• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA DAN EMOSI SERTA IMPLIKASINYA PADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUDAYA DAN EMOSI SERTA IMPLIKASINYA PADA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA DAN EMOSI

SERTA IMPLIKASINYA PADA KONSELING LINTAS BUDAYA DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Konseling Lintas Budaya

yang dibina oleh Dr.Triyono, M.Pd dan Dr.Muslihati, M.Pd

Oleh :

Tri Cahyono 130111809280

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah individu matakuliah Konseling Lintas Budaya yang dibina oleh Dr.Triyono, M.Pd dan Dr.Muslihati, M.Pd. Dan penulis menyadari bahwa tersusunnya tugas ini tidak terlepas dari bimbingan dan arahan berbagai pihak.

Kami menyadari bahwa laporan makalah individu ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan laporan tugas makalah ini.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Emosi adalah pusat dan inti bagian yang penting dari dunia dipandang dari subjektifitas kita. Meskipun emosi dianggap sebagai inti dari pengalaman manusia, tapi manusia kurang memahami emosi ataupun sulit menjelaskan tentang emosi. Kontroversi didunia mengenai emosi manusia terjadi karena ada persamaan dan perbedaan dalam mendefinisikan emosi (Heine,2008). Teori James-Lange (Heine,2008) menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya (overt behaviour-nya) sendiri

Pentingnya Emosi dalam Kehidupan Kita

Sangat sulit untuk dibayangkan jika kehidupan kita tidak ada emosi, dan tidak ada perasaan. Kita sangat menghargai perasaan kita perasaan yang kita punya. Seperti perasaan senang saat menonton pertandingan, rasa senang akan kasih sayang dari kekasih, kegembiraan saat berkumpul bersama kawan-kawan, menontonfilm, atau jalan-jalan ke sebuah klub malam. Bahkan perasaan negatif atau sedih juga penting bagi kita seperti sedih ketika kita harus berjauhan dengan kekasih, kematian anggota keluarga, rasa marah ketika kita disakiti, rasa takut, dan rasa bersalah atau malu saat aib kita diketahui publik. Emosi memberi warna pada pengalaman hidup kita. Emosi memberi makna pada peristiwa. Tanpa emosi, peristiwa yang kita alami hanya sekedar fakta dari kehidupan saja.

Emosi inilah yang membedakan kita dengan komputer dan mesin lainnya. Teknologi yang ada saat ini telah mampu menciptakan mesin yang bisa melampaui daya pikir manusia. Bahkan komputer telah mampu menangani pekerjaan secara lebih efektif dibandingkan manusia. Namun sebagus apapun teknologi yang ada, teknologi tidak memiliki perasaan seperti yang dimiliki manusia.

Perasaan dan emosi kemungkinan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan kita. Semua orang dari beragam budaya memilikinya dan semua orang harus belajar untuk menguasainya, agar pada tahap emosi tertentu dapat

memberikan manfaat bag setiap orang. Memang kehidupan kita saat ini sedang difokuskan pada pengembangan teknologi demi “kecerdasan buatan” dan

(4)
(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. BUDAYA DAN EKSPRESI EMOSI

Penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah (facial expressions of emotion) memiliki nilai historis yang sangat penting pada area penelitian

psikologi. Penelitan lintas budaya pada ekspresi emosi (emotional expressions), khususnya ekspresi wajah (facial expressions), dilandasi oleh penelitian

kontemporer tentang emosi, baik lintas budaya maupun aliran utama.

Penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah telah membuktikan secara meyakinkan bahwa terdapat suatu rangkaian ekspresi wajah yang bersifat universal dan berlaku di semua budaya manusia serta memberikan dasar-dasar persamaan pada semua aspek emosi ekspresi, persepsi pengalaman, anteseden (peristiwa yang menimbulkan emosi), penilaian, dan konsep. Atas dasar ini, budaya memberikan pengaruhnya dalam membentuk dunia emosional kita, sehingga menghasilkan perbedaan.

Penelitian lain memberi kesan bahwa ekspresi emosi wajah seseorang adalah bawaan lahir dan faktor biologis mereka. Oleh karena itu, adalah penting untuk memiliki pemahaman yang kuat tentang pemahaman biologis emosi yang mungkin ada untuk semua manusia terlepas dari faktor budaya.

1. Universalitas Ekspresi Wajah Emosi (The Universality of Facial Expressions of Emotion)

(6)

ekspresi emosi di setiap wajah manusia persis dan sama di seluruh dunia terlepas dari ras atau budaya. Selain itu, mengenai ekspresi wajah juga dapat dilihat di seluruh spesies, seperti gorila. Menurut Darwin mengenai ekspresi wajah saat emosi memiliki nilai, baik komunikatif dan adaptif.

Selama awal hingga pertengahan 1900-an beberapa studi telah dilakukan untuk menguji ide-ide Darwin mengenai universalitas ekspresi emosi. Seperti antropolog terkemuka Margaret Mead dan Ray Birdwhistell berpendapat bahwa ekspresi wajah saat emosi tidak bisa bersifat universal, melainkan mereka berpendapat bahwa ekspresi wajah saat emosi harus dipelajari seperti bahasa (Ekman Friesen & Ellsworth 1972).

Pada tahun 1960-an psikolog Paul Ekman dan Wallace Friesen (Ekman 1972) dan secara terpisah Carroll Izard (1971) melakukan serangkaian

(7)

Gambar 2.1 Tujuh Ekspresi Emosi Universal (The seven universal expressions of facial emotion)

(8)

Untuk mengatasi masalah ini Ekman Sorenson dan Friesen (1969)

melakukan penelitian serupa dalam dua suku yang buta huruf huruf New Guinea. Ekman dan Friesen meminta anggota suku yang berbeda untuk menunjukkan wajah mereka dengan ekspresi yang berbeda. Foto-foto ekspresi ini dibawa kembali ke Amerika Serikat dan ditampilkan ke pengamat Amerika dan tidak ada satupun yang pernah melihat anggota suku dari New Guinea. Ketika ditanya untuk memberikan label/tanda terhadap emosi yang ditampilkan oleh wajah para anggota suku, data sekali lagi mirip dengan yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya. Hukum ekspresi yang ditimbulkan oleh suku-suku yang buta huruf kembali sesuai, sehingga dapat menjadi sumber ketiga bukti adanya universalitas dari ekspresi emosi.

