• Tidak ada hasil yang ditemukan

BPS PROVINSI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BPS PROVINSI JAWA BARAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat No.39/07/32/Th. XVII, 17 Juli 2017 1 No. 39/07/32/Th.XVII , 17 Juli 2017

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT MARET 2017 SEBESAR 8,71 PERSEN

DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN SEBESAR 0,403

Selama periode September 2016 – Maret 2017

 Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mengalami sedikit peningkatan (±.300-an jiwa) dari 4.168,11 ribu jiwa (8,77 persen) menjadi sebesar 4.168,44 ribu jiwa (8,71 persen) pada bulan Maret 2017.

 Garis kemiskinan (GK) Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 3,71 persen dari Rp. 332.119,- per kapita per bulan menjadi sebesar Rp. 344.427,- per kapita per bulan. GK di daerah perkotaan meningkat 3,92 persen dari Rp. 332.145,- per kapita per bulan menjadi sebesar Rp. 345.151,- per kapita per bulan. GK di daerah perdesaan meningkat sebesar 3,15 persen dari Rp. 331.237,- per kapita per bulan menjadi sebesar Rp. 341.682,- per kapita per bulan.

 Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) sebesar 70,91 persen untuk daerah perkotaan. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 75,29 persen. Secara total peranan komoditi makanan terhadap GK adalah sebesar 72,15 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan keadaan September 2016 yang sebesar 71,95 persen.

 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) sama-sama menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan. Ini mengindikasikan adanya penurunan kondisi pada penduduk miskin. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,280 menjadi 1,448, atau naik sebesar 0,168 poin. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,276 menjadi 0,374 atau naik sebesar 0,098 poin.

 Nilai Gini Ratio mengalami peningkatan yang tidak signifkan dari 0,402 menjadi 0,403. Nilai Gini Ratio di daerah perkotaan tidak mengalami perubahan yaitu 0,412, sementara yang di daerah perdesaan mengalami peningkatan dari 0,310 menjadi 0,324.

 Pada Maret 2017, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 16,32 persen. Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan sedang. Jika dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 15,60 persen yang artinya berada pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 19,99 persen, yang berarti masuk dalam kategori ketimpangan rendah.

(2)

1.

PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT

SEPTEMBER 2016 – MARET 2017

Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Maret 2017 sebesar 4.168,44 ribu jiwa (8,71 persen). Jumlah ini mengalami peningkatan sekitar 300-an jiwa (0,06 persen) dibandingkan kondisi pada bulan September 2016 sebesar 4.168,11 ribu jiwa (8,77 persen).

Dalam kurun waktu enam bulan terakhir persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan naik sebesar 0,03 poin (11,72 persen menjadi 11,75 persen). Sedangkan di daerah perkotaan turun 0,03 poin (dari 7,55 persen menjadi 7,52 persen). Secara absolut selama periode September 2016 – Maret 2017, penduduk miskin di perdesaan turun 45,0 ribu jiwa (dari 1.624,81 ribu jiwa menjadi 1.579,82 ribu jiwa). Sementara itu di perkotaan secara absolut mengalami peningkatan sebanyak 45,3 ribu jiwa (dari 2.543,30 ribu jiwa menjadi 2.588,62 ribu jiwa). Kondisi ini terjadi karena peningkatan jumlah penduduk di perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang di perdesaan.

Persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan pada bulan Maret 2017 terhadap penduduk miskin Jawa Barat adalah sebesar 37,90 persen. Ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan September 2016 (38,98 %). Persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perkotaan pada bulan Maret 2017 terhadap penduduk miskin Jawa Barat adalah sebesar 62,10 persen. Ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan September 2016 (61,02 %).

Tabel 1.

Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Barat Menurut Daerah September 2016 – Maret 2017

Daerah/Tahun

Garis Kemiskian (Rp/kapita/bulan) Jumlah Persentase

Makanan Bukan

Makanan Total

Penduduk Penduduk Miskin (%) Miskin (ribu jiwa)

[1] [2] [3] [4] [5] [6] Perkotaan September 2016 233.953 98.192 332.145 2.543,30 7,55 Maret 2017 244.751 100.400 345.151 2.588,62 7,52 Perdesaan September 2016 250.274 80.963 331.237 1.624,81 11,72 Maret 2017 257.238 84.444 341.682 1.579,82 11,75 Perkotaan + Perdesaan September 2016 238.945 93.174 332.119 4.168,11 8,77 Maret 2017 248.505 95.922 344.427 4.168,44 8,71

(3)

Grafik 1.

Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Maret 2015 – Maret 2017

Sumber : Susenas 2015 - 2017

2. PERUBAHAN GARIS KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 - MARET 2017

Dalam proses penghitungan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Batasan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

Selama September 2016 - Maret 2017, Garis Kemiskinan (GK) naik sebesar 3,71 persen yaitu dari Rp. 332.119,- pada September 2016 menjadi Rp. 344.427,- pada Maret 2017. Apabila dilihat berdasarkan tipologi daerah, GK perkotaan kenaikannya lebih tinggi yaitu sebesar 3,92 persen dari Rp. 332.145,- pada September 2016 menjadi Rp. 345.151,- pada Maret 2017. Sedangkan GK perdesaan mengalami kenaikan sebesar 3,15 persen dari Rp 331.237,- menjadi Rp. 341.682,-.

Garis Kemiskinan terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan dan Non Makanan, pada Maret 2017, Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 248.505,- sedangkan jika dibedakan antara perkotaan dan perdesaan, Garis Kemiskinan Makanan di perdesaan (Rp 257.238,-) lebih tinggi dibandingkan Garis Kemiskinan Makanan di perkotaan (Rp 244.751,-). Tetapi sebaliknya, untuk Garis Kemiskinan Non Makanan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yaitu mencapai Rp 100.400,- di perkotaan sedangkan di perdesaan mencapai Rp 84.444,-. Garis Kemiskinan Non Makanan secara total sebesar Rp 95.922,-. 4,435.70 4,485.65 4,224.32 4,168.11 4,168.44 9.53 9.57 8.95 8.77 8.71 4,000.00 4,100.00 4,200.00 4,300.00 4,400.00 4,500.00 4,600.00 8.20 8.40 8.60 8.80 9.00 9.20 9.40 9.60 9.80

Maret 2015 September 2015 Maret 2016 September 2016 Maret 2017 Jumlah Penduduk miskin (000) Persentase penduduk miskin (%)

(4)

Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan sangat dominan dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih didominasi pengeluaran untuk kebutuhan makanan dibandingkan kebutuhan bukan makanan. Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) sebesar 70,91 persen untuk daerah perkotaan. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 75,26 persen. Secara total peranan komoditi makanan terhadap GK adalah sebesar 72,15 persen.

Pada Maret 2017, lima komoditi makanan penyumbang terbesar Garis Kemiskinan di daerah perkotaan adalah beras yaitu sebesar 23,20 persen, rokok kretek filter 11,83 persen, daging ayam ras 4,47 persen, telur ayam ras 4,02 persen dan mie instan sebesar 3,11 persen. Sedangkan lima komoditi makanan penyumbang terbesar terhadap Garis Kemiskinan di daerah perdesaan secara berturut- turut adalah beras yaitu sebesar 28,15 persen, rokok kretek filter 10,71 persen, roti 3,68 persen, telur ayam ras sebesar 3,17 persen, dan daging ayam ras 3,05 persen.

Tabel 2

Daftar Komoditi yang Memberi Pengaruh Besar pada Kenaikan Garis Kemiskinan, Maret 2017

Komoditi Kota Komoditi Desa

(1) (2) (3) (4)

Makanan

1 Beras 23,20 Beras 28,15

2 Rokok kretek filter 11,83 Rokok kretek filter 10,71

3 Daging ayam ras 4,47 Roti 3,68

4 Telur ayam ras 4,02 Telur ayam ras 3,17

5 Mie instan 3,11 Daging ayam ras 3,05

Non Makanan 1 Perumahan 9,43 Perumahan 9,11 2 Bensin 3,79 Bensin 2,31 3 Listrik 3,06 Listrik 1,82 4 Pendidikan 2,02 Pendidikan 1,26 5 Angkutan 1,96 Angkutan 1,15

Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan terbesar untuk Garis Kemiskinan di daerah perkotaan adalah perumahan yaitu sebesar 9,43 persen, bensin 3,79 persen, listrik 3,06 persen, pendidikan 2,02 persen dan angkutan sebesar 1,96 persen. Sedangkan lima komoditi bukan makanan penyumbang terbesar terhadap Garis Kemiskinan di daerah perdesaan secara berturut- turut adalah perumahan yaitu sebesar 9,11 persen, bensin 2,31 persen, listrik 1,82 persen, pendidikan 1,26 persen dan angkutan sebesar 1,15 persen.

