BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang dan Rumusan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Karya sastra dianggap dapat mengungkapkan keadaan sosial budaya maupun
semangat zaman yang ada pada sebuah masyarakat dalam suatu kurun waktu.
Oleh karena itu, banyak penelitian yang mencoba mengungkapkan keadaan sosial
budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Fungsi karya sastra sebagai
dokumen sosial dapat ditemukan pada kesusastraan manapun di berbagai macam
masyarakat dunia.
Hubungan keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat mengundang banyak penelitian terhadapnya. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan karya sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek & Warren, 1990: 122. )
Kesusastraan Jepang merupakan kesusastraan yang perkembangannya
telah melewati berbagai zaman dan diklasifikasikan menjadi beberapa periode.
Dalam perkembangannya, terdapat ciri khas yang membedakan kesusastraan
Jepang suatu zaman dengan kesusastraan Jepang pada zaman lain. Ciri khas itu
bisa dilihat dari bentuk ataupun tema karya sastra yang menggambarkan keadaan
sosial budaya masyarakatnya. Contohnya, kesusastraan Jepang zaman Heian bisa
pengarang dan pembaca kesusastraan sebagian besar adalah kaum bangsawan dan
penghuni istana. Oleh karena itu, kesusastraan Jepang zaman tersebut banyak
yang menceritakan tentang kehidupan bangsawan atau kehidupan di istana
Pada periode kesusastraan modern Jepang yang berlangsung sejak zaman
Meiji (1868-1912), kesusastraan Jepang banyak terpengaruh oleh kesusastraan
modern Eropa. Hal ini merupakan dampak restorasi Meiji yang menitikberatkan
pembaharuan di berbagai sektor kehidupan dengan mengadopsi pemikiran, nilai,
budaya dan ilmu pengetahuan dari Eropa. Banyaknya karya sastra Eropa yang
masuk dan diterjemahkan di Jepang pada saat itu, banyak mempengaruhi
perkembangan bentuk kesusastraan modern Jepang
Tujuan restorasi Meiji salah satunya adalah untuk mengejar
ketertinggalan bangsa Jepang dari bangsa Eropa. Bangsa Jepang mengejar
ketertinggalan tersebut dengan melakukan modernisasi pada berbagai sektor
kehidupan. Upaya modernisasi bangsa Jepang salah satunya dilakukan dengan
mengadopsi pemikiran, nilai, budaya dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Modernisasi dan pengadopsian segala hal berbau Barat yang merupakan dampak
dari restorasi Meiji itu tidak hanya memberikan pengaruh positif saja, tapi juga
pengaruh negatif. Selain itu, proses modernisasi juga menyebabkan munculnya
berbagai perubahan di dalam masyarakat Jepang.
Banyak sastrawan Jepang pada zaman itu yang menyorot tentang
masalah maupun perubahan-perubahan dalam masyarakat tersebut pada karya
sastranya. Banyak karya sastra, terutama prosa, yang di dalamnya
perubahan di dalamnya yang merupakan pengaruh modernisasi akibat restorasi
Meiji. Salah satu penulis yang mengungkapkan keadaan sosial budaya yang
terjadi pada masyarakat Jepang pada waktu itu dalam karya sastranya adalah
tetsuko Kuroyanagi dalam novelnya Madogiwa no Totto-Chan.
Novel Madogiwa no Totto-Chan merupakan salah satu karya Tetsuko Kuroyanagi yang sangat terkenal. Novel yang merupakan kritik terhadap sistem
pendidikan yang keras di Jepang dimana sistem pendidikan pada masa itu
dipengaruhi oleh militerisme dan ultranasionalisme yang berhasil merebut
perhatian sebagian besar masyarakat Jepang. Pada tahun pertama novel ini
diterbitkan tahun 1981, novel ini terjual hingga 4.500.000 eksemplar. Dalam
novel ini dijelaskan bahwa sistem pendidikan di Jepang yang terkenal keras dan
disiplin, bukanlah jaminan bahwa seorang anak akan berkembang dengan baik.
Bahkan, bisa jadi seseorang yang tidak kuat dengan sistem tersebut akan
mengalami tekanan mental dan bisa menjadi depresi.
Di Indonesia pada tahun 1986 novel tersebut telah diterjemahkan oleh
Latiefah H Rahmat dan Nandang Rahmat ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Totto-chan Si Gadis di Tepi Jendela. Pada tahun 2005 Gramedia telah menjual novel Totto-Chan Si Gadis di Tepi Jendela telah mencapai cetakan ke 10 dan terjual 57.000 eksemplar. Angka tersebut merupakan angka penjualan tertinggi
pada tahun itu dibandingkan dengan penjualan novel-novel terjemahan lainnya,
yang hanya mencapai angka tertinggi penjualan 5000 eksemplar.
kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”(Baqja Qaris : Koran Tempo,30 April 2006)
Novel Madogiwa no Totto-Chan ini merupakan otobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Kuroyanagi, yang ketika kecil di panggil Totto-chan
yang dianggap nakal oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal gadis cilik itu hanya
punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan
jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tidak tahan lagi,
akhirnya chan dikeluarkan dari sekolah. Mama pun mendaftarkan
Totto-chan ke Tomoe Gakuen. Totto-Totto-chan girang sekali, karena di sekolah itu para
murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil
menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan
perjalanan.
Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran
sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang
mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka
mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.
Walaupun belum menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung,
musik, bahasa, dan lain-lain, tetapi juga mendapatkan banyak pelajaran berharga
tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan
menjadi diri sendiri.
Keunikan sekolah tersebut memang atas prakarsa dan ide dari sang
kepala sekolah, Sosaku Kobayashi yang berpengetahuan luas. Dia, yang pernah
bepergian ke luar negeri dan menyaksikan sistem pembelajaran di luar negeri,
menginginkan murid Tomoe memiliki pengetahuan luas yang mencakup segala hal agar dapat mendukung masa depan mereka dan keinginan tersebut terwujud.
Tidak seperti sekolah-sekolah lain di Jepang yang masih berpikiran kuno Tomoe Gakuen merupakan satu-satunya sekolah dimana murid-muridnya tidak ingin pulang ke rumah meskipun jam pelajaran sudah usai.
Tomoe Gakuen juga memiliki mata pelajaran jalan-jalan dan senam ritmik yang di masa itu merupakan hal asing. Namun sang kepala sekolah berhasil
menerapkan hal tersebut pada murid-muridnya. Sayangnya, Tomoe Gakuen hanya
bertahan selama delapan tahun. Pada 1945, sekolah itu terbakar habis akibat
dihantam bom B-29 yang dijatuhkan Tentara Sekutu dan tak pernah dibangun
kembali. Adapun penggagas dan sekaligus pelaksana sekolah itu, Sosaku
Kobayashi meninggal dunia pada tahun 1963. Dia tak pernah lagi mendapat
kesempatan untuk menerapkan gagasannya yang orisinil dan revolusioner, yaitu
pendidikan berbasis kepribadian. Kelak, metode pendidikan tersebut terbukti
ampuh dengan berhasilnya hampir semua orang murid Tomoe Gakuen, baik dalam
bidang akademis maupun non-akademis.