Semua penelitian yang dilakukan sejauh ini telah melibatkan penilaian dari ekspresi wajah emosi, dan didasarkan pada asumsi peneliti bahwa orang dari budaya yang berbeda akan setuju pada apa emosi sedang digambarkan di wajah jika ekspresi itu universal. Namun, sebuah pertanyaan tersisa mengenai apakah orang benar-benar, secara spontan menampilkan mereka ekspresi wajah mereka ketika mereka mengalami emosi. Untuk menjawab pertanyaan ini, Ekman (1972) dan Friesen (1972) melakukan penelitian di Amerika Serikat dan Jepang, meminta subyek Amerika dan Jepang untuk melihat stimulus yang sangat tinggi terhadap stres sebagai reaksi wajah mereka direkam tanpa mereka sadari. Kemudian analisis rekaman video menunjukkan bahwa Amerika dan Jepang memang menunjukkan dengan tepat jenis yang sama tentang tipe ekspresi wajah pada titik-titik yang sama dalam waktu, dan ekspresi ini berhubungan dengan ekspresi serupa yang dianggap universal dalam penelitian dengan pengamat seperti sebelumnya. Data dari

ekspresi wajah emosi yang spontan, merupakan menjadi baris keempat bukti dalam set asli studi universalitas.

(9)

Amerika Serikat dan Jepang, meminta subyek Amerika dan Jepang untuk melihat reaksi wajah stres sebagai respon dari stimulus yang diberikan kepada mereka dan hal ini direkam tanpa mereka sadari. Kemudian analisis rekaman video

menunjukkan bahwa Amerika dan Jepang menunjukkan tipe ekspresi wajah yang sama, dalam waktu yang hampir bersamaan dan ekspresi ini berhubungan dengan ekspresi serupa yang dianggap universal dalam penelitian sebelumnya. Data dari ekspresi wajah emosi yang spontan, merupakan menjadi baris keempat bukti dalam studi universalitas.

Penelitian yang melibatkan bayi buta sejak lahir menunjukkan bahwa belajar visual tidak dapat menjelaskan mengenai fakta bahwa manusia baik di dalam atau lintas budaya berbagi set yang sama pada ekspresi wajah. Selain itu, banyak dari temuan asli Ekman dan Friesen yang telah direplikasi dalam berbagai studi di berbagai negara dan budaya oleh peneliti lainnya, memastikan kebenaran hasil penelitian mereka. Secara keseluruhan, dari penelitian ini sudah cukup bukti yang menunjukkan dan cukup meyakinkan bahwa ekspresi wajah emosi bersifat universal dan faktor biologis bawaan.

Jika kesimpulan ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa semua manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk mengekspresikan emosi yang sama, terlebih lagi jika setiap orang itu mempunyai aspek lain selain aspek emosi. Matsumoto juga berpendapat bahwa semua manusia mempunyai kapasitas untuk mempunyai pengalaman emosi yang sama didalam cara yang sama. Dan banyak dari kejadian itu menimbulkan tipe emosi yang sama walaupun berbeda budaya. Kesimpulannya adalah bahwa kita semua terlahir dengan kapasitas untuk mengalami,

mengungkapkan dan merasakan dasar emosi yang sama.

(10)

2. Perbedaan Budaya Dalam Ekspresi Wajah Cara/Aturan Penampilan

(Cultural Differences in Facial Expressions-Display Rules)

Meskipun ekspresi wajah kita bersifat universal, namun sebagian dari kita mempunyai cara menginterpretasikan emosi dengan cara yang berbeda tergantung budaya masing-masing. Namun secara keseluruhan cara penginterpretasiannya tidak terlalu berbeda.

Seperti pengalaman sehari-hari dan pendidikan dipercaya mempengaruhi dan membedakan satu budaya dengan budaya lain. Ekman&Fresen (1965)

mempertimbangkan pernyataan ini dan kemudian memunculkan konsep “cultural display rules” (cara/aturan penampilan budaya) untuk menguji teori diatas benar atau salah. Perbedaan budaya menurut mereka, dalam aturan/caranya, dapat diekspresikan secara universal. Aturan/cara itu berpusat pada kecocokan penampilan dari masing-masing emosi dalam suatu keadaan sosial. Cara-cara/aturan-aturan ini dipelajari dan selanjutnya mendikte/menuntun bagaimana ekspresi emosi yang bersifat universal harus dimodifikasi sesuai dengan keadaan situasi sosial. Dan sejauh ini cara-cara/aturan-aturan ini telah secara otomatis dapat dipraktekkan dengan baik.

(11)

merupakan bawaan lahir ini berinteraksi dengan budaya yang nantinya dapat menggambarkan cara-cara/aturan-aturan untuk menghasilkan ekspresi emosi.

