• Tidak ada hasil yang ditemukan

analisa definisi korban khususnya korban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "analisa definisi korban khususnya korban"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Terhadap Defnisi Krran Dalam Pelaksanaan Bantuan Medis dan PsikKsKsial Lemraga Perlindungan

Saksi dan Krran

Oleh : Rully Novian dan Susilaningtias1

A. Pendahuluan

Rezim orde baru telah menyisahkan banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia, salah satunya hutang Negara terhadap warga negaranya yang menjadi korban dari kekuasaan orde baru, dengan lahirnya beberapa undang-undang dan peraturan– peraturan di Indonesia yang tentunya sejalan dengan rezim Ham Internasional. Ada beberapa hak yang menjadi tanggung jawab Negara yang harus diberikan kepada Korban Pelanggaran Ham yang berat.

Hak-hak yang dapat diperoleh oleh korban pelanggaran HAM yang berat, termasuk juga hak untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan psiko-sosial adalah Kekhususan yang dimiliki oleh korban pelanggaran HAM yang berat. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dan ketentuan hukum HAM Internasional tentang korban pelanggaran HAM dan hukum humaniter. Dalam konteks Indonesia, karena kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka terhadap dua kejahatan ini menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memberikan reparasi atau

(2)

pemulihan kepada korban. Kewajiban memberikan reparasi kepada korban merupakan tanggung jawab negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen hak asasi dan ditegaskan dalam putusan-putusan (jurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional maupun regional.

Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum HAM internasional juga memberikan hak kepada individu atau kelompok yang menjadi korban dalam wilayah negara itu untuk mendapatkan penanganan hukum yang efektif dan pemulihan yang adil, yang sesuai dengan hukum internasional. Suatu negara tidak saja harus memberikan pemulihan, tetapi juga harus menjamin bahwa paling tidak hukum domestik memberikan perlindungan dengan standar yang sama dengan apa yang menjadi tanggung jawab atau kewajiban internasional. Dengan kata lain maka negara harus memberikan atau menyediakan suatu akses yang efektif dan setara bagi korban pelanggaran HAM yang berat untuk memperoleh keadilan dan juga harus memberikan ganti rugi yang efektif bagi korban, termasuk di dalamnya pemulihan atau reparasi.

(3)

Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of Power). Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban memiliki lima hak reparasi yaitu:

a. Restitusi; b. Kompensasi; c. Rehabilitasi;

d. Kepuasan (Satisfaction);

e. Jaminan ketidakberulangan (non reccurence).

Rehabilitasi yang dimaksud dalam prinsip tersebut mencakup pelayanan hukum, jasa medis atau juga jasa psikologis yang ditujukan untuk pemulihan korban termasuk pula memulihkan nama baik dan martabat korban.2 Dalam kerangka tersebut maka bantuan dalam

UU No 13 Tahun 2006 merupakan bagian dari pemenuhan prinsip-prinsip tersebut. Sebelum adanya UU No 23 Tahun 2006. Hak rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat hanya ada dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM termasuk dalam PP 3 Tahun 2002, namun ketentuan mengenai rehabilitasi tersebut sulit untuk dilakukan.

Dengan lahirnya UU No 13 tahun 2006 terutama yang diatur baik dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa bantuan yang dimaksudkan oleh UU No. 13 Tahun 2006 yang disebutkan pada Pasal 6 mencakup pada pertama, bantuan medis dan kedua, bantuan rehabilitasi

2 Supriyadi Widodo Eddiono dalam Makalah Aspek Aspek-Aspek

(4)

psikososial. Undang-undang juga menyatakan bahwa bantuan tersebut akan diberikan pada korban pelanggaran HAM berat. Demikian pula Peraturan Pemerintah (selanjutnya disingkat PP) No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat memperoleh bantuan;

B. Ruang Lingkup

1. Bentuk ejahatan Pelanggaran Ham Yang Berat

Kejahatan dalam Kategori Pelanggaran Ham Yang Berat Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham meliputi 3 :

a) kejahatan genosida;

yang dimaksud dengan kejahatan ini adalah dimana setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruhnya atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fsik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan

(5)

secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

b) kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:  pembunuhan;

 pemusnahan;

 perbudakan;

 pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

 perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fsik lain secara

 sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

 internasional;

 penyiksaan;

 perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

 kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk

 kekerasan seksual lain yang setara;

 penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari

 persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin

(6)

 menurut hukum internasional;

 penghilangan orang secara paksa; atau

 kejahatan apartheid.

