• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Sediaan Floating Dispersi Padat Klaritromisin dengan Menggunakan Cangkang Kapsul Alginat dan Pengujian Aktivitas Antibakterinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Sediaan Floating Dispersi Padat Klaritromisin dengan Menggunakan Cangkang Kapsul Alginat dan Pengujian Aktivitas Antibakterinya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan tukak yang terjadi dalam saluran pencernaan baik di lambung maupun di duodenum. Gambaran klinis utamanya adalah rasa nyeri yang terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah menelan antasida. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai nyeri teriris, terbakar, atau rasa tidak enak. Sekitar seperempat dari penderita m engalami perdarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi pada ulkus duodenum. Gejala dan tanda penyakit ini adalah muntah, muntahan berwarna merah atau “seperti kopi”, mual, anoreksia, dan penurunan berat badan (Price dan Wilson, 2005).

Awalnya, hal tersebut diperkirakan terjadi karena stres dan makanan pedas, akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, dapat disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan

mukosa dan penyembuhan mukosa (Berardi dan Welage, 2005).

2.2 Helicobacter Pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri basil berbentuk spiral, pH-sensitif,

(2)

et. al., 2005). H.pylori dapat berkembang dalam lambung karena bakteri tersebut dapat menghasilkan urease dan protein penghambat asam lambung. Bakteri ini hanya dapat berkembang di epitel seperti epitel dan mukosa lambung (Siddalingam dan Cidambaram, 2014).

Secara umum, ada 3 mekanisme infeksi bakteri H. pylori yang menyebabkan tukak lambung. Pertama, H. pylori menginfeksi bagian bawah lambung antrum. Kedua, setelah infeksi akan terjadi peradangan bakteri yang mengakibatkan peradangan lendir lambung (gastritis), peristiwa ini seringkali terjadi tanpa penampakan gejala (asimptomotik). Ketiga, terjadinya peradangan dapat berimplikasi terjadinya tukak lambung atau usus 12 jari. Hal ini bisa terjadi komplikasi akut, yaitu luka dengan pendarahan dan luka berlubang. Tujuan terapi obat H.pylori adalah untuk eradikasi organisme ini. Terapi yang digunakan harus efektif, dapat ditoleransi, mudah dikombinasi, dan murah (Rani dan Fauzi, 2009).

2.3 Klaritromisin 2.3.1 Uraian bahan

Gambar 2.1 Struktur klaritromisin Rumus Molekul : C38H69NO13

(3)

Berat Molekul : 747,95

Pemerian : Serbuk hablur; putih sampai hampir putih

Kelarutan : Larut dalam aseton; sukar larut dalam etanol absolut, dalam metanol, dalam asetonitril dan dalam dapar fosfat pH 2-5; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM, 2014).

2.3.2 Farmakologi klaritromisin

Antibiotik makrolida semisintesis ini menghambat sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit ribosomal 50s organisme yang rentan dan menghambat sintesis protein dalam proses translokasi aminoacyl transfer RNA (Kumar et. al., 2012).

2.3.3 Farmakokinetik klaritromisin

a. Absorbsi: Klaritromisin larut dalam lemak dan sangat cepat diserap dalam

saluran pencernaan dengan bioavailabilitas sekitar 50-55%. Hal ini dikarenakan

efek metabolisme lintas pertama yang menghasilkan 14-hidroksiklaritromisin

(Fraschini et. al., 1993).

b. Distribusi dan Ikatan protein: Sekitar 42-50% klaritromisin akan berikatan dengan protein plasma. Klaritromisin kan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh keculai ke sistem saraf pusat (Frashcini et. al., 1993).

c. Metabolisme: Klaritromisin di metabolisme di hati dan mengalami dimetilasi, hidrosilasi, dan hidrolisis.

(4)

2.4 Sistem Penghantaran Obat Gastroretentif

Penyampaian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling banyak digunakan dikarenakan penggunaan yang mudah, pasien lebih patuh, formulasi yang mudah, dan lebih murah. Akan tetapi, bentuk sediaaan oral memiliki beberapa kekurangan yaitu proses absorbsi yang cepat, degradasi oleh asam lambung, dan waktu paruh yang pendek. Oleh karena hal tersebut, peneliti mengembangkan sediaan oral dengan pelepasan berkelanjutan yang dapat mencapai efek yang diinginkan (Neetika dan Manish, 2012).

Salah satu sediaan oral yang telah dikembangkan adalah sistem penyampaian obat yang bertahan dilambung atau gastroretentive drug delivery system. Sistem ini dapat mempertahankan obat tetap berada di dalam lambung

selama beberapa jam dan karenanya dapat memperpanjang waktu tinggal obat di lambung secara signifikan. Peningkatan waktu tinggal di lambung dapat meningkatkan bioavailabilitas atau ketersediaan hayati, mengurangi residu obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Sistem ini juga diaplikasikan dalam pengobatan lokal untuk bagian perut dan bagian atas usus kecil. Motilitas saluran cerna yang melambat dengan pemberiaan bersamaan dengan obat ini juga meningkatkan waktu tinggal obat didalam lambung (Neetika dan Manish, 2012).