Dengan demikian, ekspresi wajah emosi berada di bawah pengaruh ganda yang universal, yakni faktor biologis bawaan dan budaya tertentu. Ketika emosi dipicu, pesan dikirim ke otak dan diolah di bagian “facial affect program” yang berfungsi menyimpan informasi konfigurasi wajah yang prototypic untuk setiap emosi universal (Ekman, 1972). Konfigurasi yang prototipe ini adalah merupakan aspek universal tentang ekspresi emosi, dan biologis bawaan. Pada saat yang sama, pesan dikirim ke bagian area otak yang berfungsi menyimpan data yang

(12)

Gambar 2.2 Teori Neurocultural Ekspresi Emosional

Emotional Stimulus Emotional

Stimulus

Facial Affect Program :

Konfigurasi wajah marah, jijik, jijik, takut, kebahagiaan,

kesedihan, dan kejutan Facial Affect Program : Konfigurasi wajah marah, jijik,

jijik, takut, kebahagiaan, kesedihan, dan kejutan

Cultural Display Rules :

Tidak mengubah, membesar-besarkan, memperlemah, menetralisir, masker, campuran,

dll

Cultural Display Rules : Tidak mengubah,

membesar-besarkan, memperlemah, menetralisir, masker, campuran,

dll

(13)

3. Penelitian Lintas Budaya Baru pada Emosi Ekspresi dan cara/aturan Tampilannya (Expression and Display Rules)

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah studi lintas budaya telah

memperluas pengetahuan tentang pengaruh budaya pada ekspresi dan cara/aturan penampilannya (display rule). Sebagai contoh, Stephan&de Vargas (1996) membandingkan ekspresi Amerika dan Kostarika dengan meminta peserta di kedua negara untuk menilai 38 emosi dalam hal bagaimana mereka akan merasa nyaman dalam mengekspresikan emosi mereka terhadap keluarga mereka dan untuk orang asing. Mereka juga merampungkan skala konsep diri mengenai kemandirian atau saling ketergantungan dan memberi nilai emosi, apakah emosi positif atau negatif dan mandiri atau saling tergantung. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa orang Amerika yang lebih nyaman daripada Kosta Rika dalam mengekspresikan emosi baik mandirin atau saling tergantung. Kosta Rika secara signifikan lebih nyaman dalam mengekspresikan emosi negatif.

Penelitian juga telah mendokumentasikan keberadaan perbedaan budaya dan ekspresi emosi antar group etnik di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian (Matsumoto,1993), dengan peserta kulit putih, hitam, asia dan amerika latin dalam kepantasan menampakkan emosinya.Penemuan menunjukkan bukti bahwa orang kulit putih menilai rasa jijik lebih tepat daripada orang-orang asia dan rasa muak lebih tepat daripada orang kulit hitam dan asia.

Penelitian lain juga mendemonstrasikan perbedaan budaya dalam pandangan umum tentang ekspresi emosional.

Walaupun penelitian ini meninjau poin-poin yang sangat jauh untuk berbagai cara perbedaan budaya dalam ekspresi mereka. Sebenarnya ini tidak terlalu jelas bagaimana ekspresinya dikontrol ketika tampilan ditetapkan.

Krupp (1998) mensurvey orang-orang Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Korea Selatan dan meminta mere untuk memilih apa yang akan mereka lakukan jika mengalami satu dari 14 emosi dalam empat situasi perbedaan sosial Ketujuh respon tersebut adalah,

1. Mengekspresikan perasaan itu atnpa pengubahan 2. Mengurangi ekspresi

(14)

4. Menyembunyikan perasaan dengan sesuatu yang lain 5. Memenuhi ekspresi dengan senyum

6. Menetralkan ekspresi 7. Lain-lain

Hasilnya mengindikasikan bahwa, walaupun perbedaan budaya itu benar-benar ada, orangorang dari semua budaya memilih semua alternative dan

mengindikasikan bahwa alternatif-alternatif ini reprensentasi dari kumpulan respon yang terdapat pada manusia selama mereka mengubah ekspresi emosional mereka dalam konteks sosial.

Secara umum keakraban dan keintiman dalam hubungan dalam kelompok sendiri dan dalam semua budaya memberikan rasa aman dan nyaman untuk mengekspresikan emosi secara bebas, selama disertai dengan toleransi spectrum yang luas dari perilaku emosional. Sebagian dari sosialisasi ini melibatkan pembelajaran siapa orang-orang yang di dalam goup dan di luar group serta kecocokan perilaku yang berhubungan dengannya.

B. BUDAYA DAN PERSEPSI EMOSI (Culture and Emotion Perception)

Banyak pendapat yang membuktikan bahwa keuniversalan ekspresi emosi juga menunjukkan bahwa ekspresi emosi wajah dapat dikenali secara universal. Contohnya, Ekman dan Colleagues (1987) bertanya pada observer dalam sepuluh budaya yang berbeda untuk melihat gambar yang melukiskan masig-masing 6 emosi universal. Para penilai tidak hanya memberi label pada setiap gambar emosi dan juga memilih satu kata emosi dari list yang ditentukan tapi juga menilai seberapa intensif mereka merasakan emosi untuk diekspresikan.

Penemuan dari beberapa penelitian di atas telah menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang dari semua budaya dapat mengenali keuniversalan ekspresi emosi wajah.

1. Bukti Kesamaan Ekspresi Emosi antar Budaya dalam Persepsi Emosi (Evidence for More Cross-Cultural Similarities in Emotional Perception) a) Keuniversalan ekspresi yang menunjukkan ekspresi buruk atau jelek.

(15)

tersirat diambil dari sepuluh budaya termasuk di Sumatra Barat (Ekman & Friesen 1986, Ekman & Heider 1988). Temuan ini selanjutnya direplika oleh Mat Sumoto (1992) dalam empat budaya. Tiga diantaranya dari sepuluh budaya yang

dikemukakan oleh Ekman & Friesen. Tujuh ekspresi wajah universal

mempertimbangkan perhatian dan kritik. Sebagai contoh, Russel menjelaskan bahwa konteks dalam ekspresi yang nampak dipengaruhi oleh hasil dari keuniversalan dari ekspresi emosi.

