• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Psychological Empowerment Dan Work Life Balance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Psychological Empowerment Dan Work Life Balance"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pandangan mengenai manusia atau karyawan sebagai aset utama perusahaan atau

organisasi menjadi isu utama pada saat ini, khususnya di dalam manajemen sumber daya

manusia (Widyaningrum, 2015). Hasil penelitian oleh Mello (2011: Widyaningrum, 2015)

mengungkapkan bahwa organisasi atau perusahaan perlu menyadari untuk meraih efektifitas

dan keunggulan, elemen manusia atau karyawan adalah elemen yang paling kritis berkontribusi

terhadap kinerja perusahaan karena memiliki nilai yang sama pentingnya dengan aset fisik dan

kapital dari perusahaan tersebut. Menurut Porter dan Lawler (2004) kondisi tugas memiliki

implikasi dan dapat memberikan karyawan motivasi instrinsik maupun ekstrinsik. Hal ini di

dukung dengan hasil penelitian dari Roslina dan Suryanti (2013) yang menyatakan bahwa ada

hubungan timbal balik antara motivasi dan kinerja, artinya ketika motivasi karyawan tinggi

maka kinerja juga lebih baik dan sebaliknya.

Porter dan Lawler (2004) menambahkan bahwa motivasi instrinsik memiliki hubungan

yang lebih erat dengan kinerja karena motivasi instrinsik lebih kepada reaksi psikologis

terhadap tugas pekerjaannya yang membuat terdorong untuk melakukan sesuatu. Jha (2010)

mengungkapkan bahwa pemberdayaan karyawan tidak hanya dipandang sebagai suatu

pemberian delegasi namun juga lebih kepada cara untuk memampukan seseorang dalam

melakukan pekerjaannya. Pemberian delegasi dan wewenang akan membantu karyawan untuk

menjadi lebih berani mengambil keputusan dalam kegiatan bekerja. Melalui hal ini karyawan

diharapkan lebih percaya diri dan nyaman dalam melakukan tugas mereka secara bertanggung

(2)

sekitar nya cukup kondusif dan terkontrol akan lebih termotivasi untuk memaksimalkan dan

mengembangkan kemampuannya.

Konsep psychological empowerment lebih fokus terhadap pemberdayaan karyawan

pada konteks psikis supaya karyawan mampu memahami kompetensi dan meningkatkan

kapabilitasnya (Meyerson, Shauna & Kline, 2007) dan juga merupakan konsep ketika

karyawan memiliki kekuatan atau autonomi (Jha, 2010). Pendekatan atas pemahaman

pemberdayaan karyawan secara mendasar sesuai dengan teori pemberdayaan karyawan

sebagai konstruksi motivasi (empowerment as motivationalconstruct) oleh Conger dan

Kanungo (1988: Givens, 2011) yang menyatakan bahwa kekuatan dalam konstruksi

motivasional menunjuk pada kebutuhan akan determinasi diri dan kepercayaan seseorang akan

kemampuan dirinya. Untuk memperkaya pemahaman pemberdayaan karyawan secara

psikologis, penting untuk memahami secara spesifik dimensi dan makna yang menjadi

konstruksi inti dari konsep ini.

Spreitzer (1995) dalam penelitian nya merumuskan empat dimensi yang membentuk

psychological empowerment pada karyawan yaitu pemaknaan (meaning), kompetensi

(competence), determinasi diri (self determination), dan dampak (impact). Keempat dimensi

ini menjadi konstruksi tak terpisahkan dalam suatu kesatuan implikasi psychological

empowerment karyawan dalam perusahaan. Psychological empowerment dapat menghasilkan

hasil organisasi dan individu yang positif (Avolio, Zhu & Bathia, 2004).

