KEMISKINAN
MENURUT TIGA KONSEP SISTEM MAKRO SOSIOLOGI
Oleh: Heru Sunoto (Social Worker)
Memotret kemiskinan harus dilakukan secara
benar. Pemotretan secara keliru dan
serampangan atau sambil lalu akan
memunculkan gambaran kemiskinan yang juga
keliru, kabur, terdistorsi. Pemotretan
kemiskinan yang dilakukan secara benar
berdimensi ilmiah, sistematis, terstruktur, dan
menangkap gambar sesuai aslinya. Ilmiah
artinya adalah didasarkan kepada sandaran
ilmu yang dikemukakan oleh para ahli di bidangnya, menggunakan referensi akurat, dan
bukan asal bunyi. Sistematis artinya satu bagian terkait dengan bagian yang lain,
interrelasi dan interdepedensi, seluruhnya berjalan sesuai kaidah dan koridornya,
terhubung dan saling bergantung. Terstruktur artinya pemotretan dilakukan secara
berjenjang, mendengarkan pandangan para pemangku jabatan dan mendengarkan suara
masyarakat dari kalangan Bapak-bapak hingga ibu-ibu. Menangkap gambaran sesuai
aslinya artinya potret kemiskinan tidak menurut perspektif peneliti atau “yang merasa ahli” dan mengabaikan suara masyarakat, menggunakan perspektif aparat dan mengabaikan
suara ibu-ibu rumah tangga. Tidak, tidak demikian. Akan tetapi mengakomodir semua
suara yang ada dan diambil garis merah sebagai kesimpulan akhir yang merupakan
potret kemiskinan bersama.
Potret kemiskinan merupakan hasil assessment dalam tahapan professional pekerjaan social. Ia bukan awal dan akhir kegiatan. Tetapi, ia merupakan hasil social diagnosis kalau meminjam istilah yang dikemukakan oleh Mary Richmond (1917). Ia merupakan bahan dalam merancang program dan kegiatan solusi bagi masyarakat.
Miskin dan kemiskinan adalah masalah yang sudah ada sejak lama, sejak ada
makhluk yang bernama manusia. Manusia memang merupakan makhluk yang spesial.
Manusia memiliki banyak kelebihan daripada makhluk lain; memiliki perasaan, fikiran,
dan agama. Dengan tiga hal ini, manusia membuat teknologi, peradaban, dan memoles
infrastruktur alam. Sejatinya, dengan semua kelebihan ini, manusia semakin makmur,
andil, yaitu nafsu, nafsu untuk menguasai pihak lain. Hal ini yang memicu munculnya
pihak yang sangat kaya dan pihak lain yang sangat miskin.
Masyarakat beserta kemiskinannya, dalam kajian Sosiologi, dapat difahami
dengan tiga teori system makro, yaitu Perspektif Fungsionalisme, Teori Konflik, dan
Perspektif Interaksionisme1. Penjelasan-penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Perspektif Fungsionalisme
Perspektif fungsionalisme sebagaimana dijelaskan oleh Zastrow (2007)2
adalah dikemukakan oleh Emile Durkheim dan dikembangkan secara lebih detail oleh
Robert. K. Merton, Talcott Parson, dll. Madzhab Fungsionalisme memandang bahwa
masyarakat yang baik adalah satu kesatuan yang terorganisir, memiliki aturan
bersama yang ditaati dan diikuti, saling berinteraksi secara positif demi kesatuan
masyarakat tersebut. Masyarakat dalam madzhab ini dipandang sebagai
interdepedensi dan interrelasi. Maka, menurut madzhab ini, masyarakat adalah
laksana satu tubuh yang terdiri atas ribuan organ dan sel yang saling terkait dan saling
pengaruh, bekerja bersama secara seimbang sehingga tercipta keselarasan hidup.
Maka, apabila ada satu organ mengalami masalah akan berpengaruh kepada organ
yang lain. Hal ini disebut sebagai social disorganization (disorganisasi social). Madzhab ini memandang bahwa ada ribuan potensi munculnya disorganisasi social
dalam masyarakat, misalnya keluarga, system pendidikan, kemajuan teknologi, dan
lain-lain.
