• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada Remaja di Posko Pengungsian Kabanjahe Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada Remaja di Posko Pengungsian Kabanjahe Kabupaten Karo"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Bencana

2.1.1 Defenisi Bencana

Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. sedang bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa alam, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topas, dan tanah longsor (BNPB, 2014). Jadi, bencana alam adalah gejala ekstrim alam dimana masyarakat tidak siap menghadapinya. Dimana ada dua hal yang berinteraksi, yakni gejala alam dan masyarakat atau sekumpulan manusia (yang berinteraksi dengan gejala alam tersebut).

2.1.2 Jenis-jenis Bencana

(2)

dan gejala-gejala ”sekunder” seperti lahar dan sebagainya; tanah longsor; gerakan tanah yang relatif lebih lambat dari proses terjadinya tanah longsor, tetapi dalam skala jauh lebih besar; 2) Bencana Kelautan seperti gelombang pasang (rob), gelombang pasang disertai tiupan angin dan hujan (storm surges), kenaikan muka laut (akibat pemanasan global, dan sebagainya), badai di laut atau di wilayah pantai (di sini terjadi percampuran antara masalah kelautan dan masalah atmosferik, karena memang kaitan antara gejala atmosferik dan gejala kelautan itu sangat erat;. 3) Bencana Atmosferik, yaitu perubahan di atmosfer yang berjalan sangat cepat dan dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi badai besar, puting-beliung (tornado), angin ribut, dan banjir, yaitu meluapnya air sungai melebihi kapasitas bumi menyerapnya atau volume air melampaui tanggul-tanggul yang dibangun di sisi sungai; 4) Bencana buatan manusia atau bencana industri (kebakaran dan ledakan di pabrik petro-kimia; truk besar mengangkut bahan kimia terguling, terbakar dan meledak; jebolnya bendungan; letusan reaktor nuklir pembangkit listrik; bocornya pabrik kimia dan sebagainya (LPPKM ITB, 2009).

(3)

Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi (BNPB, 2012).

2.2 Psikologi Perkembangan Remaja

2.2.1 Defenisi Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi yang mempelajari perkembangan dan perubahan aspek kejiwaan manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dunia. Psikologi perkembangan juga mempelajari tingkah laku individu dalam perkembangannya dan latar belakang yang mempengaruhinya. Ilmu psikologi perkembangan digunakan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan dan pengasuhan, pengoptimalan kualitas hidup dewasa tua, dan penanganan remaja.

(4)

mental manusia sepanjang rentang hidupnya, yang dimulai sejak konsepsi hingga menjelang kematiannya (Rahman, 2016).

2.2.2 Psikologi Perkembangan Remaja

World Health Organization (WHO) memberikan definisi

tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana: 1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya; 2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; 3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2013).

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual, yaitu antar usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, remaja adalah anak yang telah mencapai umur 10-18 tahun bagi perempuan dan berumur 12-20 tahun bagi anak laki-laki (Soetjiningsih, 2004 dalam Rahman, 2016).

(5)

Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin (DEPKES, 2013). Masa remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: masa remaja awal usia 11-14 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-17 tahun, dan remaja akhir usia 18-20 tahun. Masa remaja cenderung mulai dan berakhir lebih awal pada remaja putri daripada remaja putra. Istilah masa belasan tahun digunakan sebagai sinonim dengan masa remaja untuk menggambarkan usia 13 sampai 19 tahun (Wong, 2008).

2.2.3 Karakteristik Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Perubahan fisik otak semakin sempurna sehingga meningkatkan kemampuan kognitifnya.

(6)

jaringan tubuh lebih menonjol (Monks,dkk., 1999 dalam Pieter, dkk., 2011).

b. Perkembangan Emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, masa ketika ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Hal ini disebabkan terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, yang selama masa kanak-kanak, mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi keadaan-keadaan itu (Hurlock, 1999 dalam Rahman, 2016).

Pola emosi remaja sama dengan pola emosi kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada jenis dan tingkat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi remaja.

c. Perkembangan Intelektual

(7)

tahap formal operasional, yaitu berpikir abstrak, independen, fleksibel, berpikir logis, dan mampu memprediksi suatu masalah (Pieter dkk. 2011).