Dalam studinya label ekspresi buruk atau jelek lebih sering dikeluarkan setelah dimunculkannya gambar foto yang ditampilkan. Okman, O’Fulliam & Matsumoto mengatakan bahwa data ini perlu dianalisis ulang dan ditujukan pada saran dan temuan yang tidak memberi efek kepada penelitian lain.

b) Tingkatan intensitas yang relatif

Banyak budaya menyepakati bahwa ekspresi wajah adalah intensitas yang relatif, ini berarti ketika dua ekspresi dibandingkan semua budaya

menggeneralisasikan bahwa eksperi itu lebih kuat. Ketika Ekman dkk

mempresentasikan hubungan ekspresi dari emosi yang sama, ditemukan 92% dari keseluruhan, dan sepuluh budaya dalam studi mereka setuju bahwa hal ini lebih intensif. Matsumoto dan Ekman (1989) menemukan sebuah penemuan ini dari membandingkan antara dua ekspresi kuat yang berbeda, yakni kaukasian (ras Eropa) dan Jepang.

Dari pengamatan tiap emosi secara terpisah,yaitu yang pertama budaya lintas gender dan yang kedua gender lintas budaya, ditemukan bahwa Amerika dan Jepang setuju bahwa budaya mempunyai basis emosi yang sama.

Penemuan ini menekankan bahwa budaya menilai emosi dalam basis yang sama dengan mengesampingkan perbedaan dalam phisognomi wajah, morphologi, ras, dan jenis kelamin serta ekspresi dan persepsi dari wajah.

2. Bukti Perbedaan Lintas Budaya pada Persepsi Emosi (Evidence for Cross-Cultural Differences in Emotional Perception)

Meskipun penelitian secara universal menunjukkan bahwa pengenalan emosi subjek berada pada kisaran rata-rata atas, tidak ada penelitian yang melaporkan adanya persetujuan lintas budaya yang sempurna.

(16)

hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya. Masyarakat Amerika lebih unggul dalam mengenali ekspresi marah, jijik, takut dan sedih daripada masyarakat jepang.

Beberapa penelitian baru juga menunjukkan bahwa meskipun individu dari kebudayaan berbeda menyetujui kerealibilitasan dari sebagian besar pesan emosi dalam ekspresi wajah, namun perbedaan lintas budaya juga bisa mengartikan persepsi emosi lain dalam ekspresi yang sama. Masyarakat Amerika menunjukkan rasa jijik dan hina pada ekspresi yang sama, dimana masyarakat Jepang lebih menampilkan ekspresi sedih dalam ekspresi marah.

C. KEBUDAYAAN DAN PENGALAMAN EMOSI (Culture and the Experience of Emotion)

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda merasakan sebuah emosi, terdapat pertanyaan mengenai apa mereka mengalaminya dengan cara yang sama atau berbeda, apa mereka mengalami jenis emosi yang sama atau berbeda, apa emosi yang mereka alami lebih sering atau lebih kuat dibandingkan yang lain apa mereka memiliki tipe emosi yang sama terhadap reaksi nonverbal atau terhadap gejala psikis dan fisik serta sensasi/perasaan?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk ditelaah, baik secara teoritis maupun praktis. Pertanyaan ini muncul dari pemikiran-pemikiran dikehidupan sehari-hari. Secara teoritis, karya yang telah disajikan sebagai dasar bagi

keuniversalan ekspresi emosi dan persepsi menunjukkan bahwa semua manusia juga dapat berbagi pengalaman dasar yang sama tentang emosi, terutama bagi emosi wajah yang mengisyaratkan pancaran budaya tertentu (pancultural). Sebuah hipotetis mungkin saja benar bahwa pengalaman emosional kita tidak selalu terkait dengan tanda-tanda pankultural pada wajah.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian besar telah meneliti sejauh mana pengalaman emosional bersifat universal dan bersifat

(17)

sedangkan aspek-aspek lain dari kehidupan emosional kita adalah budaya-budaya tertentu.

1. Universalitas Pengalaman Emosional (Universality of Emotional Experiences)

Scherer dkk telah melakukan sejumlah penelitian menggunakan kuesioner yang dirancang untuk menilai kualitas dan sifat dari pengalaman emosional diberbagai budaya. Sebuah studi awal (Scherer,Summerfield,&Wallbott,1983) melibatkan sekitar 600 peserta dilima negara Eropa. Dalam studi kedua (1986) mereka mengumpulkan data tambahan dari tiga negara Eropa sehingga total menjadi delapan negara. Sebuah studi ketiga (1988 ) dibandingkan antara sampel dari peserta Eropa dengan sampel dari Amerika Serikat dan Jepang untuk menguji apakah pola hasil yang diperoleh di Eropa akan sama ketika membandingkan dengan budaya non-Eropa.

Metodologi yang digunakan adalah sama pada semua kebudayaan dari peserta dan peserta menyelesaikan kuesioner terbuka berdasar empat emosi dasar yang diantaranya: sukacita/kebahagiaan, kesedihan/duka,

ketakutan/kecemasan,dan kemarahan/marah. Mereka menggambarkan situasi emosi yang sedang mereka rasakan dan kemudian memberikan informasi mengenai emosi apa yang mereka rasakan. Reaksi tersebut terdiri dari reaksi nonverbal, sensasi fisiologis,dan ucapan-ucapan verbal. Hasil dari dua studi menunjukkan tingkat kesamaan dalam pengalaman emosional dari responden Eropa. Meskipun tanggapan mereka bervariasi sesuai dengan budaya, namun ditemukan adanya pengaruh budaya relatif kecil terutama jika dibandingkan dengan perbedaan antara emosi diri sendiri. Artinya, perbedaan antara empat emosi yang diuji jauh lebih besar daripada perbedaan antar budaya. Para peneliti menyimpulkan bahwa setidaknya emosi yang diuji dapat menampakkan dasar pengalaman universal di manusia

(18)

Temuan ini sekali lagi menunjukkan bahwa pengalaman emosi adalah bersifat universal yang terlepas dari budaya serta banyak orang berbagi dan mempunyai pengalaman dasar emosi yang sama.

