commit to user
THEORY: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh: TRI REJEKI ARUMSARI
F. 1310086
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
v
Jadikanlah sabar dan shalat itu sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah: 153)
v
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (QS. Al Insyiroh: 6)
v
Setiap kesuksesan dalam hidup tidaklah gratis, harus dibayar dengan
harga yang pantas. (Anonim)
v
Nikmati dan syukuri proses yang ada, dari proses itulah kita akan
©
Ibu, Bapak,
my older sister and my younger sister yang selalu mendoakan
yang terbaik dalam hidupku.
©
Bapak Djoko Suhardjanto, terimakasih untuk bimbingan yang
diberikan selama ini.
©
Syahroni, untuk dukungan dan doanya.
©
Teman-teman seperjuangan di UNS Transfer 2010.
commit to user
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena penulis menyadari tanpa
ridha dan bimbingan-Nya segala sesuatu tidak dapat terwujud.
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan,
dorongan, doa dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya skripsi ini dengan baik.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Wisnu Untoro M. S selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Santoso Tri Hananto, M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons) Ph. D Ak, selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu, kesabaran dan perhatian yang tinggi dalam
memberikan bimbingan, serta pengarahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Makasih Bapak buat dateline setiap minggu, maaf kalo saya keset dan gak mudengan.
Pak Djoko joss pokoknya.
4. Keluargaku yang selalu memberikan kepercayaan, dukungan dan doa yang tiada henti.
Ibu, Ibu, Ibu dan Bapak, seluas dan sebanyak apapun anakmu ini berikan takkan
mampu membalas kebaikan kalian. Semoga Alloh SWT memberikan balasan dengan
kehangatan rumah yang selalu tercipta dan membuat semangat lagi balik kalo nyolo .
5. Syahroni, the best man ever i had. Terimakasih untuk dukungan dan doamu.
6. Janita Pratika Sari, makasih karena selalu bersedia mendengarkan atas celotehku tiap
kali galau dan patah semangat. Epong, ayo semangat skripsinya, kamu pasti bisa! Nana,
makasiih buat tumpangan nge-printnya.
7. Teman-teman “J” yang dipurwokerto (Mbaeh, Mz Rasyid, Mz sony, Mz Budi, Yeti,
Evi, Lintung, Aa Ari, Dodo, Pujel, Mz Wendy, Mz Joni and all “J”), ayook pada
camping, rafting, manjat..kangen bau tanah, kangen wave+hole-nya Serayu, dan
terutama kangen suasana kekeluargaan yang selalu tercipta.
8. Mbak Indi, Sesar, Nana, Awin, Bunga, Yuanita, Tika, kangen buat jalan-jalan bareng
kalian lagi. Mbak Indi, Tika, Sesar, Nana, Yuanita, ayook ndang nyusul.
9. The Djs Family (Ima, Moecha, Mbak Indi ma Mbak Citra, Mbak Ane), makasih buat
koreksian tiap minggunya, Ima makasih buat sharing, masukan, koreksian dan nyuplai
semangatku di akhir-akhir skripsi ini. Buat Moecha, jangan patah semangat yaa..kamu
pasti bisa! Mbak Indi ma Mbak Citra ndang konsul neh tho mbak, segera menyusul lho.
10. Wisma Puri Sari dan penduduknya, pasti bakalan kangen sama celoteh dan gumaman
kalian semua.
11. Teman-teman di Akuntansi Transfer 2010, ditunggu reunian yahhh.
12. Semua orang-orang yang telah memberikan warna dalam hidupku, yang tidak bisa
disebutkan satu per satu, dengan segenap kerendahan hati izinkan sebuah kata mengalir
tulus dari lubuk terdalam: Terima kasih.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan
commit to user
balasan dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua yang
membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Surakarta, Desember 2012
Halaman
HALAMAN JUDUL... ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ……ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
ABSTRAKSI ……… .. xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Landasan Teori ... 9
1. Teori Stakeholder ... 9
2. Disclosure (Pengungkapan) ... 20
3. Risk Management Disclosure ... 22
B. Kaitan antara Stakeholder dan Risk Management Disclosure ... 30
C. Kerangka Konseptual ... 36
commit to user
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 44
C. Data dan Metode Pengumpulan Data………. . 45
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ... 46
E. Teknik Analisis Data ... 51
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskriptif data ... 56
1. Seleksi Sampel ... 56
2. Statistik Deskriptif ... 58
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81
C. Keterbatasan ... 83
D. Rekomendasi ……… .. 83
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
Tabel II.1 Perbandingan Klasifikasi Risiko ... ...33
Tabel III.1 Keterangan Persamaan Penghitungan Risk Management Disclosure ... 48
Tabel III.2 Keterangan Persamaan Analisis Regresi ... 52
Tabel IV.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ... 57
Tabel IV.2 Statistik Deskriptif Risk Management Disclosure ... 58
Tabel IV.3 Statistik Deskriptif Variabel Independen ... 61
commit to user
Lampiran I Summary Item Pengungkapan Risk Management
Lampiran II Daftar Perbankan
Lampiran III Perbankan dan Skor Pengungkapan Risk Management
commit to user
iv
RISK MANAGEMENT DISCLOSURE DALAM PERSPEKTIF
STAKEHOLDER THEORY: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRAKSI
TRI REJEKI ARUMSARI F1310086
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penerapan stakeholder theory terhadap risk management disclosure perusahaan perbankan di Indonesia.
Stakeholder theory direpresentasikan dengan leverage, blockholder ownership, kepemilikan manajerial, proporsi Komite Audit Independen, ukuran Komite Pemantau Risiko, Return on Equity (ROE), dan Tobins’q
Pengukuran tingkat risk management disclosure dalam penelitian ini menggunakan item-item yang terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 13/23/DPNP/2011. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 84 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa efek Indonesia tahun 2009-2011. Sampel tersebut dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Rerata tingkat risk management disclosure sebesar 52,24%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan perbankan di Indonesia dalam mengungkapkan informasi mengenai risk management masih rendah, mengingat
risk management disclosure adalah salah satu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 60 (revisi 2010), PBI Nomor: 11/25/PBI/2009. Hasil pengujian regresi menunjukan adanya pengaruh negatif signifikan antara variabel blockholder ownership dan kepemilikan manajerial, dan pengaruh pengaruh positif signifikan antara variabel ukuran Komite Pemantau Risiko terhadap risk management disclosure. Variabel lainnya yaitu leverage, proporsi Komite Audit Independen, ROE dan Tobins’q tidak berpengaruh terhadap tingkat risk management disclosure.
commit to user
v
RISK MANAGEMENT DISCLOSURE DALAM PERSPEKTIF
STAKEHOLDER THEORY: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRACT
TRI REJEKI ARUMSARI F1310086
This purpose of this study is to examine the effect of the application of stakeholder theory to risk management disclosure of Indonesian banks. Stakeholder theory are identified as leverage, blockholder ownership, managerial ownership, proportion of audit committee, the number of risk management committee, return on equity (ROE) and tobins’q.
