• Tidak ada hasil yang ditemukan

Full Paper P00199

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Full Paper P00199"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

KAJI AN KEBI JAKAN DAERAH

TENTANG PEN YELENGGARAN PERM UKI M AN DI KOTA

SALATI GA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP

PERUM USAN KEBI JAKAN STRATEGI S PERM UKI M AN

Oleh:

Drs. DARU PURNOM O,M .Si.

Dr. Ir LASM ONO TRI SUNARYANTO,M .Sc.

Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M .M .

KUSTADI,S.H.

Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIM ANJUNTAK,M .Si.

SETO HERW ANDITO,S.Pd, M .I.Kom

PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERM UKIM AN (PK2P)

FISKOM -UKSW

(2)

KATA PENGANTAR

Ketersediaan perumahan yang cukup, layak huni, tertata dan memenuhi standar

kebutuhan yang telah dipersyaratkan, merupakan permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh

setiap Pemerintahan Daerah. Selain mendukung upaya penyediaan jumlah rumah dan

lingkungan permukiman yang cukup, Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk mengatur

dan mengarahkan perkembangan pertumbuhan perumahan dan permukiman di masyarakat,

sehingga dapat terarah dan tertata di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan perutukannya

seperti yang telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW).

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi

menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang teratur dan indah. Kami, dari Pusat

kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial

dan Komunikasi, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk

mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan

dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan perumahan dan permukiman di Kota

Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan

permukiman mendatang. Laporan Pendahuluan ini kami susun sebagai wujud kesiapan kami

untuk mengerjakan kegiatan kajian ini.

Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.

Salatiga, Awal Desember 2014

(3)
(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Ketersediaan perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap

Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (I) yang menyatakan bahwa:

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Selanjutnya Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal

40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta

berkehidupan yang layak

Sejalan dengan hal itu, perumahan dan permukiman merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan ketersediaannya wajib dipenuhi.

Sebagai satu kebutuhan dasar manusia, ketersediaan perumahan dan permukiman yang

memenuhi syarat juga mempunyai peran sangat strategis sebagai pusat pendidikan

keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, serta

merupakan pengejawantahan jati diri. Oleh karena itu, setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang

baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran

yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah

satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan

produktif.

Semakin meningkatnya laju perkembangan jumlah penduduk dan fenomena

urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar juga mengakibatkan semakin meningkatnya

kebutuhan akan ruang kota, seperti fasilitas perumahan dan permukiman.

Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan pada hakekatnya

dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan pedesaan yang layak huni

(livible), aman, nyaman, damai dan sejahtera serta berkelanjutan. Pemerintah wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang

(5)

berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan

dankawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakatsehingga

merupakan satu kesatuan fungsional dalamwujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi,

dan sosialbudaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan

semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan perumahan dan permukiman

sesungguhnya tidak terlepas dari dinamikayang terjadi dalam kehidupan masyarakat

maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.

Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah

sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi

dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah

yang layak huni. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah

bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan

maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.Selain itu

juga dipahami bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri

atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas

umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau

kawasan perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah

bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.

Secara menyeluruh, ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman yang

dikandung dalam undang-undang tersebut adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas

pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,

pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan

kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan,

serta peran masyarakat. Pengembangan permukiman ini meliputi berbagai hal, seperti

pengembangan prasarana dan sarana dasar, pengembangan permukiman yang

terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, proses penyelenggaraan

lahan, pengembangan ekonomi kota, serta penciptaan sosial budaya di perkotaan.

Sejalan dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan

Permenpera 7 Tahun 2013, batasan perumahan sampai kawasan permukiman adalah

(6)

Gambar 1.

Pengertian dan Batasan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Menurut Besset dan Short (1980) lingkungan permukiman merupakan suatu

sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu:

ƒ Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi, hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.

ƒ Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.

ƒ Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.

ƒ Shells(tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.

ƒ Network(jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih,

listrik, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri

dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang

merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata

nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai

bagian dari lingkungan permukiman tersebut. Agar supaya isi (manusianya) yang

tinggal dalam wadah (perumahan dan permukimannya) dapat mewujudkan jatidirinya

(7)

permukiman, perlu adanya kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi

sebagai lokasi permukiman yang sehat. Kriteria tersebut antara lain:

1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi

dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.

2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal

dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air

beracun, dsb).

3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan

individu dan masyarakat penghuni.

4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga

dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.

5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan

diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gambaran umum penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman di Kota Salatiga

sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan semakin

meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan, diluar kemampuan pemerintah,

sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat

timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar

daerah perdagangan dan pusat kota.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah

maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan

untuk pemukiman juga semakin meningkat, sedangkan jumlah lahan jika dilihat secara

administratif jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya

lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah

pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area) yang dibangun di daerah tepi sungai. Selain itu meningkatnya permintaan terhadap lahan

permukiman ini selanjutnya juga akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan

pertanian yang semakin meningkat. Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada

timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat

tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan

penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah

(8)

Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi

adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk

permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan

hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak

terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi permukiman.

Kondisi keberadaan perumahan dan pemukiman di Kota Salatiga, sejalan

dengan pesat perkembangan jumlah penduduk, mengakibatkan semakin meningkatnya

kebutuhan masyarakat akan perumahan diluar kemampuan pemerintah. Sementara

tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya

perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah

perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan

oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan,

permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat. Di sisi lain jumlah

lahan, jika dilihat secara administratif, jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk

yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki

rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman

kumuh (slum area). Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.

Kecenderungan makin tingginya angka backlog yang terjadi akibat adanya kesenjangan selisih antara permintaan dan penawaran rumah kepada masyarakat

berpenghasilan rendah (MBR) sangatlah memprihatinkan. Hal ini terjadi karena

sejumlah kriteria hambatan sebagai berikut:

1. Hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan,

selain karena harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan

yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR.

2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa

ditunjuk pada belum leluasanya pengurusan sertifikasi hak milik rumah MBR

dan juga ketidakkonsistenan UU Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan terkait.

3. Hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan

cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersial yang dapat

mengeliminasi hak MBR.

4. Hambatan politik berupa masih kurangnya komitmen Pemda dalam

(9)

5. Hambatan distributif, dimana akses MBR terhadap pasar perumahan masih

sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka tetap

rendah bahkan tidak berdaya sama sekali.

6. Hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan

melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha

membuka akses MBR untuk memiliki rumah.

7. Hambatan SDM, dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat belum

menjiwai roh dari perumahan untuk rakyat, khususnya perumahan untuk

masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sejalan dengan kondisi dan harapan tersebut kegiatan kajian ini dilaksanakan.

Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota

Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman

ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:

1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;

Sehubungan dengan hal tersebut, maka DPRD Kota Salatiga membutuhkan adanya

dukungan dari tenaga Ahli/Pakar yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap

kegiatan penyusunan Raperda-raperda tersebut di atas yang berasal dari Akademisi,

dengan asumsi mempunyai kajian yang lebih empiris, teoritis, yuridis, filosofis dan

sosiologis, agar nantinya dapat diperoleh suatu produk hukum yang baik.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

1) Maksud :

Pelaksanaan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

(10)

Strategis Permukiman, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil kajian mengenai kondisi

permukiman dan perumahan di Kota Salatiga dengan segala permasalahannya, dan

perumusan kebijakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan permukiman tersebut.

2) Tujuan :

1. Melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai

penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya;

2. Menyusun bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek

sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di

Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah

yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.

3. Menyusun rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.

1.3. SASARAN DAN RUANG LINGKUP

Secara umum, sasaran kegiatan adalah tersusunnya Kajian Kebijakan Daerah

tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman sesuai kondisi dan kebutuhan Daerah

secara objektif di lapangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan secara lebih

khusus, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:

1. Tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai

penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya;

2. Tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek

sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di

Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah

yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.

3. Tersusunnya rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang

(11)

Sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup Kegiatan Kajian

Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam

Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman meliputi :

1. Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD);

2. Penyusunan Laporan Pendahuluan;

3. Penyusunan dan Penyampaian Laporan Akhir dan Produk Akhir Kegiatan.

1.4. DASAR HUKUM

Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota

Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman

ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:

1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

1.5. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

1.5.1. Tahapan Penelitian

Dalam melaksanakan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang

Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman, tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan

adalah sebagai berikut:

a) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Pengumpulan data promer dan sekunder dilaksanakan untuk memperoleh

berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kondisi, keberadaan dan

pelaksanaan kegiatan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Data primer

(12)

penduduk Kota Salatiga, keberadaan dan kondisi lahan yang ada, keberadaan dan

kondisi perumahan dan permukiman yang selama ini sudah berkembang dan/atau

dikembangkan, serta keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang perumahan dan

permikiman yang ada di Kota Salatiga.

b) Focus Group Discussion (FGD)

FGD dilaksanakan guna mengumpulkan informasi langsung dari para pihak

(stakeholders) yang berkaitan dengan masalah perumahan dan permukiman di Kota

Salatiga. Bagaimanakah pendapat, permasalahan dan harapan para pihak tersebut

tentang keberadaan dan permasalhan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga

yang mereka geluti selama ini.

c) Pengolahan dan Analisis Data

Kegiatan pengolahan dan analisis data akan dilaksanakan dengan menggunakan

statistik deskriptif, yakni hanya mendeskripsikan fenomena yang ada, serta

melakukan proyeksi atas kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang. Analisis

data juga akan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi

Geografis (SIG) sehingga pembacaan hasilnya akan lebih mudah dilakukan.

Seluruh tahapan kegiatan kajian tersebut akan dilaksanakan dengan

menggunakan metodologi sebagai berikut :

a) Metode survey data

Survey Data terutama akan dilaksanakan untuk mengumpulkan Data Primer

yang antara lain berkaitan dengan:

a. Identifikasi permasalahan mengenai permukiman di kota Salatiga;

b. Identifikasi kebijakan yang telah ada;

c. Wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner kepada pihak-pihak

yang terkait (stakeholder) didalamnya.

d. Survey Data Sekunder

e. Kajian kepustakaan;

f. Data dari dinas terkait dan instansi terkait;

g. Legal base line/inventarisasi perundang-undangan terkait.

b) Teknik Pengumpulan Data

Teknis pengumpulan data dalam Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang

Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

(13)

a. Studi dokumentasi; meliputi identifikasi, inventarisasi dan pengkajian

terhadap peraturan perundang-undangan Kota Salatiga, Propinsi Jawa

Tengah dan nasional serta berbagai teori, hasil penelitian, jurnal yang

berkenaan dengan materi Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan

Kebijakan Strategis Permukiman.

b. Focus Group Discussion; merupakan kegiatan yang dilakukan dengan

anggota DPRD, Pimpinan SKPD para pemangku kepentingan, PA, PPTK

dan Tim Koordinasi untuk mengidentifikasi problematika dan harapan

berkenaan dengan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan

Kebijakan Strategis Permukiman penyusunan.

c. Wawancara; dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang dianggap

memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang topik Naskah

Akademik dan Raperda, baik di lingkungan DPRD, SKPD dan lembaga non

pemerintah (perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll).

c) Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion)

Diskusi terfokus akan dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, bahan diskusi

diserahkan kepada Pengguna Jasa dalam waktu 3 (tiga) hari kalender sebelum

pelaksanaan diskusi, sehingga PA, PPTK dan Tim Koordinasi dapat mempelajari

terlebih dahulu. Laporan yang disampaikan untuk diskusi disajikan dalam 2 (dua)

tahap diskusi yaitu:

a. Diskusi 1

Diskusi ini dilakukan untuk membahas Laporan Pendahuluan dihadiri

PPTK, dan Pihak penyedia jasa (konsultan), diharapkan dalam diskusi ini

didapatkan kesepakatan-kesepakatan mengenai latar belakang, kebijakan

daerah, kerangka pikir sistematika, jenis data dan cara mendapatkan data,

metodologi dan analisa kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, jadwal

kegiatan.

b. Diskusi 2

Diskusi ini membahas Draft Laporan Akhir dihadiri PA/KPA, PPTK dan

Penyedia Jasa (konsultan) untuk mendapatkan saran masukan untuk

penyempurnaan materi dalam rangka penyusunan Laporan Akhir dan

(14)
(15)

1.5.2. Tahap Analisis Data

1. Analisis Pola dan Sebaran Permukiman

Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman

beberapa tahun terakhir dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta

administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta

persebaran permukiman berdasarkanlereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan

menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman

dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan

aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan

persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.

2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman

Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk beberapa

periode (antar 2 titik waktu), yaitu antar peta penggunaan lahan tahun pertama dengan

kedua,kemudian antara tahun kedua dengan ketiga, dan antara tahun ketiga dengan

keempat.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan

petaperkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahunpertama

sampai tahun keempat. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadappeta zonasi jalan,

peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untukmengetahui pola perkembangan

permukiman multi tahun tersebut berdasarkanelevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas.

Gambar 3.

(16)

1.5.3. Teknik Analisis Data

Beberapa teknik/metode analisis yang digunakan dalam penyusunan kegiatan kajian

permukiman di Kota Salatiga ini antara lain:

1. Analisis Kependudukan

Analisis kependudukan merupakan analisis untuk mengetahui perkembangan penduduk

dan komposisi penduduk sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebutuhan

sarana dan prasarana, dan kebutuhan ruang, termasuk dalam perencanaan program

perumahan dan permukiman.

Tujuan: mengetahui kondisi penduduk dilihat dari kuantitas dan kualitasnya sehingga

dapat diketahui potensi sumber daya manusianya dalam mendukung pembangunan

perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.

Metode :

h Proyeksi dan Pertumbuhan Penduduk

Proyeksi penduduk adalah perhitungan (kalkulasi) yang menunjukkan keadaan fertilitas,

mortalitas, dan migrasi di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk akan dihitung

dengan menggunakan model perhitungan, diantaranya dengan menggunakan Model

Pertumbuhan Geometris.