2. Perbedaan Budaya dalam Pengalaman Emosional (Cultural Differences in Emotional Experiences)

Meskipun perbedaan budaya yang ditemukan dalam studi hanya jauh lebih sedikit daripada perbedaan emosi akan tetapi hal itu tetap ada. Misalnya Scherer dkk, menemukan bahwa orang Jepang dilaporkan telah mengalami emosi,

sukacita, sedih, takut, dan marah-lebih sering daripada orang Amerika atau Eropa. Orang Amerika dilaporkan mengalami sukacita dan kemarahan lebih sering daripada orang Eropa. Amerika dilaporkan merasakan emosi mereka untuk jangka waktu lebih lama dan dengan intensitas yang lebih sering daripada orang Eropa atau Jepang. Responden Jepang secara keseluruhan dilaporkan dalam

menyampaikan emosi lebih sedikit dalam gerakan tangan dan gerakan seluruh tubuh serta reaksi vokal dan wajah dibandingkan emosi daripada Amerika atau Eropa. Amerika dilaporkan mempunyai tingkat tertinggi dalam mengekspresikans reaksi baik wajah dan vokal.

Sejumlah penelitian lain yang dipimpin oleh Kitayama dan Markus (1991, 1994,1995), Wierzbicka (1994) dan Shweder (1994) telah mengambil pendekatan yang berbeda dalam menggambarkan pengaruh budaya pada pengalaman

emosional. Mereka menggunakan pendekatan "fungsionalis", para peneliti melihat emosi sebagai seperangkat "skrip sosial bersama" terdiri dari komponen fisiologis, perilaku, dan subyektif. Mereka berpendapat bahwa skrip ini berkembang sebagai individu inkultural yang masuk dalam budaya mereka dan skrip ini terkait erat dengan budaya dimana mereka dilahirkan dan dengan siapa mereka berinteraksi. Oleh karena itu emosi mencerminkan lingkungan budaya dimana individu tumbuh dan hidup serta sebagai bagian yang utuh (integral) dari budaya sebagai moralitas dan etika. Markus&Kitayama (1991) mengutip bukti dari berbagai sumber untuk mendukung pandangan ini, termasuk studi yang menunjukkan perbedaan antara keterlibatan budaya dalam pengalaman sosial dengan tidak menghiraukan emosi dan pola-pola dalam budaya, seperti perasaan baik dan kebahagiaan.

Banyak penulis yang menggunakan pendekatan fungsionalis ini,

(19)

biologis. Pada dasarnya argumen mereka adalah bahwa ekspresi emosi terbentuk karena adanya hubungan saling keterkaitan antara budaya dan emosi, karena emosi tidak mungkin secara biologis "tetap/pasti" menjadi pengaruh untuk semua orang. Mereka berpendapat bahwa universalitas emosi adalah keliru dan bahwa temuan yang mendukung itu hanyalah berasal dari prasangka eksperimen dan teoritis dari peneliti.

Para peneliti yang setuju dengan pendekatan fungsionalis ini dikatakan telah mempelajari emosi dengan cara yang berbeda. Posisi universalitas terbatas pada sekelompok kecil emosi yang disesuaikan dengan ekspresi wajah yang khas. Studi yang dilakukan oleh fungsionalis telah memasukkan berbagai pengalaman emosional yang melampaui batas set emosi universal. Selain itu, para peneliti telah mempelajari aspek yang berbeda dari emosi. Universalitas emosi didasarkan pada adanya tanda/sinyal pankultural ekspresi emosi di wajah. Sebagian besar penelitian tentang pembentukan budaya dari emosi didasarkan pada pengalaman subjektif dari emosi dan penggunaan kata (leksikon) saat emosi yang digunakan untuk menggambarkan dan mewakili pengalaman-pengalaman. Akhirnya keberadaan universal dan substrat dari biologis bawaan emosi tidak menutup kemungkinan bahwa budaya juga dapat membangun banyak pengalaman mereka.

Seperti disebutkan sebelumnya, dasar universal emosi dapat menyediakan tempat standar dimana konstruksi tersebut dapat terbentuk. Tampaknya karena itu, bahwa pembangunan budaya pengalaman emosional (cultural experience emotion) dapat terjadi diatas dan diluar dasar yang disediakan oleh emosi dasar dengan ekspresi universal. Penelitian dimasa depan mengenai hal ini dapat mungkin dapat menjelaskan kita, tidak seperti layaknya penelitian yang ada karena

mempertentangkan pendapat.

D. BUDAYA DAN ANTESEDEN EMOSI (Culture and the Antecedents of Emotion

Anteseden emosi adalah peristiwa atau situasi yang memicu atau

(20)

terlaksana dengan baik maka akan dapat menimbulkan kebahagiaan atau sukacita. Dalam literatur ilmiah, emosi anteseden juga dikenal sebagai “elisitor emosi”.

Selama bertahun-tahun, para ahli telah memperdebatkan apakah anteseden emosi adalah sama atau berbeda di seluruh budaya. Di satu sisi, sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa anteseden emosi harus sama dengan lintas budaya, setidaknya untuk emosi yang universal, karena emosi ini mirip panculturally dan semua manusia berbagi basis pengalaman dan ekspresi mereka. Hasil dari studi lintas budaya sebelumnya pada ekspresi emosi, persepsi cenderung mendukung pandangan seperti itu. Di sisi lain, banyak penulis berpendapat bahwa budaya harus berbeda dalam anteseden emosi mereka. Seperti misalnya peristiwa yang sama dalam budaya yang berbeda bisa dan memang memicu emosi yang berbeda dalam budaya tersebut. Suatu contoh, kesedihan tidak selalu ditimbulkan dalam semua pemakaman, mendapatkan nilai A di kelas mungkin tidak selalu

mendatangkan sukacita dan ada banyak contoh lain dari perbedaan lintas-budaya yang menjadi penguat bagi sudaut pandang ini.

