• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEMBUKTIAN PERKARA DI DALAM HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM PEMBUKTIAN PERKARA DI DALAM HUKUM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

SISTEM PEMBUKTIAN PERKARA DI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN ISLAM*

Oleh: Taufiqul Hadi

(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdhatul Ulama Aceh)

Sistem pembuktian sangat menentukan bagi hakim di dalam memutuskan perkara. Namun dalam praktek sistem tersebut sangat terkait dengan konsep kebenaran formil, dimana tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinan (kebenaran materil), tetapi cukup berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang. Tidak jarang, penyelesaian perkara dengan model seperti ini terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim. Penelitian ini mengkaji urgensitas kebenaran materil sebagai bahan pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara dan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh seorang hakim. Hasil penelitian ini menunjukkan agar dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan terhadap suatu kasus, maka seorang hakim dituntut agar dapat mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Dan prinsip umum yang harus dipegang oleh seorang hakim ketika pembuktian perkara ada dua, yaitu: hakim harus mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan dan hakim mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya.

Kata kunci: pembuktian, hakim, kebenaran formil, kebenaran materil.

A. Pendahuluan

Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting, karena pengadilan di dalam menetapkan hukum tidak lain berdasarkan hasil pembuktian. Dalam menyelesaikan perkara perdata, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dari dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanya dalam hal adanya perselisihan, adapun terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak diperlukannya pembuktian.1

Fenomena yang sering terjadi sekarang ini adalah sistem pembuktian perkara sangat terkait dengan konsep kebenaran formil yang dianut dalam Hukum Acara Perdata. Kebenaran formil tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinan, tetapi cukup berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang. Penyelesaian perkara dengan model seperti

*Artikel ini sudah dipublikasikan pada Jurnal Madany STIS NU Aceh dengan nomor ISSN: 2527-6808.

(2)

2

ini terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim. Apabila hakim hanya berpegang teguh terhadap kebenaran formil bisa saja ada pihak yang benar menjadi kalah karena gagal mengetengahkan bukti-bukti yang konkrit di muka persidangan, padahal Islam sangat mengutamakan prinsip kebenaran dan keadilan.

Prinsip kebenaran dan keadilan dapat kita temukan pada beberapa ayat di dalam Alquran, salah satunya adalah firman Allah yang terdapat di dalam surat al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:



“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada

Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Ayat di atas menggambarkan secara umum tentang kebenaran dan keadilan, sedangkan dalam hal bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk Hukum Acara di pengadilan, ditentukan oleh para hakim berdasarkan petunjuk Nabi dan hasil ijtihadnya.

Dari uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pentingnya kebenaran materil sebagai bahan pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara?

2. Bagaimana Islam mengatur prinsip-prinsip yang harus dipegang hakim ketika pembuktian perkara?

(3)

3

B. Konsep Pembuktian Perkara Dalam Hukum Acara Islam a) Pengertian Pembuktian

Dikaji secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Jadi, pembuktian adalah perbuatan membuktikan.2 Apabila dilihat dari makna kamus,

pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.3

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan.4 Riduan Syahrani mengatakan bahwa pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti

yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.5 Sedangkan Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan

pembuktian itu adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia merupakan saksi atau sesuatu yang lain.6

Pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-bayyinah. Secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar).7 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan. Dengan demikian dapat

juga dipahami bahwa alat bukti adalah cara atau alat yang digunakan dalam pembuktian. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-bayyinah mengandung pengertian yang lebih luas dari

2 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: PT.

Alumni, 2007), hal. 159.

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI Offline Versi 1.5, aplikasi di download dari

http://www.ketikankomputer.com/2013/03/download-kamus-besar-bahasa-indonesia.html, pada tanggal 30 Mai 2013.

4 Subekti, Hukum Pembuktian…, hal. 1.

5 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004),

hal. 83.

6 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 139.

7 Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi, al-Qadha’ Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah, (Makkah:

(4)

4

definisi mayoritas ulama yang dapat digunakan untuk mendukung dakwaan seseorang. Ia mendefinisikan al-bayyinah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak pada pemiliknya.8

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pembuktian adalah usaha yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, agar dapat meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan kepada pengadilan melalui alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau syari’at.

b) Asas Pembuktian

Asas pembuktian di dalam hukum Acara Islam, berpedoman kepada hadis Rasulullah saw. yang mana di dalam hadis tersebut menyebutkan bahwa tidak bisa dikatakan bahwa “bukti dibebankan kepada penggugat”.9 Dari Abdullah ibn Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda:

ﺮﻜﻧأ ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﻴﻤﻴﻟاو ﻰﻋﺪﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻨﻴﺒﻟا ﻦﻜﻟو ﻢﻬﻟاﻮﻣأ و لﺎﺟر ءﺎﻣد سﺎﻧ ىدﻷ ﻢﻫاﻮﻋﺪﺑ سﺎﻨﻟا ﻰﻄﻌﻳ ﻮﻟ

“Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjukkan suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak

mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya”. (H.R. Bukhari dan

Muslim)

Ilustrasi asas pembuktian dalam hadis di atas dapat digambarkan sebagai berikut:11

Seorang istri menggugat suaminya agar membayar hutang mas kawin 50 gram emas yang dahulunya sewaktu akad nikah, maskawinnya berupa hutang. Kepada si istri dibebankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa si suami telah berhutang maskawin dan belum dibayar. Jika si

8 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, Jil. 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006),

hal. 97.