The level of risk management disclosure is measured based on identified items of Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 13/23/DPNP/2011. Under purposive sampling, secondary data of 84 annual reports year 2009-2011 of banks in Indonesian Stock Exchange are selected.
The average level of risk management disclosure is at 52.24%. This number indicates that Indonesian’s banks are not fully complience to PSAK No. 60 (revisi 2010), PBI Nomor: 11/25/PBI/2009. The results of multiple regression shows the significant negative effect of the variable blockholder ownership and managerial ownership, and a significant positive effect between the variable size of risk management committee to risk management disclosure. Other variables, leverage, the composition of independent audit comittee members, ROE and Tobins'q are not good predictors for level of risk management disclosure.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab yang pertama ini akan menjelaskan mengenai latar belakang
dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan sistematika dari penulisan penelitian ini.
A. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh stakeholder perusahaan
terhadap risk management disclosure perusahaan perbankan di Indonesia.
Dimensi stakeholder dalam penelitian ini merunut pada pendapat Ullmann (1985)
yang terdiri dari stakeholder power, strategic posture dan economic performance.
Stakeholder power diproksikan dengan kreditur, pemegang saham, manajer,
sedangkan untuk strategic posture diproksikan dengan Komite Audit dan Komite
Pemantau Risiko. Economic performance diproksikan dengan Return on Equity
(ROE) dan Tobins’q.
Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, dunia dilanda krisis
keuangan internasional yang disebut credit crisis (Oorschot, 2009). Krisis
keuangan ini karena kegagalan kebijakan kredit yang dilakukan di Amerika
Serikat yang kemudian menjalar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Topik
menarik untuk diteliti karena permintaan dan penawaran mengenai risk disclosure
pada perusahaan dari tahun ke tahun semakin meningkat (Oorschot, 2009).
Amran, Abdul, Hassan (2008) mengemukakan bahwa risiko merupakan
bagian dari kegiatan bisnis. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:
5/8/PBI/2003 yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi PBI Nomor;
11/25/PBI/2009, risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
(events) tertentu. Dalam konteks perbankan, risiko merupakan suatu kejadian
potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat
diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan
permodalan bank (Lampiran SE No.5/21/DPNP, 29 September 2003).
Ada beberapa kasus berkaitan dengan manajemen risiko perbankan
Indonesia diantaranya mengenai penggelapan rekening nasabah Citibank pada
periode 2007 – 2011 yang merugikan 30 nasabah Citibank
(http://www.finance.detik.com, 2012 ). Kasus penggelapan tersebut dapat dicegah
bila perusahaan menerapkan manajemen risiko dengan baik
(http://www.mtempo.co, 2012). Kasus lain yang terjadi di Indonesia berkaitan
dengan risiko kredit adalah penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dimana bank tidak mampu mengembalikan BLBI, 5 (lima) Bank yang
melakukan penyimpangan terbesar yaitu, Bank Dagang Nasional, Bank Central
Asia (BCA), Bank Danamon, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Indonesia
commit to user
Kasus – kasus tersebut menunjukkan bahwa risiko manajemen perusahaan
tidak dikelola dengan baik dan membuktikan kurangnya transparansi antara pihak
manajemen dan stakeholder. Padahal, unsur keterbukaan (transparansi) dalam
laporan keuangan perusahaan telah diatur oleh Bapepam, diantaranya perusahaan
diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi – transaksi penting yang berkaitan
dengan perusahaan, risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan perusahaan
(corporate action) yang akan dijalankan (Fuad, 2006). Pengungkapan risiko
dalam laporan keuangan menjadi penting karena dapat mengurangi asimetri
informasi yang menyebabkan kerugian bagi stakeholder.
Penelitian mengenai risk management disclosure di Indonesia dilakukan
oleh Yudawijaya (2011) pada sektor publik yaitu, Pemerintah Kota dan
Kabupaten se-Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan ukuran Pemerintah
Daerah, dan leverage yang berpengaruh positif terhadap risk management
disclosure. Ukuran Pemerintah Daerah berpengaruh karena pemerintah daerah
yang lebih besar cenderung akan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk
mendapatkan dan menyampaikan informasi yang lebih banyak kepada
stakeholder. Pemerintah Daerah yang mempunyai tingkat leverage tinggi
memiliki kewajiban mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan
pengungkapan risiko. Pengungkapan tersebut penting dilakukan guna memberikan
rasa aman dan kepastian di masa mendatang. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah variabel yang digunakan merupakan aplikasi
stakeholder Ulmann (1985) dan sampel yang digunakan adalah pada sektor
Lajli dan Zeghal (2005) melakukan analisis risk management disclosure
terhadap 300 perusahaan di Canada dengan metode content analysis yang
dilakukan dengan mengklasifikasikan kalimat dan meranking, menghasilkan
kesimpulan : (1) pengungkapan risiko pada laporan tahunan perusahaan sebagian
besar terdapat footnote laporan keuangan sebesar 85,09% dan bersifat kualitatif,
(2) sebagian besar perusahaan mengungkapkan minimal satu kategori risiko dan
maksimal 9 kategori risiko, dimana risiko keuangan merupakan risiko yang paling
sering diungkapkan. Penelitian lain dilakukan oleh Linsley dan Shrives (2006)
mengenai pengungkapan risiko annual report perusahaan di UK. Berdasarkan
penelitian tersebut, ditemukan pengaruh signifikan terhadap ukuran perusahaan
dan tingkat risiko lingkungan dengan luas pengungkapan risiko. Helbok dan
Wagner (2006) meneliti luas pengungkapan risiko operasional dalam laporan
keuangan dari 59 bank komersial di Nord America, Asia dan Eropa pada rentang
waktu tahun 1999 – 2001 secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa lembaga keuangan dengan profitabilitas yang lebih rendah
mengungkapkan penilaian dan pengelolaan risiko operasional dengan lebih luas.
Tingkat profitabilitas yang tinggi akan semakin meningkatkan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh laba, sehingga perusahaan dengan tingkat
profitabilitas tinggi mendorong para manajer untuk memberikan informasi yang
lebih luas terhadap stakeholdernya.
