BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
2.1.1 Definisi perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahluk hidup
yang bersangkutan. Oleh karena itu dari segi biologis, semua mahluk hidup mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia merupakan salah satu mahluk yang
mempunyai bentangan kegiatan yang paling luas.
Perilaku, sebagai salah satu determinan kesehatan adalah bentuk respon individu terhadap stimulus. Sedangkan perilaku kesehatan adalah bentuk respon
individu terhadap stimulus yang berupa sakit dan penyakit, makanan dan minuman lingkungan dan juga pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
2.1.2 Perilaku Mempengaruhi Derajat Kesehatan Masyarakat
Derajat kesehatan masyarakat di pengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu lingkungan (fisik, sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya), perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan, teori ini dinyatakan oleh Blum (1974). Dalam praktik kesehatan masyarakat yakni berbagai upaya dan program kesehatan selalu
bersinggungan dengan perilaku. Upaya-upaya pemberantasan penyakit menular dan tidak menular, perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan tanpa pertimbangan aspek perilaku, niscaya tidak dapat berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan semua masalah
kesehatan selalu mempunyai aspek perilaku sebagai faktor risiko.
Terjadinya penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular,
terjadinya masalah pencemaran lingkungan, terjadinya masalah kekurangan dan kelebihan gizi dan sebagainya, perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap
masalah tersebut. Misalnya terjadinya penyakit demam berdarah disebabkan orang tidak mau melakukan 3 M (mengubur, menguras dan menutup) tempat-tempat penampungan air. Terjadinya kematian bayi dan balita karena diare, ISPA, TBC dan
sebagainya karena masyarakat tidak mau memanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia, antara lain imunisasi. Terjadinya penyakit jantung koroner
dapat terjadi karena perilaku makan, kurang oleh raga dan sebagainya.
Skiner (1938) merumuskan perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), sehingga perilaku manusia terjadi melalui proses
stimulus, organisme dan respon. Jadi perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan minuman dan
pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan tersebut dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati.
Perilaku kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 2 perilaku. Pertama perilaku seseorang agar tetap sehat dan meningkat yang disebut dengan perilaku sehat, yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah dan menghindari penyakit
dan penyebab penyakit atau masalah atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif) dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku
dan minum minuman keras, menghindari gigitan nyamuk, menggosok gigi setelah
makan dan sebagainya. Kedua perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya
yang disebut dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan seseorang bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepasnya dari masalah kesehatan tersebut. Tempat
pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan baik tradisional maupun modern.
Becker (1979) mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi 3 yaitu perilaku sehat, perilaku sakit dan perilaku peran orang sakit. Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Perilaku sakit adalah berkaitan dengan kegiatan atau tindakan seseorang yang terkena sakit atau masalah kesehatan atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan atau teratasinya masalah kesehatan.
Pada saat orang sakit atau anggota keluarga sakit, ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul yaitu didiamkan saja, mengambil tindakan dengan melakukan
pengobatan sendiri dan mencari pengobatan atau penyembuhan keluar yakni ke fasilitas kesehatan baik tradisional maupun modern. Perilaku peran orang sakit adalah hak dan kewajiban orang yang sedang sakit antara lain tindakan untuk memperoleh
kesembuhannya dan melakukan kewajiban agar tidak terjadi kekambuhan
penyakitnya (Notoatmodjo, 2010). 2.1.3 Ranah Perilaku
Perilaku dibedakan antara perilaku tertutup dan perilaku terbuka, tetapi sebenarnya perilaku merupakan totalitas yang terjadi yang terjadi pada orang bersangkutan. Perilaku adalah keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang
merupakan hasil kerjasama antara faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri orang yang bersangkuatan dapat berupa perhatian,
motivasi, persepsi, intelegensi dan sebagainya. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri orang yang bersangkuatan seperti lingkungan, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
Perilaku seseorang sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Blum membedakan adanya 3 ranah perilaku yakni kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dikembangkan lagi menjadi 3 tingkat ranah perilaku yaitu
pengetahuan, sikap dan tindakan. a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Ketika pengindraan berlangsung akan menghasilkan pengetahuan, yang sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
a. Tahu
Tahu diartikan hanya sebagai mengingat kembali memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya tahu bahwa tomat banyak
mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar dan sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan misalnya apa tanda-tanda anak kurang
gizi, apa penyebab penyakit TBC dan sebagainya. b. Memahami
Memahami suatu onjek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui tersebut.
Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan sekadar menyebutkan 3M (mengubur, menutup dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus mengubur, menutup
dan menguras tempat-tempat penampungan air tersebut. c. Aplikasi
Aplikasi diartikan apabila seseorang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya seseorang yang telah paham tentang proses
d. Analisis
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan,
membuat diagram terhadap pengetahuan atau objek tersebut. e. Sintesis
Sistesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. f. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Misalnya seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak (Notoatmodjo, 2010).
b. Sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat atau emosi yang bersangkuatan (senang
mendefenisikan bahwa sikap itu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam
merespon stimulus atau objek. Sikap melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya.
Newcomb, ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan tindakan atau reaksi terbuka, akan tetapi
merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.
Gambar 2.1 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Komponen pokok sikap menurut Allport (1954) terdiri dari 3 komponen
pokok yaitu :
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek, artinya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian yang terkandung dalam faktor emosi orang tersebut terhadap objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak, aritnya sikap adalah komponen yang mendahului
tindakan atau perilaku terbuka.
Sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya yaitu:
1. Menerima
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan oleh objek. Misalnya sikap seseorang terhadap pemeriksaan kehamilan
dapat dilihat dari kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan tentang pemeriksaan kehamilan di lingkungannya.
2. Menanggapi
Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya seorang ibu yang ikut dalam penyuluhan ante
natal care ditanya tentang penyuluhan atau diminta tanggapannya kemudian ibu
tersebut menjawab atau menanggapinya. 3. Menghargai
Menghargai diartikan seseorang dengan memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain, bahkan
mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain untuk merespon. Misalnya pada ibu hamil mendiskusikan tentang ante natal care pada suaminya bahkan mengajak suaminya atau mengajak tetangga mendengar penyuluhan ante
4. Bertanggung jawab
Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan
keyakinannya, orang tersebut harus berani mengambil risiko bila ada orang yang mencemoohnya atau ada risiko lain. Misalnya seorang ibu yang telah mengikuti penyuluhan ante natal care harus berani mengorbankan waktunya, mungkin
kehilangan penghasilannya atau di tegor oleh mertua karena meninggalkan rumah (Notoatmodjo, 2010)
c. Tindakan atau praktik
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain seperti adanya
fasilitas atau sarana prasarana. Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa kehamilan itu penting untuk kesehatannya dan janinnya dan sudah ada niat untuk periksa kehamilan. Agar sikap itu meningkat menjadi tindakan maka diperlukan
adanya bidan, posyandu dan puskesmas. Apabila fasilitas tersebut tidak ada kemungkinan ibu tersebut tidak akan memeriksakan kehamilannya.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya yaitu :
1. Praktik terpimpin
Apabila seseorang sudah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan
2. Praktik secara mekanisme
Apabila seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka hal tersebut disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya
seorang ibu selalu membawa anaknya ke posyandu untuk ditimbang tanpa harus menunggu perintah dari kader.
3. Adopsi
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah
dilakukan modifikasi atau tindakan yang berkualitas. Misalnya menggosok gigi tidak hanya sekadar menggosok gigi tetapi juga dengan teknik-teknik yang benar (Notoatmodjo, 2010).
Rosenstock (1997) mengemukakan Health Belief Model atau model kepercayaan kesehatan. Model perilaku ini didasarkan pada 3 faktor esensisal yaitu: a. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu
penyakit atau memperkecil risiko kesehatan b. Adanya dorongan dalam lingkungan individu
c. Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu,serta pengalaman yang berhubungan
a. Ancaman
Persepsi tentang kerentanan diri terhadap penyakit (kesediaan menerima diagnosa penyakit) dan persepsi tentang keparahan penyakit atau kondisi kesehatannya.
b. Harapan
Persepsi tentang keuntungan suatu tindakan dan persepsi tentang hambatan-hambatan untuk melakukan tindakan itu
c. Pencetus tindakan
Pencetus tindakan dapat berupa media, pengaruh orang lain dan hal-hal yang
mengingatkan.
d. Faktor sosio-demografi seperti pendidikan,umur, jenis kelamin, suku. e. Penilaian diri
Persepsi tentang kesanggupan diri untuk melakukan tindakan tersebut (Jones, 2000).