9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. 2, Cet. 9, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2002), hal. 139.

10 Muhammad ibn Ismail Ash-Shan’ani, Subul al-Salam, Jil. 4, (Riyadh: Maktabah al-Mu’arif lil al-Nasyr

wa al-Tauzi’, 2006), hal. 132.

(5)

5

suami mengatakan sudah membayarnya maka ia dibebankan juga untuk membuktikan bahwa ia telah membayar. Jika si istri tidak mampu membuktikan maka gugatannya ditolak tetapi jika ia melakukan sumpah (negatie) bahwa ia belum pernah menerima pembayaran maskawin tersebut dan si suami tidak ada bukti bahwa ia sudah membayar, maka gugatan si istri dapat dikabulkan. Namun, jika si suami mengucapkan sumpah pula maka sumpah si istri tadi tidak mempunyai arti sebab pada keadaan terakhir ini sama dengan si istri yang tidak mempunyai bukti (buktinya hanya sumpah dan sumpahnya sudah dimusnahkan oleh sumpah si suami). Jika si suami sudah mengucapkan sumpah telah membayarnya sedangkan si istri tidak ada bukti dan tidak pula bersumpah, tentu bertambah kuat dasar untuk menolak gugatan si istri.

Dengan demikian, dari ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa beban pembuktian sesewaktu kepada si penggugat, namun sesewaktu dapat berpindah kepada si tergugat, karena asas pembuktian telah mengatakan hal yang demikian.

Kaidah universal dalam peradilan Islam yang menyatakan bahwa “yang asal itu terbebas

tanggungan” dan bahwa “bukti dibebankan atas penuduh/ penggugat”, dinilai sebagai kaidah

hukum yang diterima dalam Islam pada masa lalu dan masa sekarang, dasar jaminan peradilan dan kebebasan individu dalam sistem Islam. Sebab dengan kaidah ini, maka manusia secara aslinya dinilai bebas dari dosa apa pun atau kewajiban. Dan karena itu manusia tidak bisa dituntut hukum apa pun atau dipaksa melakukan sesuatu atau pekerjaan apa pun kecuali karena sebab yang bersandarkan kepada dalil yang pasti sampai batas yakin.12

c) Sistem Pembuktian

Kata sistem berasal dari bahasa Inggris yaitu system, artinya suatu rangkaian prosedur yang telah merupakan suatu kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan sesuatu fungsi. Jadi, pengertiannya sama sekali berbeda dengan sistem (dari bahasa Belanda, sisteem) yang artinya cara.13

Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia yang merujuk kepada HIR/ RBg mendasarkan sistem pembuktiannya kepada “kebenaran

12 Samir Aliyah, Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam, terj. Oleh: Asmuni Solihan

Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004), hal. 451.

(6)

6

formil”, artinya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara tertentu menurut yang telah diatur di dalam undang-undang saja.

Sistem ini sudah banyak ditinggalkan orang, karena dalam praktek peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Sehingga dipakailah Hukum Acara Perdata yang bukan hanya terdapat di dalam HIR/ RBg tetapi juga yang didapat dari BW, dari Rsv (Regletment op de Rechtsvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan Peradilan, termasuk dari Surat-surat Edaran dan Petunjuk dari Mahkamah Agung. Selain dari pada itu, aliran kebenaran formal juga sudah beralih kepada kebenaran materil, artinya walaupun alat bukti secara formal telah mencukupi, hakim tidak boleh memutus kalau ia tidak yakin bahwa hal itu telah terbukti benar secara materil.14

Adapun di dalam terminologi Islam, para ulama fiqih tidak membedakan hukum-hukum

bayyinah (pembuktian) dalam perkara mu’amalat (kasus-kasus perdata) dengan hukum bayyinah

dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus pidana). Semuanya mereka bahas dalam kitab syahadat

(kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka cantumkan dalam kitab ‘Adliyah (peradilan) dan dalam kitab al-Da’awiy wa al-Bayyinat (tuduhan dan pembuktian).15

Alquran menyebut pembuktian tidak hanya semata-mata dalam arti dua orang saksi. Akan tetapi, juga dalam arti keterangan, dalil dan alasan, baik secara sendiri-sendiri maupun komulasi. Rasulullah saw. telah menjelaskan masalah pembebanan pembuktian ini, sebagaimana di dalam sabdanya:

ﻰﻋَﺪﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻨِﻴﺒﻟا

“Pembuktian dibebankan kepada Penggugat”

14 Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 141.

