• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA Disusun un

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA Disusun un"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Pediatrik di Ruang Anggrek RSUD Ngudi Waluyo Blitar

Oleh :

Dianita Ayu Retnani 105070201131006

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA

A. DEFINISI

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002).

Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai jaringan paru (alveoli). (DEPKES. 2006).

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. (Zuh Dahlan. 2006)..

Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian pada anak dan anak balita (Said 2007).

Dapat disimpulkan pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

B. KLASIFIKASI

Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia dikenal sebagai berikut:

1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.

(3)

3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus, atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin terjadi karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.

1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.

2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.

3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.

Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia dapat diklasifikasikan:

1. Usia 2 bulan – 5 tahun

a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah.

b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2 bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun 40 x/menit atau lebih.

(4)

2. Usia 0 – 2 bulan

a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.

b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.

C. ETIOLOGI

Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.

1. Bakteri

Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).

2. Virus

Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

3. Mikoplasma

Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

4. Protozoa

(5)

lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).

Cara Penularan

Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002).

Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia

Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita (Depkes, 2004), diantaranya :

a. Faktor risiko yang terjadi pada balita

Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :

1. Status Gizi

Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).

2. Status Imunisasi

(6)

3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)

Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000).

4. Umur Anak

Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000).

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :

1. Ventilasi

Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001). 2. Polusi Udara

Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor (Lubis, 1989).

D. PATOFISIOLOGI

Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal sampai unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa mekanisme:

1. filtrasi partikel dari hidung.

2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.

(7)

4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris. 5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.

6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.

7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.

Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar. Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten limpatik mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura visceral

Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi fisiologis right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan hiperkapnia. (Bennete, 2013)

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011): 1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

(8)

anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

E. MANIFESTASI KLINIS Gejala

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008).

Tanda

Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain : 1. Batuk nonproduktif

2. Ingus (nasal discharge) 3. Suara napas lemah

4. Penggunaan otot bantu napas 5. Demam

6. Cyanosis (kebiru-biruan)

7. Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar 8. Sakit kepala

9. Kekakuan dan nyeri otot 10. Sesak napas

11. Menggigil 12. Berkeringat 13. Lelah

(9)

15. Mual dan muntah

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus atau mikoplasma, umunya leukosit normal atau sedikit meningkat, tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan predominan limfosit (Sectish and Prober, 2007). Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan sel polimorfonuklear khususnya granulosit. Leukositosis hebat (30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan pneumonia bakteri. Adanya leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan peningkatan LED. Namun, secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dan bakteri secara pasti (Said, 2008)

2. Uji serologi

Uji serologis untuk deteksi antigen dan antibodi untuk bakteri tipik memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah. Pada deteksi infeksi bakteri atipik, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis (Said, 2008).

3. Pemeriksaan mikrobiologis

Pada pneumonia anak, pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan, kecuali pada pneumonia berat yang rawat inap. Spesimen pemeriksaan ini berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Said, 2008). Spesimen dari saluran napas atas kurang bermanfaat untuk kultur dan uji serologis karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri (McIntosh, 2002).

4. Pemeriksaan rontgen toraks

Foto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang rawat inap. Kelainan pada foto rotgen toraks tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis. Kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis, namun resolusi infiltrat seringkali memerlukan waktu yang lebih lama bahkan setelah gejala klinis menghilang. Ulangan foto rontgen thoraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut. Umumnya pemeriksaan penunjang pneumonia di instalasi gawat darurat hanyalah foto rontgen toraks posisi AP (Said, 2008).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

(10)

kecil dapat diberikan secara efektif di dalam rumah. Rawat inap disarankan pada bayi berusia dua bulan dan lebih muda, dan juga dalam kasus yang sangat parah(WHO, 2011).

1. Terapi suportif umum:

a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan pemeriksaan AGD.

b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.

c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi. d. Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap

pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral. e. Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.

f. Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila terjadi hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy distress dan respiratory arrest.

2. Penatalaksanaan pada Bayi dan Balita

 Untuk bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

a. Pneumonia berat : Bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotic.

b. Pneumonia : Bila tidak ada sesak napas tetapi napas cepat tidak per;lu dirawat namun diberikan antibiotic oral.

c. Bukan Pneumonia : bila tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak perlu antibiotic, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.