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi menurut WHO (2011) adalah peningkatan tekanan darah sistolik
sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi adalah tekanan darah yang kuat dan konstan memompa darah melalui pembuluh darah. Hipertensi sering kali dijumpai tanpa
tekanan darah akan memberi gejala yang lebih lanjut ke organ terget seperti stroke
(untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung), gagal ginjal (untuk ginjal) dan organ lainnya. Hipertensi menyerang organ target di otak yang
berupa stroke. Hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian tinggi (bustan, 2007). WHO (2011) menyatakan tekanan darah normal adalah kurang dari atau 120 mmHg tekanan sistolik dan kurang dari atau 80 mmHg tekanan
diastolik.
World Health Organization-International Society of Hypertension
(WHO-ISH) mengklasifikasikan hipertensi dalam The Eight Report of the Joint Natinal
Commite on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure (JNC VIII)
yaitu:
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi untuk Usia 18 Tahun Kategori Tekanan sistolik
(mmHg)
Tekanan diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Sedang 140 – 159 Atau 90 – 99
Berat > 160 Atau > 100
2.2.2 Jenis Hipertensi
Jenis hipertensi adalah :
a. Hipertensi primer (Hipertensi esensial)
tanpa penyebab sekunder yang jelas. Hipertensi esensial meliputi lebih kurang 95%
dari seluruh penderita hipertensi dan 5% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hipertensi esensial dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik
serta faktor lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam berlebih dan sebagainya.
b. Hipertensi sekunder (Hipertensi non esensial)
Hipertensi sekunder atau hipertensi non esensial adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya. Hipertensi sekunder meliputi kurang lebih 5% dari total
penderita hipertensi. Timbulnya hipertensi sekunder sebagai akibat dari suatu penyakit, kondisi atau kebiasaan seseorang. Contohnya kelainan yang menyebabkan hipertensi sekunder adalah sebagai hasil dari salah satu atau kombinasi hal-hal
berikut:
1. Akibat stres yang parah 2. Penyakit atau gangguan ginjal
3. Kehamilan atau pemakaian hormon pencegah kehamilan 4. Pemakaian obat-obatan seperti heroin, kokain dan sebagainya
5. Cidera di kepala atau pendarahan otak yang berat
2.2.3 Patofisiologi
Tekanan darah = Curah jantung x Tekanan Perifer Hipertensi = Peningkatan Cl dan/atau peningkatan TP
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala hipertensi biasanya dirasakan oleh penderita hipertensi pada tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Gejala-gejala kerusakan organ yang
dirasakan oleh penderita hipertensi adalah : a. Otak dan mata
Gejala yang dirasakan untuk organ otak dan mata yaitu:
1. Sakit kepala 2. Vertigo
3. Gangguan penglihatan
4. Penurunan sensoris dan motorik 5. Transient ischemic attack
b. Jantung
Gejala yang dirasakan untuk organ jantung adalah: 1. Nyeri dada
2. Sesak
3. Kaki bengkak
c. Ginjal
Gejala yang dirasakan untuk organ ginjal adalah: 1. Rasa haus berlebih
2. Banyak buang air kecil 3. Buang air kecil malam hari
d. Arteri perifer
Gejala yang dirasakan untuk arteri perifer adalah: 1. Alat gerak seperti tangan dan kaki dingin
2. Klaudikasio interminten (Price, 2005) 2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul ketika hipertensi tidak ditangani dengan baik
adalah : a. Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan tekanan tinggi.
b. Infark miokardium
Apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat menyuplai oksigen yang cukup ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut.
c. Gagal ginjal
Kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus.
d. Ensepalopati (kerusakan otak)
Tekanan yang sangat tinggi dapat menyebabkan peningkatan kapiler dan dorongan cairan ke dalam ruang interstisium di susunan saraf pusat.
e. Retinopati
Terjadinya penururan fungsi mata yang disebabkan perdarahan retina yang dapat
2.2.6 Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi: a. Terapi tanpa obat
Terapi tanpa obat dilakukan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertesi sedang dan berat. Terapi tanpa obat meliputi:
1. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah:
a) Kurangi konsumsi garam secara moderat dari 10 gram perhari menjadi 5
gram perhari
b) Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh c) Penurunan berat badan.