Menurut Yang, Chen, Choi & Zou (2000: Triyati, 2003) tuntutan pada keluarga

dipengaruhi oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga, dan tentunya jumlah anggota

keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota keluarga lainnya, misalnya bayi,

anak berkebutuhan khusus, maupun anggota keluarga yang sakit ataupun sedang dalam kondisi

(3)

Cooper (1992: Murtiningrum, 2005) menyatakan bahwa sulit membedakan antara pekerjaan

mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtiningrum (2005) mengungkapkan bahwa

ketika keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatian seseorang

digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga dapat mengganggu pekerjaan. Hal

ini didukung oleh penelitian Lazar, Senior & Ratiu (2010) bahwa work life balance bukan

hanya memberikan dampak bagi diri karyawan tetapi juga pada keluarga mereka, perusahaan

dan kehidupan sosial mereka. Widyaningrum (2015) menambahkan bahwa semakin tinggi

tuntutan pada karyawan dan keterikatan setiap karyawan dalam bekerja, kecenderungan

terjadinya konflik juga semakin tinggi, dimana tekanan dalam bekerja akan menstimulus

pertahanan mental yang dimiliki setiap karyawan agar bisa mengatasi konflik. Penelitian

tersebut juga mengungkapkan bahwa konflik yang dialami karyawan apabila secara terus

menerus tanpa penyelesaian dan pengelolaan akan membawa dampak negatif bagi karyawan

maupun perusahaan.

Keseimbangan secara umum di pandang sebagai tidak adanya konflik. Posig dan Kickul

(2004) menyatakan bahwa persepsi akan keseimbangan juga memiliki implikasi terhadap

sikap, perilaku dan kesejahteraan pegawai yang juga berpengaruh kepada efektifitas organisasi.

Ketika pegawai mempersepsikan tidak ada keseimbangan dalam hidupnya karena banyak

waktu yang tersita oleh pekerjaan, maka hal ini akan membuat pegawai mencoba

mempertimbangkan alternatif pekerjaan lain yang memungkinkan menciptakan keseimbangan

antara peran di pekerjaan dan di rumah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lazar, Senior &Ratiu

(2010) bahwa keseimbangan atau balance disini berasal dari efektivitas yang berfungsi secara

baik, produktif dimana seseorang lebih mampu menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan

(4)

Westman, Brough & Kalliath (2009) mengungkapkan bahwa work life balance adalah

sejauh mana individu terlibat dan sama-sama merasa puas dalam hal waktu dan keterlibatan

psikologis dengan peran mereka didalam kehidupan kerja dan kehidupan pribadi misalnya

dengan pasangan, orang tua, keluarga, teman dan anggota masyarakat, serta tidak adanya

konflik diantara kedua peran tersebut. Sehingga dapat dikatakan individu yang memperhatikan

antara keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi merupakan individu yang lebih

mementingkan kesejahteraan psikologisnya daripada mengejar kekayaan semata. Hal ini

didukung oleh Frame dan Hartog (2003: Moedy, 2011) yang mengungkapkan bahwa work life

balance berarti karyawan dapat menggunakan jam kerja yang ada untuk menyeimbangkan

pekerjaan atau karyanya dengan komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, studi, dan tidak

hanya fokus terhadap pekerjaannya.

Scholarious dan Marks (2004) menyatakan bahwa work life balance memiliki

konsekuensi penting bagi sikap karyawan terhadap organisasi mereka, serta untuk kehidupan

karyawan karenamerupakan faktor penting bagi tiap karyawan agar karyawan memiliki

kualitas hidup yang seimbang dalam berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dalam

pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lockwood (2003) bahwa menurut karyawan,

work life balance adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab

terhadap keluarga, sedangkan dalam pandangan perusahaan work life balance adalah tantangan

untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokus pada

pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja.

Menurut Fisher (2009: Novelia, Sukirman & Hatana, 2013) work life balance

merupakan stressor kerja yang meliputi empat komponen penting yaitu waktu, perilaku,

ketegangan, dan energi. Fisher, Bulger & Smith (2009) juga mengatakan jika worklife balance

(5)

PLIW (Personal Life Interference) yang mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi

individu mengganggu kehidupan pekerjaannya. Ketiga, PLEW (Personal Life Enhancement

Of Work) yang mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan

performa individu dalam dunia kerja. Keempat, WEPL (Work Enhancement Of Personal Life)

mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu.