Pandangan Madzhab Fungsionalis ini sepertinya selaras dengan penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya:
رئاس ول ىعادت وضع ونم ىكتشا اذإ ،دحاولا دسلجاك مىداوتو مهحمارت في يننمؤلما لثم((
ويلع قفّتم ))ىّملحاو رهسلاب هدسج
Artinya: Permisalahan sesama mukminin di dalam saling sayang dan saling cintaadalah laksana satu tubuh, apabila salah satu organ tubuh mengalami sakit, maka mengeluh seluruh anggota badannya dengan panas dan meriang. HR. Muttafaq „alaih.
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa masyarakat muslim itu adalah laksana satu tubuh, saling menguatkan, saling
bergantung dan saling berrelasi; apabila salah satu terganggu maka akan
berpengaruh kepada bagian lainnya. Maka, masyarakat yang normal, masyarakat
1
Charles Zastrow dan KK. Kirst-Ashman, Human Behavior and the Social Environment, 7th Ed., p. 441. 2
yang sehat itu ada interrelasi dan interdepedensi untuk selalu menjaga keseimbangan
dan kemajuan serta kekuatan bersama.
Kemiskinan menurut perspektif fungsionalisme adalah salah satu bentuk
disorganisasi sosial atau kepincangan social. Solusinya adalah dengan memecahkan
penyebab distribusi yang tidak lancar, mengembangkan interrelasi dan interdepedensi
secara lebih erat, jaminan social kemasyarakatan; masing-masing anggota
masyarakat mengambil peran secara positif untuk menyelesaikannya. Intinya
mengembangkan social capital di masyarakat. Terkait dengan hal itu, Emile Durkheim (1957)3 menyatakan: “Tak satupun aktivitas sosial yang bisa dijalankan tanpa ada etika yang mendukungnya. Fakta menyatakan bahwa setiap kelompok sosial, sekecil
apapun dia, adalah dibangun dari etika bersama; kelompok inti yang juga dibangun
dari sejumlah individu, pun demikian. Agar kelompok dapat bertahan, maka setiap
bagiannya harus berperan bersama, bukan jalan sendiri-sendiri.”
2. Perspektif Konflik
Pandangan yang ke dua adalah perspektif konflik4. Teori Konflik terkenal
sebagai teori yang digagas oleh Karl Marx.5 Zastrow (2007) menjelaskan bahwa teori
ini memandang masyarakat sebagai sebuah perjuangan untuk mendapatkan
kekuatan/posisi di antara berbagai kelompok sosial yang ada. Konflik dipandang
sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, pasti terjadi dimanapun dan kapanpun, dan
bahkan sebenarnya memberikan manfaat kepada masyarakat. Perjuangan dan konflik
dapat muncul dalam beragam bentuk, misalnya kompetisi, perbedaan pendapat,
sengketa di pengadilan, perkelahian, tindak kekerasan, dan atau perang. Apabila
perjuangan lebih sering diekspresikan dalam bentuk kekerasan, maka masyarakat
akan terbiasa berbuat kekerasan. Dan ini tidak boleh terjadi. Maka, muncullah norma
yang mengatur bagaimana kita mengeksresikan perjuangan dan oleh kelompok mana.
Contoh: Ikut berpartisipasi dalam demo buruh yang mogok kerja karena menuntut
upah yang layak atau menuntut pendidikan yang lebih tinggi merupakan cara-cara
yang diterima untuk memperjuangkan kemiskinan, daripada merampok atau mencuri
atau korupsi.
Dalam perspektif konflik, perubahan social mayoritasnya ditujukan untuk
menata ulang barang dan jasa, pemerataan pembangunan. Sedangkan menurut
perspektif fungsionalisme, perubahan social itu bisa berpotensi desdruktif merusak
3 Emile Durkheim,
Professional Ethics and Civil Morals, 1st published in English version in 1957, and edited in 1992 and 2003, Routledge, NY., USA, p. 14.
4
Ch. Zastrow dan Ashman, pp. 442 – 443. 5
kemapanan. Konflik dapat digunakan untuk kemajuan, perkembangan, dan
meminimalisir diskriminasi di antara anggota masyarakat yang tertindas serta untuk
memunculkan kelompok baru sebagai kekuatan yang dominan di masyarakat.
Menurut perspektif konflik, tanpa ada konflik maka masyarakat akan stagnan.
Kemiskinan, berdasarkan perspektif teori konflik, maka ia sebagai kelompok
tertindas harus berjuang merebut hak-haknya, dengan cara bersatu dan menjadi
kelompok pejuang melawan system yang merugikan sehingga ia menjadi kelompok
baru yang diperhitungkan.