2. Menghentikan merokok
3. Mengurangi minum minuman beralkohol dan kafein
4. Menghindari stres 5. Diet tinggi kalium
6. Makan dengan jumlah kalori tidak berlebihan
b. Terapi dengan obat
Pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga
bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup
penderita. Pengobatan standar yang diajukan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi, menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium atau
penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita (JNC, 2013).
2.2.7 Epidemiologi Hipertensi
Distribusi dan frekuensi hipertensi
a. Orang
Hipertensi lebih sering terjadi pada pria usia 31 tahun ke atas sedangkan pada wanita terjadi pada usia 45 tahun (setelah menopause). Di jawa barat prevalensi
hipertensi pada laki-laki sekitar 23,1% sedangkan pada wanita sekitar 6,5%. Pada usia 50-59 tahun prevalensi hipertensi pada laki-laki sekitar 53,8% sedangkan pada wanita sekitar 29% dan pada usia lebih dari 60 tahun prevalensi hipertensi sekitar
64,5% (Suryati, 2005).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi
pada penduduk umur 18 tahun keatas secara nasional mencapai 25,8%. Berdasarkan kelompok umur paling tinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun ke atas yaitu 63,8%, di ikuti umur 65-74 tahun sebesar 57,6%. Berdasarkan jenis kelamin
Menurut Bustan (2007), berdasarkan suku dan ras bahwa orang hitam di
Amerika mempunyai prognosis yang lebih jelek dibandingkan dengan orang berkulit putih.
b. Tempat
Hasil pengkuran tekanan darah yang diperoleh dari Riskesdas (2007) menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah
Papua Barat (20,1%). Provinsi Jawa Timur (37,4%), Bangka Belitung (37,2%), Sulawesi Tengah (36,6%), DI Yokyakarta (35,8%), Sulawesi Barat (33,9%),
Kalimantan Tengah (33,6%) dan Nusa Tenggara Barat (32,4%), merupakan proinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tnggi dari angka nasional (31,7%).
Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi hipertensi di Indonesia adalah
25,5%, prevalensi mengalami penurunan dari tanun 2007. Provinsi yang paling tinggi adalah Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimatan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%) dan prevalensi yang paling kecil
adalah Papua (16,8%). c. Waktu
Penderita hipertensi berdasarkan waktu berbeda setiap tahunnya. Studi morbiditas Survei Kesehatan Rumah Tanggga (SKRT, 2001), menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi mengalami peningkatan dari 96 per 1000 penduduk pada tahun
1995, naik menjadi 110 per 1000 penduduk tahun 2001. Berdasarkan laporan Riskesdas 2007 prevalensi hipertensi di Indonesia 31,7 % dari total penduduk
2.2.8 Faktor Risiko Hipertensi
a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol 1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar resiko terkena hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai resiko terkena hipertensi, dengan bertambahnya usia resiko terkena hipertensi lebih besar sehingga
prevalesi hipertensi dikalangan usia lanjut lebih tinggi yaitu umur diatas 75 tahun 63,8% diikuti usia 65-74 tahun (57,6%), usia 55-64 tahun (45,9%) (Riskesdas, 2013)
2. Jenis kelamin
Bila ditinjau dari perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiri di Jawa Tengah
diperoleh angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% untuk pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta diperoleh 14,6% pria dan 13,7% wanita. Pria lebih banyak menderita
hipertensi dibandingkan wanita karena adanya hormon estrogen pada wanita (Marliani, 2007).
3. Riwayat keluarga
Orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi jantung meningkatkan resiko hipertensi terutama pada hipertensi primer (Nurkhalida, 2003). Keluarga yang memiliki
hipertensi, maka seumur hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya
pula. Jika kedua orang tua kita menderita hipertensi, kemungkinan kita menderita hipertensi 60% (Sheps, 2005).
b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol 1. Konsumsi garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan
ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik yang normal (Sheps, 2005). Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram per hari menyebabkan
prevalensi hipertensi rendah, sedangkan apabila asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi menngkat menjadi 15-20%. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram perhari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400
mg/hari (Hull, 1996). 2. Konsumsi lemak jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah (Sheps, 2005). 3. Penggunaan jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali pemakaian untuk menggoreng dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai,
jagung dan lain-lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kandungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh dan asam lemak
tidak jenuh. Dianjurkan untuk membatasi penggunaan minyak goreng terutama jelantah karena akan meningkatkan pembentukan kolesterol yang berlebihan yang dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu terjadinya penyakit
tertentu, seperti penyakit jantung, hipertensi dan lain-lain (Hull, 1996). 4. Kebiasaan minum minuman beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat
cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau terlalu banyak
memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit (Hull, 1996). Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel
dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi 3 gelas atau lebih minuman beralkohol
setiap hari meningkatkan risiko menderita hipertensi sebesar 2 kali. 5. Obesitas
Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh lebih dari 25 (berat badan (kg) di bagi kuadrat tinggi badan (m)) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari
populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas.
Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Melalui olah raga yang isotonik dan teratur (aktivitas fisik aerobik 30-60 menit/hari) dapat menurunkan
tekanan darah. Obesitas erat kaitannya dengan makan makanan tinggi lemak.
Alison Hull menyatakan dalam penelitiannya adanya hubungan antara berat berat badan dan hipertensi. Bila berat bedan meningkat diatas berat badan ideal maka
resiko hipertensi juga meningkat. Penyelidikan epidemiologi juga membuktkan bahwa obesitas merupakan ciri khas populasi penderita hipertensi, dibuktikan juga
bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan timbulnya hipertensi dikemudian hari. Risiko relatif untuk penderita hipertensi pada obesitas 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat badannya normal. Pada penderita
6. Olah raga
Olah raga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olah raga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah. Kurang melakukan olah raga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko hipertensi karen
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps, 2005).
7. Stres
Hubungan antara stren dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi
(Nurkhalida, 2003). Menurut Smet, stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tidak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan
kita untuk mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Stres dapat meningkatkan
tekanan darah sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normalkembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan
8. Penggunaan Estrogen
Hipertensi lebih banyak pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda, tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita
hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon ertogen setelah menopause (Marliani, 2007). Peran hormon estrogen adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung pembuluh darah dari kerusakan.
Umumnya, proses ini dimulai pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar, 2005).
Hipertensi timbul akibat interaksi berbagai faktor sehingga dari seluruh faktor
yang disebutkan di atas, faktor yang paling berperan terhadap timbulnya hipertensi tidak dapat diketahui dengan pasti, oleh karean itu pencegahan hipertensi antara lain dapat dilakukan dengan mejaga perilaku hidup sehat.
2.3 Pencegahan Hipertensi 2.3.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer hipertensi adalah pencegahan yang dilakukan terhadap
seseorang / masyarakat yang belum menderita hipertensi. Sasaran pencegahan primer hipertensi adalah orang yang masih sehat dengan tujuan agar seseorang / masyarakat
tersebut terhindar dari hipertensi.
Pencegahan primer hipertensi adalah:
a. Mengurangi / menghindari setiap perilaku yang memperbesar faktor risiko yaitu:
2. Menghindari minuman yang mengandung alkohol.
3. Menurangi atau membatasi asupan natrium atau garam. 4. Menghindari rokok
5. Mengurangi atau menghindari makan yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi
b. Peningkatan ketahanan fisik dan perbaikan status gizi yaitu:
1. Melakukan olah raga secara teratur dan terkontrol seperti senam aerobik, jalan kaki, berlari, bersepeda, berenang dan lain-lain.
2. Diet rendah lemak dan meningkatkan konsumsi buah-buahan / sayuran. 3. Mengendalikan stres dan emosi.
2.3.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder hipertensi adalah pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang yang memiliki faktor risiko terkena hipertensi. Sasaran pencegahan sekunder hipertensi adalah orang yang baru terkena penyakit hipertensi melalui
diagnosis dini serta pengobatan yang tepat dengan tujuan menghindari proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi. Pencegahan bagi yang menderita
atau terancam menderita hipertensi adalah: a. Pemeriksaan berkala
1. Pemeriksaan atau pengukuran tekanan darah secara berkala merupakan cara
untuk mengetahui apakah seseorang menderita hipertensi atau tidak.
2. Mengontrol tekanan darah secara teratur sehingga tekanan darah dapat stabil
b. Pengobatan dan perawatan
Penderita hipertensi yang tidak medapatkan pengobatan atau perawatan yang tepat dapat mengakibatkan dampak yang buruk, pengobatan tepat waktu sangat
diperlukan sehingga penyakit hipertensi dapat dikendalikan seperti:
1. Menjaga agar tidak terjadi komplikasi akibat hiperkholesterolemia, diabetes melitus dan lain-lain.
2. Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang normal sehingga kualitas hidup penderita tidak menurun.