Amran et.al. (2008) meneliti mengenai risk management disclosure pada
laporan tahunan perusahaan Malaysia mengungkapkan bahwa variabel ukuran
commit to user
Perusahaan yang lebih besar akan mempunyai stakeholder yang lebih banyak
sehingga akan semakin banyak mengungkapkan informasi sebagai bentuk
pertanggungjawaban terhadap stakeholdernya. Oorschot (2009) melakukan
penelitian mengenai pengungkapan risiko pada perbankan Jerman dengan
cakupan pembahasan pengungkapan pasar, kredit dan risiko likuiditas bank di
Jerman dalam tahun 2005 – 2008 secara kuantitatif dan kualitatif. Pengungkapan
secara kuantitatif dan kualitatif masing-masing mencapai tingkat 74,50% dan
83,00%. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa permintaan dan penawaran
tentang risiko pada perbankan di Jerman semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Penelitian ini menganalisis aspek dalam stakeholder theory yang dikaitkan
dengan risk management disclosure. Chairiri (2008) mengatakan bahwa dalam
stakeholder theory perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya
(pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis
dan pihak lain), sehingga keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Hal
tersebut seperti yang diungkapkan oleh Gray, Kouhy dan Adams (1995) bahwa
kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder, makin
powerfull stakeholder makin besar perusahaan untuk beradaptasi. Dukungan
kepada perusahaan dapat diperoleh dengan menerapkan tanggungjawabnya
kepada stakeholder salah satunya dengan mengungkapkan risk management
bagi manajemen sebagai sarana untuk mengkomunikasikan tata kelola dan kinerja
perusahaan kepada stakeholdernya (Healy dan Palepu, 2001).
Era globalisasi seperti saat ini menjadikan produk dan aktivitas bank
semakin kompleks sehingga mengakibatkan risiko yang dihadapi bank akan
semakin meningkat. Hal tersebut menjadikan penelitian ini penting untuk
dilakukan, selain itu penelitian mengenai risk management disclosure dalam
perspektif stakeholder theory untuk perusahaan perbankan di Indonesia belum
pernah dilakukan. Pemilihan perusahaan perbankan dengan alasan bahwa
perbankan berbeda dengan sektor industri lain. Perusahaan perbankan merupakan
perusahaan keuangan (financial) yang highly regulated (Suhardjanto dan Aryane,
2011) dan lembaga yang dikenal sebagai risk taking entities (Oorschot, 2009),
selain itu penelitian mengenai aplikasi stakeholder pada risk management
disclosure di Indonesia belum pernah dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut
diatas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul ”Risk Management Disclosure dalam Perspektif Stakeholder Theory: Studi Empiris Perbankan di
Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, maka permasalahan
yang hendak diteliti adalah apakah stakeholder theory yang direpresentasikan
dengan (1) leverage, (2) blockholder ownership, (3) kepemilikan manajerial, (4)
commit to user
return on equity (ROE) dan Tobins’q berpengaruh terhadap risk management
disclosure perusahaan perbankan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh stakeholder theory yang
direpresentasikan dengan (1) leverage, (2) blockholder ownership, (3)
kepemilikan manajerial, (4) proporsi Komite Audit Independen, (5) ukuran
Komite Pemantau Risiko, (5) return on equity (ROE) dan Tobins’q terhadap risk
management disclosure perusahaan perbankan di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat termasuk :
1. Bagi akademisi, memberikan bukti empiris mengenai cakupan risk
management disclosure yang dipengaruhi oleh stakeholder perusahaan.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memunculkan penelitian lain
mengenai risk management disclosure pada perusahaan perbankan di
Indonesia.
2. Bagi stakeholder dan pihak – pihak yang berkepentingan, diharapkan
dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan,
3. Bagi perusahaan, memberikan bukti empiris mengenai pentingnya risk
management disclosure dimana dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam menyusun annual report.
4. Bagi pihak regulator, khususnya IAI dan Bapepam – LK, memberikan
referensi untuk membuat peraturan yang lebih baik mengenai item – item
commit to user
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
Setelah membahas pendahuluan di Bab I, maka pada Bab II ini akan
dijelaskan mengenai landasan teori, kerangka teoritis serta penelitian terdahulu
dan pengembangan hipotesis dalam penelitian ini.
A. Landasan Teori
Pada landasan teori ini akan dijabarkan mengenai teori dan literatur yang
mendasari komponen maupun variabel penelitian.
1. Teori Stakeholder
Teori stakeholder dimulai dengan asumsi bahwa nilai adalah sesuatu yang
perlu dan secara eksplisit merupakan bagian dalam kegiatan bisnis (Freeman,
Andrew, Bidhan, 2004). Stakeholder merupakan kelompok atau individu yang
dapat berpengaruh ataupun dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan,
mendapatkan keuntungan ataupun dirugikan oleh perusahaan, serta haknya
dipenuhi ataupun diabaikan oleh perusahaan. (Freeman, 1984 dalam Roberts,
1992).
Kelompok stakeholder dalam perusahaan terdiri dari investor, pelanggan,
supplier dan karyawan (Donaldson dan Preston, 1995). Kelompok stakeholders
inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan
atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan (Rafinda,
Bambang, Poppy, 2011). Seorang pemangku kepentingan (stakeholder), seperti
investor, mengumpulkan informasi risiko perusahaan yang berguna untuk
membantu pengambilan keputusan (Amran et.al., 2008).
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat
bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah,
masyarakat, analis dan pihak lain) (Chairiri, 2008). Teori stakeholder memiliki
penekanan yang berbeda tentang pihak-pihak yang dapat mempengaruhi luas
pengungkapan informasi di dalam annual report perusahaan dimana lebih
mempertimbangkan posisi para stakeholders yang dianggap mempunyai
kekuasaan (Rafinda et.al., 2011).
Penelitian Roberts (1992) secara empiris membuktikan bahwa teori
stakeholder merupakan landasan teori untuk menganalisis dampak dari kinerja
keuangan perusahaan, strategi aktivitas tanggungjawab sosial perusahaan, dan
intensitas stakeholder dalam mempengaruhi pengungkapan lingkungan.
Perusahaan yang berkomitmen untuk melaporkan segala aktivitasnya kepada
stakeholder, biasanya bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberlanjutan pengkreasian nilai untuk semua stakeholder (Ernst dan Young,
1999).
Salah satu strategi untuk mengelola stakeholder adalah dengan disclosure.
Disclosure merupakan suatu cara untuk mewujudkan transparansi dalam bidang
bisnis, selain itu disclosure atas laporan keuangan tahunan juga dapat
commit to user
Lana, 2007). Hackston dan Milne (1996) mengemukakan bahwa pengungkapan
tanggung jawab lingkungan dipercaya sebagai pendekatan manajemen untuk
mengurangi tekanan sosial dan merespon kebutuhan sosial. Teori stakeholder
menekankan bahwa organisasi akan lebih memilih secara sukarela (voluntary)
mengungkapkan informasi tentang kinerja lingkungan, sosial dan intelektualnya,
melebihi kewajibannya, untuk memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang
diakui oleh stakeholder (Rafinda et.al., 2011).