(5)

Grafik 2. Garis Kemiskinan September 2016 - Maret 2017

Sumber : Susenas 2016 - 2017

Grafik 3. Peranan Komoditi Makanan dan Non Makanan Terhadap Garis Kemiskinan Maret 2017

Sumber : Susenas 2017 332,145 331,237 332,119 345,151 341,682 344,427 320,000 325,000 330,000 335,000 340,000 345,000 350,000

Perkotaan Perdesaan Kota + Desa

Maret 2017 September 2016 0 20 40 60 80 100

Perkotaan Perdesaan Kota + Desa

GK Non Makanan GK Makanan

(6)

3. INDEKS KEDALAMAN DAN INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN

SEPTEMBER 2016 - MARET 2017

Tabel 3

Persentase Penduduk Miskin (P0), Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Dirinci Menurut Daerah Perkotaan dan Perdesaan Di

Provinsi Jawa Barat Bulan September 2016 dan Maret 2017

Bulan

Kota Desa Kota+Desa

P0 P1 P2 P0 P1 P2 P0 P1 P2 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) September 2016 7,55 1,076 0,238 11,72 1,773 0,370 8,77 1,280 0,276 Maret 2017 7,52 1,205 0,309 11,75 2,069 0,540 8,71 1,448 0,374 Perubahan -0,033 0,128 0,071 0,031 0,297 0,171 -0,060 0,168 0,098 Sumber : Susenas 2016-2017

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.

Pada periode September 2016 - Maret 2017, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan meningkat. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,280 pada keadaaan September 2016 menjadi 1,448 pada keadaaan Maret 2017. Demikian pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga menunjukkan peningkatan dari 0,276 pada keadaan September 2016 menjadi 0,374 pada keadaan Maret 2017. Peningkatan nilai indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauh dari garis kemiskinan dan kesenjangan pengeluaran antar penduduk miskin juga cenderung melebar. Untuk wilayah perdesaan indeks kedalaman kemiskinan (P1) mengalami peningkatan yaitu dari 1,773 pada bulan September 2016 naik menjadi 2,069 pada bulan Maret 2017 atau naik 0,297 poin. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan (P2) di wilayah perdesaan naik dari 0,370 pada bulan September 2016 naik menjadi 0,540 pada bulan Maret 2017 atau naik 0,171 poin. Untuk wilayah perkotaan Indeks kedalaman kemiskinan (P1) mengalami peningkatan yaitu dari 1,076 pada bulan September 2016 naik menjadi 1,205 pada bulan Maret 2017 atau naik 0,128 poin. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan (P2) di wilayah perkotaan naik dari 0,238 pada bulan September 2016 naik menjadi 0,309 pada bulan Maret 2017 atau naik 0,071 poin (Tabel 3).

(7)

4. PERKEMBANGAN GINI RATIO JAWA BARAT TAHUN 2015 - MARET 2017

Salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio berkisar diantara 0-1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi. Di Provinsi Jawa Barat, Gini Ratio mengalami fluktuasi pada periode Maret 2015 – Maret 2017. Pada Maret 2015, Gini Ratio sebesar 0,415 poin kemudian meningkat menjadi 0,426 poin pada September 2015. Pada Maret – September 2016, nilai Gini Ratio mengalami penurunan. Dan pada Maret 2017 mengalami sedikit kenaikan menjadi 0,403 poin.

Berdasarkan daerah tempat tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2017 tercatat sebesar 0,412 poin. Angka ini tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan kondisi September 2016. Untuk daerah perdesaan, Gini Ratio Maret 2017 tercatat sebesar 0,324 poin. Angka ini mengalami kenaikan 0,014 poin dibandingkan pada kondisi September 2016 yang hanya sebesar 0,310 poin.