Gambar 2.2 Sistem penghantaran obat di lambung

(5)

density yang dikembangkan untuk meningkatkan lama tinggal sediaan di dalam

lambung (Neetika dan Manish, 2012).

2.5 Sistem Penghantaran Obat Mengapung (Floating Drug Delivery System)

Sediaan dengan sistem penghantaran mengapung (floating drug delivery system) memiliki berat jenis yang jauh lebih kecil dari cairan lambung, hal ini

menyebabkan sediaan dapat tetap mengapung dalam waktu yang lama. Disaat sediaan mengapung, maka obat akan terlepas lambat, kemudian residual akan dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan lama tinggal sediaan dilambung meningkat dan kontrol pelepasan konsentrasi obat lebih baik (Shah, 2009).

Sistem penghantaran obat mengapung dibagi ke dalam dua variabel formulasi yaitu sistem effervescent dan sistem non-effervescent.

a. Bentuk Sediaan Floating Effervescent

Merupakan sistem yang menggunakan polimer agar dapat mengapung seperti HPMC, senyawa polisakarida polisakarida lain, kitosan, dan effervescent seperti sodium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat, dan asam tartat. Sediaan diformulasikan sedemikian rupa sehingga saat kontak dengan asam lambung CO2 akan dilepaskan dan terperangkap dalam hidrokoloid yang telah mengembang, hal

ini menyebabkan sediaan mengapung (Narang, 2010). b. Bentuk Sediaan Floating Non-Effervescent

(6)

formulasinya, obat dan hidrokoloid pembentuk gel dicampurkan secara merata. Setelah diberikan secara oral, sediaan akan mengembang setelah kontak dengan asam lambung dengan massa jenis lebih kecil dari satu, daya apung sediaan disebabkan oleh udara yang terjerap didalam matriks (Narang, 2010).

2.5.1 Kandidat obat untuk sediaan mengapung

Pada sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran, dan aktivitas kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan pada sistem penghantaran obat mengapung diantaranya:

a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung, contoh: misoprostol dan antasida.

b. Obat-obat yang memiliki rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan, contoh: Levodopa, asam p-amino benzoat, furosemid, dan riboflavin.

c. Obat-obat yang tidak stabil pada lingkungan basa di bagian usus atau kolon, contoh: Captopril, ranitidine HCl, dan metronidazol.

d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon, contoh: antibiotik yang digunakan pada pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya tetrasiklin, klaritomisin, metronidazol, dan amoksisilin.

e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi, contoh: diazepam, klordiazeposid, dan verapamil (Bharathi, et al., 2015). 2.5.2 Keuntungan bentuk sediaan mengapung

Bentuk sediaan floating memiliki beberapa keuntungan, yaitu:

a. Peningkatan penyerapan obat karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.

(7)

c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.

d. Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan tertentu dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali. e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.

f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional.

g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien menjadi lebih baik.

h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011).

Berbagai keuntungan ini menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011).

2.5.3 Kekurangan sistem penyampaian obat mengapung

Selain keuntungan, bentuk sediaan ini juga memiliki beberapa kekurangang, diantaranya:

a. Retensi lambung yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH, dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya apung sediaan tidak dapat diprediksi.

b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak cocok untuk sistem pemberian obat ini.

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.

(8)

2.6 Sistem Dispersi Padat 2.6.1 Definisi dispersi padat

Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik dan obat hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat terdispersi secara molekuler, dalam partikel amorphous (kluster) atau dalam partikel kristal (Chiou dan Reigelman, 1971).

Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih bahan aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang dibuat dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan pelarutan, dimana masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing dan disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan didispersikan. Keuntungan dari formulasi dispersi padat dibandingkan tablet/kapsul konvensional untuk peningkatan disolusi dan biovailabilitas dari obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Rielgeman, 1971).

2.6.2 Metode pembuatan sistem dispersi padat 2.6.2.1 Metode pelelehan

(9)

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.6.2.2 Metode pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965), sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal, kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.6.2.3 Metode pelarutan-pelelehan

(10)

dengan dosis terapetik yang rendah, misalnya dibawah 50 mg (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.6.3 Pembawa dispersi padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

Polivinilpirolidon merupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi, pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan range angka dari K15 sampai K90 (Attwood, 2008). Oleh karena kelarutan yang bagus dalam pelarut organik, PVP cocok digunakan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan. Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat dengan PVP telah dilakukan pada asam fufenamat (Itai et al., 1985).

2.7 Natrium Alginat

Alginat sangatlah berlimpah di alam indonesia karena alginat ini sebagai komponen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)

(11)

Alginate komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria

japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan

Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β -D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang

membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1980).