Ullmann (1985) menyajikan tiga model dimensi teori stakeholder untuk
menjelaskan korelasi antara pengungkapan sosial serta kinerja sosial dan kinerja
ekonomi. Dimensi pertama adalah stakeholder power yang menjelaskan mengenai
kekuasaan stakeholder. Dimensi kedua adalah strategic posture perusahaan
terhadap kegiatan tanggung jawab sosial. Strategic posture menggambarkan
respon dari pembuat keputusan perusahaan tentang tuntutan sosial. Dimensi ketiga
adalah economic perfomance yang menyangkut kinerja masa lalu dan ekonomi
perusahaan saat ini. Economic performance secara langsung mampu
mempengaruhi kemampuan keuangan terhadap tanggung jawab sosial.
a. Stakeholder power
Stakeholder power merupakan landasan teori yang mendasari kerangka
Ulmann (1985). Weber (1947) dalam Mitchell, Bradley, Donna (1997)
mendefinisikan power sebagai kemungkinan dimana seorang pemain diantara
suatu hubungan sosial mempunyai posisi untuk membawa kekuasaannya
sebagai hubungan antara pemain sosial, dimana salah satu pemain sosial A
mendapatkan pemain sosial yang lain, sebaliknya B melakukan sesuatu dimana B
tidak dapat menyelesaikannya. Pihak yang mempunyai power dalam perusahaan
dapat memperoleh akses untuk memaksa, memanfaatkan, atau bersifat normatif
untuk menjatuhkan suatu hubungan (Mitchell et.al., 1997). Jadi dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan adalah kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang
atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma, atau kekuatan
fisik. Stakeholder power dibahas sebagai dasar kerangka dari model Ullmann
(1985), mengacu bagaimana pengaruh kekuasaan stakeholder terhadap
perusahaan, agar perusahaan memenuhi tuntutan stakeholder (pemilik, kreditur,
manajer, maupun regulator), hal ini dianggap penting karena untuk keberlanjutan
keberhasilan perusahaan (Clarkson, 1995; Roberts, 1992).
1) Stakeholder Power – Kreditur
Kedudukan teori stakeholder terbatas pada memelihara dalam hubungan,
perusahaan akan menginformasikan pengungkapan yang lebih banyak kepada
stakeholder kunci seperti kreditur. Stakeholder seperti pemegang saham dengan
kreditur mewajibkan hubungan yang baik dengan perusahaan (Suhardjanto, 2008).
Kreditur meminjamkan dana kepada perusahaan bila mereka percaya bahwa
perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang baik sehingga dapat mengembalikan
pinjaman pokok beserta bunganya di kemudian hari.
Jika stakeholder menginvestasikan sumber daya mereka dengan jumlah
yang banyak mereka akan mengharapkan hubungan yang lebih penting
commit to user
keuangan yang diperlukan untuk keberlanjutan operasi perusahaan (Robert, 1992).
Kreditur akan melaksanakan kekuasaan mereka dengan meningkatkan biaya
modal atau menahan utang (Kent dan Chan, 2003). Dapat disimpulkan bahwa,
semakin besar perusahaan bergantung pada pembiayaan utang untuk mendanai
proyek-proyek modal, semakin besar pula pengungkapan yang dilakukan oleh
perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap stakeholdernya.
Kreditur dalam penelitian ini diproksikan dengan tingkat leverage
perusahaan. Perusahaan dengan leverage yang semakin tinggi menunjukkan
semakin berisiko dalam pelunasannya. Tingkat leverage yang tinggi menunjukkan
tingkat ketergantungan terhadap pihak eksternal (kreditur), sehingga perusahaan
mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi yang lebih detail dalam
laporan tahunan untuk memenuhi kebutuhan stakeholder. Suhardjanto (2008)
memperkuat pendapat tersebut, bahwa semakin besar tingkat leverage perusahaan,
maka semakin terperinci informasi yang diungkapkan. Semakin rendah tingkat
leverage perusahaan maka akan semakin bagus kondisi perusahaan tersebut dan
semakin tinggi tingkat leverage semakin tinggi pula risiko pelunasannya.
2) Stakeholder Power – Pemegang Saham
Pemegang saham menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah
pemegang surat bukti kepemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberi
hak atas deviden dan lain – lain menurut besar kecilnya modal yang disetor.
Penyebaran kepemilikan perusahaan, terutama oleh pemegang saham yang peduli
misalnya, gereja dan rencana pensiun sipil, dan pemegang saham etis),
mempertinggi tekanan bagi manajemen untuk mengungkapkan kegiatan tanggung
jawab sosial (Ullmann, 1985). Struktur kepemilikan saham perusahaan dapat
menurunkan konflik kepentingan (Jensen dan Meckling, 1976). Shleifer dan
Vishny (1986) mengemukakan bahwa pemegang saham publik layak melakukan
pengawasan terhadap perusahaan.
3) Stakeholder Power – Manajer
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, manajer mempunyai pengertian
orang yang berwenang dan bertanggungjawab membuat rencana dan
mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai sasaran tertentu. Manajer sebagai
pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan pemegang saham
(Jensen dan Meckling, 1976). Apabila manajer ikut memiliki perusahaan (insider
ownership), atau apabila pendapatan atau kompensasi manajer dikaitkan secara
langsung dengan kekayaan pemilik maka manajer akan bertindak sebagaimana
pemilik (Haryono, 2005). Hal tersebut didukung oleh Ujiyantho (2007) bahwa
kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan
keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang
mereka kelola.
Manajer dalam penelitian ini diproksikan dengan kepemilikan manajerial
perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa guna mengurangi
konflik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat dilakukan dengan
commit to user
bahwa kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan akan mendorong
informasi positif yang lebih banyak pada publikasi terakhir sebelum pengumuman
akuisisi. Ullmann (1985) mengungkapkan bahwa jika kekuasaan stakeholder
besar, permintaan mereka cenderung menjadi perhatian perusahaan. Suhardjanto
(2008) mengungkapkan bahwa bila kepemilikan perusahaan terpusat maka
pengungkapan informasi mengenai lingkungan hidup kecil.
b. Strategic posture
Ullmann (1985) menerangkan bahwa strategic posture menggambarkan
model reaksi yang ditunjukkan untuk pengambil keputusan kunci perusahaan
terhadap tuntutan sosial. Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk memanage
stakeholdernya tergantung pada strategic posture yang diadopsi perusahaan
(Ullmann, 1985). Perusahaan yang mengadopsi strategic posture aktif akan
berusaha mempengaruhi hubungan organisasinya dengan stakeholder yang
dipandang berpengaruh/penting. Hal ini menunjukkan bahwa strategic posture
aktif tidak hanya mengidentifikasi stakeholder tetapi juga menentukan stakeholder
mana yang memiliki kemampuan terbesar dalam mempengaruhi alokasi sumber
ekonomi ke perusahaan. Sebaliknya, strategic posture pasif cenderung tidak terus
menerus memonitor aktivitas stakeholder dan secara sengaja tidak mencari
strategi optimal untuk menarik perhatian stakeholder. Kurangnya perhatian
terhadap stakeholder (dalam pendekatan strategic posture pasif) akan
kinerja sosial perusahaan (Ullmann, 1985). Strategic posture dalam penelitian ini
adalah Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko.