Totto-chan atau Tetsuko Kuroyanagi sendiri kelak mempelajari opera di
Sekolah Musik Tokyo, kemudian menjadi aktris. Di tahun 1972, Kuroyanagi
belajar akting di New York sambil menulis artikel “From New York With Love’.
Sekembalinya ke Jepang, pada tahun 1975 Kuroyanagi membawakan acara
“Tetsuko no Heya”, acara talkshow pertama di televisi Jepang yang mendapat penghargaan tertinggi dalam dunia pertelevisian. Kuroyanagi kemudian
Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dan mengkaji permasalahan tersebut dengan judul Nilai-Nilai Edukatif (Nilai Nilai kepribadian dan Sosial) dalam Novel Madogiwa no Totto-Chan Karya Tetsuko Kuroyanagi.
1.1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang penulis bahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Struktur apa saja yang membangun novel Madogiwa no Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi yang meliputi tokoh dan penokohan; latar;
sudut pandang; alur cerita; tema?
2. Nilai-nilai edukatif apa saja yang tergambar dalam novel Madogiwa no Totto-Chankarya Tetsuko Kuroyanagi?
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur pembangun novel
yang terdiri dari, tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan pusat pengisahan.
Selain itu untuk mengetahui nilai-nilai edukatif (nilai kepribadian dan sosial)
yang terdapat dalam novel Madogiwa no Totto-Chan. Juga nilai-nilai edukatif apa
1.2.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah untuk membangun dan mengembangkan teori sastra. Adapun
manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menambah
khasanah keilmuan sastra Jepang yang lebih luas dan selanjutnya dapat
memberikan kontribusi sebagai rujukan atau bahan perbandingan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya mengenai telaah sastra Jepang.
1.3 Landasan Teori
Novel dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam, sedangkan unsur
ekstrinsik adalah unsur yang membangun dari luar. Unsur intrinsik dalam novel
seperti: penokohan (perwatakan), tema, alur (plot), pusat pengisahan, dan latar.
Sudjiman menjelaskan (1988:16-17), struktur yang membangun cerita
rekaan biasanya terdiri dari alur dan pengaluran, tema dan amanat, latar dan
pelataran, tokoh dan penokohan, serta pusat pengisahan. Sumardjo (1983:7)
berpendapat bahwa unsur-unsur yang membangun novel adalah plot (alur cerita),
perwatakan, tema, setting suasana cerita, sudut pandang dan gaya cerita.
Berdasarkan teori yang sudah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur pembangun novel akan lebih mudah dipahami apabila
dapat diperoleh pemahaman yang membantu menerapkan teori sosiologi dalam
novel.
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial
dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Karena objek yang diteliti
adalah karya sastra, maka peranan sosiologi disini adalah sebagai alat bantu untuk
mengungkapkan aspek sosial dalam karya sastra, yaitu novel. Menurut (Damono,
2002:3) sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, dengan menggunakan analisis teks
untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih
dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Hartoko dan Rahmanto (1986:129)
menjelaskan, sosiologi sastra adalah penafsiran teks secara sosiologis yaitu
menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra,
sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan.
Rene Wellek dan dan Austin Warren (1990:111) membagi telaah
sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang
mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang
menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang berkaitan dengan apa yang
tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak
disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang
1.4 Metode Penelitian 1.4.1 Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data penulis lakukan dengan menggunakan metode
studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu cara mengumpulkan data dengan
mempelajari informasi yang tertulis. Dalam studi pustaka, sumber pengumpulan
data terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, buku-buku atau bahan bacaan yang
memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang diteliti. Penulis
menggunakan buku-buku teori dan esai para ahli. Kedua, buku-buku yang harus
dibaca secara mendalam dan cermat. Penulis menggunakan novel Madogiwa no Totto-Chan karya Tetsukou Kuroyanagi sebagai bahan atau data utama dalam penelitian ini. Novel Madogiwa no Totto-Chan yang dibaca penulis diterbitkan Kondansha Ltd pada tahun 1984. Ketiga, bahan bacaan tambahan yang
menyediakan informasi untuk melengkapi penelitian ini. Penulis mencari bahan
bacaan tambahan melalui internet dan artikel.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan atas teks novel
Madogiwa no Totto-Chan. Dari proses pembacaan tersebut, penulis memperoleh bahan-bahan yang kemudian dibuat dalam bentuk kutipan-kutipan. Tujuan
pembacaan ini ialah untuk menemukan unsur intrinsik dan nilai-nilai edukatif
dalam novel.
1.4.2 Analisis Data
Dalam tahap analisis data, penulis akan menggunakan analisis struktural
menganalisis data, yaitu menganalisis novel Madogiwa no Totto-Chan dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca
dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya,
mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Madogiwa no Totto-Chan
yang mengandung unsur penokohan, tema, alur cerita, latar, dan amanat. Hasil
analisis dapat berupa kesimpulan penokohan, tema, alur cerita, latar, tema, dan
amanat.
Tahap berikutnya, menganalisis data. Analisis novel Madogiwa no
Totto-Chan dengan tinjauan sosiologi sastra. Analisis dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang diperoleh, kemudian mengelompokkan teks-teks
yang mengandung fakta sosial, yaitu pendidikan dalam novel Madogiwa no
Totto-Chan.
1.4.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam tahap penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu penyajian hasil analisis data dengan memaparkan atau
memberikan penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terinci atas hasil
unsur-unsur data penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian penulis paparkan dengan sistematika
sebagai berikut.
Bab 1 berisi pendahuluan meliputi, latar belakang dan rumusan masalah,
penulisan.
Bab 2 berisi tinjauan pustaka yaitu penelitian sebelumnya, struktur novel
yaitu pengertian struktur novel dan unsur pembangun novel antara lain tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, alur dan tema, kemudian pengertian sosiologi
sastra. Selanjutnya bab ini juga memaparkan pengertian nilai edukatif.
Bab 3 berisi analisis unsur intrinsik dalam novel Madogiwa no Totto-Chan dan pemaparan nilai-nilai edukatif dalam novel Madogiwa no Totto-Chan yang meliputi nilai-nilai kepribadian dan nilai-nilai sosial juga aplikasi nilai-nilai
edukatif novel Madogiwa no Totto-Chandalam dunia pendidikan.
Bab 4 berisi penutup yang mencakup simpulan. Pada bagian akhir
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA, STRUKTUR DAN NILAI EDUKATIF NOVEL
2.1 Penelitian Sebelumnya
Ada beberapa mahasiswa yang telah meneliti novel ini untuk penulisan skripsi
baik dari unsur tata bahasanya, psikoanalisis, dan sebagainya. Salah seorang
mahasiswa yang telah menulis skripsi tentang novel ini adalah mahasiswa
Universitas Sebelas Maret Surakarta jurusan ilmu komunikasi bernama Fidayanni
Karimawati. Judul skripsinya adalah Pendidikan Berbasis Kepribadian. Skripsi ini ditulis pada tahun 2010
Dalam skripsinya tersebut Fidayanni Karimawati membahasa tentang
sistem pendidikan humanis yang diterapkan di Tomoe Gakuen. Dalam
pembahasannya mengenai Fidayanni Karimawati menuliskan pesan setelah
menganalisis novel “Totto Chan: gadis Cilik di Jendela” melalui metode
semiotika yaitu sebagai berikut: (a) Memberi kebebasan pada anak untuk
berekspresi, (b) Menjaga dan memupuk bibit-bibit keberanian anak dalam
mengambil tindakan, (c) Menanamkan rasa percaya diri pada setiap anak,
terutama mereka yang memiliki hambatan fisik, (d) Menjaga mental murid, (e)
Memberikan pendidikan moral dan etika, (f) Memberikan pendidikan
kekeluargaan, (g) Memberikan pengalaman-pengalaman baru sebagai bekal untuk
masa depan, (h) Belajar sambil bermain, (i) Menanamkan rasa tanggung jawab, (j)
Pemberian reward yang berkesan.
Dalam skripsi ini memfokuskan penelitian pada analisis struktural dan
no Tottochan juga penerapan nilai edukatif dengan menggunakan teori sosiologi sastra.
2.2 Pengertian Struktur Novel
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam prosa
fiksi serta terdiri dari unsur-unsur pembangunan yang paling berkaitan antar satu
dengan ynag lain sehingga membentuk suatu wacana yang utuh. Jassin (1985: 78)
berpendapat sebagai karya imajinatif sastra berfungsi sebagai hiburan yang
menyenangkan juga berguna untuk menambah pengalaman batin bagi
pembacanya. Membicarakan sastra yang memiliki sifat imajinatif, kita berhadapan
dengan tiga jenis sastra yaitu prosa, puisi dan drama. Salah satu jenis prosa adalah
novel.
Sudjiman menjelaskan (1988:55) novel merupakan salah satu ragam
prosa di samping cerpen dan roman selain puisi dan drama. Novel merupakan
prosa rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian cerita dan latar belakang secara terstruktur.
Menurut Ratna (2004: 336) genre karya sastra, yaitu puisi, prosa dan
drama, genre prosalah, khususnys novel, yang dianggap paling dominan dalam
menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, antara lain: (a)
novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang
paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, (b)
bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum
mewujudkan, dan menyatakan pengalaman subyektif seorang pengarang.
Menurut Endraswara (2008: 51-52) memandang karya sastra sebagai
teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif, yaitu menekankan aspek
instrinsik karya sastra. Karya sastra, dalam hal ini novel, juga memiliki
unsur-unsur yang membangun baik dari dalam maupun dari luar. Aspek atau unsur-unsur
instrinsik merupakan segi yang membangun karya sastra dari dalam yang
mencakup tema, latar, dan alur.
Noor (2009:31) menjelaskan yang dimaksud segi instrinsik karya sastra
ialah unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra dari dalam. Dalam hal ini
novel sebagai salah satu genre karya sastra, narasi imajinatif tersusun atas
unsur-unsur instrinsik yang saling berkaitan. Selain itu karya sastra juga mengandung
unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar yang mempengaruhi isi karya sastra.
Unsur-unsur ekstrinsik itu misalnya psikologi, sosiologi, agama, sejarah, filsafat,
ideologi, politik, dan lain-lain
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa struktur pembangun novel
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Unsur yang membentuk karya sastra tersebut yaitu: penokohan, alur, pusat
pengisahan, latar, tema, dan sebagainya. Novel yang dibangun dari sejumlah
unsur akan saling berhubungan dan saling menentukan sehingga menyebabkan
novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna hidup.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
menjadi bagian didalamnya. Contoh unsur-unsur ekstrinsik adalah psikologi,
sosiologi, kebudayaan, moral, antropologi, filsafat, agama dan sebagainya
Menurut Sumardjo (1983:12) melalui unsur-unsur pembangun tersebut,
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan dihadirkan oleh pengarang dengan gaya yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut berasal dari nilai budaya suatu masyarakat yang
sangat mungkin mempengaruhi terciptanya karya sastra.
Pembaca untuk menangkap makna sebuah karya sastra harus mempunyai
bekal pengetahuan bahwa karya sastra terdiri dari unsur-unsur yang membentuk
karya sastra secara utuh. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan membentuk
sebuah totalitas karya sastra. Unsur-unsur tersebut kemudian menjadi struktur
karya sastra.
Berikut ini adalah penjelasan unsur-unsur intrinsik novel, tetapi untuk
kepentingan penelitian skripsi ini tidak akan dibahas seluruh unsur intrinsik novel
Madogiwa no Totto-chan. Unsur intrinsik tokoh dan penokohan; latar; sudut pandang; alur cerita; tema dan amanat saja yang akan dibahas sebagai dasar
melangkah kepada pembahasan gambaran nilai-nilai edukatif novel Madogiwa no
Totto-chan.
2.2.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam karya fiksi sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan
penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakterisasi secara
bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh
pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Sudjiman (1988: 79) menjelaskan bahwa tokoh ialah individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau berlakuan di pelbagai peristiwa dalam cerita.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2005: 23), tokoh adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tetap seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa cara pengarang
menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Jenis atau tipe tokoh dapat
dilihat melalui reaksi tokoh terhadap permasalahan (konflik) yang dihadapi dalam
cerita. Bagaimana seorang tokoh menghadapi sampai ke tahap penyelesaian
konflik yang terjadi akan menggambarkan karakter (watak) tokoh yang
bersangkutan.
2.2.2 Latar (setting)
Menurut Semi (1988:46) latar adalah lingkungan tempat terjadi, yang
termasuk dalam latar ini adalah tempat dan waktu atau peristiwa sejarah. Biasanya
latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca
tidak terlalu menghiraukan latar ini, karena lebih berpusat pada jalan ceritanya.
Kadang-kadang kita menemukan bahwa latar ini banyak mempengaruhi
penokohan dan kadang-kadang membentuk tema.
dalam lingkungan tertentu melainkan juga berupa suasana yang berhubungan
dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat
dalam menanggapi problema tertentu. Setting dalam bentuk yang terakhir dapat dimasukkan dalam setting yang bersifat psikologis.
Jadi latar merupakan pengambilan tempat, dan ruang kejadian yang
digambarkan oleh pengarang. Penggambaran latar yang tepat akan membuat cerita
lebih kuat dan hidup. Latar membantu pembaca membayangkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam cerita.
Menurut Nurgiyantoro, (2005: 227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu:
1. Latar tempat, yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi.
2. Latar waktu, berhubungan dengan peristiwa itu terjadi.
3. Latar sosial, menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan
masyarakat, adat-istiadat dan cara hidup.
2.2.3 Sudut Pandang
Menurut Nurgiyantoro (2005:248), sudut pandang (point of view) merupakan strategi yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi
memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.
Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh,
lewat kacamata tokoh cerita. Masih menurut Nurgiyantoro (2005:256)
membedakan sudut pandang. Pertanyaan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau
pertama, salah satu pelaku dengan ”aku”, atau seperti tak seorang pun)?
2. Dari posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan atau
berganti-ganti)?
3. Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan
ceritanya kepada pembaca (kata, pikiran, atau persepsi pengarang;
kata-kata, tindakan, pikiran, perasaan, atau persepsi tokoh)?
4. Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya (dekat, jauh, atau
berganti-ganti)?
Jadi dapat disimpulkan sudut pandang adalah cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.
2.2.4 Alur (Plot)
Semi (1988:43) menjelaskan alur atau plot adalah struktur rangkaian
kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang
sekaligus menandai urutan bagian-bagian keseluruhan bagian fiksi. Sedangkan
menurut Aminudin (1987:83) alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.
