• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Miskonsepsi Kimia Pada Pembelajaran Termokimia Siswa Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Miskonsepsi Kimia Pada Pembelajaran Termokimia Siswa Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS MISKONSEPSI KIMIA PADA PEMBELAJARAN TERMOKIMIA SISWA KELAS XI SMAN 2 SUKOHARJO

SKRIPSI

oleh

WAHYU PUJI LESTARI K3304010

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

i

ANALISIS MISKONSEPSI KIMIA PADA PEMBELAJARAN TERMOKIMIA SISWA KELAS XI SMAN 2 SUKOHARJO

SKRIPSI

oleh

WAHYU PUJI LESTARI K3304010

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

commit to user

vi ABSTRAK

WAHYU PUJI LESTARI. Analisis Miskonsepsi Kimia pada Pembelajaran Termokimia Siswa Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) adakah miskonsepsi

kimia dalam pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo, (2) bentuk

miskonsepsi kimia yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo, dan (3) hal-hal

yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia

siswa SMAN 2 Sukoharjo.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi yang

diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 2 Sukoharjo tahun

pelajaran 2008/2009 dengan jumlah seluruhnya 7 kelas. Sampel diambil dengan

teknik non random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

tes diagnostik miskonsepsi berbentuk tes objektif beralasan, observasi, angket,

dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) terjadi miskonsepsi

dalam pembelajaran konsep-konsep kimia pada pokok bahasan termokimia pada

siswa SMAN 2 Sukoharjo, (2) miskonsepsi yang terjadi adalah miskonsepsi

dalam bentuk konsep teoritik, korelasional, dan klasifikasional, dan (3) penyebab

terjadinya miskonsepsi adalah motivasi belajar yang kurang dan prakonsepsi yang

kurang benar dari siswa, kurangnya interaksi antara guru dengan siswa, buku

pegangan yang kurang lengkap dan sukar dipahami, dan metode pembelajaran

yang tidak mengarah pada pembentukan konsep.

(4)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan

salam penulis curahkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang setulusnya atas bantuan yang telah diberikan kepada :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan izin atas penyusunan skripsi ini.

2. Sukarmin, M.Si, Ph.D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pendidikan Alam, yang telah menyetujui atas permohonan penyusunan

skripsi ini.

3. Dra. Bakti Mulyani, M.Si selaku Ketua Program Kimia yang telah

memberikan izin atas penyusunan skripsi ini.

4. Elfi Susanti VH, S.Si, M.Si selaku Pembimbing Akademik dan Dosen

Pembimbing I yang dengan tulus dan sabar telah memberikan bimbingan dan

pengarahannya sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Dra. Tri Redjeki, M.S selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar telah

memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga skripsi ini dapat selesai.

6. Drs. Joko Sugiharto selaku Kepala Sekolah SMAN 2 Sukoharjo yang telah

memberikan izin penelitian di SMAN 2 Sukoharjo.

7. Sri Martini R., S.Pd selaku guru Kimia yang mengajar di kelas XI IPA yang

telah bersedia mengijinkan pelaksanaan penelitian di kelas tersebut.

8. Semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki

(5)

commit to user

xi

diharapkan untuk meningkatkan kualitas karya sejenis di masa yang akan datang.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, Januari 2012

(6)

commit to user

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C.Pembatasan Masalah ... 4

D.Perumusan Masalah... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian... 5

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 7

A.Kajian Teori ... 7

1. Belajar Konsep ... 7

2. Prakonsepsi, Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi ... 9

3. Pokok Bahasan Termokimia ... 15

B. Kerangka Berpikir ... 26

(7)

commit to user

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

B. Metode Penelitian ... 28

C. Sumber Data... 28

D. Teknik Pengumpulan Data ... 29

E. Populasi dan Sampel ... 30

F. Instrument Penelitian... 30

G. Teknik Analisis Data ... 34

H. Prosedur Penelitian ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Hasil Penelitian ... 37

B. Pembahasan... 45

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Implikasi ... 53

C. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(8)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan

manusia. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia-manusia yang

memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, bersikap terbuka, dan memiliki

keterampilan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pendidikan banyak menghadapi

hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Di Indonesia, kualitas

pendidikan masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya

untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, antara lain dengan

mengeluarkan kebijaksanaan yang mengatur, membina, dan mengembangkan

pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan

perkembangan pembangunan pendidikan nasional.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah proses

belajar mengajar dalam kelas. Pada proses belajar mengajar, terjadi interaksi

khusus antara guru dan siswa karena siswa menghadapi tugas belajar dan guru

mendampingi siswa dalam belajar. Tiap siswa memiliki kepribadian yang khas

yang dibentuk oleh dirinya melalui lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

Guru memiliki tugas yang berat karena harus memperhatikan segala jenis siswa

dengan berbagai sifatnya. Keadaan yang ideal bila guru sebagai pendidik

mengetahui dan mengenal tiap jenis siswa sehingga dapat membantunya untuk

membangkitkan perhatian dan motivasi serta meningkatkan kemampuan belajar.

Salah satu aspek dalam proses belajar adalah belajar konsep. Belajar adalah

suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap (Winkel, 2005:36). Menurut Ausubel

dalam Ratna Wilis Dahar (1989:81) konsep-konsep diperoleh dengan dua cara

yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Oleh sebab itu, belajar merupakan

(9)

commit to user

hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau apa yang ia baca

melainkan menciptakan pengertian.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif (Ratna Wilis Dahar,

1989:81). Jika anak dihadapkan dengan stimulus-stimulus dari lingkungannya, ia

akan mengabstraksi sifat-sifat atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai

stimulus-stimulus tersebut. Fakta menunjukkan bahwa otak siswa sudah terisi

pengetahuan yang berhubungan dengan pelajaran yang didapat dari pengalaman.

Dengan demikian siswa telah membentuk suatu intuisi dan “teori siswa” yang

belum tentu benar. Intuisi ini membentuk suatu prakonsepsi dari yang sederhana

sampai kompleks, cukup logis, dan konsisten serta sulit diubah. Prakonsepsi yang

dibawa siswa dapat sesuai dengan konsep ilmiah tetapi terkadang berbeda dengan

konsep ilmiah. Biasanya prakonsepsi ini kurang lengkap atau kurang sempurna

sehingga perlu dikembangkan dan dibenahi dalam pelajaran formal di sekolah.

Tidak jarang bahwa konsep awal ini meskipun berbeda dengan konsep ilmiah

dapat bertahan lama dan sulit diperbaiki atau diubah selama pendidikan formal.

Hal ini disebabkan konsep yang salah ini mampu menjelaskan persoalan yang

terjadi di lingkungan mereka. Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep

ilmiah inilah yang biasanya disebut miskonsepsi atau salah konsep.

Miskonsepsi terjadi jika pemahaman siswa terhadap suatu konsep berbeda

dengan apa yang dimaksud oleh masyarakat ilmiah atau konsepsi ilmuwan.

Selain prakonsepsi yang salah dan metode pengajaran yang kurang tepat seperti

yang telah disebutkan, miskonsepsi juga dapat terjadi karena pemakaian buku teks

yang kurang tepat, pengetahuan guru yang kurang memadai, dan keterbatasan kata

atau bahasa yang digunakan oleh guru.

Mata pelajaran kimia merupakan bagian dari IPA yang mempelajari tentang

sifat, struktur materi, komposisi materi, perubahan materi, serta energi yang

menyertai perubahan materi secara umum yang diperoleh melalui hasil-hasil

eksperimen dan penalaran (Depdiknas, 2003:2). Taber dalam Ghassan Sirhan

(2007:2) menyebutkan bahwa kurikulum kimia biasanya menyertakan banyak

konsep-konsep abstrak, yang berpusat pada pembelajaran lebih lanjut pada baik

(10)

commit to user

dipelajari saling mempunyai keterkaitan dan hubungan yang tidak dapat berdiri

sendiri antara konsep yang satu dengan konsep yang lain. Di dalam materi

termokimia terdapat banyak konsep ilmu yang terkait dengan konsep-konsep pada

materi yang sebelumnya. Konsep ilmu tersebut membutuhkan pemahaman yang

tinggi sehingga besar kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam bentuk konsep

klasifikasional, korelasional, atau teoritik.