3. Memulihkan kerusakan target organ dengan obat anti hipertensi 4. Memperkecil efek samping pengobatan
5. Menghindari faktor risiko yang memperburuk keadaan seperti yang disebutkan di
atas.
6. Pengobati penyakit penyerta seperti diabetes melitus, kelainan pada ginjal, hipertiroid, yang memperberat kerusakan organ.
2.3.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang
yang telah terkena hipertensi. Sasaran pencegahan tersier hipertensi adalah penderita hipertensi dengan tujuan mencegah proses penyakit lebih lanjut yang mengarah pada kecacatan atau kelumpuhan bahkan kematian. Pencegahan tersier penyakit hipertensi
adalah sebagai berikut:
a. Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang wajar sehingga kualitas hidup
b. Mencegah komplikasi dari tekanan darah tinggi sehingga tidak timbul kerusakan
pada jaringan organ otak yang mengakibatkan stroke ataupun organ lain. c. Memulihkan kerusakan target organ.
d. Mengobati penyakit penyerta (Gunawan, 2005).
2.4 Dewasa Muda
2.4.1 Pengertian Dewasa Muda
Masa dewasa muda dimulai sekitar usia 18 sampai 22 tahun dan berakhir pada usia 35 sampai 40 tahun (Lemne, 1995). Lebih lanjut lemne (1995), menjelaskan bahwa masa dewasa muda adalah masa yang ditandai dengan adanya
ketidaktergantungan secara finansial pada orang tua, serta adanya tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan. Dewasa muda merupakan periode
penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Individu diharapkan dapat menjalankan peran barunya sebagai suami/istri pencari nafkah, orangtua,yang disisilain dapat mengembangkan sikap, keinginan dan nilai
sesuai dengan tujuan baru. Pada tahapan perkembangan ini, dewasa muda memiliki tugas utama yang harus diselesaikan seperti meninggalkan rumah, memilih dam
mempearsiapkan karir, membangun hubungan dekat seperti persahabatan dan pernikahan dan memulai untuk membentuk keluarga sendiri (Atwater, 2005).
2.4.2 Tugas pada Tahapan Perkembangan Dewasa Muda
individu tersebut, misalnya asper hubungan interpersonal, pekerjaan dan lainnya.
Havighurst (dalam Lemne, 1995) mengungkapkan tugas perkembangan pada masa dewasa muda yaitu :
a. Menentukan pasangan hidup.
b. Belajar untuk menyesuaikan diri dan hidup bersama pasangan. Ketika individu telah mampu menemukan pasangan hidup, individu tersebut harus mampu
beradaptasi dengan pasangannya dan mulai untuk membentuk keluarga. c. Membentuk keluarga
d. Belajar mengasuh anak e. Mengelola rumah tangga
f. Meniti karir atau melanjutkan pendidikan
g. Mulai bertanggung jawab sebagai warga Negara
h. Memperoleh kelompok sosial yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Dapat dilihat bahwa tugas perkembangan yang dimiliki usia dewasa muda
adalah membentuk hubungan sosial dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Individu dituntut untuk mampu mengembangkan diri dan beradaptasi dengan
lingkungannya. Ketika seorang individu berpindah dari masa remaja menuju masa dewasa awal sering kali individu tidak berpikir bagaimana tentang gaya hidup yang mempengaruhi kesehatan pada kehidupan dewasa. Sebagai seorang dewasa muda
masih banyak dari individu yang melakukan pola hidup tidak sehat seperti tidak sarapan, tidak makan secara teratur, dan menggantungkan diri pada makanan kecil
berlebihan sampai melampaui berat badan normal, merokok, minum-minuman keras,
tidak berolahraga, dan tidur dalam waktu sedikit. Gaya hidup pribadi yang buruk ini berhubungan dengan kondisi kesehatan yang buruk.
2.5 Landasan Teori
Rosenstock (1974, 1977) menyatakan 3 hal esensial dalam menentukan perilaku yang disebut dengan Health Belief Model atau model kepercayaan kesehatan
yaitu :
a. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil resiko kesehatan
b. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku c. Perilaku itu sendiri
Ketiga faktor diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti persepsi tentang kerentanan sesorang terhadap suatu penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit dan adanya kepercayaan bahwa
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan beberapa kajian teori yang telah dibahas, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Perilaku Dewasa Muda terhadap Pencegahan Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kartini Pematangsiantar