15 Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur, Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat, terj. Oleh:

(7)

7

Hadis tersebut dimaksudkan bahwa untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan

petitum (surat) gugatannya, seorang penggugat harus mengemukakan bukti-bukti yang

membenarkan dalil-dalil gugatannya. Dan dua orang saksi adalah termasuk alat bukti. Memang, kadang bukti-bukti lain selain dua orang saksi lebih memiliki nilai kekuatan pembuktian daripada saksi. Hal itu karena adanya petunjuk keadaan yang seolah-olah berbicara atas dirinya sendiri yang membuktikan kebenaran penggugat.16

Akan tetapi selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Karena bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dengan adanya bukti lawan menimbulkan implikasi terhadap masing-masing alat bukti tersebut, dimana hakim harus memeriksa dengan cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di antara alat bukti yang dimaksud.

Selanjutnya, berkenaan dengan mempertahankan sistem kebenaran materil, bertujuan untuk mengantisipasi kekecewaan hukum. Dalam Hukum Acara Perdata Konsepsi Islam, misalnya tentang sumpah li’an seperti yang disebutkan di dalam Alquran, surat an-Nur ayat 6-9. Ilustrasinya sebagai berikut:17

Suami adalah seorang saleh, taat beragama dan ia yakin telah melihat sendirian bahwa istrinya ber-zina dengan orang lain, tetapi suami tidak mampu membuktikan selain daripada mengucap sumpah li’an. Akan tetapi, menurut Alquran di atas, istri dapat pula mengingkarinya dengan mengucapkan sumpah bantahan li’an. Padahal si istri adalah orang yang betul beragama Islam, tapi Islam abangan, jadi si istri tidak tahu dan tidak peduli apa itu sumpah. Karena si istri mengucapkan sumpah bantahan li’an, zina tidak terbukti, si istri terhindar dari kena hukum rajam, sedangkan si suami terkena hukum had menuduh zina, maka perkawinan keduanya terputus.

16 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, terj. Oleh: Adnan

Qohar dan Anshoruddin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 15.

(8)

8

Dalam kasus ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian formil semata-mata akan membawa kepada kekecewaan hukum. Sehingga ada di antara ulama yang berpendapat bahwa di dalam hal tarjih al-bayyinah sebenarnya, cukup berpegang kepada kaidah umum hadis, yakni

al-bayyinah ‘ala al-mudda’i, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti

teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli fiqih belakangan.18

d) Alat-alat Bukti

Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka Pengadilan. Dipandang dari segi Pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan atau Pengadilan.19

Sebagaimana yang telah penulis utarakan pada sub pengertian pembuktian di atas, bahwa pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-bayyinah. Hal ini mengacu kepada hadis Nabi “al-bayyinatu ‘ala al-mudda’i”. Ada pula yang menyebutnya dengan al-hujjah,

al-dalil, al-burhan, tetapi yang tiga terakhir ini tidak lazim dipakai.

Para fuqaha berpendapat bahwa alat-alat bukti itu ada 7 macam, yaitu: iqrar (pengakuan),

syahadah (kesaksian), yamin (sumpah), nukul (menolak sumpah), qasamah (bersumpah 50

orang), keyakinan hakim dan bukti-bukti lainnya yang dapat diperlukan. Dari semua alat-alat pembuktian tersebut, Hasbi Ash-Shiddieqy menilai bahwa yang terpokok untuk diperlukan dalam soal gugat-menggugat hanya tiga saja, yaitu: iqrar, syahadah dan yamin.20

Adapun alat-alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Peradilan Umum termasuk juga pada Peradilan Agama di Indonesia pada sekarang ini adalah sebagai berikut:21

1. Alat bukti dengan surat/ tulisan 2. Alat bukti saksi

18 Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, (Kairo: Mathba’ah Sa’adah, t.th), hal. 299. 19 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 144.

20 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.

136.

21 Lihat K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/ HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 71.

(9)

9

3. Alat bukti persangkaan (dugaan) 4. Alat bukti pengakuan

5. Alat bukti sumpah

6. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente) 7. Alat bukti keterangan ahli (expertise).

Selanjutnya ketujuh alat bukti tersebut akan penulis paparkan secara ringkas sebagai berikut:

1. Alat Bukti Tertulis atau Surat-surat

Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam pembuktian perkara, karena peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Yang menjadi patokan adalah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak boleh mengorbankan hukum materil Islam, karena hukum formil tersebut semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil.22 Misalnya: seseorang yang

berwasiat di depan notaris dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada orang lain setelah ia wafat nanti, sehingga dalam kasus ini timbul permasalahan apakah surat wasiat itu sah dan dapat dilaksanakan atau tidak.

