• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi Suran Sendang Sidukun dan Nilai GotongRoyong pada Masyarakat Desa Trajiecamatan Parakanabupaten Temanggung: Kajian AntropologiSosiologi T1 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi Suran Sendang Sidukun dan Nilai GotongRoyong pada Masyarakat Desa Trajiecamatan Parakanabupaten Temanggung: Kajian AntropologiSosiologi T1 BAB IV"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

29 A.Deskripsi Lokasi Penelitian

Dari 16 (enam belas) desa di Kecamatan Parakan ada sebuah Desa yang bernama Traji yang terletak di ketinggian 700 m dari permukaan laut dan berjarak 3 km dari ibu kota Kecamatan Parakan, 15 km dari ibu kota Kabupaten Temanggung dan dari pusat pemerintahan ibu kota Propinsi berjarak 100 km. Luas Desa Traji adalah 420, 4760 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Klimbungan, Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Manden, sebelah Barat berbatasan dengan desa Medari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kundi Sari. Suasana Desa Traji sangat ramai karena di lalui jalur utama poros tengah arah Jakarta yang melalui alas roban Kabupaten Kendal.

Desa Traji sendiri memiliki 4 (empat) dusun yang terdiri dari 4 (empat) rukun warga (RW), 31 (tiga puluh Satu) rukun tangga (RT). Keadaan penduduk Desa Traji bersifat heterogen. Jumlah penduduk 4. 450 (empat ribu empat ratus lima puluh) jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 (dua ribu seratus sembilan puluh tiga) jiwa (49, 28%) dan perempuan 2.257 (dua ribu dua ratus lima puluh tujuh) jiwa (50,27%). (Data monografi Desa Traji, Kecamatan Parakan, Temanggung, tahun 2016).

(2)

menunjukan bahwa luas lahan pertanian di Desa ini adalah 251, 32 Ha (59, 76% dari keseluruhan luas Desa Traji) dan untuk tanah kering (pekarangan dan tegal/kebun) luasnya 169, 17 Ha (40, 23% dari keseluruhan luas Desa Traji).

Penduduk usia 10 (sepuluh) tahun ke atas mayoritas bekerja di sektor agraris sebagai petani tanaman pangan (padi, umbi-umbian, dan holtikultura) berjumlah 733 (tujuh ratus tiga puluh tiga) orang (16, 48%), 4 (empat) orang bekerja sebagai peternak ayam petelur, pedaging, kambing, dan budidaya ikan air tawar (0,8%), 1.251 (seribu dua ratus lima puluh satu) orang bekerja sebagai buruh perkebunan (kopi, cengkeh, kemukus, dan tembakau) (28,11%), 78 (tujuh puluh delapan) orang bekerja sebagai buruh bangunan dan pertambangan/penggalian sumber daya alam non migas (pasir dan batu) (1,75%), 78 (tujuh puluh delapan) orang usaha di bidang swasta (1,75%), 30 (tiga puluh) orang menjadi karyawan pabrik (0,67%) dan 8 (delapan) orang bekerja sebagai pegawai negeri sipil/PNS (0,18%). Untuk sumber air minum berasal dari sumur dan mata air yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) maupun pengelola swasta yang disalurkan melalui pipa-pipa ke rumah warga, dan untuk penerangan Desa Traji sudah terakses oleh Perusahan Listrik Negara (PLN).

(3)

SLTP/sederajat 593 (lima ratus sembilan puluh tiga) orang (13,33%), tamat SD/sederajat 1.793 (seribu tujuh ratus sembilan puluh tiga) orang (40,29%), belum tamat SD berjumlah 538 (lima ratus tiga puluh delapan) orang (12,09%) dan 542 (lima ratus empat puluh dua) orang sisanya tidak tamat SD karena terdiri dari orang-orang tua yang dulunya tidak maju dalam pendidikan (12,18%). Untuk sarana pendidikan terdapat 1 (satu) unit Taman Kanak-Kanak (TK), 2 (dua) unit (Sekolah Dasar) SD, 1 (satu) unit (Madrasah Ibtidaiyah) MI, 1 (satu) unit Sekolah Menengah Pertama (SMP)/1 (satu) unit Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan 1 (satu) unit Sekolah Menengah Atas (SMA).