2. Defnisi Krran Pelanggaran Ham yang rerat a. Defnisi Krran Menurut Hukum InternasiKnal

Mengacu pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, defnisi dari korban pelanggaran ham yang berat adalah “Victims are persons who individually or collectively sufered harm, including physical or mental injury, emotional sufering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that constitute gross violations of international human rights law, or serious violations of international humanitarian law. Where appropriate, and in accordance with domestic law, the term “victim” also includes the immediate family or dependants of the direct victim and persons who have sufered harm in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization”.

(7)

internasional , atau pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional . Apabila diperlukan , dan sesuai dengan hukum nasionalnya , istilah " korban" juga termasuk keluarga dekat atau tanggungan dari korban langsung dan orang-orang yang telah menderita kerugian dalam melakukan tindakan untuk membantu korban dalam kesulitan atau mencegah terjadinya viktimisasi . ”

Selanjutnya International Criminal Court juga memberikan defnisi korban sebagai:

(a) “Victims, means natural persons who have sufered harm as a result of the commission of any crime within the jurisdiction of the court; (b) Victims may include organizations or

institutions that have sustained direct harm to any of their property which is dedicated to religion, education, art or science or charitable purposes, and to their historic monuments, hospitals and other places and objects for humanitarian pusposes.”

Dalam terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:

(a) Korban berarti orang-orang yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah.

(8)

atau untuk tujuan-tujuan karikatif dan atas monumen-monumen sejarah mereka, rumah sakit dan tempat-tempat serta obyek-obyek lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau misi kemanusiaan.

Dari kedua defnisi di atas, ada beberapa hal yang menjadi unsur-unsur penting mengenai korban, sebagai berikut:

1. Unsur penderitaan atau kerugian yang dialami akibat dari suatu kejahatan

2. Korban itu mencakup individu (orang per orang) dan kelompok.

Sehingga menurut hukum internasional, korban ini tidak saja dimaknai sebagai individu, tetapi juga kelompok atau organisai. Selanjutnya hal ini dapat kita bandingkan dengan pengaturan mengenai korban kejahatan di Indonesia

r. Defnisi Krran Menurut Hukum NasiKnal

Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional yang juga telah merativikasi berbagai instrument internasional juga tentunya telah memiliki defnisi tentang apa itu Korban Pelanggaran Ham Yang Berat yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan.

(9)

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fsik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.”

2. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fsik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”.

3. Defnisi menurut Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan:

“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”4.

4. Defnisi Menurut Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan:

(10)

Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas mengenai defnisi korban, ada hal yang menarik dimana ada perbedaan mendasar di antara ke empat peraturan perundang-undangan di atas dalam mendefnisikan korban. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 masih menyebutkan mengenai cakupan korban yang tidak saja individu, seseorang, tetapi juga kelompok. Sementara di dalam rezim Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 sudah tidak mendefnisikan kelompok sebagai korban. Di dalam undang-undang ini jelas menyebutkan bahwa korban adalah seseorang. Sedangkan defnisi di dalam Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 mendefnisikan korban sebagai “orang”. Hal ini masih belum jelas apakah “orang” di sini dimaknai

sebagai individu saja atau apakah

kelompok/organisasi juga termasuk di dalamnya. Perbedaan cakupan ini akan berimplikasi kepada pemberian reparasi kepada korban.

3. Knsep Reparasi Bagi Krran

(11)

mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan yang layak bagi pelanggar, dan kewajiban untuk memberikan remedi bagi para korban. Reparasi untuk pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan bagi para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki akibat-akibat dari tindakan salah dan dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.

Reparasi seharusnya sesuai dengan kerugian yang dialami oleh para korban, kebutuhan, dan keinginan para korban. Reparasi haruslah proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerusakan yang ditimbulkan dan haruslah mencakup: restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan untuk tidak terulang lagi. Termasuk dalam reparasi untuk pelanggaran hak asasi manusia berat adalah menuntut dan menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Menurut Theo Van Boven, pemulihan (reparasi) adalah segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi mencakup aspek-aspek tertentu dari pemulihan. Boven mengusulkan enam prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh negara yang akan merumuskan kebijakan untuk pemenuhan hak-hak korban, yakni:

(12)

2. Negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah pemulihan yang efektif secara penuh. Pemulihan harus seimbang dengan beratnya pelanggaran dan kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya, yang mencakup pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan agar kejadian serupa tidak terulang.