Menurut hukum materil Islam, siapa dan di mana pun yang membuat dan dibuat surat wasiat itu, mutlak tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan, karena maksimal wasiat harta hanyalah sepertiga saja dari seluruh harta yang membuat wasiat. Ada juga sebagian kecil ahli hukum Islam yang berpendapat, surat wasiat itu sah tetapi tidak dapat dilaksanakan. Namun apabila notaris tidak mengerti akan hukum Islam atau tidak beragama Islam, wasiat seluruh harta itu kemungkinan dapat terjadi. Dan inilah yang dimaksud dengan mengorbankan hukum materil Islam.23

2. Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah

(saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata

22 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 146.

(10)

10

kepala sendiri. Jadi saksi dimaksudkan adalah manusia hidup. 24 Dalam perkara pidana,

keterangan saksi adalah alat bukti yang paling utama.

Dalam sistem peradilan Islam, kesaksian diperuntukkan untuk memperkuat dakwaan atas orang yang didakwa. Kesaksian hanya terjadi dalam kasus dakwaan di hadapan seorang Qadhi. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa salah satu syarat dari kesaksian harus didahului dengan dakwaan. Kesaksian itu harus didahului dengan adanya dakwaan, dalam kasus-kasus yang menyangkut hak-hak manusia, seperti dalam masalah harta, jual beli, begitu juga qishash. Sementara itu dalam kasus-kasus yang tidak menyangkut hak-hak manusia, tidak disyaratkan di dahului oleh adanya dakwaan. Namun demikian, kesaksian itu agar bisa menjadi kesaksian dalam pembuktian, harus dilakukan di dalam sidang pengadilan.25

Para fuqaha telah menerangkan syarat-syarat yang wajib sempurna pada kesaksian supaya kesaksian itu harus diterima dan dipergunakan. Demikian pula mereka telah menerangkan tentang orang-orang yang diterima kesaksiaannya dan orang-orang yang ditolak kesaksiannya, tentang hukum berbeda kesaksian dari gugutan, perbedaan para saksi satu sama lain, hukum mencabut kesaksian dan sebagainya. Menurut jumhur, fiqih Islam menerima

bayyinah syakhshiyah atau kesaksiaan dalam segala macam keadaan. Akan tetapi dengan ada

ketentuan-ketentuan dan ada batas-batasnya, berdasarkan perbedaan mazhab dan perkara-perkara yang dihadapi.26

Seluruh ahli fiqih juga berpendapat bahwa apabila seorang hakim meragukan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak, maka untuk mengoreksi bagaimana mereka menyaksikannya, maka saksi-saksi tersebut harus diperiksanya secara terpisah. Cara yang demikian ini harus diterapkan oleh hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya. Jika cara ini dikesampingkan, maka dia telah berdosa dan telah menyalahi ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.27

3. Alat Bukti Persangkaan (Dugaan)

24 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 152.

25 Lihat Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur, Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat…, hal.

325-326.

(11)

11

Alat bukti persangkaan (Belanda, Vermoeden) yang di dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut dengan al-qarinah. Al-Qarinah adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk. Di lingkungan Peradilan Umum Pidana, istilah alat bukti ini dinamakan aanwijzingen (Belanda) atau diterjemahkan dengan “petunjuk-petunjuk”. Dalam Hukum Acara Peradilan Islam,

aanwijzingen maupun vermoeden, disebut dengan qarinah juga.28

Banyak contoh-contoh yang menunjukkan bahwa Islam menganggap qarinah sebagai alat bukti. Di antaranya, bahwa Rasulullah saw. menganggap dan menggunakan qarinah sebagai dasar putusannya, disebutkan Rasulullah saw. pernah menahan orang dan menghukum tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda mencurigakan pada diri tertuduh. Begitu juga di dalam Alquran juga benar-benar menganggap qarinah sebagai alat bukti, sebagaimana pada kisah Nabi Yusuf (lihat surat Yusuf (12): 26).29

4. Alat Bukti Pengakuan

Alat bukti pengakuan di dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al-iqrar dan dalam bahasa Acara Peradilan Umum disebut bekentenis (Belanda), confession (Inggris), yang artinya ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat “di muka sidang” bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar.30

Untuk membenarkan pengakuan, maka hendaklah orang yang memberikan pengakuan itu dalam keadaan berakal, baligh, tidak dipaksa dan bukan orang yang di bawah pengampunan (curatele). Apabila si tergugat sudah memberikan pengakuan, maka dia tidak dapat menarik kembali pengakuannya dalam hal-hal yang mengenai hak hamba, tetapi dia dapat menarik kembali dalam perkara zina dan meminum arak. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak Allah, menurut jumhur, dapat ditarik kembali.31

28 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 166.

29 Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam, terj. Oleh: Imron AM, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.th),

hal. 119.

30 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradian Agama…, hal. 170.

