsultasi gratis secara rutin sehingga wajib pajak orang pribadi dapat memahami setiap prosedur dalam membayar dan menghitung pajak.

Penelitian ini merupakan penelitian dalam konteks keperilakuan individu tindakan penggelapan pajak yang di intrepretasikan oleh prilaku wajib pajak orang pribadi dalam model persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Jadi, penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerintah harus lebih baik dalam mengatur, mendistribusikan, dan mengolah dana pajak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak orang pribadi kepada pemerintah. Selain itu, sosialisasi secara kontinu tentang tata cara administrasi perpajakan, proses penyetoran pajak dan perhitungan pajak untuk meningkatkan pemahaman wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian mereka tidak harus mengeluarkan biaya konsultan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, melihat tidak semua penelitian akan membawa hasil yang sempurna sehingga tidak ada kekurangannya. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya harus dapat memperbaiki keterbatasan tersebut. Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain:

1) Indikator untuk seluruh konstruk dalam penelitian ini masih kurang. Hal ini dikarenakan pada saat penentuan indikator peneliti hanya dapat menemukan tiga indikator yang sesuai untuk setiap konstruk penelitian.

2) Penyebaran kuesioner untuk responden dalam penelitian ini masih terbatas yaitu hanya sebanyak 60 kuesioner, dan juga hanya melihat dari kriteria wajib pajak orang pribadi yang mempunyai pekerjaan bebas.

Saran

Berdasarkan pada keterbatasan penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti ingin memberikan saran bagi penelitian selanjutnya, antara lain:

(16)

wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak agar dapat lebih mendapatkan gambaran mengenai konstruk penelitian ini.

2) Penelitian selanjutnya sebaiknya menyebarkan kuesioner kepada semua wajib pajak orang pribadi tanpa membatasi wajib pajak orang pribadi yang mempunyai pekerjaan bebas saja agar mendapatkan hasil yang lebih mendalam.

3) Penelitian selanjutnya sebaiknya menyebarkan kuesioner kepada wajib pajak orang pribadi di dua atau tiga kota agar mendapatkan hasil yang lebih baik dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 2006. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological Considerations. September (Revised January, 2006). J o u r n a o f Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, 179-211..

Detiknews, 2014. Kantor Pajak Serahkan Pengemplang Pajak Rp 6,4 M ke Kejati Kaltim, https://m.detik.com/news/berita/2581654/kantor-pajak-serahkan-pengemplang-pajak-rp-64-m-ke-kejati-kaltim, diakses tanggal 3 April 2017.

Direktorat Jenderal Pajak. http://pajak.go.id.

Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Bisnis Total. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hartono, J. dan Abdillah, W. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) Untuk Penelitian Empiris. BPFE. Yogyakarta.

Hartono, J. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. ANDI. Yogyakarta.

Kurniawati Meiliana, Toly A Agus. 2014. Analisis Keadilan Pajak, Biaya Kepatuhan, dan Tarif Pajak terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai Penggelapan Pajak di Surabaya Barat, Journal of Tax & Accounting Review, Vol. 4, No. 2.

Mardiasmo. 2009. Perpajakan, Edisi Revisi 2009. Andi. Yogyakarta.

McGee, Simon, and Annie. 2008. A comparative Study on Perceived Ethics of Tax Evasion: Hong Kong Vs The United States. Journal of Bussiness Ethics, Vol. 77:147-158.

McGee, Robert W. 2006. Three Views on the Ethics of Tax Evasion, Journal of Business Ethics 2006, pp. 15-35.

Sandford, C. 1995. The Rise and Rise of Tax Compliance Costs” in Cedric Sandford, (Editor) Tax Compliance Costs Measurement and Policy. Journal of Bath, U.K: Fiscal Publications in association with The Institute for Fiscal Studies.

Sari, Elisa Valenta. 2015. Tahun Lalu Jumlah Kasus Pajak Meningkat 280 Persen. http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150129071636-78- 28176/tahun-lalu-jumlah-kasus-pajak-meningkat-280-persen/, diakses tanggal 10 Oktober 2016.

(17)

Siahan, M.P. 2010. Hukum Pajak Elementer. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Syahrina Alifia dan Pratomo Dudi. 2014. Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan Pajak, Ketepatan Pengalokasian Pajak, dan Teknologi Sistem Perpajakan terhadap Tax Evasion oleh Wajib Pajak. Proceedings SNEB, 2014:1-12.

Tambunan, Ruston. 2013. Pajak Penghasilan atas UMKM: Sederhana Tapi Tida Adil

http://ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=51, diakses tanggal 10 Oktober 2016.

Referensi

Dokumen terkait

X domino kontrol manajemen tidak kuat, hal ini dapat dilihat dari ketiadaan komitmen atau ketertarikan terhadap K3, perjanjian kerja dengan pekerja hanya

Metode RULA ini digunakan sebagai metode untuk mengetahui sikap kerja bisa berhubungan dengan keluhan musculoskeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas

Ia akan mengurangkan respon masa, menyediakan keputusan segera dan data dapat diperoleh melalui masa nyata (real time) di samping memelihara keutuhan dan integriti data

mengatakan bahwa, intensi berwirausaha adalah faktor subjektif individu yang nampak dalam bentuk suatu keinginan yang kuat untuk menjadi seorang wirausahawan. Seseorang

Setelah dilakukan uji sensor dan aktuator secara bersamaan, perancangan sistem pengendalian AFTC diketahui tidak bekerja secara maksimal karena input dari observer

Dari tabel 4.9 rubrik penilaian kemampuan berpikir kreatif siswa Pertemuan I tema 6 subtema 3 pembelajaran 2 menggunakan model Discovery Learning diperoleh hasil bahwa

17 Kemitraan Parnership, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia: Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta, Jakarta, Kemi traan, 2008.. 15 Helsinki) dan aspirasi

Dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak AMIK BSI Jakarta, Hak Bebas Royalti Non- Eksklusif (Non-exclusive Royalti-Free Right) atas karya ilmiah penulis