Duffield, Pallas & Aitken (2004: Novelia, Sukhirman & Hatana, 2013) mengatakan

bahwa hanya perempuan yang memiliki keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadinya

serta melanjutkan pekerjaannya. Melihat fenomena di atas, organisasi sebaiknya tidak hanya

memenuhi tuntutan teknis dalam organisasi dalam usaha menghadapi persaingan dan

mempertahankan hidupnya. Perusahaan juga harus merespon tekanan yang berbeda-beda dari

karyawan dan mempengaruhi tuntutan dalam bentuk peraturan, norma, hukum, dan harapan

sosial. Triyati (2003) mengungkapkan bahwa salah satu respon yang diberikan perusahaan

terhadap karyawan adalah peka dalam melihat apakah kehidupan karyawan sudah seimbang

antara pekerjaan dan keluarga mereka.

Apabila dihubungkan antara konsep teori psychological empowerment dan work life

balance, maka dapat dikatakan bahwa ketika karyawan merasa sudah mampu memahami

kompetensi dan meningkatkan kapabilitas nya (Meyerson, Shauna & Kline, 2007) kemudian

menggunakan nya dalam memperkaya kompetensi yang sudah mereka miliki selama ini

sehingga mampu melakukan delegasi dan wewenang yang diberikan perusahaan dalam

mencapai sebuah target pekerjaan atau mengambil sebuah keputusan besar, maka karyawan ini

akan sukses mencapai tujuan nya dan juga tujuan perusahaan (Bandura, 1986: Jha, 2010).

Adanya karyawan yang sukses meraih tujuan ini karena sudah secara mandiri

memberdayakan seluruh dimensi psychological empowerment nya yang dimanifestasikan

(6)

menciptakan keseimbangan kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi (work life balance)

karyawan tersebut tanpa harus mempertimbangkan mencari alternatif pekerjaan yang baru

(Posig dan Kickul, 2004).

Masih terbatasnya penelitian mengenai work life balance dan psychological

empowerment di Indonesia membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang hal ini. Juga

melihat banyaknya fenomena terkait variabel tersebut di perusahaan dan adanya dampak yang

ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan terhadap

pemberdayaan karyawan yang mempengaruhi efektifitas perusahaan, maka penelitian ini akan

melihat apakah terdapat hubungan positif antara psychological empowerment dengan work life

balance.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan di teliti

adalah apakah psychological empowerment memiliki hubungan yang positif dengan work life

balance?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang

positif antara psychological empowerment dengan work life balance.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan pernyataan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini memiliki dua

manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperluas bidang ilmu

pengetahuan khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam hal yang terkait

(7)

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi berupa data-data empiris

terkait dengan psychological empowerment dan work life balance pada pegawai Kantor

Bupati, Serdang Bedagai, Sei Rampah, Sumatera Utara.

E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan.

Bab ini berisikan uraian mengenai latar belakang masalah khususnya tentang

psychological empowerment dan work life balance, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori

Bab ini berisi tentang landasan teoritis yang mengacu kepada pembahasan

permasalahan. Teori ini meliputi teori mengenai psychological empowerment seperti

definisi dan dimensi psychological empowerment. Juga mencakup tentang work life

balance seperti definisi, dimensi, dan faktor yang mempengaruhi work life balance.

Disertai juga dengan dinamika variabel antara psychological empowerment dan work

life balance dan hipotesa penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi tentang identifikasi variabel, definisi operasional, penentuan populasi

dan sampel, metode pengambilan data, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan, berisi

gambaran umum mengenai subjek penelitian kemudian diikuti dengan hasil

penelitian.

(8)

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan diikuti dengan pemberian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Work Life Balance pada Wanita Karir di UIN Sunan Ampel Surabaya.. Penelitian ini

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Work-Life Balance yang memuat 4 aspek work-life balance dan Skala Komitmen Organisasi yang memuat 3 aspek

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara burn out dengan work-life balance, yang dijelaskan lebih detil bahwa sebagian besar dosen wanita

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada hubungan negatif antara beban kerja dengan work-life balance pada pegawai negeri sipil wanita, yang dapat di artikan bahwa semakin

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara burn out dengan work-life balance, yang dijelaskan lebih detil bahwa sebagian besar dosen wanita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) work-life balance terbukti positif berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kinerja karyawan, (2) work-life balance

positif antara keadilan distributif dan gaya kepemimpinan transformasional dengan work-life balance pada karyawan PT Transamudra Usaha Sejahtera.. Selain itu, nilai R 2

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa worklife balance berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja melalui burnout, dimana semakin meningkat work life balance dalam suatu perusahaan,