(12)

12

Walaupun pengakuan ini dipandang sebagai hujjah yang paling kuat, namun terbatas, hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain. Demikian dalam garis besarnya, berbeda dengan kesaksian.32

5. Alat Bukti Sumpah

Di antara hak penggugat, apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya, sedang tergugat menolak isi gugatan tersebut, adalah mengajukan tuntutan kepada hakim agar menyumpah tergugat. Sebagaimana sabda Nabi saw: “al-bayyinatu ‘ala al-mudda’i wal yamin

‘ala man ankara” (Bukti itu wajib atas penggugat dan sumpah itu wajib atas pihak yang

menolak).33

Alat bukti sumpah ini bermacam-macam tetapi bagaimana pun, selain sumpah li’an dan sumpah pemutus, ia tidak bisa berdiri sendiri, artinya hakim tidak bisa memutus hanya semata-mata mendasarkan kepada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti lainnya.34

6. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat (Discente)

Dasar pemeriksaan setempat dapat dipakai sebagai alat bukti sebenarnya hanya tafsiran analogi (qiyas, Arab) atas pasal 153 HIR atau 180 RBg dan kepada keperluan praktek pengadilan, yang kebanyakan diperoleh dari yurisprudensi. Pemeriksaan setempat sebenarnya adalah sidang pengadilan (majelis lengkap) yang dipindahkan ke suatu tempat tertentu, yang lengkap Berita Acara Sidangnya seperti biasa dan masih termasuk wilayah Pengadilan tersebut.35

Dalam Acara Peradilan Islam, mungkin pemeriksaan setempat ini bisa dimasukkan dalam pembahasan tentang ‘ilm al-qadhi. Jadi sebenarnya, pemeriksaan setempat tidak perlu diistilahkan sebagai alat bukti tersendiri. Bagi peradilan Umum, bisa saja dimasukkan dalam pembahasan tentang “Persangkaan”. Bagi Peradilan Islam, ‘ilm al-qadhi bisa dimasukkan dalam pembahasan tentang al-qarinah.36

7. Alat Bukti Keterangan Ahli (expertise)

(13)

13

Bantuan dari orang ke tiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh kejelasan obyektif bagi Hakim, atas suatu peristiwa yang dipersengketakan dalam suatu perkara, disebut “keterangan ahli” atau ada juga yang menyebutnya dengan “saksi ahli”.

Menurut Roihan Rasyid, permasalahan Peradilan Agama sehubungan dengan keterangan ahli ini, meliputi dua hal:37

a. Apakah Peradilan Agama sudah mampu melaksanakan, maksudnya tentang cara-caranya.

b. Apakah narasumber atau para ahli tersebut mau mengerti bahwa Peradilan Agama itu Peradilan Negara atau tidak. Praktek selama ini, polisi, notaris, dokter dan sebagainya, kelihatan enggan membantu, dengan kata lain, masih menganggap Peradilan Agama itu sebagai instansi Agama biasa (bukan Badan Peradilan Negara).

e) Prinsip Umum di Dalam Pembuktian Perkara

Seorang hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, maka wajib baginya untuk memenuhi tuntutan keadilan, di antaranya:38

1. Mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan;

2. Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.

Yang pertama, hakim mengetahui gugatan-gugatan yang dihadapkan kepadanya, baik dengan menyaksikan sendiri apa yang digugat itu, atau pun dengan sampainya berita secara

mutawatir kepadanya. Kalau berita yang sampai kepadanya tidak mutawatir, tentulah berita itu

tidak dapat meyakinkannya, hanya menimbulkan persangkaan yang kuat saja. Dan oleh karena harus berpegang dengan prinsip ini akan menimbulkan kesukaran, maka agama membolehkan hakim menerima keterangan yang dapat menimbulkan persangkaan yang kuat dan dibenarkan hakim menerima keterangan tersebut. Untuk mengetahui tentang gugatan-gugatan yang diajukan itu, cukuplah dengan pengakuan orang yang digugat, atau keterangan-keterangan para saksi yang

(14)

14

adil, walaupun ada kemungkinan yang mengajukan perkara itu berdusta dan demikian pula saksi-saksinya.39

Adapun yang kedua, pengetahuan hakim tentang hukum Allah, yaitu bahwa hakim tersebut harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i, atau hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama, dan jika tidak ditemukan ketentuan hukum pada nash-nash yang

qath’i dan tidak terdapat pula hukum yang disepakati oleh para ulama, maka ditempuhlah jalan

ijtihad, dan ijtihad ini pun didasarkan pada persangkaan yang kuat (zhan).40

Ringkasnya, ada hal-hal yang kita tetapkan karena kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri dan ada pula hal-hal yang memerlukan keterangan-keterangan untuk membuktikan kebenarannya. Kedua jalan ini sebenarnya setingkat keadaannya. Dalam hal ini para fuqaha menetapkan satu kaidah:41

نﺎﻴﻌﻟﺎﺑ ﺖﺑﺎَﺜﻟﺎﻛ نﺎﻫﺮﺒﻟﺎﺑ ﺖﺑﺎَﺜﻟا

“Apa yang dibuktikan adanya dengan keterangan, sama dengan pembuktian yang dilihat oleh mata kepala sendiri”

Maka dengan demikian, hakim harus benar-benar jeli di dalam melihat alat-alat bukti yang ditunjukkan di depan pengadilan, karena yang namanya membuktikan sesuatu, pasti orang-orang yang berperkara tersebut akan memberikan keterangan atau dalil sehingga benar-benar dapat meyakinkan hakim. Di sini kecermatan hakim sangat menentukan, di saat bukti-bukti yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berperkara saling bertolak belakang, hakim harus benar-benar cermat dalam memberi penilaian di antara bukti tersebut mana yang benar-benar, sehingga keputusan yang dijatuhkan olehnya nanti tidak merugikan pihak yang benar di dalam perkara tersebut.