 Untuk bayi berusia dibawah 2 bulan

a. Pneumonia : Bila ada napas cepat atau sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotic.

b. Bukan Pneumonia : Tidak ada napas cepat atau sesak napas tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.

 Pneumonia rawat jalan

a. Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol.

b. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/KgBB .

c. Dosis kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20 mg/kgBB sulfametoksazol).

 Pneumonia rawat inap

(11)

b. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap obat diatas, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin.

c. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.

d. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya sepsis atau meningitis.

e. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavunalat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.

f. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari,

3. Obat – obatan a. Antibiotik

Antibiotik yang sering digunakan adalah penicillin G. Mediaksi efektif lainnya termasuk eritromisin, klindamisin dan sefalosporin generasi pertama. Bila penderita alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500mg 4 x sehari. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering). Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet. Dosis anak :

• 2 – 12 bulan : 2 x ¼ tablet • 1 – 3 tahun : 2 x ½ tablet • 3 – 5 tahun : 2 x 1 tablet

Tergantung jenis batuk dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau brankodilator (teofilin atau salbutamol). Pada kasus dimana rujukan tidak memungkinkan diberikan injeksi amoksisilin dan / atau gentamisin. Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.000 – 1.200.000 IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 x sehari terutama pada penderita dengan batuk produktif.

b. Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada keadaan sepsis berat. c. Inotropik

Pemberian obat inotropik seperti dobutamin atau dopamine kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal. d. Terapi oksigen

Terapi oksigen diberikan dengan tujuan untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.

(12)

Nebulizer digunakan untuk mengencerkan dahak yang kental. Dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronchodilator bila terdapat bronchospasme.

f. Ventilasi mekanis

Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia :

Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan oksigen 100 % dengan menggunakan masker

Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat asidosis respiratorik.

Respiratory arrest

Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

H. KOMPLIKASI a. Abses paru

Abses paru di dalam paru-paru diding tebal, nanah mengisi rongga yang dibentuk ketika infeksi atau peradangan merusak jaringan paru-paru.

b. Efusi pleural dan empiema

Daerah yang sempit di antara dua selaput pleural secara normal berisi sejumlah kecil cairan yang membantu melumasi paru-paru. Sekitar 20% pasien yang diopname untuk radang paru-paru, cairan ini membangun di sekeliling paru-paru. Dalam banyak kasus terutama pada streptococcus pneumoniae, cairan tetap steril, tetapi ada kalanya dapat terkena infeksi dan bahkan berisi nanah (suatu kondisi yang disebut empiema). Radang paru-paru dapat juga disebabkan pleura sehingga terjadi peradangan yang mana dapat mengakibatkan terganggunya jalan nafas dan sakit yang akut.

c. Kegagalan paru-paru

Udara mungkin memenuhi area antara selaput-selaput pleural yang menyebabkan pneumothorak atau kegagalan paru-paru. Kondisi bisa berupa suatu kesulitan dari radang paru-paru (terutama sekali radang paru-paru pneumococcal) atau sebagian dari prosedur pelanggaran yang digunakan untuk melakukan efusi pleural.

d. Komplikasi radang paru-paru yang lain

(13)

Hemoptisis yang parah (batuk darah) adalah komplikasi radang paru-paru serius yang lain. Selain itu komplikasi yang lain yaitu perikarditis, meningitis dan atelektasis.

e. Gagal nafas

Kegagalan yang berhubungan dengan pernafasan adalah suatu hal yang penting-penting yang dapat menyebabkan kematian pada diri pasien dengan radang paru-paru pneumoccocal. Kegagalan dapat terjadi karena perubahan mekanik dalam paru-paru yang disebabkan oleh radang paru-paru (kegagalan ventilatory) atau hilangnya oksigen di dalam nadi ketika radang paru-paru mengakibatkan arus darah menjadi tidak normal (kegagalan pernapasan hypoxemic).

I. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia

Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas. b. Sirkulasi

Gejala : riwayat adanya

Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat. c. Makanan/cairan

Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus

Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi).

d. Neurosensori

Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza) Tanda : perusakan mental (bingung)

e. Nyeri/kenyamanan

Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia. Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan)

f. Pernafasan

Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea. Tanda :

a. sputum: merah muda, berkarat

b. perpusi: pekak datar area yang konsolidasi

(14)

d. Bunyi nafas menurun e. Warna: pucat/sianosis bibir g. Keamanan

Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam. Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar

h. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8 hari

Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

Perlu diperhatikan adanya takipnea dispne, sianosis sirkumoral, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Batasan takipnea pada anak berusia 12 bulan – 5 tahun adalah 40 kali / menit atau lebih. Perlu diperhatikan adanya tarikan dinding dada ke dalam pada fase inspirasi. Pada pneumonia berat, tarikan dinding dada kedalam akan tampak jelas.

2. Palpasi

Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan atau tachycardia.

3. Perkusi

Suara redup pada sisi yang sakit.

4. Auskultasi

Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung / mulut anak. Pada anak yang pneumonia akan terdengar stridor. Sementara dengan stetoskop, akan terdengar suara napas berkurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa resolusi. Pernapasan bronchial, egotomi, bronkofoni, kadang terdengar bising gesek pleura (Mansjoer,2000).

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul 1. Pola nafas tidak efektif b.d proses inflamasi

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi mekanis, inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri.

3. Intoleransi aktivitas b.d proses inflamasi, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

(15)

5. Nyeri b.d proses inflamasi

6. Cemas b.d kesulitan bernafas, prosedur dan lingkungan yang tidak dikenal (rumah sakit).

7. Perubahan proses keluarga b.d penyakit dan atau hospitalisasi anak.

3. Rencana asuhan keperawatan No

Dx

Tujuan Intervensi Rasional

1 Klien menunjukkan fungsi pernafasan

Tingkatkan istirahat dan tidur dengan

Untuk menghindari penekanan

diafragma.

Pakaian yang ketat menghambat

perkembangan nafas.

Untuk meningkatkan keadekuatan oksigen.

Relaksasi dapat mengurangi

kecemasan.

(16)

2 Klien dapar

Beri ekspektoran sesuai ketentuan.

Lakukan fisioterapi dada.

Untuk membersihkan jalan nafas akibat

(17)

mentoleransi

Instruksikan anak untuk beristirahat jika

 Ajarkan fisioterapi dada yang baik.

(18)

nyeri atau penurunan nyeri/ketidaknyamana n sampai tingkat yang dapat diterima oleh

Rencanakan untuk memberikan

analgesik yang ditentukan sebelum prosedur.

Berikan analgesik

dengan rute

traumatik yang paling kecil jika mungkin.

Gunakan strategi yang dikenal anak

 Untuk menghindari nyeri tambahan.

(19)
(20)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI

Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta.

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.Jakarta : EGC

Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta

Doenges, Marilynn, E. dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta. Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI Jakarta Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,

Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen LKjIP menyajikan hasil pengukuran kinerja tahun 2015 serta evaluasi dan analisis akuntabilitas kinerjanya, sehingga dokumen LKjIP ini dapat memberikan informasi

Nilai postes di kelas eksperimen yang lebih besar dari pada nilai postes di kelas kontrol dan juga n-gain yang berkategori tinggi di kelas eksperimen dan di

Apabila besarnya LQ = 1, maka pangsa pasar derah tersebut sebanding dengan pangsa daerah yang lebih luas (Provinsi Bengkulu) sehingga tidak bisa dijadikan sektor unggulan. Subsektor

menggunakan bahan baku yang telah memiliki COA (Certificate of Analysis)  Mesin yang digunakan dalam proses produksi minuman ringan di Borobudur Citra. Perkasa yaitu double

Laporan akhir ini disusun berdasarkan hasil pembuatan alat dengan judul “ Pembuatan Pulp dari Bahan Baku Serat Lidah Mertua (Sansevieria).. dengan Menggunakan

Selain itu, Provinsi Riau juga memiliki hutan mangrove yang tersebar di tujuh (7) kabupaten/kota yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan

Dari dapat kita simpulkan bahwa suatu ideologi terbuka, karena bersifat demokratis, memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai dinamika internal yang

Dari hasil analisis zonasi kawasan kota pusaka tersebut didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan Kota Pusaka di Kota Palembang yaitu faktor