Model Pertumbuhan Geometris

Model Pertumbuhan Geometris adalah perhitungan pertumbuhan penduduk menggunakan

dasar bunga (bunga majemuk). Rumus yang digunakan adalah:

Dimana: Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n (jiwa)

Po = jumlah penduduk awal (jiwa)

r = tingkat pertumbuhan penduduk ( % )

n = jumlah tahun pada periode tertentu / selisih tahun

h Tingkat Kepadatan Penduduk

Tingkat kepadatan penduduk menunjukkan kualitas lingkungan permukiman, semakin

padat penduduk pada suatu wilayah mengakibatkan semakin besar tekanan terhadap

sumber daya dan daya dukung fisik lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yang pada

gilirannya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan prasarana sarana.

(17)

2. Analisis karakteristik perumahan dan permukiman

Analisis karakteristik perumahan dan permukiman merupakan analisis dengan

mengidentifikasi karakteristik perumahan dan permukiman, yang dilihat baik dari

karakteristik bangunan, status kepemilikan, arsitektur dan pola permukiman. Selain itu

juga untuk mengidentifikasi kawasan permukiman berdasarkan tingkat kepadatan,

kekumuhan, pola pembangunan, dan sebagainya.

Tujuan : mengetahui kondisi perumahan dan permukiman sehingga dapat diketahui tingkat

kualitas perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.

Metode :

h Tingkat Kualitas Struktur Bangunan

Kualitas struktur bangunan terkait dengan kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan

bangunan, khususnya rumah tinggal. Tingkat kualitas struktur bangunan dinilai

berdasarkan persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak memenuhi persyaratan

pondasi, dinding, atap, serta lantai suatu bangunan rumah tinggal yang sehat.

h Tingkat Kepadatan Bangunan

Tingkat kepadatan bangunan adalah jumlah unit rumah per satuan luas (ha) dalam suatu

lingkungan permukiman. Semakin tinggi tingkat kepadatan bangunan maka lingkungan

permukiman akan semakin kumuh akibat keterbatasan lahan yang tersedia. Jumlah Penduduk

X 100 % Luas Wilayah

Jumlah Bangunan Rumah dg Struktur Tidak Layak X 100 % Jumlah Keseluruhan Bangunan Rumah

Jumlah Bangunan Rumah

(18)

h Kebutuhan Rumah Total:

Ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan rumah diantaranya

yaitu: aspek kekurangan jumlah rumah, aspek pertumbuhan jumlah penduduk, aspek

rumah tidak layak huni, dan aspek permukiman kumuh.

Penghitungan Kekurangan Jumlah Rumah Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan

Merupakan suatu perhitungan kekurangan jumlah rumah atau backlog yang dilihat dari

status kepemilikan bangunan. Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah

rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara

spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan

bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah,

sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas,

bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah

tangga yang belum memiliki rumah.

Backlog =

h Tingkat Kesehatan dan Kenyamanan Bangunan

Tingkat kesehatan dan kenyamanan bangunan tempat tinggal akan terkait dengan 3 aspek,

yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan dalam

suatu lingkungan permukiman.

h Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan

Tingkat penggunaan luas lantai bangunan adalah luas ruang yang dipergunakan untuk

melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya setiap orang. Mengacu pada pedoman

rumah sehat, bahwa rumah kumuh mempunyai luas lantai kurang dari 9 meter persegi tiap

orang. Oleh karena itu, semakin kecil penggunaan luas bangunannya maka

mengindikasikan lingkungan permukiman tersebut semakin kumuh. Teknik penilaiannya

adalah membandingkan luas bangunan rumah dengan jumlah penghuni rumah. Jumlah Bangunan Rumah Tidak Sehat dan Aman

X 100 % Jumlah Keseluruhan Rumah

Jumlah Bangunan Rumah

(19)

3. Analisis penyediaan dan kebutuhan perumahan

Analisis penyediaan perumahan merupakan analisis yang dilakukan dengan

mengidentifikasi kemampuan penyediaan rumah melalui jenis-jenis pola penyediaan,

seperti real estate, masyarakat secara swadaya, instansi sektoral, perumnas dan sebagainya.

Dengan demikian akan diketahui proporsi atau kontribusi peran masing-masing

stakeholder dan perkembangan (trend) kemampuannya.

Tujuan : mengevaluasi penyediaan (ketersediaan) rumah bagi masyarakat hingga saat ini,

selain itu dengan mengetahui peran stakeholder penyedia terkait melalui preferensinya akan dapat diprediksi alokasi lahan bagi pembangunan perumahan 5 hingga 10 tahun

mendatang.

Metode :

Kualitatif deskriptif, dimana melalui masukan yang diperoleh dari stakeholder terkait

seperti REI, perumnas, instansi, dan sebagainya akan dapat diketahui prosentase

penyediaan oleh masing-masing pihak dalam mencari lokasi pengembangan perumahan

Analisis kebutuhan rumah (sebagai tempat tinggal) didasarkan pada asumsi-asumsi dasar

antara lain: jumlah penghuni (tingkat hunian) rata tiap satu unit rumah, jumlah

rata-rata KK per unit dan sebagainya.

Tujuan : mengetahui tingkat hunian rumah dan kekurangan rumah (backlog) di Kota

Salatiga.

Metode :

h Tingkat Hunian :

Semakin tinggi angka perbandingan KK dengan bangunan rumah ini menunjukkan

semakin banyak jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya berpengaruh pada

kebutuhan sarana pelayanan yang semakin besar.

4. Penghitungan kebutuhan rumah berdasarkan pertumbuhan penduduk

Merupakan suatu perhitungan kebutuhan rumah yang didasari oleh adanya faktor

pertumbuhan jumlah penduduk. Perhitungan ini untuk mengetahui tambahan rumah rata-Banyaknya KK dalam Suatu Wilayah

(20)

rata per tahun yang nantinya dapat dipakai untuk memprediksikan jumlah rumah pada

tahun mendatang.

Proses :

a) Menghitung jumlah kepala keluarga (KK) selama kurun waktu 5 tahun terakhir

sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan rumah.

koefisien dasar tingkat hunian ideal atau penurunan yang diinginkan (misal dari 4,5

jiwa/ unit menjadi 4 jiwa/unit). Dalam perhitungan kebutuhan rumah ini, koefisien

hunian ditetapkan sebesar 4 jiwa/unit. (Bambang Panudju, 1999).

Jumlah KK pada tahun xn:

b) Dengan asumsi 1 rumah = 1 KK, maka jumlah KK sama dengan jumlah kebutuhan

rumah pada tahun tersebut.

c) Lakukan perhitungan yang sama untuk tahun-tahun yang lain, kemudian hitung

rata-ratanya.