C. Kedudukan Kebenaran Materil dan Prinsip Umum Dalam Pembuktian Perkara a) Kebenaran Formil dan Materil

Sistem hukum Islam, khususnya di bidang peradilan, bersifat tegas. Seluruh masyarakat sama kedudukannya di depan hukum. Terdakwa maupun pendakwa mempunyai kesempatan

39 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 127. Dan lihat juga Muhammad Salam

Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam…, hal. 92-93.

(15)

15

yang sama untuk melontarkan argumentasi di dalam sidang peradilan. Dengan demikian, sistem pembuktian sangat menentukan bagi hakim di dalam memutuskan perkara. Terlebih lagi, agar keputusan yang dijatuhkan itu nantinya dapat menjadi keputusan yang adil, maka hakim harus mempertimbangkan dengan benar setiap alat bukti yang dipaparkan di depan persidangan, agar keputusan yang diambil nanti tidak akan merugikan pihak yang benar.

Agar kebenaran dan keadilan ini tercapai, maka praktek peradilan pada masa sekarang ini telah meninggalkan sistem pembuktian yang hanya mengejar kepada kebenaran formil semata, namun juga kepada kebenaran materil. Karena seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sebenarnya seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Oleh karena itu, mempertahankan sistem kebenaran materil, bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya kekecewaan hukum yang kemungkinan akan timbul nantinya.

Sebenarnya sistem pembuktian semacam ini, yaitu yang mengejar kepada kebenaran materil, telah lama dikenal di dalam sistem peradilan Islam. Memang benar di dalam terminologi Islam, para ulama fiqih tidak membedakan hukum-hukum bayyinah (pembuktian) dalam perkara

mu’amalat (kasus-kasus perdata) dengan hukum bayyinah dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus

pidana). Lebih dari itu, pada kasus-kasus tertentu Allah dan Rasul-Nya telah langsung menetapkan hukum acaranya dalam hal pembuktian, seperti pembuktian pada kasus zina serta tata cara li’an dan sebagainya.

Namun yang perlu diingat, di dalam sistem peradilan Islam, sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai atau di dalam istilah hukum Islam dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.42 Dalam hal ini,

Undang-undang memang mengikat para hakim kepada alat-alat bukti tertentu, sehingga hakim tidak bebas menilainya. Sebaliknya, Undang-undang pun menyerahkan dan memberi kebebasan penuh kepada hakim dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam hukum acara perdata umum, terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam penilaiannya, sebaliknya

(16)

16

hakim juga tidak wajib untuk mempercayai seseorang saksi, yang berarti hakim bebas menilai kesaksian seseorang.43

Pada umumnya sepanjang Undang-undang tidak mengatur, hakim bebas menilai pembuktian. Apabila alat bukti yang diajukan telah cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan, maka bukti tersebut telah dinilai sebagai bukti yang lengkap atau sempurna untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh si penggugat, kecuali kalau ada bukti lawan. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya, selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Dengan adanya bukti lawan, tidak dimungkinkan bukti si penggugat menjadi bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan. Jadi bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna yang mana tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

Dikarenakan pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan bukti tersendiri, maka dari alat-alat bukti tersebut, baik dari si penggugat atau si tergugat, dapat menimbulkan implikasi-implikasi tersendiri yang mana nantinya dapat berpengaruh terhadap akibat hukum. Maka perlu adanya kecermatan dan kejelian hakim dalam membaca atau melihat terhadap alat-alat bukti, mana alat-alat bukti yang benar dan kuat di antara alat-alat-alat-alat bukti yang telah diajukan kepadanya. Menurut penulis, di sinilah hakim dapat dikatakan mempunyai kebebasan penuh. Sehingga, kebenaran materil dari perkara yang diperiksanya dapat ditemukan.

Untuk menguatkan keterangan bahwa sistem pembuktian formil semata-mata hanya akan membawa kepada kekecewaan hukum, penulis sebelumnya juga telah mengutip sebuah ilustrasi pada halaman 7, kemudian ditambah dengan beberapa keterangan di atas, bertambah jelas bahwa dibutuhkannya juga sistem pembuktian secara materil di dalam memberi keputusan terhadap suatu perkara. Oleh karena itu, sejalan dengan sistem pembuktian yang dipegang di dalam peradilan Islam, penulis menilai perlu adanya tarjihul bayyinah, juga dengan berpegang kepada hadis Nabi al-bayyinah ‘ala al-mudda’i, maka selanjutnya diserahkan pada pertimbangan hakim.