Jadi, alur adalah peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain
dengan adanya hubungan saling melengkapi. Alur atau plot adalah rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu
2.2.5 Tema
Menurut Aminudin (1987:91) tema dalam cerita fiksi adalah ide yang
medasari suatu cerita berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Seorang pengarang harus memahami
tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif
penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah
selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema
tersebut.
Semi menjelaskan (1988:42) tema tidak sama dengan topik, topik
mempunyai arti tempat, dalam tulisan atau karangan, topik berarti pokok
pembicaraan. Sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi karena wujud
tema dalam sastra, berpangkal kepada alasan tindak (kreatif tokoh).
Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
tersebut. Menentukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah
memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan.
2.3 Pengertian Sosiologi Sastra
Swingwood (melalui Faruk: 1994:1) berpendapat bahwa sosiologi
sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam msyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan
bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
Menurut Semi (1988:5) pengertian sosiologi adalah suatu telaah yang
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta
proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan
berkembang dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah
perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain. Kita mendapat gambaran tentang
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme
kemasyarakatannya serta proses pembudayaannya.
Pitrim Sorokin (melalui Supardan, 2008: 100), menerangkan bahwa
sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbul balik antara berbagai macam gejala sosial
(misalnya, antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral,
hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala nonsosial (misalnya,
gejala geografis, biologis, dan sebagainya);
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari hubungan manusia di dalam masyarakat. Sosiologi juga
menelaah hubungan antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan
budayanya, dan manusia dengan lembaga-lembaga sosial. Serta
perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dan dampak dari perubahan-perubahan sosial
tersebut dalam masyarakat.
Seperti halnya sosiologi yang berurusan dengan manusia dalam
diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang seorang, antar
manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering
menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
dengan masyarakat.
Dikemukakan Teeuw (1984:100) bahwa pemahaman karya sastra tidak
mungkin tanpa pengetahuan mengenai kebudayaan yang melatar belakangi karya
sastra dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahannya. Ian Wat
(melalui Damono 1984:3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra dan masyarakat. Oleh karena itu telaah sosiologi karya sastra akan
mencakup tiga hal:
a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat
dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk didalamnya
faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
disamping mempengaruhi isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cerminan masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini telaah dalam beberapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi
nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks
untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih
dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 1984:3).
Ratna (2004: 332-333) mengemukakan bahwa sastra memiliki kaitan erat
dengan masyarakat sebagai berikut:
a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin
oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota
masyarakat.
b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan
yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat
c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui
kompetansi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan
d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang
lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan logika.
Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Dalam buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1984:7), Damono menjelaskan:
ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial ini: hubungan manusia dengan keluargaya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya. Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik, yang juga menjadi urusan sosiologi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra
sebenarnya berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga
berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan
demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia
sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara,
ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Sosiologi dapat
memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra.
Adapun analisis sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan
cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra
dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang ada.
Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan mimetis yang memahami
karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan.
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu
pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan (sosial).
2.4 Pengertian Nilai edukatif
Comb (melalui Setiadi 2007: 123) menyebutkan bahwa nilai adalah
serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai. Mardiatmadja (1986: 54)
menegaskan bahwa, nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu
pantas untuk dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia atau pantas
dicintai, dihormati, dikagumi, atau yang berguna untuk satu tujuan.
Menurut Alwi (2007: 783) nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah
dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia yang bersifat
mendidik. Nilai dapat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, dan cara
bertindak seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Senada dengan Alwi Lasyo
(melalui Setiadi dkk, 2007: 123) menyebutkan nilai bagi manusia merupakan
landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.
Dari pendapat para ahli di atas ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah
keyakinan yang mampu mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap maupun cara
bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik. Nilai adalah
sifat yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki
setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai disini
dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah
dan jelek).
Adapun kata edukatif berasal dari bahasa Inggris educate, yang berarti
mengasuh atau mendidik, education artinya pendidikan. Montessori (melalui
Qomar, 2005: 49) menyatakan pendidikan memperkenalkan cara dan jalan kepada
peserta didik untuk membina dirinya sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara
(melalui Suhartono, 2008:44), pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar yang dilakukan manusia dalam upaya mengembangkan potensi-potensi
dalam diri seseorang menuju ke arah kedewasaan sehingga dapat berinteraksi
sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai edukatif adalah
batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun
buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses
pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu
tempat dan suatu waktu. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan pemahaman,
pemikiran, dan penikmatan karya sastra.
Karya sastra sebagai pengemban nilai-nilai pendidikan diharapkan
keberfungsiannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap cara berpikir
pembaca mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini disebabkan karena
karya sastra merupakan salah satu sarana mendidik diri serta orang lain sebagai
unsur anggota masyarakat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai edukatif
akan digambarkan dari tokoh novel Madogiwa no Tottochan. Yang berarti nilai edukatif yang dapat dipelajari atau diteladani oleh pembaca atau pun penikmat
2.4.1 Nilai-Nilai Kepribadian
Menurut Gordon Allport (melalui Alwisol 2007: 19) kepribadian adalah
suatu organisasi yang dinamis dari sistem psiko-fisik indvidu yang menentukan
tingkah laku dan pemikiran indvidu secara khas. Terjadinya Interaksi psiko-fisik
mengarahkan tingkah laku manusia. Maksud dinamis pada pengertian tersebut
adalah perilaku mungkin saja berubah-ubah melalui proses pembelajaran atau
melalui pengalaman-pengalaman, hadiah, hukuman, dan pendidikan.
Koentjaraningrat (melalui Edy Purwito 1995: 63) menjelaskan kepribadian
adalah ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan
kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Seseorang yang dianggap
punya kepribadian, biasanya orang tersebut mempunyai beberapa ciri watak yang
diperlihatkannya secara lahir, konsisten dan konsekuen dalam tingkah lakunya
sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda
dengan individu-individu lainnya.
Hipocrates (melalui Sumadi 2007: 185) membagi kepribadian menjadi 4
kelompok besar yaitu:
a. Sanguin, sanguin adalah orang yang gembira, yang senang hatinya, mudah
untuk membuat orang tertawa, dan bisa memberi semangat pada orang lain.
b. Plegmatik, tipe plegmatik adalah orang yang cenderung tenang, dari luar
cenderung tidak beremosi, tidak menampakkan perasaan sedih atau senang.
Naik turun emosinya itu tidak nampak dengan jelas. Orang ini memang
memikirkan ke dalam, bisa melihat, menatap dan memikirkan
masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
c. Melankolik, tipe melankolik adalah orang yang terobsesi dengan karya yang
paling bagus, yang paling sempurna dan dia memang adalah seseorang yang
mengerti estetika keindahan hidup ini. Perasaannya sangat kuat, sangat
sensitif maka kita bisa menyimpulkan bahwa cukup banyak seniman yang
memang berdarah melankolik.
d. Kolerik, seseorang yang kolerik adalah seseorang yang dikatakan
berorientasi pada pekerjaan dan tugas, dia adalah seseorang yang
mempunyai disiplin kerja yang sangat tinggi. Kelebihannya adalah dia bisa
melaksanakan tugas dengan setia dan akan bertanggung jawab dengan tugas
yang diembannya.
Abin Syamsuddin (2003: 43) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku,
konsisten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya
mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap yaitu sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau
ambivalen.
Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap
rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah,
Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko
dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko
secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Seperti sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kepribadian adalah nilai baik dan
buruk perilaku dan kebiasaan individu. Kebiasaan dan perilaku tersebut digunakan
untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar
maupun dari dalam. Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan
fungsional yang khas pada seseorang.
2.4.2 Nilai-Nilai Sosial
Menurut Rosyadi (1995: 80) sosial berarti hal-hal yang berkenaan dengan
masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat
diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap
seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya
dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar
individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan
kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan. Nilai pendidikan sosial akan
menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan
kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara
mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk
dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam
coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga
keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi
masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri
tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar
berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai
sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk
mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran,
keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai
kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang
mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial
merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat
dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
Novel merupakan wadah dari ide, gagasan, serta pemikiran seorang
pengarang mengenai gejala sosial yang ditangkap dan dialami pengarang yang
kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra. Novel terkait erat dengan ilmu
sosial yang di dalamnya mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Dalam
Novel terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang. Salah satu pesan
BAB 3
ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN NILAI-NILAI EDUKATIF NOVEL MADOGIWA NO TOTTO-CHAN
3.1. Analisis Unsur Intrinsik NovelMadogiwano Totto-chan 3.1.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Penokohan adalah cara-cara
menampilkan tokoh. Dalam novel Madogiwa no Totto-Chan ini yang muncul adalah tokoh utama protagonis, tokoh tambahan protagonis dan tokoh antagonis.
Penokohan adalah tekhnik menampilkan tokoh. Penokohan terbagi menjadi dua
yaitu, analitik dan dramatik. Analitik adalah cara menampilkan tokoh secara
langsung melalui uraian pengarang. Cara dramatik ialah cara menampilkan tokoh
tidak secara langsung tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan dan komentar.
3.1.1.1 Tokoh
Tokoh utama protagonis adalah tokoh yang sering muncul dan disuka
pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Dalam novel ini terdiri dari
tiga tokoh utama protagonis yaitu: Totto-Chan, Mama, Sosaku Kobayashi.
Sedangkan tokoh tambahan protagonis terdiri dari tiga belas tokoh yaitu, Papa,
Yasuaki Yamamoto, istri kepala sekolah, Akira Takahashi, Miyo chan, Sakko
Matsuyama, Taiji Yamanouchi, Kunio Ôei, Kazuo Amadera, Aiko Zaisho, Keiko
Aogi, Yoichi Migita, Ryo chan, dan Maruyama. Tokoh antagonis dalam novel ini
3.1.1.2 Penokohan A. Totto-chan
Totto-Chan adalah seorang anak yang cerdas, dia suka mendengarkan
rakugo, dan mengerti cerita dari rakugo sehingga ia tertawa sendiri. Rakugo adalah seni bercerita tradisional Jepang yang mengisahkan cerita humor yang
dibangun dari dialog dengan klimaks cerita yang tidak terduga. Cerita dikisahkan
sedemikian rupa sehinga di akhir cerita ada klimaks yang membuat penonton
tertawa. Rakugo menggunakan bahasa Jepang klasik yang saat itu sulit dicerna oleh anak-anak.
それ以外、落語を聞くのは、パパとママが留守のとき、秘密に、と いうことになった。噺家が上手だと、トットちゃんは、大声で笑っ てしまう。もし、誰か大人が、この様子を見ていたら、『よく、こ んな小さい子が、このむずかしい話で笑うな』と思ったかもしれな いけど、実際の話、子供は、どんなに幼く見えても、本当に面白い ものは、絶対に、わかるものだった。(Totto-Chan, 1984: 77 )
Sore igai, rakugo wo kiku no wa, papa to mama ga rusu no toki, himitsu ni, toiu koto ni natta. Hanashika ga jouzu dato, totto-chan wa, õgoe de waratteshimau. Moshi, dareka otona ga, kono yousu wo miteitara, “yoku, konna chiisai ko ga, kono muzukashii hanashi de warauna” to omotta kamoshirenaikedo, jissai no hanashi, kodomo wa, donna ni osanaku mietemo, hontouni omoshiroi monowa, zettaini, wakaru mono datta. Sejak saat itu acara mendengarkan Rakugo menjadi kegiatan rahasia yang hanya bisa dilakukan pada waktu papa dan mama sedang keluar rumah. Kalau penuturnya pandai, Totto sering tertawa terbahak-bahak. Bila seorang dewasa memergoki hal seperti itu mungkin orang itu bertanya,” masak anak sekecil ini bisa tertawa-tawa mendengarkan cerita yang sulit”. Tapi kenyataannya, meskipun anak itu kelihatannya masih kecil sekali, ia bisa mengerti hal-hal yang lucu. (Totto-Chan, 1986: 47)
Totto-Chan juga seorang anak yang ramah dan suka menolong, sehingga
banyak disukai teman-temannya. Ketika ada hewan yang terlukapun, ia tak segan
たしかにトットちゃんはいい子のところもたくさんあった。みんな shinsetsudattashi, tokuni niku taiteki handikyappu ga aru tameni, yoso no gakkou no ko ni ijimeraretarisuru tomodachino tameniwa, hokano gakkou seito ni mumoyaburi tsuiteite, jibun ga nakasaretemo, souiuko no chikara ni narouto shitashi, kega wo shitadoubutsu wo mitsukeruto, hisshi de kanbyou mo shita. Demo douji ni, mezurashii monoya, kyoumi no aru koto wo mitsuketa tokini wa, sono jibun no yoshimiyadorikikokoro mitasu tameni, senseitachi, bikkurisuru youna jiken wo, ikutsu mo okoshiteita. Memang Totto mempunyai banyak kelebihan. Dia ramah dan suka membantu taman-teman. Terutama untuk teman yang mempunyai cacat fisik yang sering diganggu oleh anak-anak sekolah lain. Ia berusaha menolongnya. Kalau perlu ia sampai berkelahi walaupun akibatnya ia sendiri yang menangis. Kalau ia menemukan binatang yang terluka, akan dirawatnya dengan mati-matian. Tapi disamping itu, untuk memuaskan keigintahuan yang meluap, ia telah menimbulkan kejadian beberapa kejadian yang mengejutkan para guru. (Totto-Chan, 1986: 130)
...”等々力渓谷“と呼ばれる所があり、そこで、御飯をたいて食べ taberu no da, rikai shita no datta.
(sore ni shitemo) To mama wa omotta.
(Konna muzukashii kotoba wo, yoku okueru koto. Kodomo to iu no wa, jibun no kyoumi no aru koto nara, shikkari, okueru mono na none.