Berdasarkan data yang diperoleh dari daftar nilai pengetahuan dan

pemahaman konsep SMAN 2 Sukoharjo kelas XI IA.2 tahun ajaran 2006/2007

dan 2007/2008, hasil belajar pada bidang studi kimia SMAN 2 Sukoharjo rata-rata

masih rendah. Pada tahun pelajaran 2006/2007 rata-rata nilai semester untuk mata

pelajaran kimia 64,00 sedangkan pada tahun pelajaran 2007/2008 menjadi 65,03.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Rosilasari (2001:43),

rendahnya hasil belajar siswa secara umum dapat terjadi oleh beberapa hal antara

lain, (1) pemahaman siswa terhadap suatu masalah belum tuntas, akibatnya

konsep-konsep yang dimaksud belum dipahami, (2) terjadinya miskonsepsi

terhadap konsep-konsep esensial yang mengganggu pemahaman siswa terhadap

konsep tertentu, (3) rendahnya kualitas pembelajaran di kelas akibat dari

rendahnya mutu guru baik dari segi penguasaan materi maupun dari segi

metodologinya.

Proses belajar mengajar yang banyak dijumpai di SMAN 2 Sukoharjo

adalah dengan menggunakan metode ceramah. Melalui metode ceramah, siswa

akan banyak memiliki pengetahuan tetapi tidak terlatih untuk menemukan

pengetahuan baru, untuk menemukan konsep, dan mengembangkan ilmu

pengetahuan (Conny Semiawan dkk, 2008:24). Guru menyampaikan informasi

berupa fakta-fakta pada siswa yang merupakan proses transfer konsep dari guru ke

siswa melalui ceramah. Terkadang siswa salah menafsirkan maksud penjelasan

dari guru. Sering juga pada siswa terjadi ketidakpastian pada tahap pengumpulan

dan pemrosesan banyak data, mempertimbangkan cara pemecahan lain yang

mungkin, dan akhirnya menentukan pilihan. Jika hal ini terus terjadi, akan terjadi

(11)

commit to user

Dengan memperhatikan hal tersebut, perlu adanya penelitian untuk

menganalisis apakah telah terjadi miskonsepsi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo dan

untuk mengetahui penyebab miskonsepsi jika benar telah terjadi miskonsepsi.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, terdapat beberapa masalah

yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan hasilnya. Permasalahan yang

berkaitan dengan konsep termokimia pada penelitian ini adalah:

1. Apakah telah terjadi miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa

SMAN 2 Sukoharjo.

2. Bentuk miskonsepsi kimia apa yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo.

3. Apa yang menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran

termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian harus mempunyai arah yang jelas dan pasti, sehingga perlu

diberikan batasan masalah. Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi

masalah, maka pengkajian dan pembatasan masalah dititikberatkan pada :

1. Sampel penelitian

Siswa yang digunakan sebagai sampel adalah siswa kelas XI SMAN 2

Sukoharjo Tahun Ajaran 2008/2009.

2. Materi pelajaran

Materi pokok termokimia mempunyai konsep yang banyak sehingga hanya

diambil konsep-konsep yang dimungkinkan pada siswa terjadi miskonsepsi

yaitu konsep-konsep:

a. reaksi eksoterm dan endoterm

b. perubahan entalpi

c. energi ikatan

d. perubahan entalpi penguraian

e. hukum Hess

(12)

commit to user

3. Dasar penggolongan miskonsepsi

Dasar penggolongan miskonsepsi yang digunakan adalah pembagian

miskonsepsi menurut bentuk konsepnya. Bentuk konsep yang dimaksud

adalah klasifikasional, korelasional, dan teoritik.

4. Penyebab terjadinya miskonsepsi

Penyebab terjadinya miskonsepsi di sini dibatasi pada kondisi siswa, interaksi

antara guru dan siswa, penggunaan buku pegangan, serta pemberian metode

pembelajaran.

D. Perumusan Masalah

Dari masalah yang timbul, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terjadi miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa

SMAN 2 Sukoharjo?

2. Bagaimanakah bentuk miskonsepsi kimia yang dialami oleh siswa SMAN 2

Sukoharjo?

3. Apakah penyebab terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran

termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo?

E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Terjadi atau tidaknya miskonsepsi kimia dalam pembelajaran termokimia

siswa SMAN 2 Sukoharjo.

2. Bentuk miskonsepsi kimia yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo.

3. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran

termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru kimia di SMAN 2 Sukoharjo

(13)

commit to user

terjadi miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa yang dapat

menghambat kelancaran proses belajar.

2. Sebagai bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut, sehingga dapat

memberikan sumbangan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan khususnya

pendidikan kimia.

3. Sebagai wacana untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat agar

dalam proses pembelajaran tidak terjadi miskonsepsi atau meminimalkan

(14)

commit to user

7 BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori 1. Belajar Konsep

Seringkali siswa dalam kegiatan belajar hanya menghafal suatu konsep

tanpa memperhatikan hubungan dengan konsep sebelumnya. Hal ini

menyebabkan konsep baru tidak masuk dalam jaringan konsep yang berada dalam

kepala siswa tetapi berdiri sendiri tanpa hubungan dengan konsep yang lain.

Akibatnya konsep tersebut tidak memiliki arti sebab arti konsep berasal dari

hubungan dengan konsep lain (Berg, 1991:9).

Ratna Wilis Dahar (1989:79) menyatakan bahwa belajar konsep merupakan

hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun

(building blocks) berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses

mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan

generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan masalah, seorang siswa harus mengetahui

aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep

yang diperolehnya.

Ausubel dalam Ratna Wilis Dahar (1989:81) berpendapat bahwa

konsep-konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep-konsep (concept formation) dan

asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep terutama merupakan

bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah atau bisa

disebut prakonsepsi (prior knowledge). Menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar

(1989:81), formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep

konkret. Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh

konsep-konsep selama dan sesudah sekolah.

Teori belajar yang mendasari belajar konsep adalah teori kognitifitas dimana

proses belajar lebih penting daripada hasil belajar itu sendiri.

Pendekatan-pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan

konsep-konsep dan pada bagaimana konsep-konsep-konsep-konsep itu disajikan dalam struktur kognitif

(15)

commit to user

Menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989:85), belajar konsep

merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk belajar. Dalam

hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya.

Hierarki belajar tersebut adalah :

a. belajar tanda

b. belajar stimulus

c. chaining/menghubungkan

d. asosiasi verbal

e. belajar diskriminasi

f. belajar konsep konkrit

g. konsep :

1) terdefinisi

2) aturan

h. pemecahan masalah

Klausmeier dalam Ratna Wilis Dahar (1989:88) menghipotesiskan bahwa

ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan

yang invarian. Orang sampai pada pencapaian tingkat tertinggi dengan kecepatan

yang berbeda-beda dan ada konsep-konsep yang tidak pernah tercapai pada

tingkat yang paling tinggi. Empat tingkat pencapaian tersebut adalah tingkat

konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikatori, dan tingkat formal.

Piaget dalam Ratna Wilis Dahar (1989:150-151) menyatakan bahwa

perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan

adaptasi. Organisasi memberikan pada manusia kemampuan untuk

mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses

psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau

struktur-struktur. Adaptasi memberikan kemampuan pada manusia untuk menyesuaikan

diri dengan lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda untuk tiap manusia.

Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan

akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur atau

kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam

(16)

commit to user

struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan

lingkungannya. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa untuk menyesuaikan

stimulus yang belum diketahui sebelumnya, otak akan membentuk konsep baru

atau memodifikasi struktur konsep yang telah ada sehingga akan dapat

mengasimilasi dalam otak dan digeneralisasikan.

Menurut Euwe Van den Berg (1991:11), mengajar konsep pada siswa

diharapkan siswa dapat:

a. Mendefinisikan konsep.

b. Menjelaskan perbedaan konsep satu dengan yang lainnya.

c. Menjelaskan hubungan konsep satu dengan lainnya.

d. Menjelaskan arti konsep dalam kehidupan sehari – hari dan menerapkan

dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari – hari.