(17)

17

Sehingga hakim bebas menilai dan memberi keputusan, namun tetap dilandasi kepada kebenaran dan keadilan.

b) Prinsip Umum di Dalam Pembuktian Perkara

Mengenai prinsip umum yang harus dipegang hakim ketika pembuktian perkara, seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya, ada dua. Prinsip pertama, hakim harus mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan. Maksudnya di sini adalah hakim mengetahui perkara tersebut baik dengan cara melihatnya sendiri atau menerima keterangan dari pihak lain dengan cara mutawatir. Hal ini dimaksudkan agar hakim benar-benar yakin di dalam pembuktian perkara. Menurut penulis, juga senada dengan apa yang diutarakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa berpegang penuh dengan prinsip ini malah justru akan menyulitkan manusia dan bahkan menyebabkan terlantarnya sebagian besar hak-hak manusia.

Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan, yaitu:

1. Yaqin: meyakinkan, yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%)

2. Zhann: sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan adanya

pembuktian (terbukti 75-99%)

3. Syubhaat: ragu-ragu (terbukti 50 %)

4. Wahm: sangsi (terbukti -50%)

Seorang hakim harus menghindarkan diri dalam memberi putusan apabila terdapat kondisi syubhaat atau lebih rendah lagi yaitu wahm, tapi hakim boleh berpegang serendah-rendahnya pada tingkatan zhann namun dengan syarat, setelah mengambil langkah-langkah yang cermat dan benar-benar menimbang sepenuhnya dari bukti-bukti yang ada.

Dalam hal untuk mencapai keyakinan hakim ini, Ibn Rusyd juga berkata di dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid sebagai berikut:44

“Para ulama bersepakat bahwa seorang qadli menghukum dengan ilmunya (keyakinannya) di dalam menerima dan menolak bukti-bukti. Bila ada beberapa orang saksi memberikan keterangan yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan) hakim, maka hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut.”

(18)

18

Dari keterangan Ibn Rusyd di atas jelaslah bahwa di dalam sistem peradilan Islam, maka pedoman hakim dalam menjatuhkan putusan adalah adanya bukti yang sah dan meyakinkan hakim akan kebenarannya. Senada dengan itu, Samir Aliyah menyebutkan bahwa di antara kaidah dasar dalam penetapan hukum adalah bahwa hakim tidak menetapkan hukum melainkan dengan bukti. Maka hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan ilmunya secara mutlak, baik yang diketahuinya sebelum maupun setelah menjabat hakim.45

Sedangkan prinsip kedua, hakim mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya. Maksudnya adalah hakim harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i, atau hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama terhadap kasus yang dihadapinya, apabila tidak ditemukan ketentuan hukumnya di dalam keduanya, maka baru ditempuhlah jalan ijtihad. Menurut penulis, tujuan dari prinsip ini adalah agar ketika hakim memutuskan perkara agar tidak menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan Islam. Sehingga hukum Allah tetap tegak di dalam setiap keputusan yang diambilnya.

Menurut penelusuran penulis, prinsip ini dilatarbelakangi dengan syarat terakhir yang ditetapkan oleh para ulama, termasuk al-Mawardi, agar seseorang itu bisa menjadi hakim. Syarat tersebut adalah bahwa seseorang hakim itu mengetahui hukum-hukum syari’at; ilmu-ilmu dasar

(ushul) dan cabang-cabangnya (furu’). Menurut al-Mawardi, ilmu-ilmu dasar dalam syari’at itu

ada empat, yaitu:46

1. Mengetahui Kitabullah dengan benar, hingga ia mengetahui hukum-hukumnya yang

nasikh dan mansukh, serta mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, umum dan

khusus.

2. Mengetahui Sunnah Rasul saw. yang eksis; ucapan dan tindakan beliau, tehnis penyampaiannya; mutawatir atau ahad, shahih atau tidak dan sebab-sebabnya.

3. Mengetahui penafsiran para generasi salaf dalam kesepakatan mereka dan ketidaksepakatan mereka, agar ia bisa ber-hujjah dengan ijma’ mereka dan ber-ijtihad

dengan pendapatnya sendiri dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.

45 Lihat Samir Aliyah, Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam…, hal. 467.

46 Lihat al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, terj. Oleh: Fadli Bahri, (Jakarta:

(19)

19

4. Mengetahui qiyas yang mengharuskannya mengembalikan masalah-masalah yang tidak disebutkan di dalam nash kepada akarnya yang disebutkan dalam nash, sehingga ia mendapatkan jalan untuk mengetahui ilmu tentang kasus-kasus aktual dan membedakan antara yang benar dan yang batil.