3. Setiap negara harus mengumumkan melalui mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di dalam maupun di luar negeri tentang tersedianya prosedur-prosedur pemulihan.

4. Ketentuan-ketentuan pembatasan tidak boleh diterapkan selama masa dimana tidak ada penyelesaian efektif atas pelanggaran asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter.

5. Setiap negara harus memungkinkan tersedianya secara cepat seluruh informasi yang berkenaan dengan persyaratan-persyaratan tuntutan pemulihan.

6. Keputusan-keputusan menyangkut pemulihan atas korban pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter harus dilaksanaka melalui cara yang cermat dan cepat.5

Sementara pandangan lain mengenai prinsip-prinsip umum dalam penanganan korban Pelanggaran Ham yang berat antara lain6 :

5 Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban atas

Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Pengantar Buku: Ifdhal Kasim Hal. xxi-xxii, ELSAM, 2002.

(13)

a) prinsip umum, bahwa pelanggaran hak asasi manusia menerbitkan adanya hak korban atau pun keluarganya atas pemulihan.

b) Implikasi, adanya kewajiban dan tugas di pundak negara untuk memberikan pemulihan kepada korban atau pun keluarganya serta kemungkinan bagi korban untuk mencari pemulihan dari pelaku.

c) Negara harus menjamin adanya prosedur bagi korban untuk menuntut pemulihan serta mempublikasikannya.

Selanjutnya Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan PBB tentang Hak atas Penyelesaian dan Reparasi menyebutkan kerangka reparasi sebagai berikut:

 Restitusi, mengembalikan korban pada situasi sebelum terjadi pelanggaran HAM yang berat,

melalui pengembalian kebebasan,

kewarganegaraan, pekerjaan atau hak milik.

 Kompensasi, diberikan untuk mengganti kerugian akibat kerusakan yang dialami oleh korban baik materiil maupun non materiil.

 Rehabilitasi, merupakan upaya untuk memperbaiki kerusakan permanen dari pelanggaran HAM melalui penyediaan jasa medis, psikologis, hukum, dan sosial.

(14)

dan peringatan serta penghormatan terhadap korban.

 Jaminan ketidakberulangan, termasuk sektor keamanan untuk memastikan bahwa pengawasan sipil secara efektif, penguatan sistem peradilan yang independen, pendidikan HAM untuk aparat penegak hukum dan keamanan, mekanisme untuk mencegah dan memantau konfik, serta peninjauan dan reformasi atas hukum dan kebijakan yang berkontribusi pada terjadinya pelanggaran HAM yang berat.7

4. PrKsedur dan Mekanisme

Setiap negara harus menyiapkan prosedur dan mekanisme bagi para korban untuk dapat mengakses program pemulihan terhadap dirinya atau kelompok. Mekanisme dan prosedur ini biasanya tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Mekanismenya biasanta disesuai dengan hal-hal keperdataan, administrasi, dan prosedural, dengan tujuan untuk menjamin bahwa hak atas reparasi dapat diakses dengan mudah, tidak dihambat dan mempertimbangkan kerentanan potensial dari para korban. Selain itu negara juga berkewajiban untuk mempublikasikan prosedur dan mekanisme tersebut.

5. Reparasi di IndKnesia

Dalam hal pemberian reparasi kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Pemerintah

(15)

Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002. Kedua peraturan ini diterbitkan sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua peraturan ini mengatur mengenai hak korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia berat untuk mendapatkan perlindungan atas informasinya untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia berat dan juga hak korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai reparasi terhadap para korban.

Pada tahun 2006 pemerintah juga menerbitkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dimana di dalam mengatur mengenai hak korban pelanggaran ham berat untuk mendapatkan bantuan medis dan psiko-sosial serta kompensasi dan restitusi. Undnag-undang ini kemudian menjadi dasar didirikannya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang diberikan mandat untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi para saksi dan korban kejahatan, termasuk korban pelangagran hak asasi manusia berat. Lebih lanjut pelaksanaan undang-undang ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

6. PERAN LPS DALAM REPARASI ORBAN PELANGGARAN HAM BERAT

(16)

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan psiko-sosial. Selanjutnya Pasal 7 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 juga mengatur bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi (korban kejahatan lainnya juga berhak atas restitusi). Selanjutnya lebih detail mengenai mekanismenya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.