Dapat disimpulkan bahwa belajar konsep adalah suatu proses aktif siswa

untuk mengartikan suatu konsep dan menghubungkannya dengan konsep-konsep

awal yang telah mereka miliki sehingga terbentuk suatu konsepsi pengetahuan

yang benar.

2. Prakonsepsi, Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi a. Prakonsepsi

Banyak dari konsep-konsep yang sudah kita peroleh, berkembang

semasa kita kecil. Akan tetapi, konsep-konsep itu telah mengalami

modifikasi atau perubahan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman

kita sehingga secara aktif otak pada seorang anak akan berkembang melalui

proses asimilasi dan akomodasi. Dengan isi otak semula dan

perkembangannya sejak lahir, dalam otak manusia terbentuk “prakonsepsi”

(preconception) atau sejenis “teori anak” mengenai suatu peristiwa fisika

(Euwe Van den Berg, 1991:5). Konsep-konsep ini terutama diperoleh

melalui pembentukan konsep.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif (Ratna Wilis Dahar,

1989:81). Jika anak dihadapkan pada stimulus dari lingkungan, ia

(17)

commit to user

berbagai stimulus-stimulus. Pengertian prakonsepsi adalah konsepsi yang

dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah mendapat pelajaran

formal.

Prakonsepsi atau konsepsi awal merupakan hal yang sangat penting

untuk diperhatikan karena prakonsepsi atau konsepsi awal mempengaruhi

penerimaan konsep-konsep selanjutnya. Ketika siswa memasuki kelas atau

laboratorium untuk mempelajari ilmu pengetahuan, mereka tidak memiliki

pemikiran yang sepenuhnya kosong. Mereka memilki sebentuk

“perpustakaan” pengetahuan meskipun kurang sempurna, kurang lengkap,

atau terkadang cacat untuk diperhalus dan atau digabungkan (Rhoda D.

Beskeni dkk, 2011:607). Suatu pemahaman bagaimana cara siswa belajar

dapat membantu para guru untuk merencanakan strategi mengajar yang

efektif (Ghassan Sirhan, 2007:2).

b. Konsep

Setiap objek di lingkungan kita memiliki bentuk, ukuran, dan ciri-ciri

berlainan yang menghasilkan suatu konsep tertentu. Misalkan konsep yang

sederhana yaitu “meja” merupakan benda yang berbentuk persegi panjang,

bundar, segitiga. Kata meja merupakan abstraksi yang mempunyai kesamaan

pada semua meja. Kesamaan itulah yang ditunjukkan dengan simbol oleh

manusia sehingga membentuk suatu konsep.

Menurut Rosser dalam Ratna Willis Dahar (1989:80), konsep adalah

suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian- kejadian,

kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut

yang sama. Karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda,

orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus

dengan cara tertentu. Karena konsep-konsep itu adalah abstraksi-abstraksi

yang didasarkan pengalaman dan karena tidak ada dua orang yang

mempunyai pengalaman yang persis sama, konsep-konsep yang dibentuk

orang mungkin juga berbeda. Walaupun konsep-konsep kita berbeda,

konsep-konsep itu cukup serupa bagi kita untuk dapat berkomunikasi dengan

(18)

commit to user

telah kita setujui bersama. Nama-nama atau kata-kata ini adalah

simbol-simbol arbitrer digunakan untuk menyatakan konsep-konsep, yang

merupakan abstraksi internal itu. Nama-nama itu sendiri bukanlah

konsepnya.

Ratna Willis Dahar (1989:79) menyatakan bahwa konsep merupakan

penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus.

Konsep-konsep itu tidak dapat diamati, Konsep-konsep-Konsep-konsep harus disimpulkan dari

perilaku. Walaupun kita dapat memberikan suatu definisi verbal dari suatu

konsep, suatu definisi tidak mengungkapkan semua hubungan-hubungan

antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain.

Brunner ,seperti yang dikutip oleh Degeng (1989), memandang bahwa

suatu konsep memiliki lima unsur dan seseorang dikatakan memahami suatu

konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu. Kelima unsur

konsep tersebut adalah :

1). Nama

Nama adalah istilah yang diberikan pada suatu kategori.

2). Contoh-contoh

Contoh-contoh mengacu kepada suatu konsep, yang meliputi contoh

positif (meliputi contoh konsep) dan contoh negatif (contoh bukan

konsep).

3). Karakteristik

Karakteristik atau atribut mengacu pada kekhususan-kekhususan atau

ciri-ciri umum yang menyebabkan kita memasukkan contoh-contoh

dalam kategori yang sama. Dalam hal ini harus dibedakan karakteristik

pokok dengan karakteristik yang tidak pokok dari suatu konsep.

4). Rentangan karakteristik

Rentangan karakteristik mengacu kepada karakteristik-karakteristik

yang dapat diterima oleh suatu konsep sehingga dapat dipakai untuk

(19)

commit to user

5). Kaidah

Kaidah mengacu pada suatu definisi atau pernyataan yang

menspesifikasikan karakteristik-karakteristik pokok suatu konsep.

Kaidah yang jelas menyatakan hakekat dari suatu konsep dengan

menunjukkan semua karakteristik pokok.

Menurut Moh. Amien (1987:15), konsep adalah suatu ide atau gagasan

yang digeneralisasikan dari pengalaman tertentu yang relevan. Dengan

demikian untuk membentuk suatu konsep diperlukan pengalaman dan

generalisasi serta abstraksi dan ciri-ciri suatu objek untuk mempermudah

komunikasi manusia.

Setiap konsep dapat dibedakan menurut bentuknya. Menurut Moh.

Amien, konsep dapat dibedakan berdasar bentuknya menjadi tiga yaitu :

1) Konsep klasifikasional

Bentuk konsep ini didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta ke dalam

bagan-bagan yang terorganisir. Dengan kata lain fakta tertentu

diorganisir untuk menerangkan suatu objek atau suatu gejala.

Contoh : Insekta adalah hewan berkaki enam dan tubuhnya terdiri dari

kepala, dada dan perut.

2) Konsep korelasional

Konsep ini dibentuk dari kejadian-kejadian khusus yang saling

berhubungan atau observasi-observasi yang terdiri dari dugaan. Konsep

ini terdiri dari suatu dimensi yang menyatakan adanya hubungan antara

dua variabel yang dirumuskan dengan jika … maka ….

Contoh : Apabila udara di dalam sebuah botol tertutup dipanasi, maka

tekanan udara di dalamnya akan naik.

3) Konsep teoritik

Bentuk konsep ini mempermudah penjelasan terhadap fakta atau

kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir. Konsep ini

menyangkut proses pengembangan mulai dari yang diketahui sampai

(20)

commit to user

Contoh : Zat terbentuk dari partikel-partikel yang disebut atom, sebuah

atom materi terdiri dari elektron, proton, neutron dan partikel-partikel

lain.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan maka dapat

disimpulkan bahwa konsep adalah gambaran mental seseorang terhadap suatu

obyek atau proses dalam bentuk jaringan pemikiran (ide) yang berguna untuk

menjelaskan segala sesuatu atau hal-hal lain yang berkaitan dengan obyek

atau proses tersebut.

c. Konsepsi

Dalam memahami konsep-konsep kimia, tidak semua siswa mempunyai

pemahaman dan penafsiran yang sama. Tafsiran perorangan dari suatu konsep

ilmu disebut dengan konsepsi (Euwe Van den Berg, 1991:10). Sedang

konsepsi menurut kamus bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat atau

paham. Konsepsi siswa pada konsep termokimia adalah penafsiran siswa

tentang konsep-konsep yang ada dalam termokimia. Misalnya konsep

tentang reaksi eksoterm dan endoterm, perubahan entalpi, energi ikatan,

perubahan entalpi penguraian, hukum Hess, dan perubahan entalpi

pembakaran.

d. Miskonsepsi

Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian

ilmiah atau pengertian yang diterima pakar dalam bidang itu (Paul Suparno,

2008:4). Miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang berbeda atau bertentangan

dengan konsepsi para ahli dan biasanya miskonsepsi menyangkut kesalahan

siswa dalam pemahaman hubungan antar konsep (Van den Berg, 1991: 10).