(Hangosuisan). Tapi mama juga heran anaknya bisa menghafal kata-kata yang demikian rumit itu. Mama menjadi kagum, anak kecilpun bisa menghapal kata-kata sulit dengan tepat jika hal itu menarik baginya. (Totto-Chan, 1986:127)
Seorang bocah yang aktif, cerdas dan memiliki keingintahuan pada
hal-hal yang dianggap menarik. Terdapat pada narasi:
そこまで聞いて、ママには、トットちゃんが、なんで、学校の机を、
Soko made kiite, mama ni wa, totto-chan ga, nande, gakkou no tsukue wo, sonna ni aketarisurunoka, chanto wakatta. Toiu no wa, hajimete gakkou ni itte kaette kita hi ni, totto-chan ga, hidoku koufunshite, kou mama ni houkoku shita koto wo omoidashita kara datta. “Nee, gakkotte sugoino. Ie no tsukue no hikidashi wa, konnafuu ni, hipparuno dakedo, gakkouno wa futa ga ue ni agaru no. Gomibako to onaji nandakedo, motto tsurutsuru de, ironna mono ga, shimaete, tottemo iinda”
Setelah mendengar sampai disitu, mama mulai mengerti mengapa Totto membuka dan menutup meja begitu sering, Mama teringat kembali waktu Totto baru pertama kali masuk sekolah. Ketika pulang ia bercerita sangat gembira kepada mama.
“Mama, hebat sekali sekolah itu. Semua laci meja rumah ditarik kedepan begini, tapi meja di sekolah penutupnya bisa diangkat keatas. Sama seperti penutup tempat sampah. Tetapi lebih licin dan sangat bagus karena bisa menyimpan bermaca-macam barang. (Totto-Chan, 1986:11)
B. Mama
Mama seorang ibu yang bijaksana, sabar dan penuh perhatian terhadap
putrinya. Terlihat pada narasi:
そしてママが、あっちこっち、かけずりまわって見つけたのが、こ
この 退学の ことを トットちゃんに 話していなかった。話し
Soshite mama ga, acchikocchi, kakezurimawatte mitsuketanoga, korekara ikou toshite irugakkou, toiu wake dattanoda. Mama wa, kono taigaku no koto wo totto-chan ni hanashiteinakatta. Hanashisomo, nani ga ikenakattanoka, wakaranai daroushi, mada sonna kotode, tottochan ga, konpurekkusu wo motsunomo , yokunai to omottakara, (itsuka, ookikunattara, hanashimashou) to, kimeteita. Tada tottochanni wa, kouitta. “atarashii gakkou ni itteminai? Ii gakkou dattehanashiyou”
Sekolah yang sedang dituju inilah yang terakhir bisa ditemukan mama setelah bersusah payah mencari kesana-sini. Mama memang tidak menceritakan perihal dikeluarkannya Totto dari sekolah tersebut kepada anak itu. Ia berpikir bahwa Totto tidak akan mengerti. Mama juga tidak ingin anaknya nanti merasa rendah diri. Jadi ia memutuskan akan menceritakan hal itu kelak jika Totto sudah besar. Mama hanya mengatakan,”Apakah kau mau belajar di sekolah lain? Sekolah itu bagus, katanya.”
C. Sosaku Kobayashi
Sosaku Kobayashi kepala sekolah SD Tomoeusianya sudah separuh baya,
dan memiliki kepala yang nyaris botak.
トットちゃんとママが 入っていくと、部屋の中にいた男の人が椅 kara tachi agatta. Sono hito wa, atama noke ga usuku natteite, mae hou no ha ga nuketeite, kao no kesshoku ga yoku, sei wa amari takakunai kedo kata ya udeka gacchirishiteite, yoro yoro no kuro no mittsu wo kichin to kiiteita.
depannya sudah ompong tetapi raut mukanya ramah . Meskipun tinginya tidak seberapa, bahu dan lengannya kekar. Ia mengenakan baju berwarna gelap namun kesannya rapi. (Totto-Chan, 1986:19)
Kobayashi sensei, seorang pendidik yang sabar, bersedia meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah anak didiknya,
トットちゃんは、このとき、まだ 時計が 読めなかったんだけど、
それでも長い時間 と思ったくらいなんだから、もし読めたら、ビ
ックリしたに違いない。そして、もっと先生に感謝したに 違いな
い。(Totto-Chan, 1984: 34)
Totto chan wa, kono toki,mada tokei ga yomenakattandakedo, soredemo nagai jikan to omotta kurai nandakara, moshi yometara, bikkurishita ni chigainai.
Jadi, kepala sekolah telah mendengarkan cerita totto selama empat jam penuh. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada orang dewasa yang mau mendengarkan cerita totto dengan sesungguh hati kecuali kepala sekolah ini.(Totto-chan, 1986: 21)
Kobayashi sensei juga seorang yang bijaksana dan bisa memahami karakteristik anak-anak. Sosok kepala sekolah hangat dan akrab menghadapi anak
didiknya.
Futsū nara, kono Tottochan no, shiteiru koto wo mitsuketa toki, “Nanteiu koto wo shiteirunda”toka “abunai kara, yamenasai” to, taigai no otona wa, iu hito mo iru ni chigainakatta. Sore nanoni, “Owattara minna, modoshite okeyo”to todoke itta kouchou sensei wa, (Nante, subarashii) to mama wa, kono hanashi wo Tottochan kara kiite ootta.
hentikan itu!”Sebaliknya, mungkin juga ada yang menawarkan diri “Mau nggak kalau dibantu bapak?” Tetapi kepala sekolah hanya berkata, “Nanti kembalikaan lagi ketempatnya, ya?”
Mendengar cerita ini dari Totto mama berpendapat alangkah bijaksananya bapak kepala sekolah. (Totto-Chan, 1986: 44) chi no kodomo to chigatte, hitori dake, chotto, tsumetai me de mirareteiru youna mono wo, oborugeni kanjiteita. Sore ga, kono kouchou sensei to iru to, anshin de, atatakakute, kimochi ga yokatta.
(Kono hito nara, zutto isshouni ni ite mo ii)
Kore ga, kouchou sensei wa kobayashikansakushi hajimete tsuttahi Tottochan ga kanjita, kansou wo, sono toki, motteita no datta.
Tetapi bersama kepala sekolah ini, ia merasa aman, hangat dan menyenangkan. Ia berpikir, kalau dengan orang ini saya bisa akrab selama-lamanya. Inilah kesan pertama Totto bertemu dengan kapala sekolah, Pak Sosaku Kobayashi. Dan alangkah untungnya, kepala sekolahpun mendapatkan kesan yang sama seperti yang dirasakan Totto. (Totto-Chan, 1986: 22)
D. Papa
Papa pandai bermain biola, dan merupakan concertmaster sebuah orkestra musik yang terkenal. Totto-chan sering diajak papa ke gedung tempat
orkestra papa berlatih. Sikapnya tenang dan selalu memberi keputusan yang
bijaksana. Sangat sayang pada putri semata wayangnya, hingga kadang-kadang
トットちゃんの パパは、 オーケストラの、コンサート.マスタ
ーだった。コンサート.っていうのは、ヴァイオリンを弾くんだけ
ど、トットちゃんが面白いと思った。....(Totto-Chan, 1984: 106) Totto chan no papa wa, õkesutora no, konsâto masutâ datta. Konsâtotte iunowa, baiorin wo hikun dakedo, Totto-chan ga omoshiroi to omotta. Papa Totto menjabat sebagai pimpinan orkes serta mamainkan biola. Pernah Totto merasa lucu pada waktu dibawa ke konser. (Totto-chan,
Sonna toki, Papa ni dareka kara, hanashi ga atta. Sore wa, gunjukoujou to iu, heiki toka, sono hoka sensou de tsukau mono wo tsukutteiru tokoro ni itte, gunka wo baiorin de hiku, kaerini, osatou toka, okome toka, yõkan nadoga, moraeru, toiu futsuu nara, mimi yori no hanashi datta. Toku ni sono koro“yūshūongakuka” toiu koto de hyoushou sareta. Papa wa, baiorinisuto toshite yūmei dattakara...
Pada situasi seperti itu, ada tawaran dari seseorang untuk papa. Kalau mau memainkan lagu-lagu militer dengan biola di pabrik amunisi yang memproduksi senjata dan alat-alat perang lain, imbalannya gula, beras, kue yokan ( semacam kue agar-agar dari kacang merah) dan lain-lain. Tawaran seperti itu bagi orang awam sangat menggiurkan. Apalagi papa telah memperoleh penghargaan sebagai “ pemusik teladan” dan terkenal sebagai pemain biola yang hebat....” (Totto-Chan,1986:162)
E. Yasuaki Yamamoto
Teman pertama Totto-chan di Tomoe. Yasuaki-chan adalah seorang anak
lelaki yang berperawakan kecil dan lemah. Yasuaki-chan menderita polio yang
membuat kaki dan tangannya tidak tumbuh dengan sempurna. Jari-jari tangannya
menderita polio, Yasuaki-chan adalah anak yang ramah, pintar, tenang, dan
Sono ko wa, yasashi koe de shizukani kotaeta. Totemo rikou sou na koeda. “Boku, shounimahi nanda”
“Shounimahi”
Totto chan wa, sore made, sou iu kotoba wo kiita koto ga nakattakara, kikikaeshita. Sono ko wa, sukoshi chiisai koe de itta.
“Sou, shounimahi. Ashi dake janai. Te date…”
Sou iu to, sono ko wa, nagai yubi to yubi ga, kuttsuitte, kyoku ga tsutamitai ni natta te wo dashita. Totto chan wa, sono hidarite wo minagara,
“Naoranaino?”
To shinpai natte kiita. Sono ko wa, damatteita. Tottochan wa, warui koto wo kiita noka to kanashikunatta. Suru to, sono ko wa, akarui koe de itta. “Boku no namae wa, Yamamoto Yasuaki. Kimi wa?
Ia menjawab tenang dengan suara yang lembut seakan-akan mencerminkan otaknya yang cerdas, “Karena aku sakit polio.”Totto belum pernah mendengar kata itu. Jadi ia bertanya lagi, “P-o-l-i-o?”
Anak itu berkata dengan suara yan kecil, “Ya, polio. Tidak hanya di kaki saja. Tangan juga....”
Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan tangannya dengan jari-jarinya yang panjang saling melekat dan bengkok. Melihat tangan kiri anak itu, Totto khawatir dan bertanya,”Tidak bisa sembuh?”
F. Akira Takahashi
Murid baru SD Tomoe yang datang setelah Totto-chan. Takahashi, yang berasal dari Osaka, memiliki ukuran tubuh yang cenderung kecil untuk anak
laki-laki seumurannya. Kakinya sangat pendek dan melengkung ke dalam.
Pertumbuhan Takahashi sudah berhenti, dan dia tahu akan hal tersebut. Dalam
perjalanannya menuju sekolah, Takahashi selalu diledek oleh anak-anak dari
sekolah lain. Pada awalnya dia merasa tertekan. Tetapi lama kelamaan dia tetap
ceria dan percaya diri karena dukungan dan sikap ramah dari kepala sekolah dan
teman-temannya.
Tottochan tachi mo, mada ichinensei de chiisakatta kedo, Takahashikun wa otoko no ko nanoni, senaka ga unto hikukattashi, te ya ashi mo mijikakatta. Boushi wo niitteru te mo chiisakatta. Demo katahaba wa gasshirishiteita. Takahashikun wa, kokoro hoso souni tatteita. Tottochan wa, Miyochan, sattoitte Takahashikun n chikazuita. Tottochantachi ga chikazuuto, Takahashikun wa, hito natsukko souni waratta. Dakara, Tottochantachi mo sugu waratta. Takahashikun no me wa kuri kurishite, nanika wo hanashita souni shiteiru me data.
いまトットちゃんには、『早く!』っていわなくても、高橋君の急
いでいることか、よくわかった。高橋君は、とても短くて、ガニ股また
の形に曲がっていたのだった。先生や大人には、高橋君の 身 長しんちょうが、
このまま止まってしまう、とわかっていた。(Totto-Chan, 1984: 134-135)
Ima Tottochan ni wa, “Hayaku!” tte iwanakutemo, Takahashikun no isoideiru kotoka, yokuwakatta. Takahashikun wa, totemo mijikakute, gani mata no kyokugatteitano data. Sensei ya otona ni wa, Takahashikun shinchou ga, kono mama tomatte shimau, to wakatteita.
Totto sudah tahu bahwa tanpa didesak lagipun Takahashi sudah terburu-buru mau datang. Kaki Takahashi sangat pendek dan pengkor ke luar. Para guru serta orang-orang dewasa lainnya tahu bahwa tinggi badan Takahashi sudah tidak akan bertambah lagi. (Totto-Chan, 1986: 83)
G. Miyo-chan
Miyo-chan adalah putri ketiga Kepala Sekolah dan salah satu sahabat
terdekat Totto-chan yang berada di kelas yang sama dengannya. Sebagai anak
Kepala Sekolah, Miyo-chan seringkali memberi informasi baru seputar sekolah
kepada teman-temannya. Misalnya saja ketika akan ada gerbong tambahan yang
datang pada malam hari. Miyo-chan memberitahukan hal itu kepada
teman-temannya, termasuk Totto-chan.
今日、学校の昼休みに、
『今晩、新しい電車、来るわよ』
と、ミヨちゃんが、いった。ミヨちゃんは、校張の先生の三番目の
娘で、トットちゃんと 同 級どうきゅうだった。
教室用の電車は、すでに校庭こうていに六台、並んでいたけれど,もう一台
来るという。しかしも、それは、『図書室用の電車』とミヨちゃん
は、教えてくれた。みんなすっかり興奮こうふんしてしまった。そのとき、
誰かが、いった。『どこを走って学校に来るのかなあ....』(
Totto-Chan, 1984: 78)
“Konban, atarashii densha, kuruwayo”
To, Miyochan ga, itta. Miyochan wa, kouchou no sensei no sanban me no musume de, Tottochan to doukyū datta.
Kyoushitsuyou no densha wa, sude ni kotei ni rokudai, narande itakeredo, mou ichidai kuru to iu. Shikashimo, sore wa, “Toshoshitsuyou no densha” to Miochan wa, oshiete kureta. Minna sukkari koufunshite shimatta. Sono toki, dareka ga, itta. “Doko wo hashitte gakkou ni kuru no kanaa…”
Tadi siang pada waktu istirahat, Miyo memberitahu,”Nanti malam kereta listrik yang baru akan datang kesini.”