Bidang Kesehatan di Desa Traji terdapat sarana kesehatan 1 (satu) unit Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) induk, 5 (lima) unit Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), 4 (empat) unit Poliklinik Desa (POLINDES), 1 (satu) orang dokter umum, 4 (empat) orang bidan/perawat/mantri dan 5 (lima) orang dukun bayi tradisional.

(4)

Selain berbagai organisasi kemasyarakatan seperti yang dikemukakan oleh para informan, jika di Desa Traji berbagai tradisi kebudayaan Jawa juga masih lestari. Masyarakat Desa Traji selalu berupaya untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa sebagaimana yang telah ditinggalkan masyarakat pendahulunya. Berbagai tradisi Jawa masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan termasuk yang menyangkut siklus kehidupan manusia baik dengan sesama, Tuhan/leluhur, maupun alam. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan sesama yaitu seperti halnya gotong-royong dalam menyelesaikan/menghadapi suatu masalah/pekerjaan yang bersifat umum baik suka maupun duka. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan Tuhan yaitu dengan mengadakan suatu upacara keagamaan yang dibalut tradisi setempat seperti Muludan (memperingati lahirnya Nabi Muhammad Saw), Suran (memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriyah/bulan Muharram yang bertepatan dengan datangnya bulan baru, bulan Sura dalam penanggalan Jawa) dan sebagainya. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan alam yaitu dengan menggelar tradisi dawuhan (membersihkan aliran irigasi), sadranan (selamatan desa), merti desa (bersih desa biasanya diadakan karena menyongsong acara-acara tertentu dalam desa) dan lain sebagainya.

(5)

apa yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003: 32) sebagai community sentiment atau sentimen kelompok. Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003: 32) membedakan 3 (tiga) unsur dalam sentimen kelompok yakni, “unsur seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan”. Seperasaan adalah sikap individu

yang saling menyelaraskan kepentingannya dalam kelompok sehingga kepentingan kelompok merupakan manifestasi/perwujudan sebagai suatu pernyataan perasaan atau pendapat kepentingannya. Sepenanggungan merupakan perasaan bahwa individu adalah anggota kelompok dimana ia mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya. Sementara saling memerlukan adalah kesadaran bahwa ia tergantung dan memerlukan kelompok itu dalam menyokong kehidupannya. Kehidupan dalam kemasyarakatan seperti ini ada di Desa Traji meliputi semua aktivitas kegiatan dalam semua aspek kehidupan, yaitu aktivitas kebersamaan bermasyarakat yang saling merasakan, baik yang menyangkut kesedihan maupun kebahagiaan, termasuk dalam aktivitas saling bergotong-royong dalam suatu tradisi upacara Suran.

B.Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori 1. Waktu Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun di Desa Traji

(6)

gotong-royong. Hal ini juga diketahui oleh seluruh warga masyarakat dimana tradisi kebudayaan itu berkembang dan bahkan telah diketahui oleh masyarakat luar desa atau luar kota.

Salah satunya adalah tradisi Suran, secara historis dan persepsi orang Jawa 1 (satu) Sura khususnya dan bulan Sura umumnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa, terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terhadap sifat wingit dan sakral bulan Sura. Ada keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan instropeksi diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan, khitanan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan. Gejala ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan agama Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan yang lain.

(7)

Oktober ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sedang mengalami fase panen tembakau, sehingga acara tradisi Suran sendang Sidukun ini sekaligus digunakan oleh warga masyarakat Desa Traji untuk menghaturkan terima kasih atas hasil panen tembakaunya kepada Sang Maha Pemberi.

Menurut pandangan orang Jawa peredaran hari yang mempengaruhi jatuhnya 1 (satu) Sura memiliki watak “bawana (pengaruh tahun Jawa). Suranto sebagai informan dan juga sebagai salah satu pemuda pemerhati budaya di Kabupaten Temanggung menjelaskan bahwa Di Desa Traji Kecamatan Parakan, Temanggung, warga masyarakatnya juga masih mempercayai dan menggunakan “petung (perhitungan) Jawa ini, dalam hal ini Suranto mengemukakan urutan tahun Jawa dan watak bawana tersebut,

1. Bila tanggal satu Sura jatuh pada hari Minggu, disebut tahun Dite-Kalaba, yakni tahun Kelabang, wataknya jarang hujan.

2. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Senin, disebut tahun Soma Wrejita, yakni tahun Cacing, wataknya banyak hujan.

3. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Selasa, disebut tahun Anggara Rwejita , yakni tahun Katak, wataknya banyak hujan.

4. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Rabu, disebut tahun Buda Wisaba, yakni tahun Kerbau wataknya banyak hujan.

(8)

6. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Jum’at, disebut tahun Sukra Manangkara, yakni tahun Udang wataknya banyak hujan.

7. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Sabtu, disebut tahun Tumpak Menda, yakni tahun Kambing, wataknya jarang hujan. (Wawancara/Suranto (24)/28/12/2016)

(9)

Sidukun tetap dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali hingga saat ini”. (Wawancara/Sukirman (46)/02/01/2017)

(10)

balai desa sampai lokasi sendang Sidukun sejauh 500 m di mana prosesi upacara Suran tersebut berlangsung. (Wawancara/Hadi Waluyo (54)/06/01/2017)

Berikut merupakan rangkaian ritual sebelum peringatan malam 1 (satu) Sura di Desa Traji pada hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal 1 (satu) Oktober 2016 dan sebelum-sebelumnya, menurut Suari selaku juru kunci sendang Sidukun, sebulan sebelum pelaksanaan ritual, pemerintah desa, panitia tradisi 1 (satu) Sura dan sesepuh Desa Traji mengadakan rapat. Pada rapat I (pertama) membahas mengenai pelaksanaan pagelaran wayang kulit dan biaya yang diperlukan. Pada rapat ke II (kedua) membahas mengenai ketua panitia ritual 1 (satu) Sura dan mengumpulkan seksi-seksi, RT, RW, perangkat Desa Traji, sesepuh Desa Traji, pemuda, dan pertahanan sipil (HANSIP) setempat. Pada rapat ini membahas mengenai sarana prasarana upacara termasuk penentuan dalang dan biaya yang mencangkup semuanya, ketika sudah sepakat maka ketua panitia membagi bagian kerja ke masing-masing RT, dan RT membagi bagian kerja kepada masyarakat dengan cara “anda usuk” (gotong-royong) termasuk dalam dana sehingga jika ada lebih

atau kurangnya biaya dikelola oleh panitia secara gotong-royong. Pelaksanaan rapat yang terakhir membahas tentang pemantapan kerja bagi semua seksi, dan masing-masing seksi mulai menjalankan tugasnya.

(11)

sendang, membersihkan pendapa kecil di sebelah sendang yang terdapat prasasti bertuliskan huruf Jawa yang berlafalkan "Angayuhsih Kadarmaning Gusti Kanthi Manunggaling Cipta" yang berarti “Memelihara/melestarikan Tuntunan Yang Maha Kuasa Dengan Menyatukan Diri Dengan Sesama dan

Alam”, di situ pula terdapat sumber mata air sendang Sidukun yang berbentuk

(12)

membaur saling gotong-royong ikut andil dalam tradisi ini. Inilah yang menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas, bila dilihat dengan kenyataan yang terjadi sekarang sangatlah terbalik, di luar sana banyak terjadi intoleransi yang tak jarang berujung kekerasan, saling membenci bertikai mengatas namakan Tuhan dan golongan yang tidak mendasar. Tetapi di Desa Traji itu semua ditampik, karena dengan istilah tradisi semua bersama bergotong-royong dalam bentuk material maupun non-material melebur demi satu tujuan yang sama “nguri-uri kabudayan Jawi (melestarikan kebudayaan Jawa), bukti nyata bahwa kebudayaan yang kita miliki sekecil apapun itu merupakan alat pemersatu bangsa yang mewujudkan perdamaian abadi di Desa Traji pada khususnya dan di Bumi Pertiwi pada umumnya.

Perlengkapan sesaji pun macam-macam mulai dari tumpeng “uluwetu (hasil bumi), ingkung ayam kampung, kepala kambing, jajan

pasar, bunga mawar merah putih, kemenyan, pisang, ketan/jadah bakar, kecipir dan ketupat sumpil yang nantinya akan dijadikan satu dalam tempat yang disebut “angsung bulu bekti (tandu tempat persembahan), untuk gunungan hasil bumi dibuat dari aneka ragam palawija yaitu cabai merah, hijau besar, aneka kacang-kacangan, aneka umbi-umbian hasil bumi desa Traji.