Ketentuan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk medis dan psiko-sosial diberikan dalam bentu bantuan. Tidak ada di dalam undang-undang ini atau Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa mekanisme bantuan medis dan psiko-sosial kepada para korban tersebut adalah sebagai bentuk reparasi. Dus, tidak ada juga di dokumen-dokumen lainnya yang menyatakan bahwa hak para korban pelanggaran ham berat yang diatur di kedua peraturan perundang-undangan tersebut sebagai bagian dari reparasi bagi korban pelanggaran ham berat. Bentuk layanan untuk medis dan psiko-sosial hanya bersifat “bantuan”.

(17)

untuk pengobatan (medis) dan psiko-sosial. Implikasi dalam bentuk bantuan adalah tidak semua bantuan tersebut dilakukan sampai tuntas, misalnya sampai korban sembuh benar.

Selain itu LPSK juga memberikan bantuan tersebut secara individu perseorangan. Hal ini karena; Pertama,

administrasi pencatatan perlindungan di LPSK secara individu yang dilindungi. Kedua, dalam sistem pembiayaan dan pertanggungjawaban penggunaan biaya untuk orang-orang yang dilindungi/dilayani oleh LPSK, dilakukan secara individu. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan setiap individu mendapatkan 1 layanan. Seorang yang dibantu oleh LPSK dapat saja mendapatkan 2 layanan bantuan, seperti mendapatkan bantuan medis dan psiko-sosial sekaligus. Ada juga yang mendapatkan hanya salah satunya.

Untuk mendapatkan layanan bantuan medis dan psiko-sosial ini, terlebih dahulu sudah ada penetapan bahwa suatu peristiwa atau tindak pidana adalah pelanggaran ham berat oleh KOMNAS HAM. Selanjutnya untuk mengidentifkasi siapa korban dan bukan, Komnas Ham sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk persoalan hak asasi manusia akan menerbitkan dokumen yang menerangkan bahwa seseorang adalah korban pelanggaran ham berat.

(18)

(termasuk penghilangan paksa), peristiwa tanjung Priok, dan peristiwa 1965. Para korban yang mengalami penderitaan akibat pelanggaran ham berat pada peristiwa-peristiwa tersebut sebagian telah mengajukan permohonan bantuan medis dan psiko-sosial. Sebagian dari mereka juga ada yang mengajukan permohonan kompensasi.

Untuk bantuan medis dan psiko-sosial, LPSK dapat memberikan layanan tersebut berdasarkan keputusan LPSK. Tetapi untuk kompensasi, belum ada yang dapat dibantu oleh LPSK untuk proses pengajuannya karena sejauh ini belum ada pengadilan ham. Sementara kompensasi dapat diberikan negara kepada korban pelanggaran ham berat jika melalui pengadilan ham sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.

Dalam hal layanan, LPSK tercatat telah melayani korban pelanggaran ham berat dengan rincian sebagai berikut (Periode Januari-Minggu I Oktober 2014):

Wilayah Medis PsikKlKgis

DI. Yogyakarta 51 43

Sumatera Barat 133 13

Jawa Timur 38 10

Jawa Tengah 443 215

Bali 1

-Banten 3 2

DKI Jakarta 7 5

Jawa Barat 51 17

Sumatera Utara 10

-Sulawesi Tengah 8

(19)

Pada awal pemberian bantuan medis dan psiko-sosial, LPSK memberikan bantuan juga kepada keluarga korban. Hal ini didasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan defnisi keluarga (ahli waris) jika kita mengacu pada penyebutan ahli waris pada defnisi korban yang ada pada PP No 3 Tahun 2002. Undag-undang Nomor 13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang mejadi tanggungan saksi dan/atau korban”.

(20)

ham berat tidak pandang bulu apakah yang bersangkutan adalah anak atau istri dari korban.

7. Pemriayaan Medis dan PsikK-SKsial Bagi Para Krran

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 mengamanatkan kepada LPSK untuk memberikan bantuan medis dan psiko-sosial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan dianggarkannya biaya bantuan medis dan psiko-sosial. Selanjutnya anggaran untuk bantuan medis dan psiko-sosial ini tidak saja digunakan untuk kepentingan pembiayaan bantuan medis dan psikologis bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tetapi juga digunakan untuk pembiayaan bantuan medis dan psikologis bagi para saksi dan korban kejahatan lainnya yang menjadi prirotas LPSK untuk ditangani. Hal ini dimaksudkan agar para saksi dan korban kejahatan tersebut jika mengalami penderitaan fsik dan psikis, dapat diobati, sehingga memudahkan saksi dan korban untuk mengungkapkan kejahatan yang diketahuinya.

