BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Remaja
1.1. Defenisi Remaja
Remaja adalah periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa anak-anak menuju dewasa biasanya antara usia 13-20
tahun (Potter & Perry, 2005). Remaja terdiri dari tiga periode yakni remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir dan ditandai dengan masing-masing
karakteristik dari biologis, psikososial dan isu sosial (Kliegman et al, 2011). 1.1.1 Remaja awal
Perkembangan remaja awal menurut Kliegman dan koleganya
(2011).
1. Perkembangan biologis
Remaja didefinisikan sebagai periode perkembangan, pubertas adalah proses biologis yang mana terjadi perubahan anak-anak menjadi orang dewasa. Perubahan biologis mencakup
perubahan dari karakteristik seksual sekunder, perubahan ukuran tubuh, perkembangan kapasitas reproduksi. Perubahan yang
pertama sekali tampak pada remaja putri pada masa pubertas adalah pertumbuhan payudara antara usia 8 sampai 12 tahun.
2. Perkembangan kognitif dan moral.
Remaja awal digambarkan sebagai masa transisi dari
pemikiran konkret operasional menjadi pemikiran logika formal atau
pemikiran abstrak, proses lain yang penting tetapi memiliki kontribusi
berbeda adalah kemampuan kognitif yakni alasan dan pendapat
(proses berfikir tentang konsekuensi dari sebuah keputusan atau
tindakan). Proses ini mungkin berkembang berbeda pada setiap
remaja, remaja awal biasanya mengaplikasikan pada tugas sekolah,
tapi tidak pada dilema pribadi. Perkembangan moral masih mengikuti
adat istiadat yang berlaku pada lingkungan remaja dan belum
sempurna.
3. Konsep diri
Kesadaran diri meningkat secara bertahap dalam menanggapi
perubahan somatik pubertas. Kesadaran diri pada usia ini berpusat
pada karakteristik eksternal, bagi remaja awal normal jika senang
memperhatikan perubahan tubuh, perubahan wajah, dan merasa
bahwa semua orang memperhatikannya.
4. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat.
Pada remaja awal, aktivitas orang tua menjadi kurang menarik
bagi remaja dan lebih tertarik pada hubungan sebaya terutama dengan
hubungan dengan teman sebaya berkontribusi untuk memandirikan
anak dari orang tua.
5. Seksualitas
Kecemasan dan ketertarikan pada seks dan anatomi seksual
meningkat selama masa awal pubertas. Remaja awal sangat normal
jika membandingkan dirinya dengan orang lain. Remaja awal
kadang-kadang melakukan masturbasi.
1.1.2 Remaja tengah
Kliegman dan koleganya (2011) menjelaskan tentang perkembangan
anak usia remaja tengah
1. Perkembangan biologis
Kecepatan pertumbuhan sebelum masa pubertas adalah 6-7cm
per tahun selama masa remaja tengah. Rata-rata puncak pertumbuhan
remaja putri pada usia 11,5 tahun yakni pada pertumbuhan 8,3cm per
tahun kemudian melambat dan berhenti pada usia 16 tahun.
Menarche 95% terjadi pada remaja putri saat usia 10,5-14,,5 tahun.
Pada umumnya terjadi siklus anovulatory selama 1-2 tahun setelah
menarche. Waktu menarche sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab adalah
faktor genetik, status nutrisi, tipe dan jumlah dari kegiatan fisik yang
2. Perkembangan kognitif dan moral
Remaja tengah menjadi transisi perubahan pola fikir menjadi
berfikir logis, pada masa ini remaja mulai bertanya dan menganalisa
secara ekstensif. Remaja saat ini memiliki kemampuan kognitif untuk
memahami keruwetan dunia yang mereka jalani, refleksi diri, melihat
ke dalam diri mereka sendiri, dan mulai memahami tentang tindakan
dalam konteks moral dan legal. Kebiasaan moral akan sama atau
berbeda dari orang tua remaja.