(13)

kelancaran dan keselamatan. Setelah upacara selamatan, maka kira-kira pada pukul 18.30 WIB rombongan sesaji meninggalkan balai desa Traji menuju ke sendang Sidukun dengan berjalan kaki sejauh 500 m yang diawali oleh kepala desa berserta istri yang berpakaian pengantin, di belakangnya diiringi perangkat desa, sesepuh, putri domas, dan rombongan pembawa sesaji yang berpakaian adat Jawa. Perjalanan menuju sendang Sidukun diiringi dengan lampu petromak dan alunan musik “galaganjur (iringan pengantin ketika mau disandingkan), setibanya rombongan kirab pengantin di pendapa sendang yang sekaligus tempat sesaji, rombongan disambut oleh seksi sendang dengan berjabat tangan, selanjutnya dipersilahkan menempati tempat yang sebelumnya sudah disediakan yaitu tikar pandan, semua rombongan kirab duduk bersila untuk yang laki-laki, dan untuk yang perempuan duduk bersimpuh.

Dilanjutkan dengan acara “kacar-kucur yaitu menyerupai prosesi pemandian calon pengantin menjelang perkawinan. Selanjutnya juru kunci sendang Sidukun mulai membakar kemenyan sebagai sarana memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar masyarakat Desa Traji pada khususnya dan semua masyarakat yang hadir pada upacara tradisi tersebut diberi keselamatan, kesehatan, murah rejeki, dijauhkan dari mara bahaya. Setelah selesai lalu mengambil sesaji yang pokok berupa:

(14)

dan alam pucuk/atas alam Tuhan/leluhur, sebelas buah, (sewelas dalam bahasa Jawa) bilangan sebelas dikandung maksud nyuwun kawelasan (minta belas kasihan kepada Sang Pencipta).

2. Ingkung ayam kampung yang selaput kakinya/ceker tidak dibersihkan dengan makna agar masyarakat yang mengikuti upacara Suran sendang mudah dalam “ceceker(mencari rejeki).

3. Bunga mawar merah putih sebagai sarana untuk menawar/taren (komunikasi dengan Sang Pencipta/leluhur).

4. Pisang yang satu lirang/sisir harus genap jumlahnya dengan makna agar bisa menggenapi kekurangan di tahun sebelumnya.

5. Ketan bakar 7 (tujuh) buah, karena ketan itu teksturnya wulet/lengket maka sebagai simbol merekatkan warga masyarakat Desa Traji pada khususnya dan seluruh warga masyarakat yang hadir dalam upacara tradisi Suran sendang pada umumnya, tujuh buah, bilangan tujuh (pitu dalam bahasa Jawa) dimaksudkan nyuwun pitulungan (meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa).

6. Gembili sebagai perwakilan hasil bumi Desa Traji.

7. Kecipir dengan bentuk buah bersegi 5 (lima) dengan makna rukun Islam ada 5 (lima).

(15)

dimaksudkan tetulung (saling tolong menolong adanya hubungan antara manusi-alam-Tuhan/leluhur untuk saling memberi pertolongan).

9. Minuman: kopi, teh, air putih, dan santan gurih sebagai persembahan kepada roh leluhur.

10.Kemenyan, dari filosofi kata “menyang (dalam bahasa Indonesia kata menyang bermaksud pergi), kemenyenan difungsikan sebagai sarana penghantar ucapan dari umat kepada Sang Pencipta.

11.Beras kapurata, jajan pasar sebagai simbol murah pangan dan tolak bala. 12.Tikar pandan sebagai simbol murah sandang, papan.

13.Kepala kambing sebagai simbol kurban agar dalam tradisi upacara dan kehidupan setelahnya tidak ada korban jiwa, selalu diberi keselamatan di lingkungan sendang Sidukun.

Kemudian kepala desa memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dirinya dan semua masyarakatnya diberi keselamatan, kesehatan lahir batin, rukun, sejahtera, jauh dari mara bahaya dan murah rejeki. Setelah selesai, maka kaum/pemuka agama desa membaca doa agar semua cita-cita masyarakat Desa Traji dapat terwujud dan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya dilantunkan kidung macapat tembang Kinanti yang ada dalam Serat Wedatama pupuh IV (empat), bait 1 (satu) oleh juru kunci sendang yang berbunyi,

(16)

“(Pengetahuan dan pengertian tersebutlah bias tumbuh selama ia senantiasa ingat. Ingat akan ilham Tuhan dengan serta memperhatikan hukum-hukum alam (sikap lakunya selama hidup sesuai dan menurut kehendak Ilahi). Dengan begitu hidupnya akan tidak mengalami kesengsaraan lahir batin, itulah yang harus dijaga di dunia ini)”.

yang intinya adalah untuk ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Desa Traji yang selaras dengan Tuhan dan alam. Pemilihan dan pelantunan kidung macapat tembang Kinanti yang ada dalam Serat Wedatama pupuh IV (empat), bait 1 (satu) itu sendiri diyakini pertama kali dilakukan oleh Ki Dalang Garu seseorang yang diyakini sebagai dalang yang pertama kali menggelar wayang kulit di sendang Sidukun pada malam 1 (satu) Sura.