1) Strategic Posture – Komite Audit
Sesuai dengan Keputusan Bapepam Nomor : Kep-29/PM/2004, Komite
Audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk melakukan tugas
pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite Audit Independen merupakan
anggota Komite Audit yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota
komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan
bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Berdasarkan Komite
Nasional Kebijakan Governance (2006), Komite Audit bertugas membantu
Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa: (a) laporan keuangan disajikan
secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (b) struktur
pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (c) pelaksanaan audit
internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku,
(d) tidak lanjut temuan hasil audit dilaksanan oleh manajemen.
Menurut pasal 43, PBI Nomor: 8/4/PBI/2006 tugas dan tanggung jawab
Komite Audit adalah memantau dan mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai
kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan
perbankan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Komite Audit
commit to user
laporan keuangan (Forker, 1992) dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap
kelayakan dan/atau obyektifitas laporan keuangan serta memastikan tidak ada
tindakan manajemen yang merugikan stakeholder.
2) Strategic Posture – Komite Pemantau Risiko
Komite Pemantau Risiko merupakan komite yang dibentuk oleh Dewan
Komisaris untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggungjawabnya. Berdasarkan PBI No: 8/4/PBI/2006, Komite Pemantau Risiko
bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris dengan keanggotaan paling kurang
terdiri dari: (a) seorang komisaris independen, (b) seorang pihak independen yang
memiliki keahlian di bidang keuangan, dan (c) seorang pihak independen yang
memiliki keahlian di bidang manajemen risiko. Menurut PBI Nomor:
8/4/PBI/2006 pasal 44 Komite Pemantau Risiko melakukan (a) evaluasi tentang
kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan
tersebut, (b) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas komite manajemen risiko
dan satuan kerja manajemen risiko guna memberikan rekomendasi kepada Dewan
Komisaris. Komite pemantau risiko dikatakan sebagai strategic posture
perusahaan karena dibentuk untuk menjalankan proses dan sistem manajemen
risiko yang efektif.
c. Economic Performance
Economic performance sering disebut dengan kinerja perusahaan (Suratno,
2006). Economic performance (kinerja perusahaan) didefinisikan sebagai prestasi
keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan dan diukur dari laporan keuangan
yang dikeluarkan secara periodik. Penilaian kinerja perusahaan (companies
performance assesment) mengandung makna suatu proses atau sistem penilaian
mengenai pelaksanaan kemampuan kerja perusahaan (organisasi) berdasarkan
standar tertentu (Kaplan dan Norton, 1996). Menurut Dalton, Daily, dan Ellstrand
(1999), terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan, yaitu accounting based indicator, market based indicator atau
kombinasi di antara keduanya sebagai indikator yang digunakan. Accounting
based indicator terdiri dari return on asset (ROA), return on equity (ROE), dan
return on investment (ROI) (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1999; Pathan, Skully dan
Wickramanayake, 2007; Staikouras, Staikouras dan Agoraki, 2007). Market based
indicator terdiri dari Tobin’s Q, market to book value, jensen’s alpha, the treynor
measure, dan sharpe measure (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1999; Larmou dan
Vafeas, 2010).
1) Economic performance –Return on Equity (ROE)
Return on equity (ROE) adalah jumlah laba bersih yang dikembalikan
sebagai persentase dari ekuitas pemegang saham.ROE menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendirinya
sehingga besarnya ROE mengindikasikan tingkat efisiensi perusahaan dalam
mengelola modal sendirinya untuk menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi
ROE menunjukkan semakin efisien perusahaan menggunakan modal sendiri untuk
commit to user
Kinerja perusahaan yang memuaskan memiliki pengaruh tingkat dukungan
para pengambil keputusan perusahaan agar dapat berkomitmen untuk masa depan
kegiatan tanggung jawab sosial (Ullmann, 1985). ROE merupakan salah satu cara
untuk menghitung profitabilitas perusahaan. Haniffa dan Cooke (2005)
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas, perusahaan akan
semakin lebih banyak mengungkapkan informasi sukarela ke publik. Ullmann
(1985) mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas maka akan
semakin tinggi pula pengungkapan perusahaan untuk stakeholder, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai ROE suatu perusahaan
akan semakin tinggi risk management disclosure yang diungkapkan.
2) Economic performance –Tobins’ Q
Pengukuran menggunakan accounting based saja dirasa kurang karena
beberapa alasan, (1) berpotensi terjadi manipulasi, (2) terdapat penilaian aset
yang undervalue, (3) menciptakan distorsi karena mengadopsi metode yang
berbeda dalam melakukan konsolidasi, dan (4) sulit dalam menginterpretasi jika
terdapat kasus partisipasti multi-industri (Dalton et.al., 1999 ; Nayyar, 1992).
Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator yang lain sebagai alternatif ataupun
sebagai pendamping accounting based indicator, yaitu market based indicator.
Pengukuran menggunakan market based indicator memberikan beberapa
kelebihan, di antaranya (1) dapat merefleksikan kinerja risiko disesuaikan, (2)
pengukuran ini tidak terpengaruh oleh konteks multi-industri atau
multidimensional, dan (3) tunduk pada kekuatan di luar kendali manajemen
Market based indicator dalam penelitian ini menggunakan nilai Tobin’s q.
Nilai Tobin’s q digunakan karena menggambarkan suatu kondisi peluang
investasi yang dimiliki perusahaan (Lang, Stulz dan Walkling, 1989). Tobin’s q
adalah rasio dari nilai pasar aset untuk biaya penggantian aset. Tobin’s q dapat
diukur sebagai nilai pasar aset (nilai buku aset ditambah nilai pasar ekuitas
dikurangi nilai buku ekuitas) atas nilai buku aset (Staikouras, Staikouras, dan
Arogaki, 2007). Pengukuran Tobin’s q pada penelitian ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Bhagat dan Bolton (2008).
2. Disclosure (Pengungkapan)
Tanor (2009) mengungkapkan bahwa pengungkapan merupakan informasi
yang diberikan sebagai lampiran pada laporan keuangan dalam bentuk catatan
kaki atau tambahan. Meek, Roberts dan Gray (1995) menyatakan bahwa informasi
yang diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis
yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi
yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Pengungkapa wajib meliputi
penjelasan mengenai kebijakan akuntansi yang ditempuh, jumlah saham yang
beredar dan ukuran alternatif seperti pos-pos yang dicatat dalam historical cost
(Almilia dan Retrinasari, 2007). Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas
manajemen perusahaan untuk pembuatan keputusan oleh para pengguna laporan
commit to user
jangka panjang, indikator-indikator keuangan yang penting dan bermanfaat untuk
keefektifan implementasi strategiperusahaan (Yularto dan Chairiri, 2003).