Kebutuhan rumah rata-rata pertahun :

5. Perhitungan Kebutuhan Rumah Total

Kebutuhan Rumah Total = Jumlah backlog + Jumlah kebutuhan rumah akibat faktor

pertumbuhan jumlah penduduk + Jumlah permukiman tidak layak huni + jumlah

permukiman kumuh.

h Segmentasi Kebutuhan Rumah

Untuk menetapkan segmentasi kebutuhan rumah digunakan standar tingkat kesejahteraan.

Menurut BPS, pengelompokkan tingkat kesejahteraan penduduk dibedakan menjadi 2

kelompok yaitu kelompok keluarga prasejahtera, kelompok keluarga sejahtera I. Dari

kedua kelompok keluarga diatas maka selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok

keluarga yaitu kelompok keluarga miskin dan rawan miskin, keluarga berpenghasilan Jumlah penduduk

4

X1 + x2 + x3 + x4 + x5

(21)

rendah, dan keluarga berpenghasilan menengah-atas. Dalam identifikasi kebutuhan rumah

ini variabel-variabel yang mendasari pengelompokkan tersebut antara lain:

a) Kelompok keluarga miskin dan rawan miskin

h Kondisi rumahnya tidak layak huni, dengan lantai dari tanah

h Mempunyai penghasilan dibawah rata-rata/UMR

b) Kelompok keluarga berpenghasilan rendah

h Kondisi rumah layak huni, dengan lantai bukan dari tanah

h Mempunyai penghasilan yang diasumsikan dapat digunakan untuk mengangsur

kredit rumah

h Mempunyai rumah dengan tipe bangunan rumah antara 21 – 36

h Mempunyai penghasilan maksimum diperkirakan antara

Rp.900.000,00-Rp.1.500.000,00.

h Proses Perhitungan

a) Mengitung persentase jumlah keluarga tiap-tiap kelompok keluarga dengan cara

membagi jumlah keluarga tiap kelompok dengan jumlah total keluarga dikalikan

100%. Dengan catatan:

h Keluarga Prasejahtera masuk dalam kategori Keluarga Miskin dan Rawan Miskin

h Keluarga Sejahtera I dan II masuk dalam kategori Keluarga Berpenghasilan

Rendah

b) Menghitung segmentasi kebutuhan rumah berdasarkan tingkat penangananya yaitu

yang memerlukan pembangunan baru dan yang perlu peningkatan, tetapi sebelumnya

terlebih dahulu menghitung jumlah persentasenya terhadap jumlah kebutuhan rumah

total. Perlu menjadi catatan jumlah kekurangan jumlah rumah/backlog dan kebutuhan

rumah akibat pertumbuhan jumlah penduduk dianggap sebagai yang memerlukan

pembangunan rumah baru. Sedangkan rumah yang tidak layak huni dan jumlah

permukiman kumuh dianggap sebagai jumlah rumah yang memerlukan peningkatan

kualitas.

c) Menghitung kebutuhan rumah dengan mengalikan persentase tiap kelompok kelurga

dengan jumlah total kebutuhan rumah dari hasil perhitungan sebelumnya.

h Rumus

a) Menghitung persentase tiap kelompok keluarga

- Persentase kelompok keluarga miskin dan rawan miskin = (Jumlah keluarga

(22)

- Persentase kelompok keluarga berpenghasilan rendah = (Jumlah keluarga sejahtera

I dan sejahtera II/Jumlah keluarga) x 100%

b) Menghitung persentase berdasarkan penanganan

- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru = (Jumlah

backlog dan jumlah kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk / jumlah

kebutuhan rumah total) x 100%

- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas = (Jumlah

rumah tidak layak huni dan jumlah rumah yang berada di lingkungan permukiman

kumuh / jumlah kebutuhan rumah total) x 100%

c) Menghitung kebutuhan rumah tiap kelompok keluarga

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga miskin dan rawan miskin

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

peningkatan kualitas

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan rendah

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

peningkatan kualitas

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan

menengah-atas

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang

memerlukan pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang

(23)

6. Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman

Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman merupakan analisis overlay dari berbagai

kriteria pengembangan permukiman, baik fisik, ekonomi, sosial dan kebijakan. Dari

berbagai kriteria yang dikembangkan, dalam analisis ini pertimbangan aspek fisik seperti

kemiringan lahan, struktur tanah (geologi), sistem drainase alami, ketersediaan air tanah

dan sebagainya, akan menjadi pertimbangan utama.

Tujuan : mengetahui dimana alokasi kawasan fungsi lindung, kawasan aman untuk

permukiman (direkomendasikan) dan kawasan yang kurang diprioritaskan (ada

kendala-kendala yang harus diatasi terlebih dahulu), serta kawasan larangan pengembangan

permukiman karena pertimbangan keamanan dan lain sebagainya.

Metode : kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait yang

mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan yang dikeluarkan oleh

Dirjen Perumahan dan Permukiman Tahun 2002, yakni:

- Status Legalitas Tanah

Status legalitas tanah adalah perbandingan jumlah rumah yang dibangun di atas

tanah/lahan yang diperuntukkan bukan sebagai perumahan dibandingkan dengan yang

dibangun pada tanah yang diperuntukkan bagi perumahan, sesuai dengan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR).

- Status Penguasaan Bangunan

Status penguasaan bangunan adalah status pemilikan dan penggunaan bangunan. Status

penguasaan bangunan dapat berupa hak milik, hak guna, dan hak pakai.

- Frekuensi Bencana Banjir

Frekuensi bencana banjir adalah banyaknya kejadian banjir pada suatu lingkungan

permukiman. Biasanya disebabkan tidak tersedianya atau kurang terpeliharanya

prasarana drainase ataupun tempat pembuangan akhir. Semakin sering terjadi bencana

banjir pada suatu lingkungan permukiman, tingkat kerawanan bencana terhadap

penyakit di lingkungan tersebut semakin tinggi.

- Frekuensi Bencana Tanah Longsor

Frekuensi bencana tanah longsor adalah banyaknya kejadian tanah longsor pada suatu

lingkungan permukiman, akibat penempatan bangunan pada daerah patahan dan

longsoran. Semakin sering terjadi bencana tanah longsor pada suatu lingkungan

permukiman dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kerawanan bagi kelangsungan

(24)

7. Analisis kecenderungan arah perkembangan permukiman

Analisis kecenderungan perkembangan permukiman merupakan analisis spasial yang

mengintegrasikan pertambahan rumah dengan penggunaan lahan.

Tujuan : mengetahui lokasi-lokasi yang berkembang lebih cepat dalam hal pembangunan

perumahan dan permukiman

Metode: kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi

arah (kecenderungan) perkembangan permukiman antara lain:

a. Ketersediaan jaringan jalan dan pola sirkulasi (lalu lintas) regional. Semakin tinggi

aksesibilitas (ketersediaan jalan, besarnya arus lalu lintas dan berada diantara 2 simpul

kegiatan) akan semakin mudah suatu kawasan perumahan baru untuk berkembang.

b. Kemudahan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang permukiman seperti

air bersih, drainase (bebas genangan), serta pengelolaan sampah. Ketersediaan jalan

akan memacu kemudahan penyediaan listrik dan telepon. Sehingga kawasan yang

telah terakses jaringan PSD akan lebih cepat berkembang menjadi permukiman baru.

c. Status lahan yang akan memudahkan pengalihfungsian lahan, yang umumnya dari non

permukiman menjadi permukiman.

d. Arahan tata ruang wilayah dan kota yang akan mendorong secara administratif

(perijinan) dan legalisasi kegiatan pengembangan permukiman. Pengembangan

kegiatan industri, perdagangan dan jasa dan kegiatan pelayanan sosial akan memicu

tumbuhnya permukiman di sekitarnya.