Dari pendapat tentang miskonsepsi tersebut, dapat diambil kesimpulan

bahwa miskonsepsi adalah perbedaan pemahaman yang dimaksud masyarakat

ilmiah atau para ilmuwan, yang sangat dipengaruhi oleh prakonsepsi yang ada

pada diri siswa sebelum mendapatkan materi pelajarran. Dapat dikatakan

pula bahwa miskonsepsi terjadi dalam menghubungkan konsep dengan

konsep-konsep yang lain, antara konsep baru dengan konsep yang sudah ada

(21)

commit to user

Pada suatu proses belajar mengajar, sering ditemui suatu masalah yang

dapat menghambat tercapainya indikator yang telah ditentukan. Salah satu

penghambat tersebut yaitu terjadinya miskonsepsi pada siswa. Menurut Paul

Suparno (2008:29), secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat diringkas

dalam lima kelompok yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode

mengajar.

Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti

prakonsepsi, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan

teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan

guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat, atau

sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab

miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian

yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa

sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode

mengajar yang hanya menekankan satu segi sering memunculkan salah

pengertian pada siswa.

Abraham dan kawan-kawan (1992), membagi derajat pemahaman

konsep menjadi tiga kelompok yaitu derajat memahami konsep, miskonsepsi,

dan tidak memahami konsep. Pengelompokan ini berdasar pada

pengelompokan derajat pemahaman yang telah dilakukan oleh Marek (1986)

dan dikutip oleh Abraham (1992) seperti terlihat dalam Tabel 1.

Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Dari tes

diagnostik, kemampuan siswa dalam mengerjakan soal dapat diketahui dan

disimpulkan dari jawaban-jawaban soal tersebut. Tes objektif beralasan

adalah salah satu cara tes diagnostik yang digunakan untuk mengidentifikasi

miskonsepsi. Dengan tes objektif beralasan maka suatu item dapat dikontrol

dengan item yang lain, di mana keduanya mempersoalkan hal yang sama.

Siswa dianggap menguasai apabila bisa mengerjakan kedua item itu dengan

(22)

commit to user

Tabel 1. Kategori Derajat Pemahaman Siswa menurut Marek

No. Derajat

b. Menjawab tak berhubungan

dengan pertanyaan

c. Jawaban tidak jelas

Tidak

memahami

3. Miskonsepsi a. Menjawab namun penjelasan

tidak benar atau tidak logis

Sumber : Abraham, Grzybowski, Renner, Marek, 1992:112

3. Pokok Bahasan Termokimia

Termokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari

perubahan kalor suatu zat yang menyertai suatu reaksi. Secara operasional,

termokimia berkaitan dengan pengukuran dan penafsiran perubahan kalor yang

menyertai reaksi kimia, perubahan keadaan, dan pembentukan larutan.

Termokimia merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipelajari bukan saja untuk

(23)

commit to user

reaksi-reaksi kimia, tetapi juga perlu sebagai pengetahuan dasar untuk pengkajian

teori ikatan kimia dan struktur (Keenan, 1984 : 473).

a. Hukum kekekalan energi dalam sistem dan lingkungan

Setiap materi memiliki energi. Energi biasanya dinyatakan sebagai

kapasitas atau kemampuan untuk melakukan kerja, yang dimiliki oleh suatu

zat dan dapat menyebabkan terjadinya suatu proses. Salah satu bagian kimia

yang berkaitan dengan energi adalah termodinamika. Hukum termodinamika

pertama pada dasarnya adalah hukum kekekalan energi yang menyatakan

bahwa pada perubahan fisika dan kimia, energi tidak dapat diciptakan atau

dimusnahkan tetapi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.

Pada pembahasan termodinamika dan termokimia dikenal istilah sistem

dan lingkungan. Sistem adalah zat atau proses yang sedang dipelajari

perubahan energinya sedangkan segala sesuatu di luar sistem dengan apa

sistem mengadakan pertukaran energi disebut lingkungan. Misalnya, kita

mereaksikan zat A dan zat B di dalam sebuah tabung reaksi. Lingkungannya

adalah tabung reaksi serta udara yang berada di luar tabung reaksi, sedangkan

sistemnya adalah zat A dan zat B.

(a) lingkungan (b)

Gambar 1. Proses reaksi : (a). eksoterm dan (b) endoterm

Energi yang dikandung oleh suatu zat atau materi dapat digolongkan

ke dalam energi kinetik atau energi potensial. Energi kinetik adalah energi

yang dimiliki suatu benda apabila benda itu bergerak seperti molekul-molekul

(24)

commit to user

potensial. Energi total yang dimiliki suatu benda adalah jumlah energi kinetik

dan energi potensial.

Jika kita tinjau suatu zat yang dalam keadaan diam (tidak bergerak),

maka zat tersebut hanya memiliki energi potensial, yaitu energi yang

tersimpan dalam zat yang disebut energi dalam (internal energy) dan

disimbolkan dangan U. Dapat dikatakan bahwa energi dalam (U) adalah

energi total dari suatu zat dalam keadaan diam pada keadaan tertentu. Energi

dalam suatu zat atau sistem dapat berubah jika zat atau sistem itu menyerap

atau membebaskan kalor. Jika suatu zat atau sistem menyerap kalor maka

energi dalamnya akan bertambah. Pertambahan energi dalam ini

menyebabkan kenaikan suhu. Sebaliknya, jika suatu zat atau sistem

membebaskan kalor maka energi dalamnya akan menurun. Penurunan energi

dalam menebabkan penurunan suhu. Energi dalam suatu zat juga dapat

berubah jika zat itu melakukan atau menerima kerja. Jika zat melakukan

kerja, maka energi dalamnya akan berkurang walaupun zat itu tidak melepas

kalor. Sebaliknya jika zat atau sistem menerima kerja maka energi dalam

sistem bertambah. Harga mutlak dari energi dalam tidak dapat ditentukan

tetapi perubahan energi dalam (∆U) dapat ditentukan dengan menggunakan

hukum pertama termodinamika yaitu : ∆U = q – w

Keterangan:

∆U : perubahan energi dalam sistem

q : kalor yang dilepaskan atau diserap sistem, bernilai positif jika

sistem menyerap kalor dan bernilai negatif jika sistem

melepaskan kalor

w : kerja yang dilakukan atau diterima sistem, bernilai positif jika

sistem melakukan kerja dan bernilai negatif jika sistem

menerima kerja

(25)

commit to user

b. Entalpi (H) dan perubahan entalpi (DH)

Entalpi (H) sistem adalah jumlah energi sistem dalam segala bentuk

yaitu energi dalam (U) dan kerja (w). Hal ini dapat dituliskan H = U + w.

Harga entalpi suatu zat atau sistem tidak dapat diukur atau dihitung, yang

dapat ditentukan adalah perubahan entalpinya. Perubahan entalpi atau kalor

yang terjadi selama proses penerimaan atau pelepasan kalor dinyatakan

dengan DH. Besarnya perubahan entalpi adalah sama dengan selisih jumlah

entalpi hasil reaksi dan jumlah entalpi pereaksi.

Untuk reaksi : R à P

dengan HR = entalpi pereaksi (R)

HP = entalpi produk (P)

Apabila reaksi berlangsung pada tekanan tetap dan jenis kerja yang

menyertainya hanya kerja ekspansi, maka perubahan entalpi reaksi sama

dengan jumlah kalor yang diserap atau dibebaskan :

DH = U + w = (qp – w) + w = qp

qp = kalor reaksi pada tekanan tetap.

Karena reaksi-reaksi kimia umumnya berlangsung pada tekanan tetap

maka kalor reaksi selalu dituliskan sebagai perubahan entalpi. Jadi, jika suatu

sistem membebaskan kalor sebesar q kJ pada tekanan tetap maka entalpi

sistem berkurang sebesar q kJ. Sebaliknya jika sistem menyerap kalor sebesar

q kJ pada tekanan tetap maka entalpi sistem bertambah sebesar q kJ.

(Parning dkk, 2006:48)

c. Reaksi eksoterm dan endoterm

Reaksi kimia dapat melepaskan atau menyerap kalor. Reaksi kimia

dengan sistem melepaskan kalor ke lingkungan disebut reaksi eksoterm

sedangkan reaksi kimia dengan sistem menyerap kalor disebut reaksi

endoterm. Pada reaksi endoterm entalpi sistem bertambah, artinya entalpi

produk (HP) lebih besar daripada entalpi pereaksi (HR). Oleh karena itu,

perubahan entalpinya bertanda positif.

(26)

commit to user

Sebaliknya pada reaksi eksoterm, entalpi sistem berkurang, artinya

entalpi produk (HP) lebih kecil daripada entalpi pereaksi (HR). Oleh karena

itu, perubahan entalpinya bertanda negatif.

Reaksi eksoterm dan endoterm dapat dinyatakan dengan diagram

tingkat energi sebagai berikut :

H H

R P

P R

(a) Reaksi Eksoterm (b) Reaksi Endoterm

Gambar 2. Diagram tingkat energi untuk reaksi eksoterm dan endoterm

Contoh-contoh reaksi eksoterm dan endoterm:

1). Logam natrium dimasukkan dalam air

Reaksi tersebut berlangsung dengan cepat dan menimbulkan

ledakan. Setelah reaksi berlangsung, suhu larutan lebih tinggi dari suhu

lingkungan sehingga otomatis kalor mengalir dari sistem ke lingkungan.

Jadi reaksi ini adalah reaksi eksoterm.

2). Pembuatan etanol dari hasil peragian glukosa

Reaksi tersebut berlangsung lambat dengan hasil sampingan berupa

gas CO2. Setelah reaksi berlangsung, suhu sistem lebih tinggi dari suhu

lingkungan sehingga kalor akan mengalir dari sistem ke lingkungan.

Reaksi ini adalah reaksi eksoterm.

Reaksi endoterm : DH = HP – HR > 0

R

P

P

R

(27)

commit to user

3). Urea dilarutkan dalam air

Reaksi ini berlangsung cepat. Setelah urea melarut, suhu sistem

lebih rendah dari suhu lingkungan sehingga kalor mengalir dari

lingkungan ke sistem. Reaksi ini adalah reaksi endoterm

4). Reaksi antara gas N2 dengan gas O2

Reaksi ini berlangsung pada suhu tinggi. Setelah reaksi berlangsung,

suhu sistem mengalami penurunan sehingga kalor mengalir dari

lingkungan ke sistem. Reaksi ini adalah reaksi endoterm.

(Parning dkk, 2006:50)

d. Jenis-jenis perubahan entalpi standar (∆H°) 1). Perubahan entalpi reaksi

Perubahan entalpi dari suatu reaksi kimia disebut perubahan entalpi

reaksi. Perubahan entalpi reaksi yang diukur pada keadaan standar (298

K, 1 atm) disebut perubahan entalpi reaksi standar, yang dinyatakan

dengan lambang DHoreaksi atau DH298. Kondisi standar bagi berbagai

DHreaksi adalah 298 K dan 1 atm. Satuan DH adalah kJ dan satuan DH

molar reaksi adalah kJ/mol.

2). Perubahan entalpi pembentukan

Perubahan entalpi pada pembentukan 1 mol suatu zat langsung dari

unsur-unsurnya dalam bentuk standar yang diukur pada 298 K dan 1 atm

disebut perubahan entalpi pembentukan standar (∆H°f). Dari pengertian

tersebut, entalpi pembentukan standar dari CO2(g) sebesar –393 kJ/mol

berarti pada pembentukan 1 mol CO2 dari unsur C dan O2 dilepaskan

kalor sebesar 393 kJ. Persamaan termokimianya adalah :

C(s) + O2(g) → CO2(g) ; ∆H°f = –393 kJ/mol

3). Perubahan entalpi penguraian

Reaksi penguraian adalah kebalikan dari reaksi pembentukan.

Entalpi suatu reaksi sama dengan entalpi reaksi kebalikannya, tetapi

tandanya menjadi berlawanan. Jadi, perubahan entalpi penguraian standar

(∆H°d) adalah perubahan entalpi dari suatu reaksi penguraian 1 mol zat

(28)

commit to user

ΔHfº H2O(l) = -286 kJ/mol maka entalpi penguraian H2O(l) menjadi gas

hidrogen dan gas oksigen adalah +286 kJ/mol, persamaan termokimianya

adalah sebagai berikut :

H2O(l) → H2(g) + ½O2(g) ; ∆H°d = +286 kJ/mol

4). Perubahan entalpi pembakaran

Reaksi suatu zat dengan oksigen disebut reaksi pembakaran. Zat-zat

yang mudah terbakar adalah unsur karbon, hidrogen, belerang atau

senyawa-senyawa dari unsur-unsur tersebut. Perubahan entalpi pada

pembakaran sempurna 1 mol suatu zat yang diukur pada 298 K dan 1 atm

disebut perubahan entalpi pembakaran standar (∆H°c). Misalkan ∆H°c

dari metana adalah –802 kJ/mol, maka persamaan termokimianya adalah

sebagai berikut :

CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(g) ; ∆H°c = –802 kJ/mol

(Parning dkk, 2006:56-60)

e. Kalorimeter

Pengukuran jumlah kalor yang dilepaskan pada suatu reaksi kimia

disebut kalorimetri. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur

perubahan entalpi suatu reaksi disebut kalorimeter. Banyaknya kalor yang

dibebaskan ataupun diserap diperoleh dengan menaruh suatu kuantitas yang

ditimbang dari pereaksi-pereaksi dalam wadah, membiarkan reaksi

berlangsung, dan kemudian mencatat perubahan temperatur dalam air di

sekitarnya. Dari bobot bahan-bahan yang terlibat (air, hasil reaksi, dan

kalorimeter), perubahan temperaturnya, dan kapasitas panas, maka banyaknya

perubahan kalor selama reaksi dapat dihitung (Keenan, 1984:475).

Jumlah kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram zat

sebesar 1oC atau 1 K disebut kalor jenis. Kalor jenis dinyatakan dalam joule

per gram per derajat Celcius (J g-1 oC-1) atau joule per gram Kelvin (J g-1 k-1).

Secara umum berlaku rumus :

dengan :

q = jumlah kalor (dalam joule)

(29)

commit to user

m = massa zat (dalam gram)

c = kalor jenis

Dt = perubahan suhu (takhir – tawal)

Jumlah kalor yang diperlukan oleh suatu zat atau suatu sistem untuk

menaikkan suhu 1oC atau 1 K disebut kapasitas kalor (C). Kapasitas kalor

dinyatakan dalam joule per derajat celcius (J oC-1) atau dalam joule per

Kelvin (JK-1). Apabila kapasitas kalor diketahui, maka rumus menjadi sebagai

berikut :

Dengan :

q = jumlah kalor

C = kapasitas kalor

Dt = perubahan suhu (takhir – tawal)

(Michael Purba, 2000:28-29)

f. Hukum Hess atau hukum penjumlahan kalor

Berdasarkan hasil percobaan German H. Hess ,orang Swiss-Rusia,

tentang kalor reaksi menyatakan bahwa apabila suatu reaksi dapat dinyatakan

sebagai penjumlahan aljabar dari dua atau lebih reaksi, maka kalor reaksi juga

merupakan penjumlahan aljabar dari kalor yang menyertai reaksi-reaksi itu.

Hukum Hess pada dasarnya merupakan bagian dari hukum

termodinamika pertama atau hukum kekekalan energi yang berkaitan dengan

reaksi kimia. Hukum ini menyatakan bahwa kalor reaksi yang dilepaskan atau

diserap oleh suatu reaksi tidak bergantung dari kondisi zat-zat yang bereaksi

dan zat-zat hasil reaksi. Salah satu contoh adalah pembakaran karbon (grafit).

Jika karbon dibakar dengan oksigen berlebihan terbentuklah karbondioksida

menurut persamaan :

C(S) + O2(g)à CO2(g) DH = -394 kJ.………(1)

Reaksi diatas dapat dilangsungkan menurut dua tahap. Mula-mula

karbon dibakar dengan oksigen yang terbatas sehingga membentuk karbon

(30)

commit to user

monoksida. Selanjutnya, karbon monoksida itu dibakar lagi untuk

membentuk karbon dioksida.

Persamaan termokimia untuk kedua reaksi yang terakhir ini adalah :

C(S) + 21O2(g)à CO(g) DH = -111 kJ...(2)

CO + 21O

2(g) àCO2(g) DH = -283 kJ………....……(3)

Jika kedua tahap di atas, persamaan (2) dan (3) dijumlahkan, maka diperoleh :

C(S) + 21O2(g)à CO(g) DH = -111 kJ

CO + 21O

2(g) àCO2(g) DH = -283 kJ

+

C(S) + O2(g)à CO2(g) DH = -394 kJ

(Michael Purba, 2000:33)

Hukum Hess dapat dinyatakan dalam bentuk diagram siklus atau

diagram tingkat energi. Diagram siklus dan diagram tingkat energi untuk

pembakaran karbon yang dibahas di atas diberikan pada Gambar 3.

Keadaan Awal Keadaan Akhir

DH1 = -788 kJ

Lintasan 1

DH2 = -222 kJ DH3 = -566 kJ

Lintasan 2

Gambar 3. Diagram siklus reaksi pembakaran grafit

Diagram siklus pembakaran grafit diatas menurut 2 lintasan. Lintasan 1

langsung membentuk CO2, lintasan 2 mula-mula membentuk CO, kemudian

CO2. Jadi DH1 = DH2 + DH3.

2C(grafit) + 2O2(g) 2CO2(g)

(31)

commit to user

Dengan hukum Hess, kalor reaksi dapat ditentukan secara tidak

langsung, artinya tidak melalui eksperimen. Penentuan kalor reaksi dapat

dilakukan melalui dua cara :

1). Berdasarkan kalor reaksi dari beberapa reaksi yang berhubungan.

Dalam hal ini reaksi-reaksi yang diketahui kalor reaksinya disusun

sedemikian rupa sehingga penjumlahannya sama dengan reaksi yang

diselidiki.

Jika diketahui :

(1) S(s) + O2(g)à SO2(g) DH = -296,8 kJ

(2) 2SO2(g) + O2(g)à 2SO3(g) DH = -197,8 kJ

Untuk menentukan perubahan entalpi dari reaksi :

S(s) +

pembentukan zat-zat pereaksi dan produknya. Dalam hal ini, zat-zat

pereaksi dianggap terlebih dahulu terurai menjadi unsur-unsurnya,

kemudian unsur-unsur itu bereaksi membentuk zat-zat produk. Secara

(32)

commit to user

g. Energi ikatan dan entalpi reaksi 1). Energi ikatan.

Reaksi kimia ada yang membebaskan kalor ada pula yang

menyerap kalor. Hal itu berhubungan dengan energi ikatan kimia dalam

zat pereaksi dan energi dalam produknya.

Atom-atom dalam molekul dipersatukan oleh suatu gaya yang

disebut ikatan kovalen. Untuk memutuskan ikatan antar atom itu

diperlukan energi. Makin kuat ikatan antar atom maka makin besar

energi yang diperlukan untuk memutuskannya.

Energi ikatan pada suatu molekul dwiatom didefinisikan sebagai

energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan kovalen antara dua

atom dalam 1 mol molekul berwujud gas. Energi ikatan dinyatakan

dalam satuan kilojoule per mol (kJ Mol-1) dengan lambang D.

Untuk molekul yang terdiri atas tiga atau lebih atom digunakan

pengertian energi ikatan rata-rata. Molekul yang mempunyai 2 atau lebih

ikatan, jumlah energi dari semua ikatan dalam molekul seperti itu sama

dengan entalpi standar reaksi endoterm yang digunakan untuk

memutuskan semua ikatan dalam molekulnya sehingga molekul itu

(33)

commit to user

diperlukan untuk menguraikan 1 mol molekul menjadi atom-atom

penyusunnya.

Energi ikatan antara dua atom bertambah besar, jika jumlah

pasangan elektron milik bersama bertambah banyak. Artinya ikatan

rangkap tiga lebih kuat daripada ikatan rangkap dua dan ikatan rangkap

dua lebih kuat daripada ikatan tunggal.

(Michael Purba, 2000:39)

2). Penentuan DH reaksi berdasarkan energi ikatan.

Reaksi kimia dapat dibayangkan berlangsung dalam dua tahap,

yaitu pemutusan ikatan pada pereaksi yang diikuti dengan pembentukan

ikatan pada produk. Oleh karena itu, perubahan entalpi reaksi sama

dengan jumlah energi ikatan pereaksi yang putus dikurangi dengan

jumlah energi ikatan produk yang terbentuk.

Entalpi reaksi yang dihitung berdasarkan harga entalpi pembentukan

standar.

Misalnya, entalpi reaksi pada pembakaran metana membentuk gas

karbon dioksida dan uap air, menurut persamaan reaksi berikut ini :

CH4(g) + 2O2(g)à CO2(g) + 2H2O(g)

Berdasarkan energi ikatan:

DHo = Senergi ikatan pereaksi yang putus - Senergi ikatan produk

yang terbentuk

DH = [4. DC-H + 2. DO=O] - [2. DC=O + 4. DH-O]

DH = [4(416 kJ) + 2(495 kJ)] + [2(799 kJ) + 4(463 kJ)]

DH = -796 kJ

Jadi, berdasarkan entalpi pembentukan standar adalah -803,1 kJ

mol-1. Sedangkan energi ikatan reaksi ini adalah -796 kJ mol-1.

(Michael Purba, 2000:40)

(34)

commit to user

B. Kerangka Berfikir

Dalam memahami konsep baru yang diberikan oleh guru, tidak semua siswa

mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama. Ada siswa yang benar-benar

memahami konsep yang diberikan guru sesuai dengan konsep para ahli, tetapi ada

juga siswa yang mengalami miskonsepsi, bahkan ada juga siswa yang sama sekali

tidak memahami konsep-konsep yang diberikan oleh guru.

Dalam materi termokimia, konsep yang terdapat di dalamnya berhubungan

dengan konsep-konsep materi sebelumnya yang diberikan oleh guru misalnya

konsep mol dan stoikiometri. Terjadinya pencampuran antara konsep-konsep yang

baru diberikan oleh guru dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa serta adanya

hambatan-hambatan siswa seperti intelegensi, keterbatasan siswa dalam

memanfaatkan inderanya akan memungkinkan terjadinya miskonsepsi. Konsep

dalam termokimia dapat dikelompokkan dalam tiga konsep yaitu klasifikasional,

korelasional, dan teoritik. Adanya miskonsepsi pada konsep-konsep tersebut

sangat dimungkinkan sehingga penelitian miskonsepsi perlu dilakukan.

C. Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir di atas maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa kelas XI

SMAN 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2008 / 2009.

2. Miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia terjadi dalam bentuk

konsep klasifikasional, korelasional dan teoritik.

3. Penyebab miskonsepsi yaitu kondisi siswa, interaksi antara guru dan siswa,

(35)

commit to user

28 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2 Sukoharjo yang beralamat di Jalan

Raya Solo – Kartasura, Mendungan, Pabelan, Kartasura, Telp. (0271) 711615.

Penelitian dilakukan terhadap kelas XI tahun pelajaran 2008/2009 pada semester

ganjil atau semester 1 (Desember 2008).

B. Metode Penelitian

Sejalan dengan masalah dan tujuan yang ada maka penelitian ini

dilaksanakan dengan metode deskriptif kualitatif. Tujuan dari metode ini adalah

membuat gambaran atau mendeskripsikan secara faktual fakta-fakta yang

diperoleh dari subjek penelitian.

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2010 : 157), sumber data

utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan dan selebihnya

adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata sebagai sumber

data dalam penelitian ini digali dari empat sumber sebagai berikut.

1. Peristiwa, yaitu proses belajar mengajar kimia khususnya yang terkait dengan

masalah termokimia di kelas yang menjadi tempat penelitian.

2. Hasil Tes Diagnostik, merupakan jawaban atas tes yang dirancang peneliti

untuk mengetahui pemahaman konsep termokimia dari siswa SMAN 2

Sukoharjo.

3. Informan, yaitu sejumlah siswa yang terindikasi mengalami miskonsepsi

dalam konsep termokimia, berdasarkan telaah hasil tes diagnostik.

4. Dokumen, yaitu informasi tertulis yang dapat digunakan sebagai data

tambahan terjadinya miskonsepsi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo. Dokumen

yang dipilih adalah buku pelajaran dan LKS yang digunakan di SMA tersebut

(36)

commit to user

D. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan sumber data di atas maka dalam penelitian ini teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Tes Diagnostik, dalam penelitian ini tes diagnostik yang digunakan adalah tes

tertulis dengan tipe multiple choice dengan alasan. Tes diagnostik dirancang

untuk mengetahui pemahaman siswa pada konsep termokimia. Tes ini

berfungsi untuk mengidentifikasi siswa yang terindikasi miskonsepsi pada

konsep termokimia, menemukan informan yang menjadi sasaran penelitian,

dan mengidentifikasi konsep-konsep mana yang menimbulkan miskonsepsi

pada siswa SMAN 2 Sukoharjo. Tes dilaksanakan setelah pokok bahasan

termokimia telah selesai diajarkan oleh guru selama kegiatan belajar

mengajar.

2. Observasi, dilakukan terhadap berlangsungnya kegiatan belajar mengajar

kimia pada pokok bahasan termokimia di kelas yang menjadi tempat

penelitian. Dalam hal ini, peneliti hadir di ruang kelas dan mengambil posisi

di belakang untuk mengetahui jalannya kegiatan belajar mengajar sambil

melakukan pencatatan yang diperlukan. Peneliti tidak berinteraksi dengan

guru atau siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.

3. Wawancara, dilakukan peneliti dengan siswa yang melalui tes diagnostik

dapat diketahui mengalami miskonsepsi pada konsep termokimia. Peranan

wawancara ini untuk dapat mengungkap latar belakang terjadinya

miskonsepsi yang terjadi. Wawancara berlangsung secara simultan dan

berkembang sesuai kebutuhan guna menemukan pola-pola umum

miskonsepsi dan penyebab terjadinya miskonsepsi.

4. Angket, diberikan peneliti untuk semua siswa yang mengalami miskonsepsi.

Peranan angket ini untuk memperkuat hasil wawancara. Angket digunakan

untuk mengungkap miskonsepsi pada siswa secara umum.

5. Analisis Dokumen, dilakukan terhadap buku pelajaran kimia dan lembar kerja

siswa (LKS) yang memuat konsep termokimia. Tujuannya adalah sebagai

informasi tambahan untuk menyimpulkan terjadinya masalah miskonsepsi

(37)

commit to user

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 2

Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009 dengan jumlah seluruhnya 7 kelas.

2. Sampel Penelitian

Teknik sampling atau cuplikan yang digunakan adalah teknik non random

sampling diambil 1 kelas yaitu kelas XI IPA 2.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non random sampling.

Dalam penelitian ini diambil satu kelas sebagai sampel.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes diagnostik

miskonsepsi. Tes diagnostik miskonsepsi merupakan alat penelitian yang

dirancang khusus untuk mengidentifikasi miskonsepsi (Treagust, 1988:159-169).

Tes diagnostik miskonsepsi dalam penelitian ini dikembangkan oleh peneliti

dari soal-soal termokimia yang dibuat oleh guru kimia sekolah yang bersangkutan.

Tes ini terdiri atas konsep-konsep termokimia. Setiap butir soal disusun

berdasarkan proposi-proposi penting yang berkaitan dengan konsep-konsep pada

pembelajaran termokimia melalui observasi pendahuluan di lapangan.

Hasil observasi yang bersumber dari guru SMA, buku acuan, LKS, dan

soal-soal yang memuat konsep-konsep termokimia, diseleksi dan dianalisis. Temuan

letak-letak konsep yang dimungkinkan siswa mengalami miskonsepsi digunakan

sebagai acuan dalam menyusun tes diagnostik. Instrumen selanjutnya dicobakan

kepada siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009.

Kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas sebagai berikut :

1. Uji Validitas

Validitas adalah kualitas yang menunjukan hubungan antara suatu

pengukuran dengan tujuan kriteria belajar. Pada penelitian ini syarat validitas

yang digunakan adalah validitas isi dan validitas butir soal. Suatu tes dikatakan

(38)

commit to user

seharusnya diukur menurut tujuan kurikulum dan mencerminkan kemampuan

yang sebenarnya dari orang yang diukur (Masidjo, 2006 : 243). Validitas butir

soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir soal.

Teknik yang digunakan untuk menentukan validitas butir soal adalah

menggunakan teknik korelasi Biserial dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

rpbis : koefisien korelasi biserial

Mp : rerata skor dari subyek yang menjawab betul bagi item yang dicari

validitasnya

Mt : rerata skor total

St : standar deviasi dari skor total

p : proporsi siswa yang menjawab benar

q : proporsi siswa yang menjawab salah

Kriteria pengujian

Kriteria item dinyatakan valid jika rxy > rtabel

Kriteria item dinyatakan tidak valid jika rxy ≤ rtabel

(Suharsimi Arikunto, 2007:337)

Kriteria validitas suatu tes (rxy) adalah sebagai berikut :

0,91 ─ 1,00 : Sangat Tinggi (ST)

0,71 ─ 0,90 : Tinggi (T)

0,41 ─ 0,70 : Cukup (C)

0,21 ─ 0,40 : Rendah (R)

Negatif ─ 0,20 : Sangat Rendah (SR)

(Masidjo, 2006:243)

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas soal menunjukan tingkat keterandalan soal. Suatu alat

pengukur dikatakan reliabel jika alat tersebut menghasilkan hasil pengukuran

yang benar-benar dapat dipercaya. Untuk menghitung reliabilitas tes

(39)

commit to user

n St2 - ∑pq

rtt =

n -1 St2

keterangan :

rtt = koefisien reliabilitas

n = jumlah item

S = deviasi standar

P = indeks kesukaran

q = 1 – P

(Masidjo, 2006:233)

Klasifikasi reliabilitas tes adalah sebagai berikut :

0,91 – 1,00 = sangat tinggi

0,71 – 0,90 = tinggi

0,41 – 0,70 = cukup

0,21 – 0,40 = rendah

Negatif – 0,20 = sangat rendah

(Masidjo, 2006:209)

3. Taraf Pembeda Soal Suatu Item

Taraf pembeda suatu item adalah taraf sampai di mana jumlah jawaban

benar dari siswa-siswa yang tergolong kelompok atas (pandai) berbeda dari

siswa-siswa yang tergolong kelompok bawah (kurang pandai) untuk suatu item

(Masidjo, 1995:196). Perbedaan jawaban benar dari siswa tergolong kelompok

atas dan bawah disebut Indeks Diskriminasi (ID).

Keterangan :

ID : indeks diskriminasi

KA : jumlah jawaban benar yang diperoleh

dari siswa tergolong kelompok atas

KB : jumlah jawaban benar yang diperoleh

(40)

commit to user

bawah

NKA atau NKB : jumlah siswa yang tergolong

kelompok atas atau bawah

NKA atau NKB x Skor maksimal : perbedaan jawaban benar dari

siswa-siswa yang tergolong kelompok atas

dan bawah yang seharusnya

diperoleh

(Masidjo, 2006:198)

Kualifikasi daya pembeda adalah sebagai berikut :

0,80 ─ 1,00 : Sangat Membedakan (SM)

0,60 ─ 0,79 : Lebih Membedakan (LM)

0,40 ─ 0,59 : Cukup Membedakan (CM)

0,20 ─ 0,39 : Kurang Membedakan (KM)

Negatif ─ 0,19 : Sangat Kurang Membedakan (SKM)

(Masidjo, 2006:201)

4. Taraf Kesukaran Suatu Item

Taraf kesukaran suatu item dapat diketahui dari banyaknya siswa yang

menjawab benar. Taraf kesukaran suatu item dinyatakan dalam bilangan

indeks yang disebut Indeks Kesukaran (IK), yaitu bilangan yang merupakan

hasil perbandingan antara jawaban benar yang diperoleh dengan jawaban yang

seharusnya diperoleh dari suatu item

Keterangan :

IK : indeks kesukaran

B : jumlah jawaban yang benar yang diperoleh siswa dari

suatu item

N : kelompok siswa

skor maksimal : besarnya skor yang dituntut oleh suatu jawaban benar

(41)

commit to user

N x skor maksimal : jumlah jawaban yang benar yang harus diperoleh dari

suatu item

(Masidjo, 2006:189)

Klasifikasi indeks kesukaran adalah sebagai berikut :

0,80 ─ 1,00 : Mudah Sekali (MS)

0,60 ─ 0,79 : Mudah (Md)

0,40 ─ 0,59 : Sedang/Cukup (Sd-C)

0,20 ─ 0,39 : Sukar (Sk)

Negatif ─ 0,19 : Sukar Sekali (SS)

(Masidjo, 2006:192)

G. Teknik Analisis Data

Langkah – langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disusun tes diagnostik miskonsepsi.

2. Tes diagnostik miskonsepsi selanjutnya dikenakan pada subyek penelitian.

3. Jawaban siswa diperiksa dan dikategorikan dalam derajat memahami konsep,

miskonsepsi dan tidak memahami konsep.

Adapun pengkategorian siswa berdasar pada:

a. Jawaban siswa termasuk kategori memahami apabila jawaban benar dan

alasan yang diberikan juga benar.

b. Jawaban siswa termasuk kategori miskonsepsi sebagian apabila jawaban

siswa benar tetapi alasan salah, jawaban salah tetapi tidak memberikan

alas an, atau jawaban salah tetapi alasan benar.

c. Jawaban siswa termasuk kategori miskonsepsi menyeluruh bila jawaban

salah dan alasan yang diberikan juga salah.

d. Jawaban siswa termasuk kategori tidak memahami apabila siswa tidak

memberikan jawaban maupun alasan.

e. Jawaban siswa termasuk kategori memahami sebagian tanpa miskonsepsi

(42)

commit to user

4. Dihitung prosentase siswa yang memahami konsep untuk setiap butir soal.

% memahami = x 100 %

Dengan cara yang sama dihitung prosentase siswa yang mengalami

miskonsepsi dan siswa yang tidak memahami konsep. Setelah itu menghitung

rerata prosentase masing-masing konsep dan memasukan dalam tabel.

5. Dihitung rerata prosentase siswa yang memahami, miskonsepsi, dan yang

tidak memahami untuk masing-masing bentuk konsep dan dimasukan dalam

tabel.

6. Setelah dilakukan analisis data terhadap hasil tes diagnostik kemudian

dilakukan wawacara terhadap siswa-siswa yang mengalami miskonsespsi

untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya mikonsepsi, dan apabila

(43)

commit to user

H. Prosedur Penelitian

Untuk memperjelas penelitian berikut digambarkan posedur penelitian yang

dilakukan :

Gambar 4. Gambaran Penelitian Miskonsepsi Siswa Observasi pendahuluan

Penyusunan tes miskonsepsi

Uji coba di SMAN 2 Sukoharjo

Instrumen penelitian yang valid

Tes miskonsepsi pada sampel

miskonsepsi tidak memahami

memahami

wawancara analisis

hipotesis hasil

analisis

kesimpulan hasil wawancara

(44)

commit to user

37 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Data Hasil Observasi

Berdasarkan data hasil observasi selama kegiatan belajar mengajar pada

Lampiran 2, diperoleh data sebagai berikut:

1. Materi yang disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar telah sesuai

dengan silabus.

2. Penyampaian materi oleh guru kurang sistematis. Beberapa kali guru tidak

menyampaikan sub pokok bahasan apa yang diberikan pada pertemuan

tersebut sehingga siswa mengalami kebingungan apakah materi masih berada

pada konsep yang sama atau telah berganti konsep.

3. Ada keterpaduan materi yang disampaikan pada kegiatan belajar mengajar

dengan kehidupan sehari-hari. Guru sebisa mungkin memberikan penjelasan

disertai contoh dalam kehidupan sehari-hari.

4. Metode mengajar yang digunakan oleh guru sebagian besar adalah metode

ceramah yang disertai tanya jawab.

5. Guru hanya menggunakan alat bantu ajar berupa papan tulis.

6. Pada saat kegiatan belajar mengajar, guru terlebih dahulu menjelaskan materi

pelajaran, menuliskan beberapa informasi di papan tulis kemudian

memberikan contoh soal beserta penyelesaiannya. Guru melakukan umpan

balik untuk mengetahui apakah materi yang telah disampaikan dapat

dimengerti dengan baik oleh siswa dengan cara mengajukan pertanyaan

ataupun soal untuk dikerjakan siswa di kelas. Lebih sering guru tidak

menunjuk siswa tertentu untuk menjawab pertanyaan, pertanyaan diajukan

untuk seluruh kelas. Jika ada jawaban yang kurang sempurna maka

dikerjakan dengan bimbingan guru. Guru juga memberikan kesempatan

kepada siswa yang masih belum paham untuk mengajukan pertanyaan untuk

(45)

commit to user

7. Sebagian besar siswa memperhatikan penjelasan dari guru selama kegiatan

belajar mengajar. Beberapa ada yang kurang memperhatikan tetapi tidak

mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar. Keadaan kelas tetap tenang.

8. Keaktifan siswa dalam bertanya kepada guru berkaitan dengan hal-hal yang

belum dimengerti kurang. Hanya beberapa siswa yang aktif mengajukan

pertanyaan terhadap hal-hal yang belum jelas yang berkaitan dengan materi

yang diajarkan selama kegiatan belajar mengajar.

9. Untuk keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan guru juga kurang. siswa

masih mengerjakan soal secara kurang sempurna.

10. Ketika pelajaran berakhir guru terkadang menarik kesimpulan terhadap

materi yang diajarkan pada pertemuan. Hal ini dikarenakan tidak adanya

waktu yang tersisa dalam proses belajar mengajar saat itu. Kegiatan

menyimpulkan pelajaran adalah penting karena untuk mempertegas dan

memperjelas materi yang telah dipelajari.

11. Guru jarang memberikan tugas ataupun pekerjaan rumah.

12. Pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru, sebagian dikerjakan oleh siswa,

dan kebanyakan dari mereka tidak mengerjakan secara mandiri. Ada beberapa

siswa yang hanya mencontek saja jawaban temannya tanpa bertanya jika ada

hal yang belum dimengerti oleh siswa.

2. Data Hasil Tes Diagnostik

Berdasarkan data hasil tes diagnostik pada Lampiran 14, diperoleh bahwa derajat

pemahaman siswa untuk tiap konsep pada pokok bahasan termokimia sangat

beragam yang ditunjukkan oleh Tabel Rerata Pemahaman Siswa untuk Setiap

Konsep (Tabel 2). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa miskonsepsi paling

banyak terjadi pada konsep perubahan entalpi. Kemudian pada konsep perubahan

entalpi pembakaran, konsep eksoterm dan endoterm, konsep energi ikatan, konsep

perubahan entalpi penguraian. Miskonsepsi paling sedikit terjadi pada konsep

Gambar

Tabel 1. Kategori Derajat Pemahaman Siswa menurut Marek
Gambar 1. Proses reaksi : (a). eksoterm dan (b) endoterm
Gambar 2. Diagram tingkat energi untuk reaksi eksoterm dan endoterm
Gambar 3. Diagram siklus reaksi pembakaran grafit
+6

Referensi

Dokumen terkait

tidak selalu mempunyai skim sistem persamaan linear dua variabel yang sama dan pengajaran. yang diberikan guru tidak selalu dipahami secara sama oleh

Menurut Suparno (2005) ada lima hal yang menjadi penyebab miskonsepsi yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Adapun miskonsepsi yang disebabkan oleh siswa

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Akgun dan Ozdemir (2006) kesalahan-kesalahan siswa yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman konsep variabel sebagai

Dalam pengambilan sampel penelitian agar diperoleh hasil data yang lebih valid mengenai tingkat pemahaman konsep siswa, baik pada siswa dengan kognitif tinggi,

kemampuan pemahaman siswa yang berbeda- beda membuat siswa kesulitan dalam memahami materi yang diberikan oleh guru selama pembelajaran daring; 3) kondisi siswa, durasi

Sasaran yang ingin dituju dari penelitian adalah mengembangkan outline untuk pendekatan pembelajaran baru pada konsep ikatan kimia agar dapat meningkatkan pemahaman siswa

Menurut Suparno (2005) ada lima hal yang menjadi penyebab miskonsepsi yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Adapun miskonsepsi yang disebabkan oleh siswa

RPP yang digunakan oleh guru baru mengunakan RPP daring sehingga belum bisa efektif, Untuk penerapannya guru menggunakan aplikasi whatsapp group untuk menghubungi siswa.2pelaksanaan