• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM TATA NEGARA INDONESIA SISTEM PEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM TATA NEGARA INDONESIA SISTEM PEM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

A. Sejarah Lahirnya Pasal 18 UUD 1945

Apabila dilihat dari sejarah pembukaan UUD 1945, dapat dikatakan Muh. Yamin lah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam sidanng BPUPKI 29 Mei 1945. Pada kesempatan itu pula Muh. Yamin melampirkan rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang memuat tentang pemerintahan daerah.

Seperti halnya Muh. Yamin, Soepomo selaku Ketu Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 juga menyampaikan pemikirannya. 1

Berdasarkan pendapat dari dua tokoh perancang UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945

pertama, adanya daerah otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi. Kedua, satuan pemerintahan tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraan dilakukan dengan “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”. Ketiga, pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.2

Adanya perintah kepada pembentuk undang dalam menyusun undang-undang tntang desentralisasi territorial harus “memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”, menurut ketentuan Pasal 18 UUD 1945 adalah bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan tidak hanya terdapat pada pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah. Dengan kata lain, Pasal 18 UUD 19945 menentukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaran atau harus mempunyai badan perwakilan.

Hak melakukan pemerintahan sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, makin kuat alasan bahwa

1 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 279-281.

(2)

pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil menurut Pasal 18 tidak lain dari pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi.3

B.

Makna Daerah yang Bersifat Istimewa

Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 mengidentifikasikan “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerah-daerah yang mampunyai susunan asli yaitu zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Kedua susuna pemerintahan ini meskipun tunduk pada tingkat berbagai pemerintahan Hindia-Belanda memang merupakan pemerintahhan asli Indonesia. Landschap dan volksgemeenschap

bukan suatu susunan pemerintahan bentuk atau ciptan peraturan perundang-undangan atau pemerintahan Hindia-Belanda, melainkan pemerintahan yang diciptakan dan dijalankan oleh “bumu putera”.

Setelah rancangan UUD yang bersangkutan ditetapkan oleh PPKI dan diberi penjelasan resmi dalam Berita Republik Indonesia, ternyata angka II penjelasan itu (Penjelasan Pasal 18) menyatakan volksgemeenschap seperti desa, negeri, dusun, atau marga dapat dianggap sebagai daerah bersifat istimewa.4

Dalam alinea terakhir Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 berbunyi: “Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala aturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Jadi, konsekuensi dari jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundang-undangan mengenai “daerah yang bersifat istimewa” itu haruslah tidak mengabaikan asal-usul daerah tersebut.

UUD 1945 mengikuti kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa itu telah memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang dimilikinya sejak semula (hak yang bersifat autochtoon). Perwujudan dan hak asal-usul atau yang bersifat autochoon itu bisa bermacam-macam. Tetapi dari bermacam-macam hak itu secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni:

1. Hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari kata-kata “susunan asli”;

2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin;

3 Ibid,. hlm. 283-284.

(3)

3. Hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraa urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.5

Keterangan bahwa desa, negeri, dan sebagainya adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa juga tidak tepat. Hal yang nyata-nyata dianggap istimewa dengan hak-hak asal-usul ialah zelfbesturende landschappen, yaitu daerah-daerah kerajaan/ kesultanan yang masih ada diseluruh Indonesia pada waktu itu. 6

C. Daerah Istimewa dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950

Pengaturan daerah istimewa dalam Konstitusi RIS ternyata juga tetap memperoleh jaminan. Hanya saja konsepsi tentang daerah istimewa dalam konstitusi RIS agak berbeda dengan UUD 1945. Apa yang ada dalam UUD 1945 dinamakan

zelfbesturende landschappen dalam konstitusi RIS disebut daerah Swapraja, yang diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 67. Akan tetapi, daerah swapraja itu tidak dinyatakan sebagai daerah istimewa. Daerah yang secara eksplisit juga disebut sebagai daerah istimewa hanyalah Kalimantan Barat. Juga tidak disebutkan dalam konstitusi RIS bahwa volksgemeenschappen yang ada pada waktu itu termasuk dalam pengertian daerah istimewa.