8. Analisis permasalahan perumahan dan permukiman

Analisis prioritas permasalahan perumahan permukiman merupakan analisis yang

digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan dari berbagai permasalahan perumahan

dan permukiman yang muncul sebagai akibat perkembangan penduduk dan perkembangan

wilayah.

Tujuan : mengidentifikasi potensi, permasalahan, peluang dan ancaman yang ada dalam

bidang perumahan dan permukiman di Kota Salatiga

Metode : Untuk mengidentifikasi permasalahan perumahan dan permukiman digunakan

analisis deskripsi kualitatif berdasarkan data-data yang telah dihimpun hasil survei primer

dan sekunder.

Dalam analisis ini pertimbangannya meliputi beberapa aspek, diantaranya: aspek

kependudukan, tata ruang dan pengembangan wilayah, pertanahan, prasarana,

(25)

Permasalahan perumahan dan permukiman (yang merupakan hasil kesimpulan sementara

tentang kondisi yang telah dan sedang berkembang) yang perlu segera ditangani adalah:

1) Permasalahan yang mendesak dan apabila tidak diatasi menimbulkan dampak yang

sangat meluas, adalah:

a. Pemberian perijinan lokasi permukiman baru yang tidak sesuai dengan tata ruang

b. Pemberian perijijnan yang melebihi daya dukung lingkungan atau melebihi

kebutuhan yang berkembang

c. Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh yang sangat cepat

2) Permasalahan yang perlu diantisipasi melalui berbagai kebijakan dan pengaturan, untuk

mencegah dampak negatif apabila tidak diatasi seperti:

a. Review terhadap peruntukan perumahan dan permukiman terutama pada kawasan

yang berkembang tidak terkendali menjadi kawasan permukiman.

b. Penetapan fungsi dan peruntukan kawasan non perumahan yang berkembang

menjadi kawasan perumahan atau sebaliknya.

c. Penetapan negative list terhadap kawasan yang terlarang untuk diubah menjadi

kawasan permukiman dll.

d. Penetapan daya dukung lahan yang mengalami degradasi fisik dan lingkungan.

3) Daftar masalah lain yang perlu ditangani namun dapat diselenggarakan secara bertahap.

Terhadap masalah seperti ini, perlu dipilah menjadi:

a. Masalah yang dapat diselesaikan melalui/menjadi urusan sektor

b. Masalah yang perlu diselesaikan sebagai urusan umum

c. Urusan yang perlu dipecahkan secara terkoordinasi melalui forum lokal/kota.

9. Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Perumahan 1) Analisis Kebutuhan Sarana Perumahan

Salah satu bentuk analisis yang akan dilakukan adalah mengkaji kebutuhan sarana dan

prasarana perumahan. Data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan, disesuaikan

dengan standar rencana kebutuhan fasilitas yang kemudian disesuaikan dengan arah

pengembangan perkiraan di Kota Salatiga. Analisis yang dilakukan dengan metoda

diskriptif kualitatif dan kuantitatif.

2) Analisis Kebutuhan Prasarana Perumahan

Di dalam pelaksanaan pekerjaan ini dibutuhkan beberapa metodologi untuk menganalisis,

termasuk menghitung dan merencanakan sistem jaringan dari komponen-komponen

PSD-PU. Metodologi tersebut akan dikaitkan dengan berbagai prosedur dan standar yang

(26)

lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Permukiman dan

Pengembangan Wilayah.

3) Analisis Pemilihan Lokasi

Konsep pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan asas kesesuaian dan keberlanjutan

(sustainability) dan kesempatan (opportunities). Untuk lebih jelasnya, pemilihan lokasi

permasalahan perumahan dan permukiman disini harus mengacu pada :

- Kebutuhan dari masyarakat

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada suatu lokasi harus dapat diidentifikasi, agar

lokasi yang dipilih tidak salah sasaran.

- Kecenderungan perkembangan

Yang perlu diperhatian adalah adanya kecenderungan bahwa masalah yang ada pada

suatu wilayah, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang meluas.

Disini unsur prediksi diperlukan, sehingga masalah yang perlu diatasi telah

diprioritasnya berdasarkan kemendasakannya.

- Pertimbangan lingkungan

Setelah kebutuhan masyarakat diketahui dan prioritas masalah diperoleh, yang terakhir

harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan. Dalam arti disini bukan hanya

lingkungan secara fisik namun juga lingkungan organisasi.

Lingkungan fisik perlu diperhatikan, karena lokasi terpilih nantinya merupakan

tempat/wadah pengelolaan dan penanganan masalah yang dihadapi. Sehingga unsur

sumber daya sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tujuan tersebut. Sedangkan

lingkungan organisasi termasuk didalmnya adalah: kesesuaian rencana penanganan dengan

peruntukan lokasinya, keterlibatan aktor yang berperan secara aktif serta bagaimana

kondisi pendukung lainnya.

4) Analisis Pembiayaan Pembangunan Perumahan

Analisis pembiayaan pembangunan perumahan merupakan suatu analisis yang bertujuan

untuk mengenali dan menggali sumber-sumber pendanaan potensial yang dapat dijadikan

sumber pembiayaan perumahan. Tentunya analisis pembiayaan perumahan ini harus

disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Salatiga. Ada tiga

aspek penting pembiayaan permukiman yaitu sumber dana, aksebilitas dan sasaran (target group). Perumusan kebijaksanaan pembiayaan permukiman diarahkan guna mengatasi permasalahan tidak terjangkaunya harga rumah oleh golongan masyarakat berpenghasilan

rendah dan ditujukan guna menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat

(27)

perumahan. Analisis ini nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban atas

permasalahan pembiayaan permukiman di Kota Salatiga baik bagi masyarakat yang di kota

maupun di daerah yang masih bercirikan perdesaan. Hal lainnya yang harus dijawab

adalah memasukkan pembiayaan permukiman sektor non-formal ke dalam sistem

pembiayaan formal yang didukung pendapatan, hubungan atau kemitraan yang harmonis

antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

5) Analisis Kelembagaan Pembangunan Perumahan

Analisis kelembagaan pembangunan perumahan merupakan analisis yang tujuannya untuk

mengembangkan fungsi dan kapasitas lembaga yang ada dalam mendukung pembangunan

perumahan. Pengembangan sistem kelembagaan harus bersifat komprehensif dan sinergis

yaitu mencakup semua aktor, dan sektor yang terkait dengan bidang perumahan. Dengan

melakukan analisis kelembagaan ini diharapkan akan tersusun tatalaksana penyelenggara

pembangunan perumahan yang baik, sehingga nantinya peran dan kapasitas masyarakat

akan semakin meningkat dalam menjawab tantangan dan isu serta permasalahan dalam

penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang mengedepankan strategi

pemberdayaan masyarakat.

1.6. JADWAL PELAKSANAAN

Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah

tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dalam Jangka Waktu 30 (tiga puluh) hari

kalender (atau sekitar 5 minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai

Kerja (SPMK). Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan

dilaksanakan adalah sebagai berikut:

No Kegiatan Mgg-1 Mgg-2 Mgg-3 Mgg-4 Mgg-5

1 Persiapan (SPMK,

penyu-sunan kues dsb)

2 Pengumpulan data

3 FGD tahap 1 25-27

Nov

4 Pengolahan dan Analisa Data

5 Penulisan Laporan

6 FGD tahap 2 2-4 Des

7 Perbaikan Laporan Akhir

(28)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam masyarakat

Indonesia, perumahan beserta prasarana pendukungnya merupakan pencerminan dari jati diri

manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan serta

keserasian dengan lingkungan sekitarnya. Perumahan dan permukiman juga mempunyai

peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa,sehingga

perlu dibina dan dikembangkan demi kelangsungan serta peningkatan kehidupan dan

penghidupan masyarakat.

Perumahan dan permukiman selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber

daya manusia dan pengejawantahan dari lingkungan sosial yang tertib, juga merupakan

kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri perumahan sebagai penyedia

lapangan kerja serta pendorong pembentukan modal yang besar. Melalui peningkatan serta

pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman, diharapkan masyarakat dapat

meningkatkan produktivitas, berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dan mampu

meningkatkan pemupukan modal bagi pembangunan selanjutnya.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menyebutkan

bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan

permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa

kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan.Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman semakin

menegaskan bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagiandari permukiman, baik

perkotaan maupun perdesaan,yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitasumum

sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yanglayak huni dan terjangkau.Yang dimaksud dengan

“rumah yang layak huni dan terjangkau”adalah rumah yang memenuhi persyaratan

keselamatan bangunandan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatanpenghuninya,

yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisanmasyarakat.

Sementara, sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

(29)

terdiri atas lebih dari satu satuan perumahanyang mempunyai prasarana, sarana, utilitas

umum,serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan

perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah bagian dari

kawasanpermukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuanPermukiman, dan kawasan

permukiman adalah bagian dari lingkunganhidup di luar kawasan lindung, baik berupa

kawasanperkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagailingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dantempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi,teratur, terencana,

terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkunganyang memenuhi persyaratan tata ruang,

kesesuaian hak atas tanahdan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umumyang

memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Dalam upaya penetapan lokasi dan penyediaan

perumahan dan permukiman yanglayak huni, sehat dan produktif ini peran pemerintah menjadi

sangat penting.

Pemerintah wajib berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya

pemberdayaan masyarakat serta pelaku kunci lainnya bagi berlangsungnya seluruh rangkaian

proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman, memfasilitasi dan mendorong

terciptanya iklim yang kondusif didalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman serta

mengoptimalkan pandayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan

permukiman.

2.2. PERSYARATAN LOKASI PERMUKIMAN

Salah satu faktor utama yang akan sangat berpengaruh dalam penyediaan perumahan

dan permukiman adalah masalah lokasi. Penetapan suatu lokasi pembangunan lingkungan

hunian barusebagaimana dimaksud dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman

pada pasal 66 ayat (5) adalah menjadi kewenangan dari bupati/walikota.Penetapan lokasi

pembangunan lingkungan hunian barusebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut

dilakukanberdasarkan hasil studi kelayakan;

a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;

b. rencana penyediaan tanah; dan

c. analisis mengenai dampak lalu lintas danlingkungan

Menurut Joseph De Chiara dalam Standar Perencanaan Tapak (1994), kondisi yang

harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi/tapak untuk perumahan apabila ingin dicapai

(30)

A. Sifat Khas Fisis Tapak yang Penting

1. Kondisi tanah dan bawah tanah.

Kondisi bawah tanah dan harus sesuai dengan untuk pekerjaan galian dan persiapan,

peletakan jaringan utilitas serta pelandaian dan penanaman, memberikan daya dukung

yang baik untuk penghematan konstruksi bangunan yang akan dibangun. Untuk

menghemat konstruksi, sebaiknya lapisan bawa tanah tidak mengandung batuan keras atau

rintangan lain untk efisiensi galian utilitas pondasi atau kolong bangunan.

2. Air tanah dan drainase

Muka air tanah yang relatif rendah untuk untuk melingdungi bangunan dari genangan pada

kolong bangunan dan gangguan air selokan, tidak adanya rawa, dan kelandaian lereng

yang cukup memungkinkan penyaluran curah hujan permukaan normal dan kelancaran

aliran air selokan.

3. Keterbebasan dari banjir permukaan

Daerah pembangunan harus terbebas dari bahaya banjir permukaan yang disebabkan oleh

sungai, danau atau air pasang.

4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan

Lahan tidak boleh terlalu curam demi kebaikan kelandaian dalam kaitannya dengan

kostruksi hunian. Tapak bangunan tidak boleh mempunyai ketinggian melebihi

kemampuan jangkuan air untuk keperluan rumah tangga dan penangulangan kebakaran.

5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi

Topografi harus memungkinkan pencapaian yang baik oleh kendaraan maupun pejalan

kaki, ke dan di dalam tapak. Topografi juga harus memungkinkan pelandaian yang sesuai

dengan standar yang ada.

6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka

Lahan untuk halaman pribadi, tempat bermain dan taman lingkungan harus memungkinkan

pelandaian dan pembangunan yang sesuai dengan spesifikasi.

7. Keterbatasan dari bahaya kecelakaan topografi

Daerah yang akan dibangun hendaknya bebas dari kondisi topografi yang dapat

menyebabkan kecelakaan, seperti galian, lubang yang menganga, dan garis pantai yang

(31)

B. Ketersediaan Pelayanan Saniter dan Perlindungan

1. Persediaan air dan pembuangan air selokan saniter

Sistem persediaan air dan pembuangan harus dipandang sebagai pelayanan saniter jangka

panjang dan bukan hanya sekedar instalasi fisis. Penyetujuan dini dari pihak berwenang

dibidang kesehatan merupakan prasyarat untuk pembuatan fasilitas pembuangan air kotor

pada tapak dan untuk usulan pengembangan jaringan air maupun selokan yang akan

melayani tapak tersebut.

2. Pembuangan sampah

Apabila pelayanan sampah kota dapat diadakan, maka pemilihan tapak yang menyangkut

hal ini tidak akan menemui masala. Tetapi kebutuhan fasilitas pengolahan sampah pada

tapak atau di sekitas tapak untuk penguburan, pembakaran dan proses kimiawi memerlukan

upaya penelaahan untuk pengalaman. Masalah yang utama adalah pemisahan lahan untuk

pembuangan, penghindaran bau-bauan yang disebar oleh angin serta penggunaan metode

pembuangan untuk mencegah bersarangnya tikus dan pembiakan serangga.

3. Listrik, bahan bakar dan komunikasi

Listrik sangat penting untuk setiap rumah, tetapi karena pelayanan listrik biasanya dapat

diperluas untuk suatu pembangunan dan dapat dibangkitkan apabila diperlukan maka listrik

jarang menimbulkanmaslah dalam pemilihan tapak. Gas tidak dianggap sebagai utilitas

yang penting. Apabila keperluan gas berada di luar jangkauan jaringan pelayanan, maka

tabung gas bertekanan tinggi yang mudah diangkut dapat digunakan. Pelayanan telepon,

seperti listrik dapat diperluas untuk tapak yang memerlukannya.

4. Pengamanan oleh polisi dan penyelamat kebakaran

Kelayakan perlindungan oleh polisi tidak begitu terpengaruh oleh lokasi, tetapi seperti

halnya perlindungan terhadap kebakaran, apabila letak tempatnya terisolir maka segi

pembiayaan harus diperhitungkan.

C. Keterbatasan Dari Bahaya dan Gangguan Setempat

1. Bahaya kecelakaan

Bahaya utama kecelakaan utama adalah tabarakan dengan kendaraan bermotor lainnya,

bahaya api dan ledakan, jatuh, dan tenggelam. Penyebab tabrakan adalah lalu lintas jalan

dan jalan kereta api serta musibah pendaratan pesawat terbang di dekat jalur pendaratan.

2. Kebisingan dan getaran

Kebisingan yang berlebihan, kadang-kadang disertai getaran biasanya dihasilkan oleh

(32)

Perumahan tidak boleh terletak pada tapak yang terus menerus dilanda kebisingan yang

tidak terkendali, terutama di malam hari.

3. Bau-bauan, asap dan debu. Sumber bau-bauan yang tidak sedap biasanya adalah:

− Pabrik, industri, terutama rumah potong hewan, penyamakan kulit dan pabrik yang

menghasilkan produk dari binatang; industri karet, kimia dan pupuk, pewarnaan atau

pencucian tekstil; pabrik kertas, sabun dan cat; dan pabrik gas.

− Tempat pembuangan sampah, terutama apabila proses pemusnahan melibatkan

pembakaran.

− Sungai yang dikotori air selokan, atau instalasi pengolahan tinja yang tidak berjalan dengan sempurna.

− Peternakan, terutama babi dan kambing, terutama apabila dipelihara secara

berdesak-desakan dan dalam keadaan kotor.

− Asap lalu lintas kendaraan bermotor dan kereta api dengan bahan bakar batubara. Sumber asap dan debu yang sering dijumpai adalah industri, jalur kereta api, tempat

pembuangan dan kebakaran sampah. Debu juga berasal dari lahan terbuka seperti

lahan kosong, perkebunan yang tidak ditanami, tempat rekreasi yang tak terurus dan

daerah berdebu yang luas.

(Dirangkum dari: Joseph De Chiara; Lee E. Koppelman. Standar Perencanaan Tapak. 1994.

Hal: 91-95)

2.3. KRITERIA LOKASI DAN PERSYARATAN BAGGI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Pengembangan permukiman pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas

lingkungan permukiman yang secara mendasar sangat berpengaruh terhadap kehidupan

sehari-hari dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan permukiman selain menyediakan rumah

untuk tempat tinggal, juga bertujuan untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat secara

lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menjamin kualitas kehidupan bagi semua

orang.

Penggunaan lahan untuk permukiman merupakan penggunaan lahan tunggal terbesar di

kota manapun (Koppelman dan De Chiara J, 1994). Menurut UU no 4 tahun 1992 tentang

permukiman dan perumahan pasal 1, fungsi kawasan permukiman adalah sebagai berikut:

ƒ Selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk

(33)

awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam lingkungan yang sehat,

aman, serasi dan teratur.

ƒ Selain berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk

mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga, perumahan juga berfungsi sebagai

tempat untuk menyelenggarakan kegiatan bermasyarakat dalam lingkup terbatas.

ƒ Penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan sebagainya,

dimaksudkan agar lingkungan tersebut akan merupakan lingkungan yang sehat, aman,

serasi dan teratur serta dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.

Permukiman yang dimaksud dalam undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu

yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat

tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja yang

memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung peri kehidupan dan

penghidupan sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.

2.4. PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Untuk mewujudkan suatu lingkungan perumahan yang mampu meningkatkan taraf

hidup penghuninya perlu penyediaan prasarana dan sarana penunjang. Prasarana lingkungan

perumahan umumnya terdiri atas jalan, air bersih, listrik, drainase dan persampahan.

Sedangkan sarana lingkungan meliputi dua hal yakni fasilitas sosial (tempat ibadah, lapangan

olah raga, gedung pertemuan) dan pelayanan sosial (sekolah, klinik/puskesmas/rumah sakit)

(Budiharjo, 1991).

Pembangunan dan pengembangan kawasan lingkungan perumahan pada dasarnya

memiliki dua fungsi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu fungsi pasif dalam

artian penyediaan sarana dan prasarana fisik, serta fungsi aktif yakni penciptaan lingkungan

yang sesuai dengan kehidupan penghuni (Budiharjo, 1991). Kedua fungsi ini lebih lanjut

dijabarkan dalam suatu pedoman pokok perumahan atau Habitat Bill of Rights yang mengemukakan pedoman menyangkut lingkungan permukiman dan bangunan perumahan.

Dalam pedoman mengenai lingkungan permukiman disebutkan:

ƒ Fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan budaya masyarakat setempat;

ƒ Lingkungan permukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang

sebanding dengan ukuran/luas lingkungan serta jumlah penghuni;

ƒ Pada lingkungan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sedapat mungkin tersedia

pula wadah kegiatan yang dapat menambah penghasilan;

(34)

ƒ Perencanaan tata letak permukiman harus memanfaatkan bentuk topografis dan

karakteristik alami site setempat;

ƒ Jalan masuk lingkungan terdapat pemisahan antara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki,

serta sedapat mungkin diteduhi dengan pepohonan;

ƒ Lingkungan permukiman harus menunjang terjadinya kontak sosial dan menciptakan

identitas dari segenap penghuni.

Sedangkan hal-hal yang tertera dalam pedoman untuk bangunan perumahan, antara lain:

ƒ Ukuran unit rumah dan pekarangan diperhitungkan atas dasar jumlah anggota keluarga dan

kemungkinan pertambahan jumlah penghuni;

ƒ Setiap rumah selayaknya memiliki taman tersendiri;

ƒ Batas pemilikan rumah/pekarangan harus cukup jelas dibedakan dari daerah publik;

ƒ Setiap rumah harus terbuka ke kedua arah agar dapat sirkulasi udara silang dan

pencahayaan silang;

ƒ Interior dan eksterior rumah selayaknya mencerminkan nilai-nilai dan tata cara

penghuninya;

ƒ Setiap unit rumah memiliki fasilitas mandi cuci sendiri yang memenuhi persyaratan

kesehatan. (Budiharjo, 1991).

2.5. KRITERIA LOKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Yang dimaksud dengan kriteria lokasi adalah kriteria umum yang dipersyaratkan untuk

suatu kawasan dapat disebut dan atau dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan

permukiman. Tidak setiap kawasan ekonomis dapat dikembangkan sebagai kawasan

perumahan, dan tidak setiap kawasan fungsional yang tidak produktif layak dikembangkan

menjadi kawasan perumahan dan permukiman.

Untuk itu, berbagai standart teknis pembangunan perumahan dan permukiman yang ada

tetap dapat dijadikan acuan dan pegangan sepanjang tidak bertentangan dengan visi, misi, dan

kebijakan nasional. Secara umum, terdapat dua kriteria yang perlu dijadikan pegangan dalam

menetapkan suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan

permukiman.

1. Kriteria Umum

Hal yang prinsip dalam penetapan suatu kawasan perumahan dan permukiman adalah

dalam RTRW, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai daerah dengan peruntukan

perumahan dan permukiman. Kawasan perumahan dan permukiman dapat dikembangkan

(35)

a. Tercantum dalam RUTR Kota/Kabupaten sebagai daerah perumahan (baik yang telah

ada ataupun masih memerlukan proses dan yang dicadangkan khusus untuk keperluan

tersebut).

b. Secara geografis lokasinya mudah diakses, dalam arti terkait dengan rencana investasi

dan pengembangan sarana dan prasarana primer yang berskala kota, terlayani atau

dalam rencana terlayani oleh sarana angkutan umum.

c. Memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah, khususnya masyarakat, dalam arti:

ƒ Menunjang ketersediaan rumah layak dan terjangkau.

ƒ Dukungan atau menjadi bagian integral dari pengembangan kawasan fungsional

lain (kawasan industri, kawasan wisata, dll).

ƒ Luasan minimalnya mendukung terlaksananya pola hunian berimbang (membentuk

lingkungan sosial yang harmonis antar strata).

ƒ Tidak mengganggu keseimbangan dan fungsi ekologis dan upaya pelestarian

sumber daya alam lainnya.

ƒ Skala kegiatannya dapat memberikan/ membuka kesempatan kerja baru bagi

masyarakat yang membutuhkan.

2. Kriteria Khusus

Kriteria khusus ini merupakan penjabaran lanjut dari kriteria umum, yang dapat dikaitkan

dengan pengembangan melalui program dan kegiatan khusus, antara lain:

a. Kawasan Permukiman Baru

Pembangunan kawasan permukiman baru diartikan sebagai kawasan permukiman yang

dibangun pada lahan yang disiapkan secara khusus untuk itu. Pengembangannya

mensyaratkan antara lain:

1. Tidak berada pada lokasi yang rawan bencana rutin maupun dapat diprediksi terjadi

(longsor, banjir, genangan menetap atau rawan kerusuhan sosial).

2. Mempunyai sumber air baku yang memadai (kualitas dan kuantitas) atau

terhubungkan dengan layanan jaringan air bersih, pematusan dan sanitasi berskala

kota.

3. Terletak pada hamparan dengan luasan yang memadai, sebagaimana tertuang dalam

Intruksi MENEG AGRARIA No.5/ Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi

dalam rangka penataan/ penguasaan tanah skala besar, yang antara lain memuat

penguasaan lahan maksimum oleh perusahaan pengembang sebagai berikut:

ƒ Antara 200-400 Ha per propinsi untuk satu pengembang atau konsorsium.

(36)

b. Untuk pengembangan kawasan permukiman di daerah pedesaan, harus terkait dengan :

1. Upaya antisipasi tumbuh dan bekembangnya kota-kota kecil yang berada pada

lokasi geografis dan strategis.

2. Mendukung pengembangan ibu kota kecamatan sebagai pusat pelayanan primer.

3. Upaya menggulirkan kegiatan berkehidupan dan penghidupan pada desa-desa

terisolasi, kawasan permukiman perbatasan atau desa potensial yang belum

tergarap.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, lokasi

yang sesuai untuk pengembangan dan pembangunan perumahan minimal harus memenuhi

kriteria-kriteria sebagai berikut:

ƒ Lokasi perumahan harus berada pada daerah yang peruntukannya dapat dikembangkan

sebagai lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku atau di

daerah yang ditunjuk dengan sah oleh pemerintah setempat bila belum ada rencana tata

ruang yang diberlakukan.

ƒ Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan perumahan dan dilengkapi

dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan.

ƒ Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang

ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya alam.

ƒ Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan

individu dan masyarakat penghuni.

ƒ Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%,

sehingga dapat dibuat sistem saluran pembuangan air hujan dan fungsi jalan setempat yang

baik serta memiliki daya dukung yang cukup untuk memungkinkan dibangun perumahan.

ƒ Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

ƒ Untuk memperoleh lokasi yang sesuai sebagai kawasan perumahan memerlukan seleksi

dan analisis terhadap kondisi fisik kawasan (Chiara & Koppelman, 1989).

Sedangkan menurut Bourne (1982) dalam penentuan lokasi perumahan yang diinginkan

penghuni berkaitan dengan kemampuan ekonomi, keuntungan lokasi dan kualitas lingkungan

fisik.

ƒ Kemampuan biaya, dapat dilihat dari pengeluaran yang diperuntukkan bagi penyediaan

tempat tinggal.

ƒ Keuntungan lokasi, dilihat dari faktor aksesibilitas dan jarak dari pusat kota. Aksesibilitas

Gambar

Gambar 2.
Gambar 3.
Tabel III - 1.
Tabel III - 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gejala dari kesulitan membaca ini adalah kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan yang seharusnya dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia dan

Setelah itu sistem akan memulai proses pengiriman pengumuman terkait kegiatan belajar- mengajar ke mahasiswa yang mengambil kelas yang diampu oleh dosen tersebut

• Fungsi getche getche getche getche() () () ()dipakai untuk membaca sebuah karakter dengan sifat karakter yang dimasukkan tidak perlu diakhiri dengan menekan.

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengembangan

Adapun skripsi ini berjudul “ Analisis Pelaksanaan Program Kemitraan Terhadap Perkembangan UKM Mitra Binaan PT Perkebunan Nusantara III Medan’’ adalah guna memenuhi salah

• Kelas tekanan tinggi adalah lahan-lahan yang berada pada kelas kemampuan lahan VI-VIII yang direncanakan untuk dimanfaatkan/pola ruang sebagai area terbangun dan

Terhadap Bangunan Liar Di Sepanjang Garis Sempadan Sungai Kecamatan Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Penelitian ini di dasarkan pada fenomena banyak bangunan liar di

Ratio tutupan lahan/Building Coverage (BC) untuk pengembangan kawasan permukiman perkotaan pada kemampuan pengembangan tinggi sebesar 5,74% dan sedang sebesar