Miyo adalah putri ke tiga pak kepala sekolah dan teman sekelas Totto. Gerbong kereta listrik yang digunakan sebagai ruang kelas ada enam buah. Semuanya dipajang di sekolah. Tapi katanya sekarang mau ditambah satu gerbong lagi. Menurut Miyo, gerbong baru itu untuk ruang perpustakaan. Semuanya menjadi sangat bergairah. Tiba-tiba seorang anak bertanya, “Lewat mana kereta itu datang ke sekolah, ya...?” (Totto-Chan, 1986: 47)
H. Taiji Yamanouchi
Murid Tomoe yang pandai fisika dan berhitung. Tai-chan sangat suka melakukan banyak hal dengan gelas-gelas kimia di kelas dan memberi tahu
teman-temannya banyak hal baru. Tai-chan adalah cinta pertama Totto-chan.
I. Kunio Ôei
Ôei adalah anak laki-laki yang suka menjahili temannya. Dia menarik
kepang Totto-chan. Dia merupakan anak dari keluarga tradisional Jepang yang
menganggap anak laki-laki adalah yang paling penting di keluarga. Karena itu,
Ôei sangat heran ketika dia diminta untuk minta maaf pada Totto-chan, dan
dinasehati agar selalu menjaga anak perempuan oleh kepala sekolah.
すると大栄君は、トットちゃんのそばに来て、いきなり両手で、お さげをつかむと、
『ああ、今日は疲れたから,ぶら下さがるのにちょうどいい。電車の、
つり革よりラクチンだ!』
と歌うようにいったのだった。そして、トットちゃんのかなしみは、 それだけでは終わらなかった。というのは、大 栄君は、クラス中 でも、一番体が大きく肥っていた。だから、やせてて小さいトット の倍くらいあるようにみえた。その大栄君が、『ラクチンだ』 (Totto-chan, 1984: 180)
Suruto Ôeikun wa, Tottochan no soba ni kite, ikinari ryoute de, osage wo tsukamu to,
“Aa, kyou wa tsukaretakara, burasagaru noni choudo ii. Densha no, tsuri kawa yori rakuchinda!”
To utauyouni ittano data. Soshite, Tottochan no kanashimi wa, sore dakede wa owaranakatta. Toiunowa, Ôeikun wa, kurasu naka demo, ichiban karada ga õkiku futotteita. Dakara, yasetete chiisai Totto no bai kurai aruyouni mieta. Sono Ôeikun ga, “Rakuchinda”
Lantas Ôei menghampiri Totto dansecara tiba-tiba memegang kepangnya dengan kedua tangan dan berkata dengan nada bernyanyi, “Aah, hari ini saya sudah capai. Ini cocok untuk bergantung. Lebih enak daripada pegangan kulit di kereta listrik!”
J. Ryo-chan
Ryo-chan adalah penjaga sekolah yang pendiam. Dia juga seorang yang
ramah dan suka menolong sehingga sangat disayangi semua murid Tomoe.
Ryo-chan dipanggil ke medan perang, tapi kemudian kembali dengan selamat.
トモエで、みんなから人気のある、小使いさんの良ちゃんが、とう dattakedo, minna wa, shitashimi wo komete, “Ryou chan!!”
To yonda. Soshite, Ryouchan wa, minna ga komatta toki no, tasuke no kamisama data. Ryouchan wa, nandemo dekita. Itsumo, damatte waratteiru kedo, komatte tasuke no iru ko no hitsuyou to suru mono wo,sugu,wakatte kureta. Tottochan ga, toire no kumitori kuchi no, jimen ni aru konkuriito no futa ga, kite iru noni ki ga tsukanakute, tooku kara hashittekite, mune made doppuri, ochitsu kochita toki mo, sugu tasukete kurete, iyagari mo shinaide aratte kureta mono, Ryouchan datta.
Akhirnya paman Ryo pesuruh sekolah yang disukai semua orang di Tomoe harus pergi ke medan perang. Meskipun ia jauh lebih tua daripada semua murid yang sudah dewasa anak-anak memanggilnya dengan sapaan akrab seperti teman sebaya saja layaknya : “Ryo-chan!!
3.1.2. Latar
3.1.2.1 Latar tempat
Novel Madogiwa no Totto-Chanmempunyai latar tempat di kota kecil di
Prefektur Tokyo.
自由が丘の駅で、大井町線から降りると、ママは、トットちゃんの 手をひっぱって、改札口を出ようとした....(Totto-chan, 1984: 11) Jiyugaoka no eki de, oimachisen kara oriruto, mama wa, Tottochan no te wo hippatte, kaisatsuuchi wo deyoutoshita...
Totto dan mamanya turun dari kereta Oimachi di stasiun Jiyugaoka. Mama menggandeng tangan si Totto dan mereka keluar melalui pintu pemeriksaan karcis stasiun...(Totto-chan, 1986: 29)
Penggambaran yang paling sering muncul adalah SD Tomoe, tempat
Totto-chan belajar.
たしかに、その二本の門は、根つこのある木だった。トットちゃん は、門に近づくと、いきなり顔を、ななめにした。なぜかといえば、 門にぶらさげてある学校の名前を書いた札が、風に吹かれた、なな め に な っ て い たか らだ っ た 。 「 ト モ エ がく え ん 」 (Totto-chan, 1984: 24)
Tashikani, sono nihon no mon wa, nekkono aru ki datta. Totto-chan wa. Mon ni chikazukuto, ikinari kao wo, nanamenishita. Nazekato ieba, mon ni burasagete aru gakkou no namae wo kaita fuda ga, kaze ni fukareta, nanameni natteitakaradatta. “Tomoe gakuen”
Totto menghampiri pintu gerbang itu dan tiba-tiba menelengkan kepalanya. Soalnya papan nama sekolah tergantung miring. Barangkali tertiup angin. Nama sekolah itu terbaca SEKOLAH TOMOE. (Totto-chan, 1986: 16)
3.1.2.2 Latar Waktu
Sedangkan untuk penggambaran waktu, novel Madogiwa no Totto-Chan
menggambarkan waktu selama Totto-chan belajar di SD Tomoe, yaitu selama
itu Totto-chan pertama kali masuk SD, sampai dengan meletusnya perang dunia
ke dua. Saat itu juga terjadi penindasan bangsa Yahudi yang dilakukan Hittler.
新しい学校の門をくぐる前に、トットちゃんのママが、なぜ不安な のかを説明すると、それはトットちゃんが小学校一年なのにかかわ らず、すでに学校を退学になったからだった...( Totto-chan, 1984: 14)
Atarashii gakkouno mon wo kuguru mae ni, Totto-chan no mama ga, naze fuan nanoka wo setsumeisuruto, sore wa Totto-chan ga shougakkou ichi nen nanoni kakawarazu, sudeni gakkou wo taigaku ni natta kara datta. Didepan mereka, di kejauhan, mulai tampak samar-samar pintu gerbang sekolah kecil. Mama memang pantas khawatir. Totto baru masuk di sekolahnya yang lama dan dikeluarkan, padahal baru kelas satu!...(Totto-chan,1986: 10)
Rõzenshutokkusan wa, Yõzefu Rozenshutokku toitte, Yoroppadewa, totemo yūmeina shidousha dattandakedo, Hittorâ toiuga, kowai koto wo shiyouto suru node, ongaku, tsuzukeru tameni, nigete, konna tõi nihon made kita noda, to Papa ga setsumeishitekureta. Papa wa, Rõzenshutokkusan wo sonkei shiteiru toitta. Tottochan ni wa, mada sekaijõsei ga wakaranakattakedo, kono yubi, sudeni, Hittorâ wa, Yudayajin no danatsu wo hajimatteitano datta.