Meskipun didalam konstitusi RIS Pasal 65 terdapat ketentuan bahwa kedudukan daerah swapraja harus dilakukan dengan kontrak antara daerah bagian dengan swapraja, namun dalam praktik kenegaraan selama RIS berdiri tidak ada suatu daerah bagian yang mengadakan kontrak dalam arti perjanjian tertulis dengan swapraja.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undng No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, timbul kemungkinan untuk menjadikan daerah swapraja sebagai daerah istimewa. Daerah swapraja yang tidak dijadikan daerah istimewa tetap mempunyai kedudukan sebagai swapraja.7

Ada sebagian swapraja yang tidak dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa. Swapraja yang tidak dapat dijadikan sebagai daerah istimewa karena misalnya tidak memenuhi syarat yang diminta Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1948 tetap mempunyai status swapraja selama belum ada pengaturan lebih lanjut. Sejak tanggan 17 Agustus 1945

5 Ibid,. hlm. 287-288.

6 Ibid,. hlm. 290.

(4)

sampai Republik Indonesia menjadi negara bagian pada tanggal 17 Agustus 1949, tidak ada daerah swapraja yang terhapus karena suatu peraturan dari Republik Indonesia.

Dengan terbentuknya Negara Kesatuan RI, pembuat UUDS 1950 mempunyai pendapat lain tentang pengaturan kedudukan swapraja. Di dalam UUDS 1950 kedudukan swapraja diatur dalam Pasal 32, yang menyatakan sebagai berikut:

1. Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahnya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131 dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

2. Daerah-daerah swapraja yang tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan denggan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menurut pernyataan atau pengecilan itu, member kuasa untuk itu kepada pemerintah. 3. Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud

dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 108.

Dalam UUDS 1950 dinyatakan bahwa tidak selayaknya kedudukan swapraja diatur dengan suatu kontrak. Daerah swapraja adalah sama derajatnya dengan daerah-daerah lain. Keistimewaannya karena hanya mempunyai hak asal-usul yang perlu mendapat perhatian sendiri.

Dalam Pasal 132 ayat (2) UUDS 1950 ditentukan bahwa daerah swapraja dapat dihapuskan atas dasar kepentingan umum. Adapun pangkal tolak tindakan pemerintah untuk menghapuskan swapraja adalah atas dasar kepentingan umum yang semata-mata demi tegaknya asas kerakyatan (demokrasi).8

D. Pengaturan Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan UUD 1945

Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu ditahun 1999, UUD 1945 yang selama pemerintahan orde baru disakralkan dan tidak dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama kalinya UUD 1945 dilakukan perubahan oleh MPR. 9

8 Ibid,. hlm. 297-298.

(5)

Karena terjadi perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 yang selama ini “ikut-ikutan” menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Selain meniadakan kerancuan, penghapusan penjelasan Pasal 18 sekaligus juga sebagai penataan tatanan UUD baik dari sejarah pembuatan Penjelasan (dibuat kemudian) maupun meniadakan “keganjilan” bahkan “anomali” selain tidak lazim UUD memiliki penjelasan, juga selama ini penjelasan dianggap sebagai sumber hukum disamping (bukan sederajat dengan) ketentuan batang tubuh UUD.

Perubahan Pasal 18 (baru) ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah dan dalam daerah terdapat daerah kabupaten dan kota.

Baik secara konseptual maupun hukum, pasal-pasal baru pemerintahan daerah dalam UUD membuat berbagai paradigm baru dan arah politik pemerintahan daerah yang baru pula. Hal-hal tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan berikut:

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5). 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1).

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2).

5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat 1).

6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum

(Pasal 18 ayat 3).

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18A ayat 2).10

E. Asas-Asas Pemerintaha Daerah

1. Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintahan daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dengan demikian, praksara wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai

(6)

politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.