Menurut Piaget, remaja mencapai puncaknya dalam kemampuan berpikir abstrak, yaitu periode operasional normal. Remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual, yang merupakan ciri periode berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap kemungkinan yang akak terjadi.pada saat ini mereka lebih jauh ke depan. Tanpa memusatkan perhatian pada situasi saat ini, mereka dapat membayangkan sesuatu rangkaian peristiwa yang mungkin terjadi, memikirkan bagaiman segala sesuatu mungkin dapat berubah di masa depan, dan akibat dari tindakan mereka (Wong, 2008).

d. Perkembangan Konsep Diri

(8)

e. Perkembangan Nilai Moral

Remaja sebagai invidu ataupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai yang dianutnya akan berpengaruh terhadap perilaku remaja tersebut.

Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun aja, tetapi juga seperangkat nilai seperti keagamaan, nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai estetik, nilai etik, dan nilai intelektual dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan remaja (Pieter, dkk., 2011).

f. Perkembangan Kesadaran Beragama

(9)

pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya (Sarwono, 2007).

g. Perkembangan Sosial

Kesulitan remaja dalam perilaku sosial akan ditunjukkan dengan ketidak matangan perilaku sosial dan sifat infantil, sesama jenis seks, dan sulit mendapatkan dukungan dari teman sebaya. Remaja yang gagal membina relasi sosial akan menunjukkan suka membuat diskriminasi, membuat nilai standar dalam kelompok, suka mencari perhatian, seperti senang menggunakan pakaian mencolok atau menggunakan kata-kata yang tidak lazim, kelihatan sombong, perilaku agresif, destruktif, dan anti sosial.

h. Perkembangan Seksualitas

(10)

2.3 Gangguan Stres Pascatrauma

2.3.1 Defenisi Gangguan Stres Pascatrauma

Gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan stres akibat seseorang mengalami suatu peristiwa traumatik yang luar biasa diluar kemampuan manusia pada umumnya, seperti akibat bencana alam, pemerkosaan, inses, korban tindakan kriminal, kekerasan dalam rumah tangga, berada dalam tempat pembantaian, pemujaan, teror, sandera, perang, atau kehancuran rumah tangga yang mendadak (Copel, 2000). Gangguan stres pascatrauma menjadi populer setelah konflik Vietnam pada tahun 1960-an.

Gangguan stres pascatrauma disebut juga sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang (Ardani,2011).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan stress

(11)

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan kejiwaan akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang mengancam keselamatan hidup seseorang yang terjadi setelah 6 bulan terpapar kejadian traumatik, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang. 2.3.2 Penyebab Gangguan Stres Pascatrauma

a. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.

b. Trauma yang disebabkan individu menjadi koban dari intepersonal

attackseperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual,

penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan peristiwa penembakan atau tertembak.

c. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.

(12)

diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS, dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya (Yosep,2016).

2.3.3 Teori-teori Penyebab Gangguan Stres Pascatrauma a. Psikodinamika

Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Ini dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.

b. Biologis

Abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin mempengaruhi fungsi otak di daerah lokus

seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus

seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar.

Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan

koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas pada

amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan

(13)

c. Dinamika Keluarga

Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Pendidikan yang dibawah rata-rata, perilaku orangtua yang negatif, dan kemiskinan orangtua merupakan prediktor perkembangan PTSD (Yosep,2016).

2.3.4 Simtom-simtom Gangguan Stres Pascatrauma

1. Re-experiencing, penderita mengalami kembali peristiwa

traumatik: individu sering kali teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut. Simtom ini tidak boleh diremehkan, karena dapat menyebabkan simtom lainnya. Beberapa teori tentang PTSD menjadikan simtom ini sebagai ciri utama dengan mengtribusikan gangguan tersebut pada ketidakmampuan mengintegrasikan kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini (Ardani, 2011).

2. Avoidance, penderita berupaya dengan tetap untuk menghindar

(14)

kejadian tersebut sehingga dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut (Ardani, 2011).

3. Negative alterations in mood and cognition, penyimpangan secara persisten diantara lain menyalahkan diri sendiri atau orang lain,

merasa terasing dari orang lain, berkurangnya minat melakukan

aktivitas, dan ketidakmampuan untuk mengingat aspek-aspek yang

menjadi kunci dari kejadian tersebut (APA, 2013).

4. Hyperousal, meningkatnya aktivitas secara persisten, antara lain

tidak dapat tidur, mudah tersinggung atau meledak, sulit konsentrasi, curiga, dan respon terkejut yang berlebihan (Ardani,2011).

(15)

Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di atas 6 tahun:

a. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau teman dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga atau teman, kejadian harus kekerasan atau kecelakaan.

4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi, film, atau gambar yang berhubungan dengan pekerjaan.

b. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian traumatis (Re-experiencing), dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang mengganggu.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

(16)

ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan sekelilingnya).

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

c. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik (Avoidance), yang dialami dan disertai dengan satu atau kedua gejala di bawah ini:

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

d. Perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan dengan kejadian traumatis (Negative alterations in mood and

cognition), diawali atau bertambah parah setelah kejadian

traumatis terjadi, yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

(17)

2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”, “Tidak ada orang mempercayai saya”, “Dunia sangat berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya tidak bekerja permanen”).

3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu).

5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas

6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang).

e. Perubahan yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan dengan kejadian traumatis (Hyperarousal), diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.

2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).

(18)

6. Gangguan tidur.

f. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu bulan.

g. Gangguan menyebabkan penderitaan atau kerusakan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

h. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Spesifikasi:

• Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang yang bersifat subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.

2. Derealisasi:Pengalaman menetap atau berulang yang bersifat sebjektif terhadap lingkungan yang tidak nyata.

Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum. • Dengan Ekpresi Tertunda (PTSD with delayed onset): Jika

seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung) (DSM-V, 2013). 2.3.6 Gangguan Stres Pascatrauma Pada Remaja

(19)

menginterpreyasikan sebagai bentuk ketidakmampuannya untuk mengingat apa yang pernah dialaminya. Anak-anak cenderung mau mengingat masa lalunya dangan melakukan tindakan yang berulang-ulang.

Anak-anak yang mengalami gangguan pascatrauma menunjukkan gangguan fisik lain, seperti sakit kepala dan sakit perut. Sementara gangguan psikis ditunjukkan melalui peningkatan emosi yang kuat. Sementara bagi remaja, tanda-tanda gangguan stres pascatrauma adalah merasa tidak memiliki harapan, masa depan, karier, tidak ada kesempatan untuk berumah tangga, merasa tidak bisa memiliki anak dan gagal dalam rentang hidup normal (Pieter, dkk., 2011).

2.3.7 Terapi Gangguan Stres Pascatrauma a. Terapi Individu

(20)

membantu klien untuk berupaya dalam mengubah distorsi kognitifnya tentang trauma dan hal-hal yang terkait engan traumatisnya.

b. Terapi Keluarga

Dengan cara membantu keluarga klien untuk dapat memahami klien yang mengalami stres pasctrauma, membantu keluarga untuk lebih banyak mengenal karakteristik stres pascatrauma, mengajarkan keluarga untuk mampu melindungi klien dari kejadian-kejadian yang bisa menimbulkan trauma baru, mengajarkan keluarga untuk membantu klien dalam mengatasi rasa takut, amsietas, duka cita, dan rasa bersalah. Evaluasi interaksi keluarga, difokuskan pada metode dan pola komunikasi dan kaji bila ada disfungsional keluarga, seperti penganiayaan dan tindakan kekerasan keluarga. Jika bisa diakses, diinformasikan pada klien dan keluarga tentang ketersediaan konseling dan kelompok pendukung.

c. Terapi Obat-obatan

Dengan pemberian obat-obat anti-ansietas, seperti

diazepam (valium) dan kloadiazepoksida (librium) dan obat-obat

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman ubi kayu di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu penggunaan pupuk yang tidak efisien, hal ini dikarenakan masih banyak petani

Penelitian yang dilakukan oleh Ashari, dkk (1994) membuktikan bahwa profitabilitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, perusahaan dengan

Saya ucapkan terima kasih kepada pemerintah Australia yang melalui KSI telah berkontribusi dalam penyelenggaraan forum yang menyediakan informasi, masukan, dan

Efisiensi faktor produksi pupuk pada usahatani ubi kayu ini diukur dengan analisis fungsi produksi frontier, yang dilihat dari efisiensi teknis dan efisiensi

Hasilnya adalah R sebesar 0,639 menunjukan bahwa 63.9% variabel kepuasan pelanggan dapat dijelaskan oleb variabel dari dimensi service quality yaitu responsiveness,

Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) khususnya pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan

4.2.1 Gambaran Perbandingan Tekanan darah antara kelompok Kasus dan kontrol dengan Jogging, Pola makan, Aktivitas Fisik sehari-hari dan status Gizi

Guru hendaknya dapat memberikan motivasi kepada siswa agar siswa dapat meningkatkan disiplin belajar siswa agar proses belajar. mengajar lebih mudah dan juga dapat