(17)

diletakkan di sawah agar hasil panennya melimpah, tanahnya subur, diletakkan di warung agar dagangannya laku dan lain sebagainya.

Para pengunjung juga antri mendapatkan pembagian air dari mata air sendang yang dilayani oleh seksi sendang dan juru kunci sendang Sidukun. Dalam pengambilan air tersebut pelayanannya satu persatu hingga 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam. Sebelumnya pengunjung ditanya apa maksud dan keperluannya, maka seksi sendang berdoa agar permohonan dari pengunjung terkabul lalu pengunjung baru di berikan air tersebut. Setelah selesai mengambil air para pengunjung pergi dan memberikan uang dalam kotak kas seikhlasnya. (Wawancara/Suari (63)/12/01/2017)

Adi Pamungkas sebagai informan sekaligus pemuda Desa Traji mengatakan bahwa air sendang Sidukun sampai kini diyakini mempunyai tuah untuk menyembuhkan penyakit, menyuburkan lahan pertanian/perkebunan, melariskan dagangan, dan menjaga jabatan atau pangkat seseorang. (Wawancara/Adi Pamungkas (22)/15/01/2017)

(18)

Setelah prosesi upacara ritual selesai pukul 21.00 WIB, maka kepala desa, istri beserta rombongan meninggalkan lokasi sendang Sidukun. Rombongan pulang ke balai desa Traji, dalam perjalanan pulang ibu kepala desa membeli jajanan di setiap penjual yang berjajar menjajakan dagangannya di sepanjang jalan Desa Traji dengan menggunakan uang koin Rp. 500. 00 yang dibeli pun beragam, semua yang dijajakan di pinggir jalan ketika tradisi Suran sendang ini digelar dibeli semua oleh ibu kepala desa, ada makanan, mainan, bahkan pakaian, bagi pedagang yang percaya jualannya akan laris jika koin Rp. 500. 00 itu disimpan. Sesampainya di balai desa dilanjutkan dengan acara malam tirakatan, dalam pandangan orang Jawa, bulan Sura adalah bulan yang penuh keprihatinan. Pergantian tahun baru Jawa dianggap masa gawat dan genting. Oleh karena itu cara menghadapinya juga dilakukan dengan berbagai macam laku ritual dan berlangsung di tempat tertentu yang dianggap akan memberi berkah atau tuah. Malam 1 (satu) Sura oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai waktu yang tepat untuk menjalankan laku ritual agar dalam hidupnya mendapat keselamatan. Ketidakpastian hidup merupakan dasar pertimbangan manusia untuk senantiasa mawas diri dan seraya memohon perlindungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta melalui caranya sendiri-sendiri yang bersifat spiritual. Laku spiritual, yaitu berupa kegiatan tirakatan, dilakukan secara individu atau secara kelompok masal seperti yang dilakukan di balai desa Traji.

(19)

bangilun, dolalak, serta pasar malam selama 1 (satu minggu), dan selanjutnya pada hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua) Oktober 2016 diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon yang telah disepakati bersama, kebetulan pada peringatan Suran sendang Sidukun tahun 2016 mengusung lakon “banjaran, lakon banjaran dipilih karena ada keterkaitan nilai spiritual 1 (satu) Sura dengan laku prihatin, tradisi upacara, dan mawas diri guna mencapai keseimbangan hidup mikro kosmos dan makro kosmos. Karena jika tidak menggelar wayang kulit dipercaya oleh warga masyarakat desa Traji akan mendatangkan bencana, disamping itu ajaran budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam laku prihatin 1 (satu) Sura dan nilai etika moral dalam wayang, tampaknya tetap mendasari etika hidup orang Jawa, artinya laku ritual (prihatin) dan etika moral wayang masih relevan dengan kondisi kebutuhan hidup masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini. (Wawancara/Sulasmono (69)/14/01/2017)

(20)

melakukan pagelaran wayang kulit di sendang Sidukun sebab yang menyuruh seperti orang biasa. Tempat yang digunakan untuk pagelaran wayang kulit juga biasa seperti pada umumnya dan penontonnya pun juga banyak, serta disekitarnya juga banyak deretan pedagang. Tetapi Ki Dalang Garu memiliki firasat yang aneh karena setelah selesainya pagelaran wayang tersebut, upah yang diberikan dari yang punya hajat kepada Ki Dalang Garu hanya berupa kunyit satu “irik (nampan dari bambu). Ki Dalang Garu merasa bingung dengan pemberian tersebut sehingga beliau hanya mengambil 3 “rempang (siung) kunyit. Sepulangnya menggelar wayang kulit, Ki Dalang Garu diberi pesan oleh orang yang punya hajat tersebut agar tidak menoleh ke belakang selama 7 (tujuh) langkah dari tempat pagelaran. Setelah tujuh langkah Ki Dalang Garu teringat bahwa “blencong (lampu layar untuk pagelaran wayang) miliknya tertinggal, kemudian beliau menoleh, tetapi blencong tersebut sudah tergantung di pohon beringin. Ki Dalang Garu dikejutkan lagi karena upah yang diberikan berupa kunyit berubah menjadi emas, setelah mendengar cerita dari Ki Dalang Garu, maka kepala desa mengambil kesimpulan dan menentukan bahwa setiap 1 (satu) Sura harus diadakan upacara ritual sesaji selamatan sendang Sidukun, tirakatan, dan pagelaran wayang kulit, cerita ini berkembang ketika daerah Temanggung termasuk Desa Traji Parakan masih dalam kekuasaan/pengaruh Kerajaan Mataram. (Wawancara/Hadi Waluyo (54)/17/01/2017)

(21)

sehari-hari manusia yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan bulan Sura, pertunjukan wayang dimaksudkan untuk memberi suatu gambaran bagaimana dinamika perilaku sehari-hari orang Jawa. Melalui gambaran sistem budaya ini, diharapkan pertunjukan wayang kulit pada malam 1 (satu) Sura dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi individual dan kolektif orang Jawa dalam menghadapi ketidakpastian hidup, utamanya dalam menjaga kesimbangan mikro kosmos dan makro kosmos.

Setelah semua upacara ritual satu Sura selesai, maka tugas ketua panitia mengadakan rapat pembubaran yang menghadirkan seksi-seksi panitia, kepala desa, perangkat desa, ketua RW, ketua RT seluruh warga desa, pemuda, dan para sesepuh desa untuk menyimpulkan hasil kerja kepanitiaan, keluar masuknya dana sehingga masyarakat tahu. Yang nantinya dana tersebut akan disimpan untuk pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun depan. (Wawancara/Suari (63)/17/01/2017)

3. Arti Penting Tradisi Suran Sendang Sidukun Bagi Kehidupan Masyarakat Desa Traji

(22)

Apabila tradisi Suran sendang Sidukun dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan tentunya di dalam sistem kemasyarakatan juga terdapat berbagai hal, baik yang disadari maupun yang tidak, yang diketahui dan dipahami oleh setiap masyarakat sebagai upaya pelestarian, termasuk di dalamnya adalah nilai sosial kemasyarakatan gotong-royong.

(23)

Di Desa Traji juga terdapat pemahaman tentang toleransi dalam berkehidupan khususnya dalam melestarikan tradisi. Pertimbangan tersebut yang pertama yaitu, tidak memandang agama ataupun kepercayaan, profesi, jabatan, dan status sosial kaya atau miskin seseorang dalam partisipasinya ikut melestarikan tradisi, yang kedua mengutamakan kepentingan bersama.

Seperti yang dikemukaan Riyanto:

Meskipun itu kepala desa, kepala dinas, petani atau karyawan pabrik, pemeluk kepercayaan Islam, Kristen, Khatolik, Buddha, Hindu, Kejawen tidak menjadi suatu alasan untuk tidak berkarya mengabdi kepada leluhur, semua itu sama...tidak ada yang beda diantara kita. Status sosial hanya masalah keduniawian, Tuhan juga tidak menciptakan agama... yang menggolongkan ini agama A, B, C, D itu kan manusianya sendiri, Tuhan hanya menuntun umatnya kejalan yang benar melalui beberapa ajaran. Kita berada dalam satu tempat yang sama, dengan tujuan yang sama “nguri-uri kabudayan Jawi (melestarikan kebudayaan Jawa).

Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Traji status sosial, agama/kepercayaan tidak menjadi halangan dan alasan untuk bersatu padu dalam bertradisi memberi sumbah sih kepada desa, alam, dan Tuhan/leluhur. Dengan sistem “anda usuk (gotong-royong) maka tidak ada kesenjangan dalam hal apapun karena ditanggung bersama baik tenaga maupun dana. (Wawancara/Riyanto (38)/21/01/2017)

(24)

sepadan dalam kebersamaan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Bentuk saling bantu membantu berupa gotong-royong di Jawa merupakan contoh kebiasaan yang sangat teratur. Kebiasaan ini ada kaitannya dengan “resiprositas(timbal balik), yaitu prinsip moral yang mendasari kegiatan sosial di desa baik dengan sesama manusia, alam, leluhur ataupun Tuhan secara suka rela. Masyarakat Jawa percaya bahwa apa yang kita perbuat dalam upacara adat tradisi itu akan mendapat pertukaraan yang sepadan/timbal balik dari alam, leluhur, dan Tuhan. Hal inilah yang menjadi suatu bentuk keyakinan yang membawa masyarakat untuk tetap melaksanakan tradisi dalam bentuk gotong-royong.

Secara tidak langsung kegiatan gotong-royong dalam tradisi Suran sendang Sidukun yang dilakukan oleh warga sebenarnya tersimpan pamrih dari setiap individu yang melakukannya, berharap apa yang dilakukan tersebut akan mendapat balasan dari leluhur dan Sang Pencipta.

(25)

Kekerasan simbolis dalam hal pelaksanaan tradisi Suran sendang Sidukun terwujud dalam bentuk keharusan untuk bergotong-royong, tanpa memperdulikan pekerjaan ataupun kegiatan pribadi masyarakat Desa Traji. Artinya mereka tetap harus datang walaupun dalam keadaan mempunyai kesibukan pribadi. Seperti yang dituturkan Riyanto, semua warga masyarakat dari laki-laki, perempuan, tua, muda, pelajar atau pekerja tetap harus ikut andil dalam kegiatan gotong-royong melaksanakan tradisi Suran sendang Sidukun, bahkan warga Desa Traji yang bekerja atau sedang menempuh pendidikan di luar kota pun diusahakan sebisa mungkin pulang guna melaksanakan gotong-royong dan mengikuti tradisi Suran sendang Sidukun. Maka masyarakat sendiri yang harus pandai-pandai mengatur waktu. Hal ini disamping sebagai suatu bentuk pelestariaan tradisi budaya juga sebagai sarana pengenalan dini kepada para kaum muda, kaum pelajar untuk tetap setia menjaga tradisi leluhur Desa Traji. Seperti inilah yang harus diterima oleh masyarakat Desa Traji sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya, apalagi kebenarannya karena sudah menjadi adat istiadat dan tradisi.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengurangi cacad produksi sekaligus meningkatkan efektivitas produksi maka perlu penerapan "Total Productive Maintenance" karena TPM adalah sistem perawatan

Lama laktasi pada sapi perah adalah 10 bulan atau 305 hari..

BUSINESS LAW REVIEW: VOLUME ONE, h.. badan hukum? Karena dengan bentuk badan hukum, bank memiliki kepastian hukum yang salah satunya adalah jaminan perlindungan hukum oleh

Diantara cara tersebut yang perlu diperhatikan adalah geometri pahat, sebab ada bagian dari geometri pahat itu yang boleh diubah-ubah sehingga hasil dari

Pemeriksaan Objek-Objek Perijinan Laporan Meningkatnya Sistem, Mekanisme dan Kualitas Pelayanan Perijinan Terpadu dan Terintegrasi Meningkatkan Sistem, Mekanisme dan Kualitas

Berdasarkan data yang telah dianalisis secara deskriptif terlihat bahwa hasil belajar siswa pada setiap siklus berbeda-beda setelah diterapkan metode diskusi kelas dengan

Harga-harga untuk barang dan jasa di Jerman dan Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat, sehingga apa yang dapat dibeli seseorang di negara-negara tersebut

PENGGUNAAN PERMAINAN LABYRINTH D ALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA JERMAN.. Universitas Pendidikan Indonesia