Pengungkapan dalam laporan keuangan secara umum telah diatur dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 tentang Penyajian
Laporan Keuangan. Selain itu, pemerintah melalui Keputusan Bapepam No.
SE-02/PM/2002 juga telah mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam
laporan keuangan tahunan perusahaan di Indonesia, namun peraturan ini disusun
tetap mengacu pada PSAK. Menurut PSAK 31 (revisi 2009) tujuan dari disclosure
(pengungkapan) adalah mengevaluasi informasi instrumen keuangan atau posisi
dan kinerja keuangan entitas, mengevaluasi informasi mengenai jenis dan
besarnya risiko yang timbul dari instrumen keuangan yang mana entitas
terpengaruh selama periode dan pada akhir periode pelaporan dan bagaimana
entitas mengelola risiko tersebut. Kelengkapan informasi penting bagi
stakeholder. Informasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan keputusan yang
diambil bias, karena tidak sesuai dengan keadaan organisasi yang sebenarnya
(Yudawijaya, 2011). Pelaporan risiko, sebagai salah satu bentuk pengungkapan
wajib dapat mengurangi asimetri informasi yang akan meningkatkan efektivitas
manajemen perusahaan dan membantu investor untuk mengelola portofolionya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa disclosure merupakan sumber informasi untuk
pengambilan keputusan investasi.
Menurut Oorschot (2009), pengungkapan risiko beberapa tahun yang lalu
masih bersifat voluntary. Ketentuan mengenai pengungkapan risiko oleh
menyebutkan bahwa entitas diharuskan menyediakan pengungkapan dalam
laporan keuangan yang memungkinkan para pengguna untuk mengevaluasi : a)
signifikansi instrumen keuangan atas posisi dan kinerja entitas; b) jenis dan
besarnya risiko yang timbul dari instrumen keuangan dan bagaimana entitas
mengelola risiko-risiko tersebut. Dengan demikian pengungkapan risiko oleh
perbankan di Indonesia bukan merupakan pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure), tetapi sudah merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure).
Ketentuan mengenai wajibnya pengungkapan risiko oleh perbankan di
Indonesia diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 yang telah
mengalami perubahan menjadi PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, mewajibkan bank
untuk menerapkan dan mengungkapkan risiko yang dihadapai dalam menjalankan
usahanya. Pengungkapan tersebut mencakup delapan jenis risiko, yaitu: (a) risiko
kredit; (b) risiko pasar; (c) risiko likuiditas; (d) risiko operasional; (e) risiko
hukum; (f) risiko reputasi; (g) risiko strategik; dan (h) risiko kepatuhan. Peraturan
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ikut serta mengalami perkembangan
dalam risk management disclosure.
3. Risk Management Disclosure
Risiko adalah elemen tak terhindarkan dari setiap usaha bisnis. Selain
risiko keuangan, perusahaan juga rentan terhadap risiko bisnis atau perubahan
dalam iklim ekonomi secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi harga efek.
Oleh karena itu, ini menjadi perhatian stakeholders dimana risiko diungkapkan
commit to user
adalah suatu keadaan yang dihadapi oleh perusahaan atau organisasi yang dapat
menimbulkan kerugian.
Menurut PBI Nomor 11/19/PBI/2009, manajemen risiko didefinisikan
sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul
dari kegiatan usaha Bank. Brigham dan Houston (2004) berpendapat bahwa
manajemen risiko adalah peristiwa – peristiwa yang dapat memberikan
konsekuensi keuangan yang merugikan dan kemudian mengambil tindakan –
tindakan untuk mencegah dan/atau meminimalkan kerugian yang diakibatkan oleh
peristiwa – peristiwa tersebut.
Manajemen risiko menurut Rejda (2011) merupakan proses
mengidentifikasi kerugian yang dialami perusahaan atau organisasi dan memilih
teknik yang paling tepat untuk menyelesaikan kerugian tersebut. Lajli dan Zeghal
(2005) mengemukakan bahwa kerangka manajemen risiko melibatkan beberapa
proses yaitu, manajemen risiko merupakan suatu identifikasi kehati – hatian dan
penilaian atas risiko yang dihadapi, perumusan model atau strategi untuk
menangkal risiko, monitoring dan pemeriksaan tindakan dalam menghadapi
risiko.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko berkaitan dengan
langkah – langkah yang diambil manajemen perusahaan untuk mencegah kerugian
yang akan dialami atas peristiwa yang tidak diinginkan. Selain itu, manajemen
risiko dapat diidentifikasikan sebagai proses pengukuran atau penilaian risiko
informasi mengenai management risk yang dihadapi perusahaan. Informasi
tersebut penting untuk menilai risiko dan ketidakpastian terkait dengan kondisi
ekonomi perusahaan di masa depan (Kruk, 2009).
Brigham dan Houston (2004) menguraikan jenis – jenis risiko, risiko
manajemen tersebut adalah :
a. Pure risksare risks that offer only the prospect of a loss.
b. Speculative risks are situations that offer the chance of a gain but might result in a loss.
c. Demand risks are associated with the demand for a firm’s product or services.
d. Input risksare risks associated with input costs, including both labor and materials.
e. Financial risksare risks that result from financial transaction. f. Property risks are associated with destruction of productive assets. g. Personnel risks are risk that result from employees’ action.
h. Environmental risks include risks associated with polluting the environment.
i. Liability risks are associated with product, service, or employee action.
j. Insurable risks are risks that can be covered by insurance.
Pada umumnya jenis risiko dibagi menjadi pure risks yang meliputi
kerugian perusahaan; speculative risks yang menawarkan adanya investasi pada
proyek-proyek baru; demand risks terkait akan penjualan perusahaan; input risks
yang merupakan penanganan risiko atas bahan baku dalam proses produksinya;
financial risks yang terkait dengan instrumen finansial seperti suku bunga;
property risks mengenai ancaman terjadinya kebakaran, banjir dan huru-hara;
personnel risks merupakan suatu risiko karena kecurangan dan penggelapan oleh
karyawan; environmental risks terkait dengan polusi dan limbah yang dihasilkan
perusahaan; liability risks timbul dari kesalahan karyawan seperti klaim jasa
commit to user
perusahaan yang dapat dikelola oleh perusahaan asuransi. Klasifikasi jenis risiko
tersebut merupakan gambaran mengenai luasnya jenis risiko yang dikelola
perusahaan. Pengelolaan terhadap jenis risiko perusahaan dapat dilakukan dengan
empat tahap, yaitu (1) Mengidentifikasi kerugian exposures, (2) Mengukur dan
menganalisis kerugian exposures, (3) Memilih teknik yang tepat untuk
menyelesaikan kerugian exposures, (4) Melaksanakan dan memonitor program
manajemen risiko (Rejda, 2011).
Di Indonesia, ketentuan mengenai wajibnya pengungkapan risiko oleh
perbankan secara eksplisit dapat ditemukan dalam PSAK No. 31 (revisi 2000)
tentang Akuntansi Perbankan. Serta diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor:
5/8/PBI/2003 yang saat ini telah mengalami perubahan menjadi PBI Nomor:
11/25/PBI/2009. Risiko yang harus tercakup dalam laporan keuangan menurut
PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 adalah :
a. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.
b. Risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. Risiko pasar meliputi antara lain: risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko komoditas dan risiko ekuitas.
· Risiko suku bunga adalah risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi banking book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga.
· Risiko nilai tukar adalah risiko akibat perubahan nilai posisi
trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas.
· Risiko komoditas adalah risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
harga saham.
c. Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
d. Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
e. Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
f. Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
g. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. h. Risiko strategik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategi serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Penetapan PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 mengharuskan perusahaan
perbankan Indonesia mengungkapkan kedepalan risiko (risiko kredit, risiko pasar,
risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko reputasi
dan risiko strategik) dalam annual report terkait pertanggungjwaban terhadap
stakeholder. Pengungkapan risiko tersebut merupakan wujud transparansi
perusahaan terhadap stakeholder mengenai penerapan dan pengelolaan
manajemen risiko yang dihadapi perusahaan. Dengan adanya penetapan PBI
Nomor: 11/25/PBI/2009 diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas
penerapan manajemen risiko dan mendukung efektivitas pengawasan terhadap
risiko perusahaan perbankan di Indonesia.
Regulasi lain yang mengatur pengungkapan risiko bagi perusahaan di
Indonesia secara umum yaitu PSAK No. 50 (revisi 2006)-Instrumen Keuangan:
commit to user
(revisi Instrumen Keuangan: Penyajian dan PSAK No. 60 (revisi
2010)-Instrumen Keuangan: Pengungkapan. PSAK No. 50 (revisi 2010), Pedoman
Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik
Industri Perbankan (P3LKEPPBANK) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal (BAPEPAM) pada tahun 2008 dan PSAK No. 60 (revisi 2010)
merupakan adopsi dari IFRS 7-Financial Instrument: Disclosure, dengan
beberapa modifikasi yang diperlukan. Fokus dalam risk disclosure meningkat
sejak munculnya introduction IFRS 7. Peraturan mengenai risk disclosure
dikuatkan dengan munculnya Basel II. Basel II adalah persetujuan internasional
yang dikembangkan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)
dengan membentuk standar global untuk perbankan dan institusi keuangan lain
dalam mengukur dan mengakui risiko. Basel II terdiri dari 3 pilar yaitu, minimum
capital requirements, supervisory review dan market discipline.
Perbandingan klasifikasi risiko menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009,
PSAK No. 60 (revisi 2010), P3LKEPPBANK (2008), IFRS 7 (2008), dan Basel II
Tabel II.1
P3LKEPPBANK IFRS 7 (2008) Basel II (2008)
Risiko Khusus
Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko kredit Credit risk Credit risk
Risiko Pasar :
Risiko likuiditas Liquidity Risk Other risk :
commit to user
Penelitian dalam institusi keuangan, khususnya industri perbankan Indonesia,
jenis risiko yang akan diteliti dan diukur mengacu pada PBI Nomor:
11/25/PBI/2009 dan PSAK No. 60 (revisi 2010). Peraturan tersebut dipilih karena
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbankan yang listing di
Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Menurut Oorschoot (2009) sejak
terjadinya krisis keuangan tahun 2007, perhatian terhadap pengungkapan risiko
pada perbankan semakin meningkat. Pemilihan tahun sampel (2009-2011)
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan pengungkapan risiko
pada perbankan di Indonesia setelah krisis terjadi.
PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 merupakan landasan utama yang mengatur
pelaksananaan pengungkapan risiko bagi perusahaan perbankan di Indonesia.
Bank Indonesia (BI) merupakan lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi
bank-bank di Indonesia, oleh karena itu setiap peraturan yang dikeluarkan oleh BI
harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh perusahaan perbankan di Indonesia. PSAK
merupakan salah satu standar akuntansi di Indonesia yang digunakan sebagai
kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan. PSAK No. 60 (revisi
2010) mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan informasi mengenai jenis dan
tingkat risiko yang timbul dari instrument keuangan, termasuk perusahaan
perbankan diwajibkan untuk mengungkapkan risiko yang dihadapi dalam
Menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 dan Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor: 13/23/DPNP/2011, bank wajib menenerapkan manajemen
risiko secara efektif. Penerapan manajemen risiko sekurang-kurangnya mencakup:
a. Definisi
b. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan direksi
c. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan pentapan limit manajemen risiko
d. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko serta sistem informasi manajemen risiko
e. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Cakupan penerapan manajemen risiko yang ditetapkan PBI Nomor:
11/25/PBI/2009 dan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor:
13/23/DPNP/2011 diharapkan mampu untuk mencukupi kebutuhan informasi para
stakeholders perusahaan. Penerapan manajamen risikotidak hanya ditujukan bagi
kepentingan perusahaan perbankan, tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Melalui
penetapan cakupan manajemen risiko perusahaan perbankan di Indonesia
diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko,
mengukur dan mengendalikan risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan
usahanya.
B. Kaitan antara Stakeholder dan Risk Management Disclosure
Stakeholder theory menyatakan bahwa seluruh stakeholder memiliki hak
untuk disediakan informasi tentang bagaimana aktivitas organisasi dalam
commit to user
mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak secara
langsung memainkan peran yang konstruktif dalam kelangsungan hidup
organisasi (Deegan, 2009). Berdasarkan teori stakeholder, manajemen organisasi
diharapkan untuk melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder
dan melaporkan kembali aktivitas perusahaan pada stakeholder (Ulum, Imam, dan
Anis, 2008).
Perusahaan menganggap bahwa peran para stakeholder sangat
berpengaruh bagi perusahaan sehingga dapat mempengaruhi dan menjadi
pertimbangan dalam mengungkapkan suatu informasi dalam annual report.
Motivasi organisasi melakukan pengungkapan terhadap risiko manajemennya
dikarenakan kebutuhan stakeholder mengenai informasi perusahaan semakin
besar (Amran et.al., 2008). Oleh karena itu, kelangsungan hidup perusahaan
tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari
sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas perusahaan adalah mencari dukungan
tersebut (Gray et.al., 1994). Ullmann (1985) mengemukakan bahwa organisasi
lebih memilih stakeholder yang dianggap penting dan mengambil tindakan yang
dapat menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan
stakeholdernya. Dalam teori stakeholder menekankan bahwa organisasi akan
lebih memilih secara sukarela (voluntary) mengungkapkan informasi tentang
kinerja lingkungan, sosial dan intelektualnya, melebihi kewajibannya, untuk
memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholder (Rafinda
Kreditur mengendalikan sumber keuangan yang mungkin dibutuhkan
perusahaan untuk beroperasi (Robert, 1992). Zhang, Huiting, Bin, dan Wei (2008)
mengungkapkan bahwa leverage merupakan indikator yang kuat dalam
menetukan dalam pengungkapan informasi lingkungan perusahaan. Leverage
menunjukkan seberapa besar ekuitas yang tersedia untuk memberikan jaminan
terhadap hutang (Purwandari dan Agus, 2012). Perusahaan yang mempunyai
tingkat leverage yang tinggi berarti sangat bergantung pada pinjaman luar. Jensen
dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa rasio leverage yang tinggi akan
mengungkapkan informasi yang tinggi pula sebagai wujud pertanggungjawaban
kepada stakeholder. Pengungkapan mengenai informasi perusahaan diperlukan
untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya hak-hak
mereka sebagi kreditur (Schipper, 1981). Leverage yang tinggi berpengaruh pada
bertambahnya risk management disclosure perusahaan perbankan di Indonesia.
Pemegang saham merupakan salah satu stakeholder perusahaan (Chairiri,
2008). Morck, Shleifer, dan Vishny (1998) menemukan bahwa ketika kepemilikan
saham masih dibawah 10% akan meningkatkan laba perusahaan, namun setelah
kepemilikan diatas 10% maka akan menurunkan laba perusahaan. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa kepemilikan saham yang masih kecil maka kontrol terhadap
perusahaan lebih efisien, tetapi jika kepemilikan saham sudah efisien dan
kepemilikan tersebut ditambah maka kontrol terhadap perusahaan akan
berlebihan. Kemampuan kontrol yang yang berlebihan akan merugikan
stakeholder yang lain karena pemegang saham hanya mengambil tindakan untuk
commit to user
dengan bertambahnya kepemilikan saham akan mengurangi laba perusahaan,
perusahaan cenderung akan menutupi informasi kepada stakeholder dan
pengungkapan mengenai risk management disclosure juga akan berkurang.
Manajer mendapat kesempatan untuk terlibat pada kepemilikan saham
dengan tujuan untuk mensetarakan dengan pemegang saham (Nuringsih, 2005).
Tingginya kepemilikan manajerial akan mengakibatkan konflik antara stockholder
dan bondholders sehingga mengakibatkan ketidakkompakan dan meningkatkan
risiko perusahaan (Chen dan Steiner, 1999). Semakin besar risiko yang dihadapi
perusahaan maka keterbukaan mengenai informasi akan semakin kecil (Widajati,
2007). Kepemilikan manajerial dapat mengurangi nilai perusahaan (Morck et.al.,
1988). Dengan demikian kepemilikan perusahaan yang terpusat pada manajemen
akan mengurangi pengungkapan mengenai risk management disclosure
perusahaan perbankan di Indonesia.
Menurut Herwidayatmo (2000), peran pengawasan sekaligus akuntabilitas
Dewan Komisaris pada perusahaan di Indonesia pada umunya belum memadai.
PBI Nomor: 8/4/PBI/2006 mewajibkan Dewan Komisaris membentuk
sekurang-kurangnya Komite Audit, Komite Pemantau Risiko dan komite remunerasi dan
nominasi untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya.
Keberadaan Komite Audit dalam suatu perusahaan berfungsi untuk meningkatkan
kualitas laporan keuangan (Forker, 1992). McMullen (1996) menyatakan bahwa
keberadaan anggota Komite Audit independen dalam Komite Audit akan
meningkatkan transparansi. Menurut Ho dan Wong (2001) Komite Audit
dalam annual report akan diperluas sesuai dengan aktivitas perusahaan. Dengan
demikian, Komite Audit independen mendorong tingkat risk management
disclosure perusahaan perbankan di Indonesia.
Komite lain selain Komite Audit yang pembentukannya guna membantu
tugas dan fungsi Dewan Komisaris adalah Komite Pemantau Risiko. Komite
Pemantau Risiko dinilai dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung
Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam tugas pengawasan
risiko dan manajemen pengendalian internal (Restuningdiah, 2011). Dengan
adanya Komite Pemantau Risiko diharapkan berbagai risiko yang dihadapi
perusahaan dapat dikelola dan pengendalian dapat dilakukan secara efektif
(Subramaniam, Lisa, Jiani, 2008). Pengelolaan risiko dan pengendalian yang baik
akan mendorong manajemen untuk lebih mengungkapkan manajemen risikonya
kepada stakeholder.
Indikator yang mempengaruhi pengungkapan kepada stakholder adalah
kinerja ekonomi. Perusahaan yang mempunyai kinerja ekonomi tinggi akan
mengungkapkan informasi lebih banyak kepada stakeholder (Suhardjanto dan
Laras, 2009). Penelitian ini menggunakan ROE karena tujuan perusahaan
mengungkapkan risk management disclosure untuk memperoleh keuntungan atau
laba demi kelangsungan hidup perusahaan. Jika tingkat ROE rendah maka
investor tidak akan tertarik untuk menanamkan modalnya bahkan dapat menarik
modal yang telah ditanamkan (Sudana dan Putu, 2011). Suhardjanto dan Aryane
(2011); Haniffa dan Cooke (2005) mengemukakan bahwa semakin tinggi nilai
commit to user
Nilai perusahaan dibentuk melalui indikator nilai pasar saham dimana
sangat dipengaruhi oleh peluang investasi, peluang investasi akan berdampak
pada pertumbuhan dimasa yang akan datang sehingga harga saham dan nilai
saham akan meningkat (Anggitasari dan Siti, 2012). Nilai Tobin’s q digunakan
karena menggambarkan suatu kondisi peluang investasi yang dimiliki perusahaan
(Lang et.al., 1989). Dengan nilai Tobins’q yang semakin tinggi maka kinerja
perusahaan akan semakin baik dan dorongan untuk mengungkapkan risk
management disclosure semakin meningkat sebagai pembuktian bahwa
perusahaan berada dalam persaingan yang kuat dan operasi berjalan dengan
C. Kerangka Konseptual
Kerangka mengenai hubungan antar masing – masing variabel dapat
dilihat dalam gambar dibawah ini :
Variabel Independen Variabel Dependen
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa model
penelitian ini hanya terdiri dari satu arah, yaitu untuk menjelaskan pengaruh
stakeholder theory yang terbagi dalam tiga dimensi (stakeholder power, strategic
posture dan economic performance) yang direpresentasikan dengan leverage,
blockholder ownership, kepemilikan manajerial, proporsi Komite Audit