Grafik 4. Perkembangan Gini Ratio, Maret 2015 – Maret 2017

Sumber : Susenas 2015 – 2017

5. PERKEMBANGAN DISTRIBUSI PENGELUARAN (SEPTEMBER 2016 – MARET 2017)

Selain Gini Ratio, ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran ketimpangan Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini tingkat ketimpangan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi, sedang dan rendah. Tingkat ketimpangan dikategorikan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya di bawah 12 persen. Tingkat ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12-17 persen. Adapun tingkat ketimpangan rendah jika angkanya

0.433 0.446 0.423 0.412 0.412 0.316 0.310 0.317 0.310 0.324 0.415 0.426 0.413 0.402 0.403 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400

Maret 2015 September 2015 Maret 2016 September 2016 Maret 2017

(8)

berada di atas 17 persen. Pada Maret 2017, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah di Jawa Barat adalah sebesar 16,32 persen yang berarti Jawa Barat berada pada kategori ketimpangan sedang. Persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah pada bulan Maret 2017 ini menurun jika dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 16,45 persen.

Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari Gini Ratio, ukuran ketimpangan Bank Dunia pun mencatat hal yang sama yaitu ketimpangan daerah perkotaan di Jawa Barat ada pada kategori sedang dan di perdesaan ada pada kategori rendah. Persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan Jawa Barat pada Maret 2017 adalah 15,60 persen. Sementara itu, persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perdesaan pada Maret 2017 adalah sebesar 19,99 persen.

Grafik 5. Persentase Pengeluaran Kelompok Penduduk 40 Persen Terbawah di Jawa Barat (September 2016 dan Maret 2017)

Sumber : Susenas 2016 – 2017

Tabel 4.

Distribusi Pengeluaran Penduduk di Jawa Barat

September 2016 – Maret 2017

Daerah/Tahun Penduduk 40 persen Terbawah Penduduk 40 persen Menengah Penduduk 20 persen Atas Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan September 2016 15,78 37,00 47,23 100 Maret 2017 15,60 37,15 47,24 100 Perdesaan September 2016 20,52 40,61 38,87 100 Maret 2017 19,99 39,95 40,07 100 Kota + Desa September 2016 16,45 36,68 46,881 100 Maret 2017 16,32 36,72 46,96 100 Sumber : Susenas 2016 – 2017 15.78 20.52 16.45 15.60 19.99 16.32 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

Kota Desa Kota + Desa

(9)

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Home Page:http://jabar,bps,go,id

Informasi lebih lanjut hubungi: Ir. Gandari Adianti Aju Fatimah, M.Si

Kepala Bidang Statistik Sosial Telepon: (022) 7272595, (022)7215797

Gambar

Grafik 3. Peranan Komoditi Makanan dan Non Makanan  Terhadap Garis Kemiskinan Maret 2017
Grafik 4. Perkembangan Gini Ratio, Maret 2015 – Maret 2017
Grafik 5. Persentase Pengeluaran Kelompok Penduduk 40 Persen Terbawah   di Jawa Barat (September 2016 dan Maret 2017)

Referensi

Dokumen terkait

Instead of religion and ethnic heterogeneity, this study shows that lack capacity of street level bureaucrats, immature local democracy, political dynasty, poverty and

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat mengerti, memahami dan menjelaskan berbagai macam sudut pandang yang dapat dipakai untuk menganalisis keputusan bisnis

Seluruh asli dokumen penawaran Saudara yang telah diunggah melalui LPSE Kota Medan;.. Berkas asli Dokumen Kualifikasi dan fotokopinya sebanyak 1 (satu) eksemplar;

Segala puji bagi Allah SWT, penulis panjatkan atas kehadirat-Mu yang telah memberikan limpahan kemudahan, karunia, dan rahmat sehingga penulis dapat

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh defisit anggaran, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar terhadap inflasi di Indonesia

Jadi, auditor yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan dengan mengikuti etika profesi yang berlaku, bersikap profesional tanpa memandang status, serta memiliki

Pada bab ini penulis berupaya mengemukakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian berdasarkan analisa data dari penelitian yang dilakukan mengenai peran ibu

Rafiloza menambahkan Galuik Balam dalam konteks pertunjukan ini adalah estetika yang melekat dalam realitas, dendang Balam-balam, ritual anak balam menjadi materi dalam