1. Kesamaan budaya dalam Anteseden Emosi (Cultural Similarities in Emotion Antecedents)

Sebagian besar penelitian mendukung universalitas emosi. Boucher dan Brandt (1981) misalnya, meminta peserta di Amerika Serikat dan Malaysia untuk menggambarkan situasi dimana seseorang dapat menyebabkan orang lain merasa marah, jijik, takut, bahagia, sedih atau terjut. Pemilihan emosi dalam penelitian ini penelitian didasarkan oleh penelitian universalitas sebelumnya. Sebanyak 96 anteseden digolongkan keberbagai jenis emosi. Kelompok yang terpisah dari peserta Amerika dinilai antesedennya dan diidentifikasi emosinya. Hasil menunjukkan bahwa klasifikasi anteseden peserta Amerika tepat dan sama

(21)

2. Perbedaan Budaya di Anteseden Emosi (Cultural Differences in Emotion Antecedent)

Penelitian telah memberikan sumbangsih yang besar untuk perbedaan budaya dalam anteseden emosi. Scherer dkk, menemukan akan banyaknya perbedaan budaya (serta kesamaannya) dalam frekuensi relatif dari berbagai anteseden, hal dilaporkan oleh responden mereka. Peristiwa-peristiwa budaya, seperti kelahiran anggota keluarga baru, "kesenangan dasar," dan situasi yang berhubungan dengan prestasi yang lebih penting menjadi anteseden kebahagiaan untuk orang Eropa dan Amerika daripada Jepang. Kematian anggota keluarga atau teman dekatberpisah dari orang yang dicintai dan berita dunia lebih sering memicu kesedihan untuk orang Eropa dan Amerika daripada Jepang. Sedangkan situasi baru, lalu lintas, dan hubungan relasip adalah anteseden ketakutan untuk orang Jepang. Akhirnya, situasi yang melibatkan orang asing (relasi), menjadi anteseden marah untuk orang Jepang daripada untuk Amerika atau Eropa. Temuan ini menjelaskan bahwa jenis situasi yang sama tidak akan selalu memicu emosi yang sama pada orang di seluruh budaya.

3. Koeksistensi Persamaan dan Perbedaan Anteseden Emosi (Coexistence of Similarities and Differences in Emotion Antecedents)

Penelitian lintas budaya telah menemukan kesamaan dan perbedaan

dalam anteseden emosi lintas budaya, namun masih ada perdebatan dalam temuan ini. Matsumoto (1996) telah menyarankan bahwa satu cara yang bisa digunakan untuk menafsirkan lintas budaya pada emosi, cara itu adalah membuat suatu perbedaan antara hal/maksud yang tersembunyi (latent) dan perwujudan dalam peristiwa/kejadian (manifest content) dalam situasi yang menghasilkan emosi. Temuan-temuan pada faktor emosi adalah untuk membuat perbedaan antara laten dan manifest/isi konten yang terwujud dalam peristiwa pada situasi yang

(22)

Sebuah tinjauan penelitian lintas budaya menunjukkan keuniversalitasan laten konten anteseden emosi. Artinya, tema-tema psikologis tertentu

menghasilkan emosi yang sama bagi kebanyakan orang dalam kebanyakan

budaya. Laten konten yang mendasari kesedihan ini pasti kehilangan sesuatu yang dicintai. Laten konten yang mendasari kebahagiaan pasti pencapaian suatu tujuan yang penting bagi orang tersebut. Inti laten-konten merupakan konstruksi yang mendasari setiap emosi universal yang ditemukan secara konsisten di seluruh budaya. Konstruksi inti ini dirangkum dalam tabel 2.1, yang secara emosi dasarnya dimungkinkan bisa saling bertukar satu sama lain untuk semua budaya.

Tabel 2.1 Laten Konten dari Emosi (Latent Content of Emotion)

Emosi Emosi dasar Universal-Tema Psikologis Kebahagiaan Terpenuhi suatu tujuan

Kemarahan Tidak terpenuhi suatu tujuannya Kesedihan Tercegahnya sesuau yang diinginkan Muak Tersakiti, terpukul karena sesuatu hal

Ketakutan Merasakan bahaya, sesuatu yang tidah diduga yang tidak pernah diharapkan terjadi

Terkejut/kejtan Mengatahui sesuatu yang baru dan menyenangkan Penghinaan/menghina merasa superior/diatas orang lain

Malu dan rasa bersalah Pemeras bertanggung jawab dan bersalah karena perilaku kita mengecewakan orang lain

Pada saat yang sama budaya berbeda namun dalam situasi, peristiwa atau kejadian yang tepat sangat berkaitan erat dengan laten konten. Artinya hal iti tidak selalu terjadi korespondensi satu-satu antara laten dan manifest konten lintas budaya. Seperti kematian yang dapat menghasilkan kesedihan dalam satu budaya, mungkin saja dapat menghasilkan emosi lain di budaya lain. Dalam satu budaya tertentu, manifest konten kematian dapat dikaitkan dengan kehilangan obyek yang dicintai yang menyebabkan kesedihan. Dalam budaya lain, manifst konten

kematian dapat dikaitkan dengan kandungan laten yang berbeda, seperti

(23)

E. KEBUDAYAAN DAN EMOSI

Kesamaan Budaya dalam Penilaian Emosi (Cultural Similarities in Emotion Appraisal)

Penilaian emosi dapat mudah didefinisikan sebagai proses dimana orang mengevaluasi kejadian, situasi, atau kejadian yang mengarah keemosi mereka. Dalam satu dekade terakhir, sejumlah studi menemukan bahwa banyak proses penilaian tampaknya konsisten/sama di seluruh budaya, yang menunjukkan tentang kemungkinan keuniversalitasan proses dalam memunculkan emosi. Mauro, Sato, dan Tucker (1992), misalnya, meminta peserta di Amerika Serikat, Hong Kong, Jepang, dan Republik Rakyat China untuk menyelesaikan kuesioner yang luas yang mengharuskan mereka untuk menggambarkan situasi yang menimbulkan satu dari 16 emosi yang berbeda. Para peneliti sedikit menemukan perbedaan budaya pada dimensi primitif tenatng penilaian kognitif, diantaranya: kenyamanan, perhatian, kepastian, menyamakan dan

tujuan/kebutuhan yang kondusif. Selain itu, diemukan sedikit perbedaan budaya pada dua dimensi: legitimasi dan norma/kompatibilitas diri. Hal ini ditafsirkan sebagai bukti universalitas dalam emosi proses penilaian.

Mungkin penelitian lintas budaya terbesar pada proses penilaian emosi adalah Scherer (dijelaskan di sub-bab pertama), melibatkan 2.921 peserta di 37 negara, responden diminta untuk menggambarkan suatu peristiwa atau situasi dimana mereka mengalami salah satu dari tujuh emosi. Scherer (1997a,1997b) menemukan bahwa proses penilaian emosi lebih banyak yang sama daripada yang berbeda di seluruh budaya. Sekali lagi, temuan ini menunjukkan tingkat yang tinggi kesamaan lintas-budaya dalam proses penilaian emosi dan jelas terkait dengan tema universal psikologis yang mendasari anteseden emosi yang dibahas di atas. Mereka mendukung gagasan bahwa emosi adalah fenomena universal dengan kesamaan psiko-biologi disemua manusia terlepas dari budaya, posisi yang

konsisten dengan temuan sebelumnya mengenai universalitas banyak emosi ini.

F. KEBUDAYAAN DAN KONSEPNYA DAN BAHASA EMOSI (Culture and the Concept and Language of Emotion)

(24)

emosi seolah-olah itu berarti hal yang sama bagi semua orang. Para peneliti yang mempelajari emosi juga jatuh ke dalam konsep yang sama. Studi telah

mendokumentasikan universalitas dari ekspresi emosi, pengakuan, pengalaman, latar belakang dan penilaian akan perdebatan untuk kesamaan dalam konsep, pengertian, dan bahasa di sedikit set kecil emosi. Tapi bagaimana dengan syarat dan fenomena lain yang juga disebut "emosi"? Sebagai contoh akan dijelaskan fenomena emosi di Amerika Serikat, penulis menggunakan contoh Amerika karena penulis memahami betul fenomena disana.

1. Emosi dalam Kehidupan Sehari-hari Amerika

Di Amerika Serikat, hal yang didahulukan adalah pada perasaan. Semua mengakui bahwa setiap dari kita adalah unik dan bahwa kita memiliki perasaan pribadi kita sendiri tentang hal-hal, kejadian, situasi, dan orang-orang di sekitar kita. Orang Amerika sadar bahwa bahwa seseorang harus mencoba untuk menyadari perasaannya sendiri agar bisa "berhubungan" dan memahami orang lain. Untuk mampu menyatu dengan perasaan kita dan untuk mampu memahami dunia di sekitar kita secara emosional adalah dengan bersikap dan perpandangan dewasa dalam masyarakat kita.

Pada orang-orang di Amerika, mereka menempatkan kepentingan dan nilai berdasar pada perasaan dan emosi diselama masa hidup. Meraka menghargai perasaan sebagai orang dewasa dan mereka secara aktif mencoba untuk mengenali perasaan anak-anak dan orang-orang muda lain di sekitarnya. Orangtua sering memberikan cukup beban pertimbangan terhadap perasaan anak-anak mereka dalam membuat keputusan yang mempengaruhi mereka. "Kalau Johnny tidak mau melakukannya, kita seharusnya tidak memaksa dia melakukannya”. Memang, emosi anak yang diberikan hampir status yang sama sebagai emosi orang dewasa dan generasi tua..

(25)

individual. Anak-anak dihargai sebagai yang terpisah dan perasaan mereka dihargai.

2. Persamaan Budaya dan Perbedaan Konsep Emosi

Banyak penelitian telah dilakukan dibidang antropologi dan psikologi untuk mengatasi masalah penting ini. Pendekatan yang etnografi melakukan mendalam dan studi budaya tunggal pada mereka sendiri yang berasal dari antropologi, terutama berguna dalam membantu untuk mengungkap bagaimana budaya yang berbeda mendefinisikan dan memahami konsep yang kita sebut emosi. Beberapa tahun yang lalu Russell (1991) menyelesaikan banyak literatur tentang lintas budaya dan antropologi tentang konsep emosi dan menunjukkan banyak cara dimana budaya berbeda, kadang-kadang jauh dalam mendefinisikan dan memahami emosi.

Tentang konsep dan definisi emosi. Pertama-tama Russell (1991) sebagai poin utama, mengemukakan bahwa tidak semua budaya memiliki kata yang sesuai dengan emosi kata kita. Levy (1973,1983 ) melaporkan bahwa Tahiti tidak

memiliki kata untuk emosi atau menurut Lutz (1980) seperti yang dilaporkan dalam Russell (1991; Lutz,1983) bahwa beberapa kebudayaan bahkan tidak memiliki kata yang sesuai dengan emosi. Atau mungkin apa yang kita kenal sebagai emosi diberi label berbeda dengan cara yang diterjemahkan dan mengacu pada sesuatu selain internal serta perasaan subyektif. Dalam kasus ini juga

termasuk konsep emosi yang cukup berbeda kebanyakan orang.

Seorang psikolog Polandia bernama Anna Wierzabicka pada tahun 1986 menyatakan bahwa semua emosi datar kita memiliki label denga bahasa Inggris yang sesuai. Tetapi masalahnya, dia mengatakan bahwa bahasa lain tidak memiliki label dari emosi-emosi dasar itu. Bangsa polandia tidak suka menggunakan kata jijik karena tidak ada karena tersebut dalam bahasa polandia. Untuk

mengekplorasi seberapa bedanya kebudayaan mengenai pengalaman emosi dapat dilihat dari bahasa Inggris memiliki lebih dari 2000 kata tentang emosi yang berbeda, sedangkan penduduk Chewong dari Malaysia hanya memiliki 8 kata yang menggambarkan pengalaman emosi. (Heine,2008)

(26)

Inggris. Hasil studi ini menunjukkan bahwa klasifikasi peristiwa ekspresi,

persepsi, perasaan, situasi yang kita sebut emosi tidak selalu mewakili klasifikasi yang sama dari fenomena dalam budaya lain.

Kategorisasi atau pelabelan emosi orang-orang dalam budaya yang berbeda juga mengkategorikan atau melabeli emosi yang berbeda pula. Beberapa kata dalam bahasa Inggris, seperti marah, gembira, sedih, suka, dan penuh kasih, memiliki padanan dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Tapi banyak kata bahasa Inggris tidak memiliki setara dalam budaya lain, dan kata-kata emosi dalam bahasa lain mungkin tidak memiliki setara bahasa Inggris yang tepat.

G. IMPLIKASINYA PADA KONSELING LINTAS BUDAYA DI INDONESIA

Pada sisi praktis, dengan kita berbagi dasar pengalaman yang sama mengenai emosi, akan membantu kita dalam memiliki empati terhadap

pengalaman orang lain, empati adalah penting untuk pengembangan kepekaan antarbudaya dan sukses dalam pengalaman interpersonal dan antarbudaya (Heine,2008).

Proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Pemahaman akan perbedaan cara/tampilan emosi (cultural display rules) terhadap setiap individu yang menjadi konseli sangat penting bagi konselor. Kepekaan-kepekaan terhadap tampilan emosi sangat membantu konselor dalam menterjemahkan maksud-maksud yang tidak sempat tersirat oleh konseli.

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya memiliki perbedaan makna dan konsep yang berbeda mengenai emosi. Secara universal terdapat tujuh ekspresi emosi yang mempunyai dasar emosi yang sama. Dan di Indonesia sementara terdapat 20 tema emosi yang dapat dikenali ke-khasannya, yang diantaranya: gembira, terharu, bangga, lega, berani, yakin, puas, suka, sayang, cinta, sedih, marah, kecewa, takut, ragu, risau, benci, bosan, kesal (Masnur,2007). Namuan hal ini belum tentu dapat diterapkan kedalam keseluruhan budaya di Indonesia

(27)

dibentuk oleh keunikan budaya di Indonesia. Dengan memahami keunikan-keunikan tersebut konselor mampu menerapkkan skill konseling lintas budaya secara tepat. Konselor lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan cara/gaya bantuannya

(Memed,2010).

(28)

Ada banyak kesamaan dalam konsep dan bahasa emosi pada seluruh dunia, baik yang masih dalam budaya yang sama maupun lintas budaya. Sebagian besara penelitian mempercayai bahwa keuniversalan emosi dan budaya relatif ada di semua budaya. Tidak semua budaya di dunia memiliki sebuah kata atau konsep sesuai label emosi dalam bahasa Inggris dan bahkan diantaranya yang melakukan mungkin tidak berarti hal yang sama dengan kata emosi dalam bahasa Inggris. Klasifikasi peristiwa ekspresi, persepsi, perasaan, situasi yang kita sebut emosi tidak selalu mewakili klasifikasi yang sama dari fenomena dalam budaya lain.

Di Indenesia setidaknya samapai saat ini memiliki 20 macam tema emosi yang didasarkan pada penggunaan bahasa dan istilah Indonesia. Tema-tema ini belum tentu mewakili seluruh kebudayaan di Indonesia. Dalam konteks konseling lintas budaya perbedaan emosi dapat digunakan untuk menambah waasan dan pengetahuan untuk menambah kepekaan-kepekaan konselor dalam

menterjemahkan ekspresi emosi konseli.

(29)

Heini, J, Steven.2008. Cultural Psychology. WW.Norton & Company Inc: New York

Matsumoto, D. 2000. Culture and Psychology. 2nd Edition.Belmont,CA: Wadsworth

Memed, Hariadi.2010. Hakikat Konseling Lintas Budaya.

http://hariadimemed.blogspot.com/2010/04/hakikat-konseling-lintas-budaya.html. Diakses: 16 Sepetmber 2013

Gambar

Gambar 2.1  Tujuh Ekspresi Emosi Universal (The seven universal expressions of
Gambar 2.2 Teori Neurocultural Ekspresi Emosional
Tabel 2.1 Laten Konten dari Emosi (Latent Content of Emotion)

Referensi

Dokumen terkait

Percobaan dilakukan dalam 5 tahap, yaitu pengujian komponen bekatul segar, penentuan suhu dan lama pemanasan untuk stabilisasi bekatul, penentuan lama ekstraksi

(1) Kepala Seksi yang membidangi pelayanar:r administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 trun;f c mempunyari tugas melaksanakan teknis pelayanan;. tzl Kepala Seksi

Peraturan menteri ini mewajibkan setiap kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang berukuran di atas 5 gross tonnage (GT) dan beroperasi di Wilayah

Kehadiran/absensi menunjukkan bahwa disiplin kerja pegawai baik dari kehadiran jam masuk kantor maupun pada jam pulang kantor maupun disiplin dalam hal melaksanakan tugas

Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris menggunakan format yang sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan.. Panitia tidak menerima naskah yang

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Kemampuan Netralisasi Antibodi Anti AI H5N1 Asal Induk Dalam Kuning Telur Ayam Yang Divaksinasi Berbagai Vaksin AI H5N1

Berdasarkan informasi yang memperlihatkan kesenjangan teori dengan fakta antara faktor yang mempengaruhi jumlah kredit maka penelitian lebih khusus dan mendalam perlu

Total eritrosit menunjukkan perubahan yang bervariasi sampai minggu ke-9 pasca infeksi, dimana kadar hemoglobin, nilai PCV dan indeks eritrosit pada sapi kontrol dan sapi