(12)

Gambar 2.3 Struktur Alginat (a) monomer alginat (b) ikatan antar monomer (c) gambaran blok monomer alginat

Asam alginat bersifat asam, dan sering digunakan dalam granulasi asam atau netral. Jika digunakan dalam garam basa atau garam asam organik, zat ini cenderung membentuk alginat yang larut atau tidak larut yang mempunyai sifat gel dan memperlambat desintegrasi. Asam alginat biasa digunakan pada konsentrasi 1% sampai 5%, sedangkan natrium alginat digunakan antara 2,5% sampai 10%. Asam alginat dan garamnya merupakan suatu kombinasi yang baik dengan pengembangan yang cukup dengan kelekatan minimal dan konsentrasi serendah mungkin antara 4% sampai 5% sudah memadai dalam memberikan sifat pengembangan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010).

(13)

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan

(Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).

Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.8 Kapsul

(14)

Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien untuk memperoleh keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin keras merupakan kapsul yang digunakan oleh ahli farmasi dalam menggabungkan obat-obat dan pada umumnya kapsul jenis ini sering diproduksi oleh para pembuat sediaan farmasi (Ansel, 2005).

Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur, dan air. Kulit kapsul dapat juga mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan kapsul lunak relatif sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya. Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menetukan kekerasan kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15-30 o C dan 30%-60% kelembaban relatif (Margareth, et. al., 2009).

2.9 Uji Aktivitas Antibakteri

(15)

mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya susatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Beberapa macam metode uji antimikroba dijelaskan berikut ini (Pratiwi, 2008).

2.9.1 Metode difusi

2.9.1.1 Tes Kirby & Bauer (disk-diffusion agar method)

Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 1940, digunakan dalam banyak uji klinis mikrobiologi untuk pengujian sensitivitas antimikroba. Sekarang ini, banyak standar umum dan diakui telah dipublikasikan oleh Clinical Laboratory Standart Institute (CLSI) untuk menguji bakteri dan jamur, meskipun tidak semua bakteri tertentu dapat diuji menggunakan metode ini (Clinical Laboratory Standart Institute, 2007).

Prosedur pengujiannya, plat agar diikulasi dengan inokulum mikroorganisme yang telah distandarisasi. Kemudian, pencadang kertas/paper discs (beriameter 6 mm) yang mengandung bahan yang akan diuji dengan

(16)

Gambar 2.4 Tes Kirby & Bauer (disk-diffusion agar method) terhadap bakteri C.albicas

2.9.1.2 Metode E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi konsentrasi hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk menghambat pertummbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan stip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar yang terendah hingga kadar yang tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada areah jernih yang telah ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).

2.9.1.3 Metode difusi lain

(17)

digunakan adalah agar well diffusion method, agar plug diffusion method, cross streak method, dan pasioned food method (Balouiri, et.al., 2016).

2.9.2 Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution) (Pratiwi, 2008).

2.9.2.1 Metode dilusi cair

(18)

Gambar 2.5 Mikrodilusi cair untuk uji antibakteri berdasarkan CLSI 2.9.2.2 Metode dilusi padat

Metode ini sama dengan metode dilusi cair namaun menggunakan media padat (solid), keuntungan dari metode ini adalahh satu konsentrasi dari agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

2.9.3 Media pertumbuhan bakteri

Menurut Irianto (2006) media pertumbuhan bakteri berdasarkan kegunaannya dapat di bagi atas:

1. Media selektif yaitu media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi.

(19)

3. Media diperkaya yaitu media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit.

2.9.4 Fase pertumbuhan bakteri

Ada empat macam fase pertumbuhan bakteri menurut Pratiwi (2008), yaitu: 1. Lag phase (fase penyesuaian) merupakan fase adaptasi dimana tidak adanya

peningkatan jumlah sel, yang ada hanya peningkatan ukuran sel. Lama fase ini tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.

2. Log phase (fase eksponensial/pembelahan) merupakan fase dimana

mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuahan. Untuk organisme aerob yang membatasi pertumbuhan adalah oksigen.

3. Stationary phase (fase stationer) merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati dan terjadi akumulasi produk buangan yang bersifat toksik.

4. Death phase (fase kematian) merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat karena ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang bersifat toksik.

(20)

Gambar

Gambar 2.1 Struktur klaritromisin
Gambar 2.2 Sistem penghantaran obat di lambung
Gambar 2.3 Struktur Alginat (a) monomer alginat (b) ikatan antar monomer
Gambar 2.4 Tes Kirby & Bauer (disk-diffusion agar method) terhadap bakteri
+3

Referensi

Dokumen terkait

Cara pengelasan baja paduan karbon rendah adalah sama dengan cara yang diterapkan pada baja karbon murni.Semua proses las busur bisa digunakan untuk mengelas baja

Through the acceleration of science and technology research exchange and collaboration in the East Asian region, the e-ASIA Joint Research Program (e-ASIA

Tinjauan Sosial Dan Ekonomi Keluarga Penambang Emas Di Tambang Emas Rakyat di Desa Hutabargot Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal.. Skripsi : Ilmu Kesejahteraan

PENGARUH PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM SISWA KELAS X DI MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) WLINGI BLITAR..

Universitas Negeri

Kooperatif Tipe Make A Match Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Aqidah. Akhlak Siswa Kelas II MI Miftakhul Ulum Plosorejo

Universitas Negeri

kooperatif tipe make a match dapat menjadikan peserta didik lebih. bersemangat untuk