• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Hukum Girik Sebagai Alat Bukti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kekuatan Hukum Girik Sebagai Alat Bukti"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. KRONOLOGIS

1. Pada sekitar tahun 1920, Sain bin Balok memiliki sebidang tanah yang terletak di Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur, Bekasi. Tanah tersebut terdaftar dalam Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia buku pendaftaran huruf C (Girik C) No. 152 persil No. 52 Kls. D.III tanggal 2 Januari 1951 dengan luas +/- 11.180 m2. Batas-batas tanah tersebut adalah sebagai berikut:

- Utara : Jalan Raya RS. Mekar Sari/bekas tanah Abdul Jain;

- Timur : tanah milik Sain/ sekarang Bayudin bin Senan, Ridwan dan Jono; - Selatan : tanah milik Mpek Timblo;

- Barat : Jalan Raya K.H. Agus Salim;

2. Sain bin Balok mulai menewmpati tanah, mendirikan rumah serta mengusahakan tanah tersebut untuk bercocok tanam sejak tahun 1945;

3. Sekitar tahun 1952, Sain bin Balok dituduh sebagai dukun santet oleh warga sekitar sehingga rumahnya dibakar, kemudian yang bersangkutan pergi meninggalkan tanah tersebut ke Bantar Gebang, Bekasi Timur. Tanah yang ditinggalkan tersebut digunakan oleh para siswa SD, SMP dan SMA serta remaja sekitar untuk bermain bola.

4. Atas penggunaan tanah tersebut, telah diterbitkan surat pungutan peralihan pajak atas nama Sain bin Balok huruf C (Girik C) No. 152 persil No. 52. Pembayaran pertama tanggal 10 Maret 1950 dan pembayaran kedua tanggal 2 Januari 1951 telah lunas. Bukti pembayaran untuk selanjutnya tidak ditemukan lagi;

5. Pada tahun 1993 Said bin Balok meninggal dunia yang dinyatakan dalam Surat Kematian Nomor 474.3/104//VI/1996;

6. Bulan November 1997, Maksum bin Sain, anak kandung dari (Alm.) Sain bin Balok yang bertempat tinggal di Kampung Pekayon Jaya, Bekasi Selatan memasang plang di atas tanah tersebut dengan tulisan Penetapan Pengadilan Agama Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks yang menyatakan Maksum bin Sain adalah ahli waris dan pemegang hak yang sah dari warisan (Alm.) Sain bin Balok berupa tanah hak milik adat tersebut dengan dasar surat bukti pendaftaran sementara tanah milik Indonesia C. No. 152 persil No. 52 Kls. D.III tanggal 2 Januari 1951 dengan luas +/- 11.180 m2;

(2)

hukum dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 744/Pid.B/1998/PN.Bks, Sukandi alias Kaye dinyatakan bersalah melakukan perbuatan tindak pidana tidak menyenangkan dan dihukum pidana penjara 3 bulan dengan masa percobaan 12 bulan;

8. Pungutan pajak atas tanah tersebut masih dilakukan Kantor Pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun 1998 atas nama Sain bin Balok dan telah dibayarkan tanggal 10 September 1998. Bukti pembayaran PBB atas tanah tersebut untuk bulan berikutnya tidak ditemukan;

9. Pada tanggal 14 Desember 1998, Maksum bin Sain membuat tembok pembatas di sekeliling tanah yang dimaksud. Namun tindakan tersebut mendapat protes dari remaja pemain bola sekitar termasuk Sukandi alias Kaye dengan melakukan pengerusakan tembok pembatas serta menghancurkan alat dan bahan bangunan sehingga nyaris terjadi bentrokan;

10.Atas hal tersebut, pada tanggal 1 Februari 1999 Maksum bin Sain mengajukan gugatan perdata terhadap Sukandi alias Kaye yang pada dasarnya menggugat hal-hal sebagai berikut:

a. Menyatakan tanah hak milik adat C No. 153 persil No. 52 Kls. D.III dengan luas +/- 11.180 m2 dengan surat bukti pendaftaran hak atas tanah atas nama Sain bin Balok yang terletak di Kampung Teluk Angsan, Jalan Raya K.H Agus Salim/Jalan Raya Mekar Sari RT 03/07, Bekasi Jaya, Bekasi Timur adalah sah milik Penggugat (Maksum bin Sain);

b. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan atas rumah Tergugat (Sukandi alias Kaye) di Kampung Teluk Angsan, Bekasi Timur;

c. Menghukum Tergugat membayar ganti kerugian sebesar Rp 46.000.000,-; d. Menghukum Tergugat membongkar dua tiang gawang di atas tanah milik

Penggugat;

e. Menghukum Tergugat apabila dalam delapan hari lalai dalam menjalankan isi putusan ini dikenaan denda Rp 500.000,- per hari untuk dibayarkan kepada Penggugat secara tunai;

f. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum banding, kasasi maupun verzet dari Tergugat

(3)

a) Surat Keputusan Kakanwil BPN Jawa Barat Nomor 122/HP/KWBPK/1995 tanggal 22 Juni 1995; dan

b) Sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 dengan gambar ukur Nomor 10450/1995 tanggal 25 September 1995;

12.Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi menyatakan bahwa tanah tersebut diperuntukan untuk pembangunan Kotamadya Tingkat II Bekasi dan sebelum pembangunan tersebut dimulai, tanah tersebut digunakan untuk sarana olahraga sepak bola;

13.Gugatan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingat II Bekasi selain didasarkan bukti surat pada huruf k, juga dikuatkan dengan peta tanah Lampiran surat keputusan Residen Jakarta di Purwakarta tanggal 5 Januari 1957 Nomor 2/Agr/57 yang menyatakan bahwa tanah yang disengketakan tersebut adalah tanah negara. Selain itu dalam acara pembuktian, yang bersangkutan juga menyampaikan bukti surat (dalam salinan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 122/Pdt.G/1998/PN.BKS tidak dinyatakan secara jelas bentuk formil alat bukti dimaksud) yang menyatakan bahwa Girik C Nomor 152 tidak tercatat di buku Letter C desa;

14.Terhadap gugatan intervensi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi, Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan memutus perkara tersebut melalui Putusan Nomor 12/Pdt.G/1999/PN.BKS menyatakan menolak gugatan intervensi dari Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dengan memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Sain bin Balok telah menguasai tanah tersebut dari tahun 1945 sampai 1952;

b. Girik C Nomor 152 persil 52 kelas D III tercatat atas nama (Alm.) Said bin Balok. Selain itu (Alm.) Said bin Balok dan Maksun bin Said selaku ahli waris (Alm.) Said bin Balok telah membayar PBB atas tanah tersebut;

c. Putusan Pengadilan Agama Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks telah menetapkan tanah sengketa sebagai tanah wars dari Sain Bin Balok dan hal tersebut menguatkan kepemilikan Maksun bin Sain atas tanah dimaksud;

d. Walaupun tidak dalam bentuk sertifikat, harus dianggap bahwa tanah sengketa sebagai tanah milik adat yang terdaftar atas nama Sain bin Balok dan Maksun bin Sain adalah ahli waris Sain bin Balok;

e. Pengadilan beranggapan bahwa terdapat kejanggalan dari segi administrasi penerbitan sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 yaitu:

(4)

2) Pengukuran lebih dahulu dari permohonan (pengukuran tanggal 24 Mei 1995, sedangkan permohonan tanggal 28 Juni 1995);

f. Tanah negara harus diartikan belum pernah diusahai dan dikuasai pihak lain dan belum terdaftar atas nama siapapun. Dengan demikian tanah tersebut tetap dianggap tanah milik adat atas nama Sain bin Balok dan walaupun telah lama tidak dikuasainya, tidak ada lewat waktu (vrijwaring) atas tanah milik adat;

15.Atas putusan tersebut Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi mengajukan banding dan berdasarkan Putusan Nomor 441/Pdt/1999/PT.Bdg, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 12/Pdt.G/1999/PN.BKS;

16.Atas putusan tersebut Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi mengajukan kasasi dan melalui Putusan Nomor 2811 K/Pdt/2000, Mahkamah Agung nenolak permohonan kasasi tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Dalam hal keberatan mengenai adalanya kesalahan Pengadilan Negeri Bekasi dalam melaksanakan hukum acara perdata yang tidak dipertimbangkan sehingga menyebabkan pertimbangan Pengadilan Tinggi menjadi tidak lengkap serta gugatan Penggugat asal (Maksun bin Sain) yang kabur, atas keberatan tersebut Mahkamah Agung menyatakan judex facti tidak melakukan kesalahan;

b. Dalam hal keberatan tentang cara pembuktian kepemilikan tanah dimaksud dengan berdasarkan girik dan melemahkan pembuktian sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995, Mahakamah Agung menyatakan judex fati tidak salah menerapkan hukum. Penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi;

17.Atas putusan tersebut Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi mengajukan Peninjauan Kembali dan berdasarkan Putusan Nomor 295 PK/Pdt/2004, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

(5)

b. Terhadap keberatan yang yang menyatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi telah memutuskan untuk menghukum siaoa saa yang menguasai tanah untuk menyerahkan kepada Penggugat asal (Maksun bin Sain) dalam keadaan baik atau kosong, di mana hal tersebut tidak termuat dalam posita maupun petitum Penggugat asal. Atas keberatan tersebut Mahkamah Agung menyatakan Hakim dapat mengabulkan lebih dari yang digugat selama hal tersebut masih sesuai dengan kejadiam materiil (putusan Mahkamah Agung Nomor 556/Sip1071 tanggal 8 Januari 1972);

c. Terhadap keberatan yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi dan Banding yang membenarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi perihal kejanggalan Sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995 (penjelasan nomor 11), dengan penjelasan bahwa:

1) Dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Nomor : 122/HP/KWBPN/1995, tanggal 22 Juni 1995, sangat jelas permohonan diajukan tanggal 11-05-1995 dari Drs. H. Herry Koesaeri, S.;

2) Selanjutnya setelah permohonan pertama tersebut, Kantor Badan Pertanahan Nasional Bekasi mengadakan pengukuran untuk mencocokkan lokasi yang dimohonkan sebagaimana dalam surat tertanggal 24 Mei 1995 dimaksud;

3) Oleh karena, setelah keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Nomor : 122/HP/KWBPN/1995, tanggal 22 Juni 1995, bukanlah suatu final terbitnya sertifikat, karena prosedur yang diharuskan secara administrasi yang diwajibkan dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 04-05-1992 No. 500-1255 tentang prosedur mengenai Petunjuk Pelaksanaan Tentang Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertifikat yang dikuasai oleh instansi pemerintah. Dimana setelah keluarnya keputusan dimaksud, diharuskan mengajukan lagi permohonan sertifikat, maka Penggugat Intervensi (Pemohon Peninjauan Kembali) mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai atas nama Pemda Tingkat II Bekasi sebagaimana dimaksud dalam surat tanggal 28 Juni 1995

(6)

B. LEGAL QUESTION/PERMASALAHAN

1. Bagaimana kekuatan pembuktian surat girik dan SPPT PBB sebagai dasar penentuan hak atas tanah?

2. Mengingat (Alm.) Sain bin Balok dan Maksun bin Sain tidak pernah menempati maupun mengusahakan tanah sengketa sejak tahun 1952 hingga tahun 1997, apakah lembaga verjaring (daluwarsa atau lampau waktu) dapat dijadikan dasar hilangnya hak yang bersangkutan atas tanah tersebut?

C. DASAR HUKUM

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubang dengan UU Nomor 5 Tahun 2004;

4. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dengan UU Nomor 12 Tahun 1994;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

6. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah

D. KAJIAN Nomor 1

Alat bukti hak atas tanah diatur Pasal 19 ayat (2) Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Kuat berarti bahwa selama tidak ada alat bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya maka data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran tanah harus diterima sebagai data yang benar.1

(7)

berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Sesuai Pasal 24 ayat (1) bukti tertulis dimaksud adalah surat Girik. Adapun penjelasan Pasal 24 ayat (1) menjelaskan bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemikikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai pada tangan pemegang hak pada waktu dibukukan hak. Alat bukti tertulis dimaksud salah satunya adalah Girik (Penjelasan Pasal 24 (1) huruf f PP Nomor 24 Tahun 1997). Namun karena sengketa ini terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 34 Tahun 1997, maka pengaturan ini tidak dapat diberlakukan dalam analisa kasus ini.

Proses pendaftaran tanah sebenarnya telah diamanatkan melalui Pasal 19 UUPA. Dalam Pasal 19 ayat (2), kegiatan pendaftaran tanah meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat. Sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997, kegiatan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961. Dalam hal tanah warisan sebagaimana dalam kasus di atas, pendaftaran atas tanah tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumen sebagai berikut:

a. surat atau surat-surat bukti hak yang disertai keterangan Kepala Desa yang membenarkan surat atau surat-surat bukti hak itu. Keterangan Kepala Desa tersebut harus dikuatkan oleh Asisten Wedana.

b. surat wasiat dan jika tak ada surat wasiat surat keterangan warisan dari instansi yang berwenang.

c.

Salah satu bentuk surat yang sering dipakai dalam pendaftarn dimaksud adalah Girik. Girik merupakan bukti pembayaran pajak di desa-desa. Sebelum berlakunya UUPA pencatatan dilakukan untuk menentukan bidang-bidang tanah atau pekarangan berikut pohon-pohon yang telah diberikan kepada orang-orang tertentu yang disertai dengan pencatatan nama dan pemiliknya masing-masing. Pencatatan ini bertujuan untuk menetapkan bagian masing-masing penguasa bidang tanah dalam pajak umum yang telah direncanakan serta untuk meyelesaikan perkara batas tanah.

Girik berfungsi sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat danggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan. Adapun sebenarnya kegunaan girik adalah sebagai pegangan wajib pajak dalam rangka mengoreksi ketetapan pajak yang dikenakan terhadap nama yang tecantum dalam girik tersebut. 2

2 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.

(8)

Dalam praktiknya dokumen Girik cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah karena pada dasarnya hukum tanah Indonesia bersumber dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mengatur bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan tahun 1961 (sebelum berlakunya UUPA), di Indonesia dikenal 3 jenis pungutan pajak yang masing-masing dikenakan sesuai dengan status tanah yang ada yaitu Verponding Eropa untuk tanah Hak Barat, Verponding Indonesia untuk tanah yang berstatus Hak Adat yang berada di wilayah Gemeente dan Landrete atau pajak bumi untuk tanah dengan status hak adat yang berada di luar wilayah Gemeente. Pengenaan pajak dilaksanakan dengan menerbitkan surat pengenaan pajak atas pemilik tanah, surat inilah yang dikenal dengan Girik. Girik sebenarnya hanya merupakan surat pengenaan dan pembayaran pajak dari pemilik atau pemegang hak atas tanah kepada Pemerintah bukan merupakan pengakuan Pemerintah atas tanah yang dimilikinya.

Dalam hukum pajak di Indonesia, iuran penggunaan tanah sebagaimana dimaksud di atas telah berganti nama menjadi Iuran Pembayaran Daerah (IPEDA) kemudian PBB.3 IPEDA dan PBB tidak berkaitan langsung dengan sistem tanah, sehingga antara status tanah dan hubungan dengan wajib pajak bukan sebagai faktor penentu penetapan pajak. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diatur bahwa : Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Penjelasan tersebut memberi penegasan bahwa girik atau surat pajak lainnya tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah. Tentang hal tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 34/K/Sip/1960 juga memutuskan bahwa girik tidak dapat diterima sebagai tanda bukti pemilikan tanah meskipun telah dikenakan pajak. Penegasan lain yang menyatakan bahwa tanda pembayaran pajak bukan merupakan bukti kepemilikan tanah adalah sebagaimana tercantum dalam SPPT PBB yang menyatakan bahwa “Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan hak”

(9)

Dilihat dari kasus di atas, dalam bagian pertimbangan hukum, Hakim membuat penentuan kepemilikan atas tanah berdasarkan Girik yang dimiliki oleh Maksun bin Sain sebagai ahli waris dari (Alm.) Sain bin Balok. Sesuai penjelasan di atas, hal tersebut bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Girik tidak dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan tanah karena ia hanya merupakan surat bukti bahwa yang dimaksud terdaftar dalam objek pajak. Seharusnya Hakim dapat menelusuri lebih dalam mengenai keberadaan dan status hukum Girik terhadap tanah.

Apabila ditinjau dari Peraturan Pemerintah mengenai Pendaftaran Tanah (baik PP Nomor 10 Tahun 1961 maupun PP Nomor 24 Tahun 1997), dokumen Girik secara formil dapat dijadikan salah satu dasar pemberian hak atas tanah. Namun hal tersebut tidak menjadi bukti yang paling menentukan, karena dalam peraturan pertanahan yang berlaku di Indonesia hak atas tanah juga ditentukan dari sisi materiil orang yang memiliki Girik. Apabila ternyata orang tersebut lalai atau menelantarkan tanahnya, maka hal itu dapat menyebabkan ia dapat dianggap melepaskan haknya atas tanah tersebut. Penjelasan hal ini akan diuraikan dalam kajian Nomor 2.

Sesuai Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Berkaitan dengan yang telah diputuskan Pengadilan Negeri Bekasi dan Pengadilan Tinggi Bandung mengenai penentuan kepemilikan tanah tersebut hanya berdasarkan Girik, maka telah ternyata bahwa Hakim telah melanggar hukum yang berlaku. Judex facti telah ternyata melakukan kesalahan dalam menilai penghargaan terhadap suatu alat bukti yang menentukan. Dalam hal ini seharusnya Mahkamah Agung memutuskan untuk menerima permohonan Kasasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Bekasi selaku pemegang sertifikat Hak Pakai Nomor 12/1995. Selanjutnya Hakim Kasasi harus mempertimbangkan status hukum Girik sebagai dokumen pajak bukan sebaga tanda bukti kepemilikan tanah serta perbuatan pembiaran atas tanah baik yang dilakukan oleh Maksun bin Sain maupun (Alm.) Sain bin Balok.

(10)

Dalam hukum perdata di Indonesia, lembaga Daluawarsa (Verjaring) merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Daluawarsa (Verjaring) diatur dalam Pasal 1946 sampai Pasal 1993 KUHPerdata. Pengertian dasar lembaga ini terdapat pada Pasal 1946 KUPerdata yang menyatakan bahwa, “Daluarsa atau lampau waktu adalah suatu alat untuk sesudahnya waktu tertentu dan menurut syarat-syarat yang ditentukan undang-undang mendapatkan sesuatu atau dibebaskan dari suatu ikatan”.

Lembaga Daluawarsa (Verjaring) diatur dalam Pasal 1963 ayat 1 dan ayat 2 yang mengatur bahwa, seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yan tidak harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu. Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya. Dengan diberlakukannya UUPA, maka beberapa aturan mengenai pertanahan yang diatur dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi. Salah satunya adalah lembaga Daluwarsa (Verjaring).

Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, hukum pertanahan di Indonesia disusun dan dilaksakan berdasarkan hukum adat. Dalam hukum adat, tidak dikenal lembaga daluwarsa, maka UUPA tidak mengenal adanya lembaga daluarsa. Lembaga yang dikenal dalam hukum adal adalah lembaga “kehilangan hak menuntut” atau “rechtverwerking”.

Dalam hukum adat terdapat hubungan antara manusia dan tanah itu sendiri. Hubungan tersebut dapat diakhiri, dilepas atau diputus tetapi tidak dapat dihilangkan. Pemutusan hubungan tersebut dapat dinyatalan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dinyatakan melalui tindakan pembiaran tanah tidak dirawat maupun dipelihara. Sedangkan pemutusan tidak langsung dinyatakan melalui pernyataan kehendak yang bersangkutan kepada masyarakat maupun penguasa organisasi masyarakat. Dengan demikian dalam hukum adat tidak dikenal arti kehilangan hubungan atau kehilangan hak atas tanah, sebab hubungan adalah sesuatu yang bersifat abadi meskipun ia dapat diputus atau dilepaskan. Dalam konteks ini pemutusan hubungan antara individu atas tanah, Teer Har menggunakan istilah “rechtsverwerking” yang diterjemahkan sebagai penghilangan hak sendiri atau pelepasan hak.4 Inti dari lembaga ini adalah apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak terurus dan tanah itu dipergunakan orang lain dengan itikad baik, dia tidak dapat lagi menuntut pengembalian tanah tersebut dari orang lain itu tadi. Lembaga tersebut sesuai dengan prinsip yang dianut oleh hukum adat yang

(11)

mengedepankan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, tanah tidak boleh hanya sekedar dimiliki akan tetapi tidak dipergunakan. Ini sama halnya dengan larangan menelantarkan tanah sebagaimana dianut oleh hukum tanah nasional.

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 27 UUPA yang mengatur bahwa Hak milik atas tanah hapus bila :

a. tanahnya jatuh kepada Negara :

1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;

2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena ditelantarkan;

4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b. tanahnya musnah.

Beberapa yurisprudensi yang mengatur mengenai lembaga pelepasan hak (rechtsverwerking) antara lan:

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 210/K/Sip/1995 tanggal 10 Januari 19575

Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena penggugat dengan mendiamkan soalnya selama 25 tahun (dua puluh lima) tahun harus dianggap menghilangkan haknya;

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 916.K/Sip/1973 tanggal 19 Desember 1973

Dalam hukum adat dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak akan hapus

c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 295.K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975

Penggugat telah membiarkan haknya berlalu sampai tak kurang dari 20 tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka bisa dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada di atas sawah sengketa sedang terguguat-pembandung dapat dianggpa sudah memperoleh hak milik atas sawah sengketa.

d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 408.K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975

Para Penggugat-Terbanding yang telah 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh Alm, Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari Alm, Atma untuk emnuntut hak tersebut telah sangat lewat waktu.

e. Putusan Mahkamah Agung Nomr 707/K.Sip/1972 tanggal 4 Desember 1975

Diamnya Penggugat-Pembanding tidak dapat dijandikan dasar untuk pelepasan hak, tetapi harus disertai dengan tindakan-tindakan lain uang menyatakan adanya kehendak untuk pelepasan hak itu.

(12)

f. Putusan Mahkamah Agung Nomor 200.K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975

Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi adalah bahwa hukum adat tidak mengenal daluarsa dalam hal warisan. Tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah ditolah bukan atas alasan kedaluarsanya gugatan, tetapi karena berdiam diri selama 30 tahun lebih para panggugat asal dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverweking).

Berlainan dengan yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat tidak ada tenggang waktu tertentu yang ditetapkan mengenai lampaunya waktu seperti yang diatur dalam KUHPErdata yaitu 20 dan 30 tahun. Sesuai dengan sifat hukum adat pada umumnya, yang dihitung hanyalah jangka waktu yang dalam hal-hal tertentu dianggap patut cukup lama untuk mempengaruhi secara langsung ata menyebabkan lenyapnya suatu hak atau kewajiban.6 Pada akhirnya yang menetapkan tenggang waktu tersebut adalah Hakim melalui Putusan Pengadilan. Hakim dalam mengambil keputusan tersebut mendasarkan keputusan pada rasa keadilan di daerah tersebut dapat dipuaskan dengan putusan pengaruh lampau waktu tersebut.7

Dilihat dari fakta persidangan sebagimana diuraikan dalam Putusan, (Alm.) Sain bin Balok maupun Maksun dbin Sain sejak tahun 1952 (saat keluarnya Sain bin Balok dari tanah tersebut) sampai dengan tahun 1997 (saat dikeluarkannya Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 061/P3HP/1997/PA.Bks) tidak terbukti bahwa mereka telah menempati, memanfaatkan atau mengusahakan tanah tersebut. Mereka tidak ternyata dalam jangka waktu dimaksud melakukan usaha yang nyata untuk mempertahankan tanah yang diakui sebagai miliknya dari intervensi pihak lain dalam memanfaatkan lahan yang bersangkutan. Dengan demikian, pemegang Girik tersebut telah ternyata menelantarkan tanah tersebut selama jangka waktu +/- 46 tahun lamanya. Sesuai dengan yurisprudensi tentang Rechtsverwerking, hal demikian sudah sepatutnya menjadi pertimbangan Hakim bahwa yang bersangkutan tidak memiliki itikad untuk menjaga dan mengurusi tanah tersebut.

Sesuai Pasal 30 huruf b UU Nomor 14 Tahun 1985, Hakim pada tingkat Kasasi seharusnya dapat mempertimbangkan hal ini. Judex facti telah lalai untuk memperhatikan fakta bahwa pemegang Girik tidak pernah melakukan suatu tindakan nyata dalam mengusahakan tanah tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama (46 tahun). Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah melanggar ketentuan yurisprudensi

6 Baca R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraria). Jakarta : Pradnya Paramita, 1983, hlm. 35.

(13)

mengenai Rechtsverwerking. Hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam pembatalan Putusan Judex Facti.

E. KESIMPULAN

1. Status tanah adat dengan bukti girik tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat sebagai pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Kedudukan girik tidak dapat disebut sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah karena tanda bukti kepemilikan tanah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan adalah sertipikat. Girik hanya berfungsi sebagai alat bukti pembayaran pajak atau sebagai bukti bahwa tanah dimaksud telah didaftarkan sebagai objek pajak pada masa sebelum berlakunya UUPA. Dengan demikian seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan lebih dalam mengenai sejarah penggunaan Girik di Indonesia dan tidak secara serta merta menjadikan Girik sebagai dasar kepemilikan Maksun bin Sain terhadap tanah sengketa;

2. Dalam hukum pertanahan di Indonesia, tidak dikenal daluwarsa dalam pemilikan tanah. Setelah diberlakukannya UUPA, lembaga daluwarsa tersebut dihapuskan dan digantikan dengan lembaha Rechtsverwerking atau pelepasan hak atas tanah. Hal tersebut didasari pada pemikiran bahwa UUPA disusun dan dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Indonesia. Dalam hukum adat hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dihilangkan, akan tetapi dapat diputus atau dilepaskan. Proses pemutusan hak inilah yang diadopsi UUPA melalui lembaga Rechtverwerking;

(14)

4. Berdasarkan uraian di atas seharusnya Mahkamah Agung selaku Judex Iuris memeriksa dan mempertimbangkan kembali Putusan Judex Facti. Hal ini berkaitan dengan kelalaian Judex Facti dalam mempertimbangkan status hukum Girik dan fakta bahwa seharusnya Maksun bin Sain sudah memenuhi syarat untuk melakukan Rectsverwerking;

F. DAFTAR PUSTAKA

Arie S. Hutagalung, “Penerapan Lembaga :Rechtsverwerking” Untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah (Suatu Kajian Sosioyuridis),” Hukum dan Pembangunan 1 (Oktober 2000)

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Arie Sukanti, et.al, ed., Hukum Pertanahan di Indonesia dan Belanda. Denpasar : Pustaka Larasan, 2012.

B.F. Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia. Jakarta : Gunung Agung, 2004

Boedi Harsono. Hukum Agaria Indonesia : Sejaran Pembentukan Undang-Undang Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta : Djambatan, 2006.

---, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet. 17, Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan

Harris Yonathan Parmanahan Sibuea, Tinjauan Terhadap Ketidakpastian Hukum Status Tanah Milik Adat Dengan Bukti Girik (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 311/PDT/2004/PT DKI), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009

Lasmaroha. Tinjauan Mengenai Lembaga Daluwarsa Pada KUHPerdata dan UUPA.

Skripsi. Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan memantapkan penerapan gestur calon guru dalam pembelajaran secara signifikan dapat meningkatkan keterampilan

Karyadi (1985), mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak berkaitan dengan cara dan situasi makan. Selain pola asuh makan,

Adapun ciri mental sehat lainnya pada orang dewasa: Merasa disukai oleh orang lain; Merasa aman dengan kehadiran sesuatu yang asing; Senang humor; Dapat tidur dengan baik;

paling tinggi dan tidak tertutup kemungkinan bayi mengalami sakit, sehingga memerlukan pemantauan kesehatan melalui kunjungan neonatus. Tujuan : Penelitian ini

Menteri Keuangan RI Nomor 76/PMK.07/2014 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan

Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif

Menyatakan bahwa skripsi “THE ASSOCIATION BETWEEN HEDONIC SCORE AND PREFERENCE CHOICE IN FORMULATING CONSUMER BASED SENSORY CHARACTERISTIC OF GEPLAK WALUH” merupakan

!erilaku  !en"alahgunaan narkotika ke!ada mas"arakat masih dirasa memerlukan  !emahaman seara men"eluruh terkait dengan !enera!an keilmuan !sikologi