3. Perspektif Interaksionisme
Pandangan yang ke tiga adalah perspektif interaksionisme6. Zastrow (2007:
443) menjelaskan bahwa perspektif ini lebih berfokus pada individu dan proses
kesehariannya dalam beraktivitas dan berelasi dengan sesama, dan tidak memandang
struktur social yang lebih luas sebagai penentu perilaku, semisal system pendidikan,
ekonomi, dan agama. Perspektif ini memandang bahwa perilaku manusia adalah
produk dari interaksi social individu. Cartwright (1951: 383)7 berkata:
How aggressive or cooperative a person is, how much respect or self-confidence he has, how energetic and productive his work is, what he aspires to, what he believes to be true and good, whom he loves or hates, and what beliefs or prejudices he holds—all these characteristics are highly
determined by the individual’s group memberships. In a real sense, they
are products of groups and of the relationships between people. (Bagaimana agresif atau kooperatifnya seseorang, bagaimana tingginya
respek atau percaya dirinya seseorang, bagaimana enerjik dan
produktifnya seseorang dalam bekerja, apa yang ia cita-citakan, apa yang
ia yakini sebagai kebenaran atau kebajikan, siapa yang ia cinta dan ia
benci, apa keyakinan dan akidah seseorang, seluruhnya sangat ditentukan
oleh keanggotaan seseorang di dalam kelompok. Dalam arti yang
sebenarnya, mereka adalah produk dari kelompok dan relasi diantara
mereka).
Perspektif ini sejalan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini:
6
Ch. Zastrow, pp. 443 – 444.
وليلخ نيد ىلع ءرلما(( :ملسو ويلع لله ىلص للها لوسر لاق :تلاق ،اهنع للها يضر ةشئاع نع
نسح دانسإب دواد وبأ هاور ))للايخ نم مكدحأ رظنيلاف
Artinya: Dari Aisyah Ummul mukminin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang itu sesuai dengan agama al-kholil8-nya, maka hendaklah setiap
diri memperhatikan siapa yang jadi al-kholil-nya.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang hasan).
Kata diin atau agama dalam bahasa arab, disebutkan di dalam kamus
Al-Mu’jam Al-Wasith, salah satu maknanya adalah sesuatu yang dijadikan pegangan perilaku dan kebiasaan keseharian seseorang.9 Syaikh Prof. Dr. Abdul Aziz ibn
Abdullah Al-Rajhiy menjelaskan hadits ini bahwa tabiat manusia adalah ia terpengaruh
dengan kawan dekatnya, maka apabila ia berkawan dekat dengan orang yang baik
maka ia terpengaruh menjadi baik, demikian juga sebaliknya.10
Menurut perspektif ini, makanya, kemiskinan dipandang sebagai produk
perilaku masyarakat dan individu yang ada di dalamnya. Perspektif ini kemudian memunculkan pandangan “budaya miskin” atau “kemiskinan kultural”. Menurut perspektif ini, budaya miskin muncul sebagai produk perilaku miskin yang sering
diidentikkan dengan malas berusaha, konsumtif, menggunakan narkoba,
minum-minuman keras, berperilaku menyimpang, dan lain-lain.
8
Al-kholil adalah tingkatan tertinggi dalam kualitas persahabatan seseorang. 9
Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith, Mujamma’ Al-Lughah al-Arabiyah, Cairo, 2nd Ed., 1998. 10
Diagram Analisis Kemiskinan
menurut Tiga Perspektif Sistem Makro dalam Sosiologi dan Teknik Penanggulangannya
Berdasarkan ketiga perspektif di atas, saya memandang bahwa kemiskinan
muncul sebagai fakta adanya dis-organisasi sosial atau kepincangan sosial; bahwa ada
sesuatu yang salah di dalam masyarakat ataupun negara; dan itu harus ditelusuri dan
dicarikan solusinya, pertama. Ke dua, kemiskinan --dalam proses mencarikan solusi
untuknya— akan berhadapan dengan struktur yang “menindas” baik di masyarakat ataupun negara, maka harus diperjuangkan bahwa terlepas dari kemiskinan adalah
tuntutan hak asasi manusia, yaitu hak-hak sipil warga Negara yang tertuang di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat. Dan ke tiga, kemiskinan juga bisa
merupakan produk perilaku atau sifat manusia yang tidak produktif, cenderung konsumtif,
malas, dan berbagai sikap mental yang tidak membangun. Hal ini bisa “diperjuangkan” melalui kegiatan pemberdayaan dan pendampingan yang terus-menerus hingga