2. Asas Dekonsentrasi

Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari Pemerintaha Pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertical tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada Pemerintah Pusat. Baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah Pusat.

Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah bahwa tidak semua urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi.

3. Asas Tugas Perbantuan

Asas tugas perbantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan kewajiban mepertanggungjawabkannya kepada yang member tugas. Misalnya, Kotamadya menarik pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urusan Pemerintah Pusat. Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administratif.

Daerah otonom atau daerah swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwewenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlku. Daerah dibentuk berdasarkan asas desentralisasi.

Wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi.

Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah, antara lain:

1. Mempu membiayai kehidupannya (kemampuan ekonomi); 2. Jumlah penduduk yang ditentukan;

3. Luas daerah;

(7)

6. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.11

F.

Pemerintahan Daerah dalam Beberapa UU

1. UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH

Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan berbagai hal tentang pemerintah daerah :

1. Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.

2. Daerah Provinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen, Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).

3. Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai sekarang.

4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.

2. UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH

Undang-undang No.1 tahun 1945 masih jauh dari kesempurnaan dan harapan sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat. Hal itu termuat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai berikut :

1. Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaannya.

2. Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik. Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.

(8)

3. Pemerintah Kabupaten, Kota, Keresidenan dan desa yang berotonomi masih meneruskan seperti era penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat yang banyak terhadap kepentingan rakyat / daerahnya.

3. UNDANG-UNDANG NIT NO. 44 TAHUN 1950 TENTANG PEMERINTAHAN INDONESIA TIMUR

Beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara negara RI (Yogyakarta) dengan pemerintah RIS yang juga bertindak atas nama NIT dan NST untuk membentuk negara kesatuan dan untuk menyesuaikan pemerintahan daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-undang No. 44 tahun 1950 yang disebut dengan nama UU Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-undang No. 44 tahun 1950 sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan wilayah NIT terhadap bentuk negara kesatuan.

Berhubung RUU ini disusun dengan sangat tergesa-gesa dan mengoper saja apa yang terdapat didalam Undang-undang No. 22 tahun 1948, sehingga isinya tidak jauh berbeda dengan Undang-undang No. 22 tahun 1948 kecuali terdapat perubahan seperlunya seperti :

1. Susunan penamaan daerah.

2. Sebutan resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya diambil dari bukan anggota DPRD.

3. Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga mempertimbangkan luasnya otonomi, kekuatan keuangan, dan suasana politik.

4. Penolakan pengesahan terhadap putusan DPRD bagian dan anak bagian, keberatan dapat diajukan kepada Pemerintah Agung, sedangkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 diajukan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak.

(9)

Kemiripan dan kesamaan substansi materi antara dua Undang-undang tersebut terjadi pula dalam hal kewenangan DPRD juga kewenangan Kepala Daerah.

4. UU NO. 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH Dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950, pemerintah menganggap perlu untuk mengundangkan sebuah peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yaitu Undang-undang No. 1tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Dearah. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 UUDS 1950 yang berbunyi :

1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang erhak mengurus rumah tangganya sendiri, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. 2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus

rumah tangganya sendiri

3. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.

Pasal 131 UUDS 1950 ini hanya mengatur dasar-dasar desentralisasinya yang tidak bermakna ganda sebagaimana Pasal 18 UUD 1945, yang selain memuat dasar-dasar desentralisasi juga memuat dasar dasar dekonsentrasi, khususnya yang terdapat dalam penjelasannya.

Dalam mewujudkan kedudukan DPRD sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam pemerintahan daerah, DPRD mempunyai beberapa kewenangan. Berpedoman pada beberapa kewenangan dimaksud, terlihat bahwa kewenangan DPRD berdasrkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 lebih luas bila dibandingkan dengan UU terdahulu. Bahkan didalam UU ini tidak ada pengaturan pengawasan pemerintah terhadap keputusan-keputusan daerah tingkat II dan III sebab MDN hanya dapat mengawasi secara langsung sampai pada batas daerah tingkat I. Akibatnya muncul kekhawatiran akan tumbuh suburnya daerahisme yaitu semangat menempatkan kepentingan daerah diatas kepentingan nasional.