3. Konsep diri
Remaja tengah lebih menerima perubahan tubuhnya dan
menjadi lebih menyenangkan dengan idealisme dalam eksplorasi
pilihan masa depan. Hubungan dengan teman sebaya adalah hal yang
penting pada tahap ini untuk menjelaskan identitas dan gambaran diri
remaja. Remaja tengah sangat normal bereksperimen dengan orang
yang berbeda, merubah cara berpakaian, dan merubah teman
sekelompok yang berbeda-beda dari bulan ke bulan.
4. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat
Masa remaja tengah sangat identik dengan remaja yang
mempunyai tipikal meniru. Hubungan dengan orang tua menjadi lebih
tegang dan jauh dibandingkan hubungan remaja dengan teman sebaya.
Remaja yang berpacaran akan menjadi penyebab pertengkaran antara
5. Seksualitas
Berpacaran menjadi aktivitas yang sesuai norma sebagai
remaja tengah untuk melihat kemampuan remaja dalam berhubungan
dengan orang lain. Tingkat aktivitas seksual sangat luas dan berbeda
tergantung dari ras, budaya dan negara. Aspek orientasi seksual
remaja tengah yang sangat penting adalah identitas seksual meliputi
keyakinan mengenai cinta, kejujuran dan dalam hal pelanggaran
susila. Hubungan pada usia ini biasanya sangat dangkal dan
menekankan pada kecantikan/ketampanan dan percobaan seksual
lebih daripada keintiman. Remaja cenderung mengikuti beberapa
karakteristik dari pola perilaku seksual. Remaja pada umumnya sudah
mengetahui tentang risiko kehamilan, HIV, penyakit menular seksual,
tetapi pengetahuan tidak konsisten dengan perilaku yang terkontrol.
1.1.3 Remaja akhir
Perkembangan remaja akhir menurut Kliegman dan koleganya (2011)
1. Perkembangan biologis
Perubahan somatik pada periode ini sederhana jika dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Tahap akhir dari perkembangan
payudara dan rambut pubis pada usia 17-18 tahun.
2. Perkembangan psikososial
Perubahan pada fisik yang lambat menyebabkan timbulnya
stabilitas dari gambaran tubuh. Perkembangan kognitif yang berpusat
patroitisme, dan sejarah meningkat. Remaja akhir menjadi
berorientasi pada masa depan, mampu bertindak sesuai rencana masa
depan, menunda gratifikasi, berkompromi, menetapkan batas dan
berfikir bebas. Remaja akhir bersikap konstan dengan emosinya.
2. Kekerasan Seksual Pada Anak
2.1. Definisi Kekerasan Seksual pada Anak
Secara global tidak ada makna kekerasan seksual pada anak yang
standar tetapi World Health Organization (WHO) mendefenisikan kekerasan seksual pada anak adalah:
“Child sexual abuse is the involvement of child in sexual activity that he or she does not fully comprehend, is unable to give informed consent to, or for which the child is not developmentally prepared and cannot give consent, or that violates the laws or social taboos of society. Child sexual abuse is evidenced by this activity between a child and an adult or another child who by age or development is in relationship of responsibility, trust or power, the activiy being intended to gratify or satisfy the need of the other person.”
Sesuai dengan apa yang disebutkan oleh WHO, kekerasan seksual didefiniskan oleh UNICEF-International Rescue Committee (2012) sebagai bentuk aktivitas seksual dengan seorang anak oleh orang dewasa atau oleh
anak lainnya yang memiliki kekuatan melebihi anak tersebut. Kekerasan seksual pada anak sering melibatkan kontak tubuh, hal ini dapat mencakup
sexual kissing, menyentuh dan oral/anal atau vaginal sex. Tidak semua kekerasan seksual melibatkan kontak tubuh, namun memaksa anak untuk
pribadinya atau bagian pribadi anak dan mengekspolitasi anak sebagai pekerja seks komersil atau untuk pornografi juga merupakan tindakan
kekerasan seksual. Secara spesifik tindakan kekerasan seksual yang mencakup baik perilaku kontak atau non-kontak diuraikan dibawah ini:
a. Kontak fisik atau menyentuh dapat meliputi:
Menyentuh genitalia anak atau bagian pribadi untuk tujuan seksual,
membuat anak menyentuh genitalia orang lain atau bermain permainan seksual, memasukkan objek atau bagian tubuh (seperti jari, lidah atau penis)
kedalam vagina, ke dalam mulut atau ke dalam anus untuk tujuan seksual.