(21)

dan korban yang terganggu psikisnya karena tindak pidana yang dialaminya.

Dalam kurun waktu sejak tahun 2010 sampai 2011 biaya ini hanya digunakan untuk pembiayaan medis dan psikologis bagi saksi dan korban kejahatan lainnya. Tetapi pada tahun 2012, para korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah mulai menerima manfaat. Pada tahun 2012 para korban yang pertama kali menerima manfaat adalah para korban kasus tanjung priok, keluarga korban tahun 1998, dan keluarga korban penghilangan paksa. Untuk ketiga kasus ini LPSK membiayai pengobatan medis dan psikologis korban yang secara langsung mengalami penderitaan dan keluarganya. Selanjutnya menjelang akhir tahun 2012, LPSK menerima banyak permohonan bantuan medis dan psikologis dari para korban pelanggaran ham yang berat peristiwa tahun 1965 karena sekitar akhir Bulan Juli 2012, Komnas Ham menyatakan bahwa peristiwa 1965 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sejak saat itu para korban peristiwa 1965 mengajukan permohonan ke LPSK untuk mendapatkan bantuan medis dan psikologis. Berikut data mengenai penganggaran LPSK untuk bantuan medis dan psikososial pada tahun 2013 dan 2014 beserta realisasinya:

Bantuan 2013 2014 Realisasi Penyerapan

dalam Persen

2013 Per Sept

2014

(22)

Medis 2.223.050.00

Dari data di atas dapat dilihat bahwa anggaran bantuan medis mengalami kenaikan pada tahun 2014. Hal ini karena penyerapan anggaran bantuan medis pada tahun 2013 tinggi karena banyaknya korban yang harus diberikan bantuan medis. Sementara berbeda dengan anggaran biaya bantuan psiko-sosial yang mengalami penurunan karena penggunaan biaya psiko-sosial pada tahun 2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2014 bantuan psiko-sosial tidak banyak dimanfaatkan karena tidak semua korban pelanggaran ham berat bersedia menerima layanan bantuan psiko-sosial.

C. esimpulan dan Saran

(23)

2006 juga masih belum jelas mengenai istilah “orang”, apakah ini menyebut pada orang secara langsung atau juga keluarga.

Namun dalam konsep hukum internasional, korban dalam hal ini tidak saja seseorang yang mengalami langsung tetapi juga orang-orang di sekitarnya bahkan orang-orang yang membantu juga diidentifkasi sebagai korban. Defnisi korban seperti hukum internasional ini juga diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Peraturan ini menyebutkan bahwa korban termasuk mencakup kepada Ahli Waris (keluarga), dimana pengertian keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban”.

Dengan kata lain bantuan medis dan psikososial yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat diberikan kepada:

 Seseorang yang mengalami penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (korban yang secara langsung mengalami kejahatan sesuai dengan defnisi kejahatan sebagaimana telah disebutkan di atas)

 Keluarga korban yang mempunyai hubungan perkawinan (istri korban)

(24)

ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga (anak korban)

 Orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban (anak angkat atau anak adopsi korban).

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari Gini Ratio, ukuran ketimpangan Bank Dunia pun mencatat hal yang sama yaitu ketimpangan daerah perkotaan di Jawa

Berdasarkan data AC setelah lepas braket dan saat ini menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai yang sama dengan data DHC yaitu p<0,005, menunjukkan adanya perbedaan

perpindahan peserta didik dari sekolah di luar lingkungan SKPD atau sekolah yang tidak diselenggarakan dan tidak dibina oleh Pemerintah Indonesia ke sekolah dalam

Dalam pelayanan keperawatan di rawat inap khususnya di Ruang perawatan Anak, standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas sehingga harus berfikir realistis

Menciptakan kepercayaan dari seluruh pemangku kepentingan dengan menghasilkan program pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di bidang manajemen bisnis berbasis digital

Dengan statistik menggunakan uji Chi- Square Test didapat p-value 0.178> (0.05) maka hasil dari penelitian dapat disimpulkan H 0 diterima dan H a ditolak yang

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak

Khusus pada areal penyebrangan dibuatkan ramp agar konektivitas jalan dan trotoar dapat terhubung walaupun menggunakan kursi roda Penambahan rambu untuk mengurangi