(10)

ditetapkan oleh DPRD. Untuk menjalankan kewenangan tersebut DPD dapat juga diserahi beberapa kewenangan dibidang perundang-undangan dalam rangka menjalankan peraturan daerah, misalnya diberikan pula kewenangan di bidang legislatif , meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan. Disamping itu DPD memiliki kewajiban memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD sebagai konsekwensi dari kewenangan yang telah diberikan oleh DPRD dimaksud. Meskipun Undang-undang No.1 tahun 1957 ini dapat dikatakan sebagai UU yang cukup demokratis dengan meletakkan beberapa kewenangan yang cukup kuat terhadap DPRD,disisi lain DPD diberikan fungsi kontrol yang seakan-akan meniadakan prinsip demokrasi tersebut.

5. UU RI NO. 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DAERAH Undang-undang No. 1 tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 mempunyai persamaan mendasar yang bermaksud melaksanakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Akan tetapi keseluruhan urusan yang diselenggarakan oleh daerah otonomi pada dasarnya bersumber dari penyerahan urusan dari Pusat.Jadi inisiatif daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada.Hal ini antara lain disebabkan :

1. Otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia. 2. Kurangnya tenaga terampil dalam penyelenggaraan otonomi 3. Keuangan daerah tetap bergantung kepada pusat.

Menurut Pasal 5 ayat (1),pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintah harian (BPH).Susunan yang demikian memperlihatkan bahwa didalam UU ini terdapat dua jabatan yang membantu kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari yaitu wakil kepala daerah dan BPH.Walupun keduanya menyandang posisi sebagai pembantu kepala daerah, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil yaitu bahwa kata ’dibantu’ pada wakil kepala daerah secara otomatis dapat melakukan kewenangan-kewenangan kepala daerah jika kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangannya juga dapat menggantikan posisi kepala daerah jika kepala daerah meninggal dunia atau diberhentikan (berhalangan tetap) sementara BPH tidak demikian.

(11)

menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi pemerintah pusat. Dengan kata lain bahwa kewenangan DPRD tidaklah begitu penting karena UU tersebut menganggap DPRD bukanlah pemegang kekuasaan yang utama dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Kedudukan kepala daerah adalah sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat pemerintah daerah dan mempunyai kewenangan masing-masing. Dalam melaksanakan kewenangannya, sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Tugas BPH ini memberikan pertimbangan kepada kepala daerah baik diminta atau tidak, dan menjalankan tugas yang diberikan oleh kepala daerah, sehingga institusi BPH ini hanya bersifat penasehat belaka. Oleh karena itu sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah daerah baik dibidang urusan rumah tangga daerah maupun dibidang pembantuan.

6. UU NO. 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DI DAERAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah otonom dan wilayah administratif. Adanya wilayah administratif ditandai dengan adanya/dibentuknya instansi pusat (Kanwil,Kandep) dari level provinsi hingga kabupaten/kota. Susunan teritorial daerah menggunakan sistim daerah bertingkat, sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.

(12)

hanya mengatur tentang pemerintahan otonom dan medebewind juga mengatur tentang pemerintahan dekonsentrasi.

Dalam UU ini, yang dimaksud dengan pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan rekyat daerah. Konstruksi yang demikian tercermin bahwa UU ini sebenarnya lebih mengutamakan kepala daerah dibanding DPRD.

Asumsi yang demikian ada benarnya bila dicermati dari esensi Undang-undang No.5 tahun 1974 yang mendudukkan fungsi-fungsi kepala daerah begitu kuat dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibandingkan DPRD, baik dalam hal proses pencalonan dan pengangkatannya, pertanggungjawaban dan kewenangan-kewenangannya maupun dalam hal fungsinya sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah Administratif sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 81 yakni sebagai penguasa tunggal.

Dalam tataran teoretik yuridik memang disebutkan bahwa antara kedua lembaga tersebut memiliki pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif, tetapi dalam praktiknya ternyata Kepala Daerah lebih mendominasi dan seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada DPRD.

7. UU NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Undang-undang No. 22 TAHUN 1999 merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demoktratisasi di daerah. Oleh sebab itu didalam UU ini terdapat beberapa perbaikan dan perubahan antara lain menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di daerah.

(13)

federal yaitu hal-hal yang bukan kewenangan konstitusional negara federal dengan sendirinya menjadi kewenangan negara bagian.

Dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 menghapus hierarki antara pemerintah kabupaten / kota dengan provinsi. Pemerintah kabupaten / kota bukanlah daerah bawahan dari provinsi. Penghapusan hierarki ini sekaligus mengikis birokratisasi pelaksanaan pemerintahan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Hubungan antara dengan kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki hubungan hirarki (tidak bertingkat).

Undang-undang No. 22 tahun 1999 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah provinsi.

(14)

demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka negara kesatuan yang sejahtera, adil dan teratur.

8. UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH

Tiga alasan utama mengenai perubahan / revisi secara mendasar terhadap Undang-undang No. 22 tahun 1999 yaitu :

1. Alasan hukum berupa amandemen kedua, khusus terhadap Pasal 18 UU RI tahun 1945.

2. Alasan administratif berupa keadaan ”terlampau luasnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap kabupaten / kota.

3. Alasan empiris berupa keadaan / kejadian timblnya masalah aktual yang dapat mengganggu kegiatan berbangsa serta berpemerintahan dengan berbagai problematika Otonomi Daerah.

(15)

menyampaikan laporan petanggungjawaban kepada Pemerintah (pusat) dan menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKP) kepada DPRD.

Demikian pula Undang-undang No.32 tahun 2004 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah provinsi. Undang-undang No.32 tahun 2004 tidak lagi mengenal paham pembagian wewenang tetapi penyerahan/pelimpahan tugas dalam bentuk urusan wajib dan urusan pilihan. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah daerah dan kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri.12

12

Dewa, ” Deskripsi tentang sejarah pengaturan penyelenggaraan Pemerintah daerah di indonesia” diakses dari

(16)

Daftar Pustaka

Dewa, 2011,

Deskripsi tentang sejarah pengaturan penyelenggaraan

Pemerintah

daerah

di indonesia,

[Online],

(

https://dewaarka.wordpress.com/2011/10/02/deskripsi-tentang-

sejarah-pengaturan-penyelenggaraan-pemerintah-daerah-di-indonesia/

, diakses pada tanggal 12 November 2017)

Huda, Ni’matul. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan obat merupakan suatu siklus manajemen obat yang meliputi empat tahap yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan, Pengelolaan

Setiap guru harus memenuhi persyaratn sebagai man usia yang bertanggungjawab dalam bidang pendidikan. Guru sebagai pendidik bertanggungjawab untuk mewariskan nilai-nilai

Dari gambar denah dan hasil pengukuran tingkat pencahayaan diatas, diketahui bahwasanya ruang tamu (114 lux) dan dapur (102 lux) merupakan ruang dengan tingkat

- Khusus training wilayah Gresik, panitia bisa membantu menyediakan akomodasi (penginapan)-Informasi lengkap hubungi panitia. - Beberapa program REGULER PROMO&NON PROMO,

Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antar sesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrhnya merupakan makhluk sosial

Dari analisis variansi diketahui bahwa H 0A ditolak, berarti ada pengaruh sistem penyelenggaraan pendidikan terhadap prestasi belajar matematika, karena sistem

Letak posisi gelembung udara pada tiap tingkatan penambahan kecepatan aliran air pada pipa spiral, dapat dilihat pada gambar berikut:.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis kalimat imperatif, mendeskripsikan penanda kesantunan kalimat imperatif, dan mendeskripsikan prinsip kesantunan