b. Tindakan kekerasan seksual yang tidak melibatkan kontak antara lain:
Menunjukkan gambar pria atau wanita tanpa busana pada anak, secara sengaja mengekspos genitalia orang dewasa pada anak untuk kesenangan atau
kepentingan seksual orang dewasa, memfoto anak dalam pose seksual, mendorong anak untuk menonton atau mendengar tindakan seksual, menonton anak tanpa busana untuk kesenangan atau kepentingan seksual
orang dewasa, memaksa anak untuk menyaksikan pemerkosaan atau tindakan kekerasan seksual lainnya.
2.2. Klasifikasi kekerasan seksual
a. Penyerangan seksual
Penyerangan seksual adalah perlakuan memaksa dalam kontak
seksual dengan orang lain tanpa persetujuan. Ketidakadaan persetujuan berhubungan dengan kognitif, perkembangan kepribadian, perasaan
takut atau pelaku menggunakan ancaman verbal dan fisik. Penyerangan seksual bukan hanya tentang perilaku seksual tetapi juga motivasi untuk hasrat menghina, merusak dan mendominasi korban. Penyerangan
seksual paling banyak dialami oleh wanita dan anak-anak menyebabkan trauma fisik, psikis, gangguan spiritual, dan kemunduran dalam
hubungan sosial. Ketakutan akan pemerkosaan dan penyerangan seksual adalah efek utama pada perempuan sehingga korban membatasi aktivitasnya sebagai usaha untuk menjamin keamanannya. Penyerangan
seksual dapat menghancurkan semua aspek dari kehidupan korban, termasuk aktivitas sosial, hubungan interpersonal, pekerjaan dan karir.
b. Kekerasan dalam keluarga
Kekerasan dalam keluarga merupakan perilaku yang paling
berbahaya yang terjadi antara keluarga dan anggota keluarga lainnya. Kekerasan dalam keluarga meliputi kekerasan fisik, kekerasan
emosional pada anak, penelantaran anak, kekerasan antara teman akrab, pemerkosaan dalam perkawinan dan kekerasan oleh orang dewasa.
tipe kekerasan yang terjadi dalam keluarga, semua anggota keluarga termasuk yang bukan merupakan keluarga inti sangat dipengaruhi
terhadap kekerasan yang terjadi. Kekerasan mungkin hanya menjadi rahasia keluarga dan berlannjut ke generasi berikutnya.
c. Kekerasan pada hubungan
Istilah kekerasan pada hubungan merujuk pada pola perkosaan dan
perilaku memaksa, termasuk secara fisik, seksual dan kekerasan psikologis yang digunakan orang dewasa atau remaja untuk menyerang
pasangannya. Hal ini dapat terjadi pada pasangan pacaran, orang yang sudah menikah dan yang hidup bersama sebagai suami istri secara heteroseksual, lesbian maupun pasangan gay.
d. Pemerkosaan dalam perkawinan
Pemerkosaan dalam perkawinan biasanya dilaporkan dengan kekerasan fisik, banyak suami yang melakukan kekerasan pada istrinya percaya bahwa itu adalah hak mereka untuk melakukan hubungan
seksual dimana saja yang mereka inginkan. Korban dari pemerkosaan dalam perkawinan menjelaskan bahwa ia sering menerima hubungan
seksual melalui vagina dengan pemaksaan, hubungan seksual melalui anus, dipukul, dibakar atau ditendang saat melakukan hubungan
melakukan hubungan seksual saat anak mereka melihat. Korban pemerkosaan dalam perkawinan diancam menggunakan senjata atau
pemukul jika menolak melakukan yang diinginkan oleh suami korban.
e. Elder abuse
Kekerasan seksual ini dilakukan oleh suami istri, kakak, abang, kakek, nenek atau orang dewasa lain yang lebih dewasa dalam keluarga
tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dewasa lebih merusak dibanding yang
dilakukan bukan oleh orang dewasa.
Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan klasifikasi
kekerasan seksual pada remaja menjadi 6 tipe pemerkosaan, yakni: 1. Acquaintance rape
Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang dikenal oleh remaja merupakan jenis pemerkosaaan yang paling banyak terjadi pada usia 16-24 tahun. Pelaku bisa merupakan tetangga, teman
sekelas, atau teman dari angota keluarga yang lain. Hubungan pelaku dengan korban mungkin akan menyebabkan masalah pada
keluarga, pengaduan remaja juga mungkin tidak dipercaya dan menimbulkan keraguan pada keluarga. Korban pemerkosaan oleh
pria daripada perempuan), dan sangat sedikit yang mau melakukan penuntutan kriminal pada jalur hukum walaupun
setelah melaporkannya kejadian. 2. Date rape
Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang berkencan/ berpacaran dengan korban. Korban pemerkosaan pada saat berkencan biasanya merupakan orang yang barupada lingkungan
tertentu (mahasiswa baru, orang yang baru datang ke kota) dan orang yang kekurangan dukungan sosial. Korban mungkin tidak
menetapkan batasan-batasan asertif atau batas pada hubungan mereka dan mungkin akan memabukkan saat kejadian itu terjadi. Korban pemerkosaan saat berkencan kerapkali mengalami masa
yang panjang tentang kepercayaan dan menyalahkan diri sendiri. Korban mungkin kehilangan kepercayaan diri pada pendapatnya
mengenai seorang pria di kemudian hari. Remaja akan malu untuk membicarakan tentang kejadian tersebut kepada keluarga, teman, atau konselor dan mungkin tidak akan pernah pulih dari
luka psikologis. 3. Male rape
Pemerkosaan yang dilakukan pada remaja laki-laki oleh laki-laki lain. Korban kekerasan pada laki-laki ini sering kali mengalami
masalah tidur, ketidakberdayaan, kecemasan, depresi bahkan ide bunuh diri.
4. Gang rape
Pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki pada
seorang perempuan. Permpan korban pemerkosaan menemukan kesulitan untuk kembali ke lingkungan dimana pemerkosaan terjadi.
5. Statutory rape
Aktivitas seksual antara orang dewasa dengan remaja yang
dibawah umur legal suatu hukum negara. Hal ini didasarkan pada belum mampunya seorang individu untuk memberikan persetujuan untuk mengikutsertakan dalam aktivitas seksual.
6. Stranger rape
Frekuensi terjadinya pemerkosaan ini pada remaja sangat jarang,
pemerkosaan ini lebih sering terjadi pada orang dewasa.
2.3. Tanda dan gejala kekerasan seksual
Remaja yang mengalami kekerasan seksual pada fase akut menunjukkan hal yang sangat berbeda-beda, mulai dari yang sangat menutupi
hal tersebut sampai yang agak sedikit terbuka atas kejadian. Kadang kala remaja tidak kelihatan ketakutan walaupun remaja tidak kelihatan ketakutan,
pemeriksaan, keseluruhan proses termasuk kemungkinan akibat yang akan timbul (Kliegman et al, 2011)
Adanya temuan semen di mulut, rectum/anal atau pada pakaian, ada luka pada penis, rektum atau skrotum, luka memar, perubahan pada rektum,
berdarah atau luka pada area mulut/tenggorokan, tanda dari kekerasan fisik mungkin ada, darah pada pakaian.
Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat dilihat dari perubahan
perilakunya, beberapa perubahan perubahan perilaku termasuk perilaku seksual adaah perilaku seksual yang diluar norma dan level perkembangan
anak. Remaja yang megalami kekerasan seksual mungkin akan melakukan aktivitas seksual dengan beberapa orang tanpa memilih bahkan remaja mungkin menyewa jasa di tempat prostitusi, anak yang lebih tua dan remaja
juga dapat berespon dengan melakukan kekerasan seksual dengan anak yang usianya lebih muda.