Di sini penulis setuju dengan berorientasi kepada apa yang dipaparkan oleh al-Mawardi di atas, seorang hakim apabila telah menguasai keempat ilmu-ilmu dasar syari’at itu, maka di saat ia menghadapi sebuah kasus dan mengambil keputusan, dia telah memenuhi prinsip kedua dari prinsip umum yang harus dipegang hakim ketika pembuktian perkara. Prinsip ini penulis rasa perlu, karena selain menimbang alat-alat bukti, hakim juga harus menimbang hukum yang telah ditetapkan Islam pada kasus yang dihadapinya. Supaya ketika mengeluarkan keputusan nantinya, hukum materil Islam tidak dikorbankan. Hal ini dikarenakan bahwa hukum formil tersebut semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil. Apabila ada hukum formil pada suatu kasus yang bertentangan dengan hukum materil Islam, maka hukum materil Islam tersebut-lah yang harus dikedepankan.

D. Penutup

Berdasarkan dari hasil pembahasan dan analisa penulis sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan terhadap suatu kasus, maka seorang hakim dituntut agar dapat mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Dalam artian bahwa hakim tidak boleh mendasarkan sistem pembuktiannya hanya kepada kebenaran formil, karena tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, karena alat-alat bukti juga berfungsi untuk meyakinkan hakim. Sekalipun alat-alat bukti telah lengkap diajukan oleh para pihak yang berperkara, namun kebenaran yang dicari adalah kebenaran materil.

(20)

20

2. Prinsip umum yang harus dipegang oleh seorang hakim ketika pembuktian perkara ada dua, yaitu: hakim harus mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan dan hakim mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya.

Prinsip yang pertama bertujuan agar hakim benar-benar yakin di dalam pembuktian perkara, karena kedudukan dan kekuatan alat bukti akan memberikan pengaruh kepada hakim untuk sampai kepada keyakinannya dalam memutus perkara. Di samping juga peran keyakinan hakim itu sangat penting dalam hukum acara perdatan dan hukum Islam. Namun, karena untuk mencapai keyakinan yang seratus persen itu sangat sulit, maka seorang hakim boleh memutuskan perkara dalam keadaan persangkaan yang kuat.

Prinsip kedua, bertujuan agar ketika hakim memutuskan perkara agar tidak menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan Islam. Sehingga hukum Allah tetap tegak di dalam setiap keputusan yang diambilnya. Dengan kata lain, supaya hakim dalam mengeluarkan keputusan nantinya tidak mengorbankan hukum materil Islam. Hal ini dikarenakan bahwa hukum formil tersebut semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil. Apabila ada hukum formil pada suatu kasus yang bertentangan dengan hukum materil Islam, maka hukum materil Islam tersebut-lah yang harus dikedepankan oleh hakim.

(21)

21

REFERENSI

Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur. Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat. terj. Oleh: Syamsuddin Ramadhan. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2004.

Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi. al-Qadha’ Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah. Makkah: Jami’ah Umm al-Qura Press. 1989.

Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah. terj. Oleh: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah. 2006.

Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970.

---. Peradilan & Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah. al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah. terj. Oleh: Adnan Qohar dan Anshoruddin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

---. I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin. Kairo: Dar al-Hadits. 2006.

Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.

K. Wantjik Saleh. Hukum Acara Perdata RBg/ HIR. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990.

KBBI Offline Versi 1.5. Kamus Besar Bahasa Indonesia. aplikasi di download dari

http://www.ketikankomputer.com/2013/03/download-kamus-besar-bahasa-indonesia.html. pada tanggal 30 Mai 2013.

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung: PT. Alumni, 2007.

Mahmasani. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam. Kairo: Mathba’ah Sa’adah. t.th.

(22)

22

Muhammad Salam Madkur. al-Qadha’ fi al-Islam. terj. Oleh: Imron AM. Surabaya: PT Bina Ilmu. t.th.

Riduan Syahrani. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.

Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.

Samir Aliyah. Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam. terj. Oleh: Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Khalifa. 2004.

Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita. 1975.

Subekti dan R. Tjiro Sudibo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 1992.

Referensi

Dokumen terkait

Alat- dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk temulawak instan, gula halus, soda kue, asam sitrat, kandang ayam, sekam, sekat, feeder, drinker, brooder,

Berdasarkan uraian diatas maka kami peneliti mencoba membuat produk bio Shampo dengan memanfaatkan daun randu (Ceiba Pentandra(L.)Gaertn) dan limbah biji papaya (Carica

Peran Ninik Mamak di Kenagorian Gunung Malelo dalam ketentuan adat di Nagori tersebut memiliki fungsi masing-masing yang mana dalam penelitian ini jumlah Ninik Mamak

Abstract. Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang penting dan dominan dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari. Namun ketersediaan air terbatas jumlahnya sedangkan jumlah

Efektivitas pemberdayaan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan pada program Gerdu Kempling dinilai berdasarkan peningkatan kondisi masyarakat setelah mendapatkan

- Jumlah pengembangan bibit unggul kacang tanah Ha 1,000 - Jumlah pengembangan tanaman salak Ha 30 Pengembangan Bibit Unggul Pertanian /Perkebunan Meningkatnya

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kreativitas pada intinya merujuk kepada kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata,