• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskresi Dalam Perspektif Hukum Administ (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diskresi Dalam Perspektif Hukum Administ (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DISKRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Pendahuluan

Negara Indonesia adalah sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia mempunyai konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengalami perubahan hingga empat kali karena suatu pergolakan besar yaitu reformasi. Konstitusi kita selalu melihat pada pembukaannya, yang di dalamnya mengandung tujuan negara. Prof. Sudikno berkata bahwa hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis1.

Berbicara hukum, kita juga tidak dapat mengabaikan kekuasaan, karena hukum itu adalah suatu produk dari kekuasaan. Penguasa yang baik dan berkualitas tentu akan melahirkan produk hukum yang baik dan berkulitas pula, begitu pula sebaliknya, penguasa yang korup dan buruk, maka akan menghasilkan hukum yang korup pula.

Seperti kata Prof. Sudikno tadi bahwa ‘hukum adalah suatu alat untuk mencapai tujuan’, maka hukum pun dapat diciptakan untuk membuat sesuatu yang buruk menjadi legal karena ada hukum yang memperbolehkan padahal dari kacamata keadilan, hal tersebut jauh dari kata adil.

Dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan, ketertiban atau upaya menyelamatkan bangsa seringkali penguasa atau pengambil keputusan

(2)

mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan hukum. Misalnya saja yang terjadi pada masa lalu yang kita kenal dengan sebutan Petrus atau Penembak Misterius dimana pada masa itu para preman ditembak satu persatu oleh orang misterius yang ternyata diketahui adalah bagian dari upaya kepolisian untuk meningkatkan rasa keamanan warga.

Dari sisi hukum hukum, jelas apa yang dilakukan pihak kepolisian tersebut merupakan tindakan yang sewenang-wenang, tapi ternyata dampaknya dirasakan masyarakat. Masyarakat mulai merasa aman, tingkat kriminalitas menurun. Itu adalah salah satu contoh dari tindakan aparat yang berwenang dalam menggunakan asas diskresi.

Saat ini dikenal istilah diskresi atau kewenangan aparat birokrasi untuk menentukan keputusan diluar dari aturan baku yang ada, seringkali menjadi solusi alternatif dalam merespon kondisi dalam pelayanan publik, namun juga memiliki implikasi adanya penyimpangan kewenangan (abuse of power) jika diskresi yang dimilikinya tidak diiringi dengan adanya etika dan akuntabilitas.

Namun karena kompleksnya persoalan seputar pemerintahan, saat ini kewenangan berupa diskresi tersebut seringkali menjadi tututan oleh pemerintah daerah. namun disisi lain, terkadang diskresi yang dilakukan tingkat pemerintah daerah kemudian bermasalah pada sisi hukum. Maka tidak hal ini berimplikasi dengan adanya keragu-raguan kepala daerah untuk segera menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, sebagai upaya pemenuhan layanan yang merupakan tuntutan masyarakatnya.

(3)

ditakutkan oleh kepala daerah jika itu dilakukan maka akan berhadapan dengan aturan hukum yang berlaku. Disamping itu juga, karena kekhawatiran tersebut menjadikan kepala daerah cenderung mengikuti pada aturan yang baku, sehingga daerah seringkali dikatakan kurang responsif, tidak inovatif dan tidak efektif efisien terutama hal ini dalam pelayanan publik di daerah.

Dalam artikel ini kemudian akan lebih melihat bagaimana perspektif kebijakan diskresi dari sudut pandang hukum administrasi negara, serta kondisi peluang dan tantangan diskresi pemerintah daerah praktek pemerintahan saat ini.

B. Pembahasan

A. Pengertian Asas Diskresi atau Freies Ermessen

Pemerintah dalam mengguhnakan wewenang publik wajib mengikuti aturan-aturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.2 Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum

yakni rechtmatigheid, wetmatigheid, dan discretie atau freis ermessen.3

Freies Ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka, sementara itu ermessen diartikan sebagai mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Nata Saputra mengartikan

Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.4Dengan kata lain Freies Ermessen adalah kebebasan bertindak dari pejabat Negara tanpa harus

2Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983, Ghalia Indonesia, Jakarta. Halaman 84

3Ibid. halaman 85

(4)

terikat kepada undang-undang. Namun kebebasan ini harus berdasarkan hukum. Ada juga yang mengatakan bahwa Freies Ermessen sama dengan diskresi, yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas legislatif.

Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire (Perancis) , discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkrit (kasustis). Dalam pandangan Kuntjoro, freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindak tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dalam menghadapi tugasnya itu gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindak pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.Sedangkan menurut SF. Marbun dan Ridwan dalam makalahnya berjudul “Tinjauan Umum Atas RUU Administrasi Pemerintahan” (2005) menyatakan diskresi merupakan kewenangan bebas (vrije bevoegheid) yang melekat pada pemerintah atau administrasi negara. Diskresi muncul secara insidental, terutama ketika peraturan perundang-undangan belum ada/ mengatur atau rumusan peraturan tertentu bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan diskresi tidak dapat diprediksi sebelumnya.5

2. Diskresi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan

(5)

Pada tataran pemerintah daerah, saat ini pengertian mengenai diskresi sebenarnya sudah tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan Tahun 2014, yakni keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Namun disisi lain, kondisi yang ada bahwa kepala daerah dinilai kurang responsif dalam berinovasi. Hal ini diakibatkan rendahnya kepastian dalam penegakan hukum, sehingga banyak kepala daerah ketakutan dalam penggunaan kebijakan diskresi yang sangat rentan menyeret kepala daerah atau pejabat daerah kedalam tindak pidana penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya.

Menurut Isran Noor (2012) Rendahnya perlindungan hukum atas inovasi atau kebijakan diskresi kepala daerah ini berimplikasi pada banyaknya penyelenggara pemerintahan yang mengambil sifat pasif dan kurang responsif terhadap pemenuhan kepentingan publik (http://www.pikiran-rakyat.com/node/232214, diakses 20 mei 2013) 5. Hal ini menjelaskan bahwa, adanya kecenderungan bahwa terdapat keraguan dari para kepala daerah dalam menjalankan haknya dalam diskresi, sekalipun itu kemudian berakibat baik untuk daerah.

(6)

jika diskresi tersebut tidak dikawal dengan mekanisme akuntabilitas pemerintah daerah.

Sehingga jika kemudian kewenangan diskresi ini tidak dilakukan mekanisme pengawasan atau kontrol terhadap akuntabilitasnya, maka hal ini akan diperhadapkan berbagai masalah struktural maupun hukum. Dimana diskresi yang dilakukan bisa saja menjadi bumerang bagi kepala daerah dalam sejumlah kasus korupsi. Menurut Mendagri Gawaman Fauzi, mengatakan diskresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum, Sejumlah kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi tersebut, antara lain kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Penyalahgunaan kewenangan dan korupsi adalah hal yang paling krusial terhadap implikasi negatif diskresi, apalagi dengan adanya payung hukum mengenai diskresi pemerintah daerah dalam pelayanan publik tersebut. Gawaman Fauzi mengungkapkan modus baru korupsi yang sering menjadi batu sandungan bagi kepala daerah seperti menahan setoran pajak ke pusat dengan menyimpannya di rekening pribadi. Juga, modus meminjam dari kas daerah, mark-up maupun cash back dari rekanan proyek (http://www.kemendagri.go.id, diakses 21 mei 2013).

(7)

berjudul Linking Local Government Discretion and Accountability in Decentralisation. Mengemukakan 3 dimensi yang akan mempengaruhi bentuk akuntabilitas terkait diskresi yang dimiliki pemerintah daerah, yaitu :

a. Diskresi Politik Lokal, yang mengemukakan pandangan bahwa untuk menciptakan kondisi diskresi yang akuntabel dari pemerintah daerah harus memperhatikan beberapa hal yakni bagaimana pembagian kekuasaan eksekutif dan legislatif, model pemilihan umum di tingkat daerah untuk memilih pemimpin, dan fungsi partai politik di daerah. disisi lain juga penguatan dilakukan dengan membatasi masa jabatan pemimpin untuk menghindari budaya patronase politik dan membentuk kontrol publik terhadap kinerja pemerintah daerah.

b. Diskresi Administratif, disisi desentralisasi administrasi perlu diperhatikan hal menyangkut aparatur pemerintah dalam hal kemampuan mengatur, diskresi untuk mengelola pelayanan, diskresi dalam pelayanan publik dan pengaturan kebijakan. Dan untuk melakukan penguatan terhadap kondisi ini adalah memuat struktur kontrol publik sehingga lebih melembaga dan adanya informasi pelayanan yang bisa diakses oleh masyarakat.

c. Diskresi Fiskal (Keuangan), dalam diskresi pada posisi ini menyangkut bagaimana pemerintah daerah mengatur pengeluaran, mengatur pendapatan daerah, mengelola fiscal gap antar daerah, dan Infrastruktur keuangan daerah. disamping itu untuk memperkuat hal ini maka perlu diperhatikan adanya manajemen yang efektif dan efisien dan juga keterbukaan informasi terhadap akuntabilitas penggunaan anggaran.

(8)

kapasitas yang dimiliki kepala daerah. Sekalipun kemudian banyak implikasi negatif yang hadir dengan adanya diskresi tersebut sudah selayaknya bahwa diskresi kemudian tidak meninggalkan ranah akuntabilitas. Diskresi yang disesuaikan dengan jalur hukum yang berlaku dan mengusahakan bagi kebaikan dalam pelaksanaan pelayanan publik didaerah, maka kedepan diskresi bisa menjadi solusi dalam permasalah pelayanan publik yang saat ini dinilai tidak responsif dan tidak inovatif.

Disisi lain, Diskresi yang dimiliki Kepala Daerah jangan dijadikan sebagai peluang para pejabat jadi kebal hukum. Agar jelas dan tegas, serta tidak membuat peluang multi-tafsir, RUU Pemda harus mengatur jelas soal diskresi ini. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek, mengatakan dengan diskresi tersebut diharapkan dapat melindungi kepala daerah yang kreatif menerobos aturan perundangan, namun tak sampai bikin negara rugi (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013 dalam Koranmedia_online.com).

Untuk itu, Kepala daerah dalam mengambil kebijakan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepadanya, diperlukan adanya pengaturan diskresi kepala daerah agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, pada saat kepala daerah menemukan adanya regulasi, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang tidak jelas, kabur, multi-tafsir, atau bahkan tidak ada ketentuannya.

(9)

adalah Pengertian, definisi, atas diskresi kepala daerah menegaskan adanya ruang lingkup atau batas-batas wilayah dimana kebijakan kepala daerah yang bersifat diskresi dapat dirumuskan, ditetapkan, dan dijalankan. Dengan demikian, tidak membuka adanya upaya diskresi diluar ruang lingkup yang ditentukan (http://pattiro.org/?p=1933, diakses 21 mei 2013).

Sejumlah kekhawatiran dalam penerapan diskresi ini bagi kepala daerah memang cukup banyak, sekalipun kemudian alasan untuk memberikan ruang kreatifitas dan inovasi dari pemerintah daerah dalam pelayanan publiknya didaerah, selama hal itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Hanya saja, jika kemudian diskresi ini cenderung digunakan untuk hal-hal yang merugikan negara, maka kecenderungan diskresi ini akan merugikan negara bahkan bisa menjerat kepala daerah dalam praktek korupsi.

Untuk itu, pengaturan mengenai hak diskresi ini perlu diperhatikan dengan cermat. Sehingga dalam pelaksanaannya kemudian dapat digunakan kepada daerah sebagai ivovasi dalam pemerintah daerah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, dikresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang dikeluarkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum. Hal ini untuk menjawab, Sejumlah kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi itu, antara lain kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi.

(10)

ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. Namun sejumlah pihak mengatakan, klausul itu bisa diasumsikan bahwa kepala daerah dapat kebal terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan inovasi atas perbuatan korupsi. Selain itu, pasal itu bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari hukum bagi para kepala daerah (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013/Koranmedia_online.com).

Dengan melihat realitas tersebut diatas, dapat ditarik benang merah bahwa peluang dan tantangan diskresi berada pada kepala daerah, dalam hal ini kemudian bagaimana penafsiran kepala daerah terhadap kewenangan diskresi yang dimilikinya melakukan inovasi dalam pelayanan publik didaerahnya. Kecenderungan ini lahir karena banyaknya persoalan yang muncul dari salah tafsirnya regulasi yang dibuat, terutama dalam mendukung inovasi dan kreatifitas kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Kondisi ini juga perlu didukung dengan regulasi yang jelas, jika kemudian diskresi tersebut dilaksanakan didaerah sebagai upaya mengakomodasi kreatifitas kepala daerah dalam melakukan inovasi dan tidak melanggar aturan yang ada.

3. Pembatasan Diskresi

(11)

Dalam politik hukum asas diskresi ini harus dibatasi. Dalam perkuliahan Politik Hukum, Prof. Muchsan menjelaskan ada 4 pembatasan asas diskresi ini:

1. Asas Diskresi dapat diberlakukan jika pada saat itu terjadi kekosongan hukum (rechtvakum). Apabila terjadi kekosongan hukum dan tidak segera diambil sebuah tindakan dari aparat yang berwenang, maka dapat berpotensi menimbulkan keadaan yang anarkis.

2. Ada kebebasan penafsiran/interpretasi. Apabila hal ini terjadi maka aparat dapat melakukan diskresi karena merujuk pada peraturan yang mana dapat ditafsirkan berbeda-beda(multi-tafsir).

3. Ada delegasi perundang-undangan (delegatie van wetgeving) demi pemenuhan kepentingan umum.

Pembatasan yang terakhir yaitu demi kepentingan umum pun berpotensi untuk disalahgunakan. Aparat bisa saja melakukan kesewenangan dengan dalih kepentingan umum. Maka dari itu Prof. Muchsan mengemukakan pendapat bahwa apa yang disebut kepentingan umum yaitu kepentingan umum berupa proyek pembangunan dan juga kepentingan umum yang berupa proyek tersebut mempunyai 3 syarat yaitu kepentingan umum dilaksanakan oleh pemerintah, kepentingan umum digunakan oleh rakyat, dan kepentingan umum tidak berorientasi pada keuntungan(non-profit oriented).6

Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya diskresi yaitu:

1. Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya;

2. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;

(12)

3. Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan UUD 1945 dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Menurut Prof. Muchsan didalam membuat suatu produk hukum aparat yang berwenang dapat menggunakan dua (2) dasar untuk mengukur produk hukum itu benar atau tidak, yaitu :

1. Wetmatig ( dasar hukum positif ), ini merupakan dasar yang ideal, karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat yang berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau berlandaskan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.

2. Doelmatig ( kebijakan / kearifan lokal )ialah produk hukum yang dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.

Maka konsekuensinya, jika produk hukum itu berupa wetmatig, maka harus melihat dasar hukumnya. Tetapi jika produk hukum tersebut berupa

doelmatigharus melihat unsur-unsur dariAlgemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur / The Principle Of Good Public Administration atau disebut Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.7

Dalam perkuliahannya Prof. Muchsan menjelaskan ada 5 butir asas-asas umum pemerintahan yang baik:

(13)

1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki agar aparat yang berwenang membuat keputusan yang sama terhadap kasus yang kondisinya sama.

2. Asas Permainan yang Layak, agar pemerintah dalam membuat produk hukum, memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada pihak terkait.

3. Asas Kecermatan, agar aparat pemerintah dalam membuat hukum memperhatikan semua gejala/fenomena yang terkait sehingga produk hukumnya bersifat dinamis. Minimal memperhatikan 3 norma yaitu norma agama, norma etika, dan norma hukum.

4. Asas Keseimbangan, agar aparat pemerintah dalam membuat produk hukum menyeimbangkan antara hukum dan kewajiban pihak yang terkait.

5. Asas Ketepatan Dalam Menentukan Sasaran, agar dalam membuat suatu produk hukum harus memperhatikan semua gejala sosial dan segala aspek di masyarakat.

3. Penggunaan Diskresi Dalam Kebijakan Pemerintahan

Dalam prakteknya, tak jarang penggunaan diskresi ini melahirkan ekses yang tidak sedikit baik bagi organisasi pemerintahan maupun pejabat yang melakukan kebijakan dikresi. Konsekwensi-konsekwensi yang ditimbulkan juga tak sedikit, termasuk konsekwensi hukum.

Dalam Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (AP) yang disahkan DPR RI tanggal 26 September 2014 persoalan diskresi ini pada dasarnya telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut, untuk menghindari peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah.

(14)

pejabat pemerintah, pemahaman diskresi sebagai kewenangan bebas (fries ermessen). Kewenangan bebas itu juga dipahami menurut pendapat sendiri (subyektif).

Dikatakan, diksresi pada dasarnya dipahami sebagai pertimbangan dan dibuat atas dasar amanat undang-undang dalam bentuk kata ‘dapat’, atau ‘boleh. Pejabat Pemerintah,lanjutnya, dalam membuat keputusan diskresi berpedoman pada petunjuk teknis atas peraturan pelaksanaan terkait dengan pasal dalam peraturan perundangan.

Lahirnya Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan akan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Diskresi tidak didasarkan pada kebebasan bertindak. Diskresi wajib didasarkan pada hukum iktikad baik dan ditetapkan oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan dan atau tindakan pemerintah.

Sebagai contoh digambarkan, seorang polisi lalu lintas dapat melakukan melakukan diskresi dalam pengaturan lalu lintas di perempatan yang sudah ada traffic light. Dia bisa menahan kendaraan untuk tidak berjalan, meski lampu hijau sudah menyala. Polisi lalu lintas juga bisa memerintahkan kendaraan untuk berjalan, meski saat itu lampu merah menyala. Tapi semua itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk kepentingan umum, bukan semaunya sendiri.

Urgensi terkait UU Administrasi Pemerintahan tak lepas dari

(15)

didasarkan pada hukum materiil yang diaturter sendiri dalamUndang-Undang. Dengan UU Administrasi Pemerintahan, kelak penyelesaian gugatan lebih mendahulukan hukum administrasi, sebelum dibawa keranah pidana.

Bukan itu saja, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan juga mengisi kekosongan hukum. UU ini menjadi instrument standardisasi administrasi negara, dan kodifikasi (pengaturan) undang-undang tunggal sebagai payung yang member pedoman di semuasektorpemerintahan. Lebih dari itu, UU ini mengatur syarat sahnya keputusan pemerintahan. Selain dibuat oleh pejabat yang berwenang, keputusan pemerintahan juga harus sesuai standar prosedur, dan substansi juga harus sesuai dengan obyek keputusan.

C. Penutup

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.

(16)

keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen ataupun

pouvoir discretionnaire.

(17)

Daftar Pustaka

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Dalam 12 bulan hingga Agustus, PPI turun sebanyak 0.6% menyusul penurunan yang berlanjut di bulan Juli, Diharapkan pesimis atas kenaikan suku bunga the Fed pada pertemuan di pekan

(4) Rawat inap sehari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis,

Salah satu lagi faktor penyebab tingginya angka kebakaran di kota Bandung yaitu kurangnya sosialisasi dari dinas Pencegahan dan Penaggulangan Kebakaran Kota

Metode yang digunakan yaitu Evolutionary Prototype dalam pengembangan sistem informasi pengolahan data ekspor-impor menggunakan beberapa alat bantu seperti Diagram Use

Pada akhir perancangan prototype data warehouse ini, diharapkan dapat mengurangi resiko kegagalan dalam implementasi datawarehouse serta hasil analisis proses ketiga

meningkatkan anggaran penelitian dari 4,1% dari total belanja pemerintah pada tahun 2008/9 menjadi 4,5% pada tahun anggaran 2012/3, yang berarti rata-rata setiap perguruan

1. Pihak Pertama memberi dana Beasiswa Program Beasiswa Magister / Doktorsesuai ketentuan yang berlaku kepada Pihak Kedua untuk menyelesaikan Program Magister/Doktor

Ruslan menambahkan konsep kampanye adalah melakukan kegiatan komunikasi secara terencana yang lebih moderat, terbuka, toleran, dalam waktu terbatas atau secara jangka pendek,