2.4. Dampak Kekerasan Seksual
Dampak kekerasan seksual pada remaja:
Depresi (kesedihan yang berkepanjangan), menangis dan mati rasa, mimpi buruk dan gangguan tidur, memiliki masalah di sekolah atau
menghindari sekolah, menunjukkan kemarahan atau kesulitan berhubungan dengan orang tua, bertengkar, tidak mematuhi perintah,
menunjukkan masalah makan, yakni tidak mau makan atau makan sepanjang waktu, fikiran untuk bunuh diri, membicarakan tentang
kekerasan dan memikirkan kembali tentang kekerasan (UNICEF-International Rescue Committee, 2012). Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan dampak pada remaja akibat kekerasan seksual yang dialami oleh remaja, yakni remaja mungkin berespon menjadi depresi, mencoba menggunakan obat-obatan atau alkohol,
melarikan diri dari rumah.
Dampak kekerasan seksual menurut (Cruise, 2004)
a. Kesehatan dan fisik
Penyakit menular seksual, kesulitan untuk berjalan, duduk atau berdiri, nyeri saat berkemih atau infeksi saluran kemih, gangguan tidur
(kesulitan tidur atau mimpi buruk), enuresis atau encopresis, perilaku melukai diri sendiri.
b. Perkembangan kognitif dan pencapaian akademik
Perubahan performa secara tiba-tiba, kesulitan konsentrasi. Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan remaja adalah tahap
peralihan dari anak-anak menuju dewasa, respon remaja pada pemerkosaan yang terjadi padanya sesuai dengan elemen antara anak-anak
c. Perkembangan emosional, psikososial dan perilaku
Frekuensi menyentuh genitalia atau masturbasi, ekspresi seksual yang
tidak tepat, perilaku seksual yang agresif dengan menggunakan kekerasan atau ancaman, isolasi sosial, ekspresi ketakutan yang ekstrim, perilaku
ketergantungan, tidak mampu bersosialisasi, perilaku menyakiti orang lain, khususnya pada remaja, kesulitan mempercayai orang lain, kejam kepada binatang.
Akibat bagi kesehatan mental
Martin dan koleganya (2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008)
menjelaskan bahwa dampak personal yang terjadi pada remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah 86,2% mengalami stress tingkat tinggi, 73% memiliki fikiran untuk bunuh diri, dan 45% melakukan percobaan bunuh
diri. Hal ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan dengan sengaja melukai diri
sendiri. Remaja juga merasakan ketidakberdayaan, remaja perempuan memiliki risiko tinggi untuk mengalami level depresi yang lebih tinggi Ruffolo et al (2004 dalam Muller dan Dowling, 2008). Chen dan koleganya
(2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008) juga menyatakan bahwa dampak remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah penyalahgunaan
2.5. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk kekerasan pada masa anak-anak, yakni anak yang
tinggal dengan orang tua tunggal, tinggal di rumah tidak dengan orang tua kandung, sosial ekonomi rendah, dan ras minoritas. Faktor resiko menjadi pelaku
kekerasan seksual adalah pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak, gangguan mental, pernah terlibat aktivitas kriminal, status pendidikan rendah (International Rescue Committe, 2012).
2.6. Pelaku kekerasan seksual
Pada setiap negara di dunia akan ada perbedaan karakteristik dari pelaku kekerasan seksual, walaupun secara umum pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki. (International Rescue Committe, 2012) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari anggota keluarga (ayah, kakek, saudara kandung, tante, keponakan dan lain-lain). Pelaku juga bisa tetangga, pemimpin agama, guru,
pemberi layanan kesehatan atau orang lain yang mungkin kontak langsung dengan anak. Anak juga dapat mengalami kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal, meskipun hal ini sangat jarang. Hal ini menyebabkan anak bisa
mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali.
a. Takut terhadap konsekuensi
Banyak anak takut menceritakan tentang kejadian kekerasan seksual
yang dialaminya karena merasa terancam secara fisik atau karena mereka percaya.
b. Takut ditolak
Anak sering merasa takut bahwa orang dewasa tidak akan mempercayainya. Mereka tahu bahwa orang tua, pemimpin komunitas,
pemimpin agama atau orang lain akan menolak tuntutannya dan menolak memberi bantuan.
c. Manipulasi
Pelaku dapat membuat trik atau menyongok anak dengan cara memberikannya hadiah atau uang agar tidak memberi tahu pada orang
lain. Tersangka sering membuat anak merasa malu atau membuat anak merasa bersalah tentang kekerasan yang dialaminya. Kadang tersangka
akan menyalahkan anak dan mengatakan anak yang mengundang kekerasan itu terjadi.
d. Menyalahkan diri sendiri
Anak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut merupakan kesalahannya atau mereka berfikir bahwa dia pantas mendapatkan hal
tersebut
e. Melindungi
Anak mungkin ingin melindungi pelaku dan atau keluarga
khususnya jika pelaku mempunyai hubungan yang dekat dengan dirinya atau keluarga anak.
f. Usia
Anak yang lebih muda mungkin tidak menyadari telah mengalami kekerasan seksual. Mereka mungkin merasa tindakan tersebut adalah
normal, terutama jika yang melakukan adalah orang yang dikenal atau dipercaya. Anak yang lebih kecil mungkin juga memiliki keterbatasan
dalam bicara yang menyebabkan anak tidak memberitahukan kejadian. g. Cacat fisik atau mental
Anak tidak dapat memberitahu tentang kekerasan yang dialaminya
karena tidak mampu bicara pada orang atau orang tidak memahami apa yang dikatakannya atau tidak mampu mencapai penyedia jasa layanan.
Anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin akan ditolak oleh keluarga dan komunitasnya, mengalami sosial stigma yang ekstrim dan atau
kehilanganan kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kesempatan untuk bekerja. ( UNICEF-International Rescue Committee, 2012)
2.8. Kebutuhan anak setelah kekerasan seksual
a. Kebutuhan psikologis. Anak akan memerlukan dukungan untuk merasa aman dan mempercayai orang dewasa kembali; memahami perasaannya
setelah kekerasan seksual, dan untuk membantu membuat koping yang baik untuk tanda post traumatic stress disorder yang muncul (seperti terus
mengingat kembali kejadian kekerasan seksual, obsessive thought of abuse dan masalah dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri)
b. Kebutuhan sosial. Anak dan keluarga memerlukan bantuan untuk
memulihkan dari dampak kekerasan seksual dalam keluarga dan hubungan keluarga, memastikan anak mampu kembali ke sekolah dan memastikan
mereka mapu berpartisipasi kembali dalam masyarakat.
c. Rencana perawatan. Anak memerlukan tempat yang aman untuk pemulihan jika kekerasan terjadi di dalam rumah.
d. Kebutuhan hukum/ keadilan. Anak memiliki hak untuk memperoleh keadilan dan membutuhkan dukungan ketika dilakukan investigasi hukum
dan ketika anak dan keluarga melakukan penuntutan terhadap kejadian yang telah terjadi.
3. Studi Fenomenologi
Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmen Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan
pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain
realitas didasarkan pada pengalaman hidup seseorang. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau
sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012).
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk
menjelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Selain itu, pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan
memberikan gambaran terhadap makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau konsep terhadap suatu fenomena yang
akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut.
Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman
hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Beck, 2012).
Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan
yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa
Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah 10 orang atau lebih sedikit.
Partisipan yang terlibat dalam penelitian akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam hal ini, partisipan harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck, 2012).
Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah Collaizi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah
fenomena (Polit & Beck, 2012).
Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut
meliputi (a) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka; (b) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan; (c)
menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan; (d) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema; (e) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi; (f) memformulasikan deskripsi lengkap dari
fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin; (g) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi
akhir .
Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck 2012) untuk
1. Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya
oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan
yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota (member checking).
2. Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal. Maksudnya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan dalam situasi lain.
3. Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah
proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas.
dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam