• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA KORPORASI MEDIA PENYIARAN

Sejarah perkembangan korporasi dari abad pertengahan hingga abad ini, akan memberi gambaran kepada kita hubungan yang erat antara pertumbuhan korporasi dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat sekerja, perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (cooperation) daripada tujuan pemanfaatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya.88

Seiring dengan keinginan untuk dilakukannya perluasan usaha, perusahaan-perusahaan besar mulai mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan, sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh negeri. Dari abad ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang begitu cepat, di samping mampu mempekerjakan berjuta-juta tenaga kerja, korporasi multinasional juga mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Tidak hanya itu, korporasi

88

(2)

juga mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi kontrol yang dilakukan oleh negara.89

Pertumbuhan korporasi yang pesat, sejalan dengan akibat yang ditimbulkannya. Korporasi-korporasi raksasa, disertai dengan meningkatnya diversifikasi di berbagai bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa melalui usaha bersama dengan perusahaan domestik maupun perusahaan-perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya tindak kejahatan korporasi multinasional dan transnasional.90

Kejahatan korporasi ini tidak hanya berpotensi dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kegiatan usaha perdagangan (trading) saja, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri penyiaran informasi (pers industry). Korporasi media yang memiliki jaringan media lokal dan nasional, bahkan jaringan global dengan berbagai jenis bidang usahanya, tentu juga berpotensi melakukan tindak kejahatan korporasi.

Perkembangan korporasi media penyiaran yang meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, serta media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan dan menyalurkan informasi, sebenarnya merupakan bagian dari dinamika perkembangan pembangunan Indonesia.Seiring perkembangan tersebut, berkembang

89 Ibid

, hlm. 24.

90

(3)

pula bentuk-bentuk kejahatan ditengah masyarakat yang berkaitan dengan perusahaan pers.91

Pengaruh ganda dari korporasi media penyiaran ini, tentunya harus disikapi atau ditanggulangi dengan cara yang rasional. Salah satu usaha yang rasional tersebut adalah dengan melakukan pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal sebagai upaya menanggulangi kejahatan, meliputi kebijakan terpadu antara upaya penal dan non penal yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.

Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris: “policy” atau dalam bahasa

Belanda: “politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).92

91Kongres PBB ke IV tahun 1970 di Tokyo “The Prevention of Crime And the Treatment of Offenders” tidak dapat menetapkan dengan pasti hubungan antara kejahatan dan perkembangan (development), akan tetapi kongres mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai faktor kriminogen artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan, aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, mobilitas sosial dan sebagainya. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 94.

92

(4)

Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, menterjemahkan “policy” juga dengan kebijakan, yaitu suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif93. Sedangkan menurut Sudarto, definisi politik kriminal secara singkat sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 94 Sudarto juga memberikan beberapa pengertian yaitu dalam arti sempit, dalam arti yang lebih luas, dan dalam arti yang paling luas.

Politik kriminal dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metoda yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Pengertian yang lebih luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, sedangkan pengertian yang paling luas politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.95

Kebijakan kriminal pada hakikatnya adalah upaya penegakan hukum yang dilakukan secara terpadu antara kebijakan yang menggunakan pidana sebagai sarana (penal) dan kebijakan tanpa menggunakan pidana (non penal). Oleh karenanya, kebijakan kriminal adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan (the sentencing system) dan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem

93

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penganggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm. 59.

94

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 150. Pengertian tersebut diambil dari definisi yang dikemukakan oleh Marc Ancel.

95

(5)

pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment).96

Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian / penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:

1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan; 2. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian /

penjatuhan dan pelaksanaan pidana;

3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi / operasionalisasi / konkretisasi pidana;

4. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).97

Sistem pemidanaan dengan demikian terdiri dari subsistem hukum pidana substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan / eksekusi pidana. Apabila dibatasi pada hukum pidana substantif, maka keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang khusus yang ada di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan substantif.98

96

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 135 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dari L.H.C.Hulsman, The Dutch Criminal Justice System From a Comparative Legal Perspective, di dalam D.C. Fokkema, Introduction to Ducth Law for Foreign Lawyers, (Holland: Kluwer Deventer, 1978), hlm. 320.

97

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 136.

(6)

Berlandaskan uraian di atas, maka ketentuan pidana atau sistem pemidanaan penyiaran merupakan bagian khusus (subsistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan. Ini berarti sistem pemidanaan penyiaran harus terintegrasi dalam; atau konsisten dengan aturan umum (general rules), meskipun dapat membuat aturan khusus (special rules) yang menyimpang atau berbeda dari aturan umum. Oleh karenanya sangat penting bagi kita untuk melihat kembali apa yang dimaksud dengan tindak pidana dalam aturan umum.

A. Landasan Pemahaman Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penyiaran

1. Tindak Pidana atau Strafbaar Feit

Pengertian kata feit dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit dapat

diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat

dihukum”.99

Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan. 100 Dengan demikian, maka feit dalam strafbaar feit adalah handeling yang berarti kelakuan atau tingkah laku yang dihubungkan dengan kesalahan orang yang melakukan tindakan tersebut.

99

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.

100

(7)

Moeljatno memiliki pandangan berbeda tentang penggunaan kata tindak pidana, dirinya lebih memilih menggunakan kata perbuatan pidana. Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.101 Perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Menurut Pompe perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai : “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van algemeen welzijn”.102

Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya tidak lain adalah suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Simons merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar

101Ibid

., hlm. 59.

102

(8)

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.103 Agar tindakan tersebut dapat dihukum, maka harus memenuhi semua unsur dari delik seperti rumusan dalam Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa tindakan dari pelakunya haruslah bersifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid).

Keragaman pendapat para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar feit ini lebih disebabkan karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Hal ini telah melahirkan berbagai rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:

a. Peristiwa Pidana

Istilah strafbaar feit sebagai peristiwa pidana pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro. Dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah peristiwa pidana pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1). Secara substantif, pengertian dari istilah peristiwa pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam

103

(9)

percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.104

Pengertian peristiwa pidana menurut Moelyatno kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak, karena peristiwa pidana menunjuk pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang. Terhadap peristiwa tersebut tidak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya orang mati, tetapi yang dilarang adalah matinya orang karena perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut karena keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. 105

b. Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah

perkataan “perbuatan”, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk

104

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 48-49.

105

(10)

kepada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian.106

c. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit diperkenalkan pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-Undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.107

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut termasuk juga gerak-gerik seseorang untuk tidak berbuat, akibat tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.108

Sudarto berpendapat bahwa pembentuk Undang-Undang sudah tepat dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang.109

106Ibid

., hlm. 59-60.

107

Perhatikan Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 49.

108

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat yang diatur dalam Undang-Undang dapat dilihat pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Apabila dia tidak melaporkan, maka dapat dikenai sanksi pidana penjara atau denda.

109

(11)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan hal melakukan sesuatu (een doen) atau hal tidak melakukan sesuatu (een niet doen) atau dalam doktrin sering juga disebut sebagai hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (een nalaten). Tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) secara umum dapat dijabarkan menjadi dua macam unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk juga segala sesuatu yang ada di dalam hati sanubarinya. Sifat melawan hukumnya tergantung kepada bagaimana niat atau sikap batin pelaku. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

b. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 110

110

(12)

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a. sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid);

b. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.111

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana dan Hukuman

Jenis-jenis tindak pidana pada awalnya dibagi oleh para ahli hukum sebagai crimina atrocissima, atrocia, dan levia, yang didasarkan pada berat ringannya ancaman hukuman terhadap masing-masing tindakan. Pandangan tersebut mempengaruhi para pembentuk Code Penal di Prancis yang kemudian membagi tindakan melanggar hukum sebagai crime, delit, dan contravention; dalam bahasa Jerman disebut verbrechen, vergehen, dan ubertretungen; sedangkan dalam bahasa Belanda disebut sebagai misdaden, wanbedrijven, dan overtredingen (kejahatan-kejahatan, perbuatan-perbuatan tercela, dan pelanggaran-pelanggaran).112

Perkembangan selanjutnya dalam usaha untuk menemukan pembagian tindak pidana yang lebih sesuai dengan kebutuhan sistem kitab

111Ibid

.

112

(13)

undang pidana, maka para ahli hukum membagi tindakan melanggar hukum menjadi dua jenis onrecht, yaitu crimineel onrecht dan policie onrecht. Crimineel onrecht adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya bertentangan dengan tertib hukum dalam arti lebih luas daripada sekedar kepentingan-kepentingan, sedangkan policie onrecht adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya bertentangan dengan kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalam masyarakat.113

Jenis-jenis perbuatan atau tindak pidana menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian ini dilakukan karena perbedaan pengertian yang mendasar antara kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan (misdrijven) adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, namun telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran (overtredingen)

113

Perhatikan P.A.F.Lamintang, hlm. 209. Perhatikan juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 242. “Adapun yang termasuk

(14)

adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.114

Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita menjadi buku ke-2 dan buku ke-3, melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.115 Perbedaan pandangan tersebut dalam kepustakaan dikenal sebagai perbedaan kualitatif yang pada masa sekarang sudah banyak ditinggalkan dan diganti dengan perbedaan kuantitatif (soal berat atau ringannya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.116

Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar seperti pembunuhan, penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan sebagainya.117 Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa :

1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.

2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan

114

Perhatikan Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 78-79.

115

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 211 sebagaimana dikutip oleh Lamintang dari G.A.Van Hamel, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht, (Haarlem: Gebr.Belifante’s Gravenhage, 1927), hlm. 181.

116

Moeljatno, op.cit., hlm. 79.

117

(15)

jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.

3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak tidak dapat dipidana (Pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60)...118

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) selain membagi dua jenis tindak pidana, juga membagi hukuman atas dua jenis hukuman yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Untuk tiap-tiap kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. Cumulatie lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan, namun

dalam tindak pidana ekonomi, cumulatie lebih dari satu hukuman pokok dapat dijatuhkan yaitu hukuman badan dan hukuman denda. Selain penjatuhan hukuman pokok, maka dapat dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok, jadi tidak mungkin dijatuhkan sendirian.119 Pasal 10 KUHP, Hukuman-hukuman ialah:

Perhatikan Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 81.

119

Perhatikan bagian penjelasan dari R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 36.

120

(16)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) menyatakan hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara. Untuk hukuman penjara sementara, sekurang-kurangnya satu hari dan tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun.121

4. Tindak Pidana Penyiaran

Menurut asas legalitas untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seseorang disyaratkan bahwa perbuatan atau peristiwa yang diwujudkan tersebut harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan pidana tertulis atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana (strafrechnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa. Sekalipun suatu perbuatan sangat tercela tetapi apabila tidak ada aturan pidana melarang/mewujudkannya, maka tidak boleh dijatuhi pidana. Sifat melawan hukum yang material harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formal.

Perkembangan masyarakat telah membawa dampak hadirnya berbagai perbuatan atau tindakan yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam KUHP sebagai tindak pidana, namun dirasakan telah merugikan dan meresahkan masyarakat. Menghadapi dinamika ini, pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan berbagai peraturan atau Undang-Undang baru yang responsif,

121

(17)

menyatakan bahwa perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Tindak pidana ini kemudian dikenal atau disebut sebagai tindak pidana di luar KUHP.

Sejak disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada tanggal 28 Desember 2002 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.139, maka tindak pidana penyiaran menjadi tindak pidana khusus yang diatur di luar KUHP. Sistematika Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana secara terpisah. Perbuatan atau aktifitas penyiaran yang dapat diancam sanksi administratif setidaknya ada 33 (tiga puluh tiga) perbuatan, secara khusus diatur dalam Bab VIII: Sanksi Administratif. Sanksi administratif tersebut dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.122

Perbuatan yang dapat diancam sanksi pidana diatur dalam bagian terpisah yaitu pada Bab X: Ketentuan Pidana. Perbuatan yang diancam hukuman pidana penjara dan/atau denda ada 15 (lima belas) perbuatan; dan 1 (satu) perbuatan yang diancam hukuman pidana denda. Maksimal hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun dan minimal 2 (dua) tahun untuk lembaga

122

(18)

penyiaran radio maupun televisi. Pidana denda maksimal Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan minimal Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio, sedangkan penyiaran televisi maksimal Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), minimal Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).123

Bab VIII terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur sekaligus rumusan tindak pidana dan sanksi yang dijatuhkan yaitu Pasal 34, selebihnya pasal-pasal yang terdapat dalam Bab VIII tidak merumuskannya sekaligus (rumusan tindak pidana dan ancaman sanksi diatur dalam pasal yang berbeda). Bab X secara keseluruhan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya tidak merumuskannya sekaligus (rumusan tindak pidana dan ancaman sanksi diatur dalam pasal yang berbeda).

5. Subyek Hukum Tindak Pidana Penyiaran

Rumusan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan Ketiga KUHP biasanya dimulai dengan kata “barangsiapa”. Ini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subyek hukum tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Juga dari ancaman pidana yang dapat dijatuhkan sesuai dengan Pasal 10 KUHP seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda, dan pidana tambahan mengenai pencabutan hak, dan

123

(19)

sebagainya menunjukkan bahwa yang dapat dikenai ancaman pidana pada umumnya adalah manusia atau persoon.124

Pandangan klasik berpendapat bahwa subyek hukum tindak pidana adalah orang pribadi, meskipun ia berkedudukan sebagai pengurus atau komisaris suatu badan hukum. Namun menurut perkembangan zaman, subyek hukum tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum. Subyek hukum 125 dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara umum adalah badan hukum (rechtspersoon), namun dalam pertanggungjawaban pidana dapat juga dikenakan kepada manusia (natuurlijke persoon) yang bekerja di dalam badan hukum tersebut. Badan hukum yang menjadi subyek hukum dimaksud adalah:

a. Lembaga Penyiaran Publik

Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga penyiaran publik terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),

124

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 54.

125

(20)

sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.126

b. Lembaga Penyiaran Swasta

Lembaga penyiaran bersifat komersial, berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan dan usaha lainnya yang sah yang terkait dengan penyelenggaran penyiaran.127

c. Lembaga Penyiaran Komunitas

Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, tidak komersial, berdaya pancar rendah dengan jangkauan wilayah terbatas, serta diselenggarakan untuk melayani kepentingan komunitas. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran komunitas berasal dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.128

d. Lembaga Penyiaran Berlanggganan

Lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dengan memancarluaskan atau menyalurkan materi

126

Perhatikan Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1)Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

127

Perhatikan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

128

(21)

siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multimedia, atau media informasi lainnya. Lembaga penyiaran berlangganan menyalurkan materi siarannya melalui tiga saluran yaitu : satelit, kabel, dan terestrial. Pembiayaan diperoleh melalui iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.129

Sebagaimana lazimnya suatu perusahan, lembaga penyiaran dalam hal ini stasiun televisi juga memiliki struktur organisasi yang sama seperti perusahan lain pada umumnya. Namun, bagian pemberitaan sebagai salah satu unit dalam perusahaan televisi memiliki struktur dan sifat yang tidak sama dengan unit lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pola kerja bagian pemberitaan yang tidak sama dengan bagian lainnya.

Struktur organisasi bagian pemberitaan stasiun televisi biasanya terdiri dari sejumlah jabatan mulai dari reporter, juru kamera, koordinator liputan, produser, eksekutif produser, dan direktur pemberitaan. Selain badan hukum (rechtspersoon) yang menjadi subyek hukum, manusia (natuurlijke persoon) yang juga menjadi subyek hukum khususnya dalam kegiatan pemberitaan media penyiaran adalah:

129

(22)

a. Direktur Pemberitaan

Direktur pemberitaan terbaik adalah seseorang yang independen, bahkan harus independen dari pemilik stasiun televisi karena untuk melaporkan berita secara akurat dan adil, staf pemberitaan dan direktur pemberitaan harus bebas dari tekanan politik dan ekonomi. Jurnalis harus dapat melaporkan apa yang mereka dapatkan tanpa kuatir terhadap akibat yang ditimbulkan oleh laporan mereka, sebab kebebasan aliran informasi adalah hal yang menentukan kredibilitas suatu stasiun televisi. Direktur pemberitaan membutuhkan akses langsung dengan pimpinan stasiun televisi, karena suatu berita besar dapat terjadi setiap saat dan butuh keputusan cepat untuk menayangkannya.

b. Produser Eksekutif

Produser eksekutif bertanggungjawab terhadap penampilan jangka panjang program berita secara keseluruhan. Bertugas memikirkan setting, dekor, latar belakang atau tampilan suatu program berita yang akan menjadi ciri khas program berita tersebut.

(23)

acara termasuk program berita. Produser eksekutif juga memegang putusan akhir mengenai berita apa yang harus ditayangkan atau tidak. Produser eksekutif juga harus memikirkan cara untuk memperbaiki mutu program dan menjaga peringkat acara / rating agar tetap baik.

c. Produser

Produser bertanggungjawab terhadap suatu program berita. Stasiun televisi biasanya menyiarkan lebih dari satu program berita dalam sehari semalam. Stasiun televisi berskala nasional biasanya memiliki tiga hingga empat program berita. Masing-masing program berita itu dipimpin oleh satu atau beberapa orang produser.

Produser akan memutuskan berita-berita apa saja yang akan disiarkan dalam program beritanya, berapa lama durasi berita, dan format berita apa yang akan digunakan. Produser harus menyusun bagaimana urutan beritanya, apa yang akan ditampilkan pertama dan terakhir, singkatnya produser bertugas membentuk program beritanya. Jika dirinci lagi maka terdapat beberapa jenis produser yaitu : produser acara, produser rekanan dan produser lapangan.

d. Presenter

(24)

suatu stasiun televisi. Dinegara maju, memilih penyiar berita adalah sama pentingnya dengan memilih acara yang akan diproduksi.

e. Pengarah Program

Pengarah program adalah orang yang bertanggungjawab secara teknis atas kelancaran satu acara televisi. Kedudukan pengarah program terkait langsung dengan penampilan suatu program berita pada saat tayang. Jika produser bekerja untuk mempersiapkan rundown, maka pengarah acara bekerja di control room studio menjadi orang-orang yang akan melaksanakan rundown itu.

Suatu program televisi dapat mengudara karena didukung oleh banyak orang yang bekerja di balik layar. Penonton televisi mungkin hanya melihat seorang presenter tampil di layar kaca selama suatu program berita mengudara, namun tidak banyak yang mengetahui bahwa begitu banyak orang yang berada dibelakang si presenter mendukungnya untuk bisa tampil dengan sempurna. Keberhasilan acara televisi sangat tergantung pada banyak pihak, tidak ada istilah one man show pada televisi, orang-orang yang terlibat secara langsung pada suatu program on air itu antara lain adalah:

a. pengatur suara/audio b. pengatur cahaya c. juru kamera d. switcherman

e. operator video tape recorder / VTR f. operator virtual set

(25)

h. presenter i. master control j. field produser k. terminal operator l. propertyman

m. penata rias dan penata busana

Sejumlah posisi yang disebutkan di atas memberi gambaran bahwa banyak orang yang terlibat dalam suatu program televisi yang tengah mengudara. Semua orang tersebut harus siaga dan segera bertindak jika diminta. Diperlukan seorang koordinator agar semua orang itu dapat bekerja dengan baik dan harmonis. Pengarah acara bertugas mengkoordinasikan, mengarahkan, dan sekaligus memimpin semua orang itu.

Berdasarkan pemaparan yang telah ada, maka dapat diketahui subjek hukum dalam tindak pidana korporasi media penyiaran adalah badan hukum (rechtspersoon) maupun manusia (natuurlijke persoon). Subjek hukum tersebut sesuai ajaran hukum pidana dan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, apabila melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi yang didasarkan atas sanksi administratif dan sanksi pidana.

B. Sistem Pemidanaan Dalam Undang-Undang Penyiaran

Perkembangan hukum pidana di Indonesia saat ini apabila dicermati terutama Undang-Undang Pidana Khusus130 atau perundang-undangan pidana diluar KUHP,

130

(26)

terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punisment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.131

Kebijakan legislasi khususnya menyangkut penetapan sanksi dalam hukum pidana, merupakan bagian penting dalam sistem pemidanaan karena keberadaannya dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana, terlebih lagi bila dihubungkan dengan kecenderungan produk perundang-undangan pidana di luar KUHP yang dalam stelsel sanksinya telah mempergunakan double track system, baik yang ditetapkan secara eksplisit maupun implisit. Namun demikian, penggunaan double track system dalam perundang-undangan pidana masih banyak memunculkan kerancuan, terutama bentuk-bentuk dari jenis sanksi tindakan dan jenis sanksi pidana tambahan.132

Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengacu kepada aliran klasik yang pada prinsipnya hanya menganut single track system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana tanpa adanya

yaitu: undang-undang yang tidak dikodifikasikan, peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana dan undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu.

131

Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 151.

132

(27)

sanksi tindakan yang dijatuhkan bersamaan. Sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence), artinya penetapan sanksi dalam Undang-Undang ini tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan, dengan demikian tidak digunakan sistem individualisasi pidana.

Mengenai sanksi pidana diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yakni pada pasal sebagai berikut:

1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran :

(28)

2. Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di

satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”.

Pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 58 huruf a Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran

(29)

rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

3. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia”. Pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 57 huruf c Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

4. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya

lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran”.

(30)

penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

5. Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”. Pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (4) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 58 huruf c Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

6. Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Penyiaran :

(31)

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

7. Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa: “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”. Pelanggaran terhadap Pasal 36 ayat (6) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 57 huruf e Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

8. Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran :

Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang

(32)

martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun”. Pelanggaran terhadap Pasal 46 ayat (3) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 58 huruf d Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

9. Pasal 46 ayat (10) Undang-Undang Penyiaran :

(33)

Mengamati pasal-pasal di atas dan berdasarkan ketentuan Bab X Ketentuan Pidana (Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, maka dapat diidentifikasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Politik hukum atau kebijakan kriminal dalam Undang-Undang Penyiaran meliputi beberapa perbuatan yaitu :

a. Lembaga penyiaran swasta wajib memberi kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan.

b. Lembaga penyiaran swasta wajib memberi bagian laba perusahaan kepada karyawan.

c. Pemusatan kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

d. Pemusatan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

e. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.

(34)

g. Lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran sebelum menyelenggarakan kegiatannya.

h. Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. i. Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. j. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau

mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

k. Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain.

l. Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif.

m. Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.

n. Siaran iklan niaga dilarang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.

(35)

p. Lembaga penyiaran dilarang menjual waktu siaran untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan

2. Jenis sanksi yang diberlakukan lebih kepada sanksi pidana berupa hukuman-hukuman pokok yaitu hukuman-hukuman penjara dan hukuman-hukuman denda, tidak ada hukuman-hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, ataupun pengumuman keputusan hakim.

3. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system yaitu hanya penerapan sanksi pidana saja tanpa penerapan sanksi tindakan.

C. Kebijakan Kriminal Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban dapat diartikan sebagai perihal atau cara bertanggung jawab atas suatu perbuatan. Dengan demikian perbuatan yang dapat dipertanggungjawabankan yaitu apabila subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana tersebut mampu bertanggung jawab.

(36)

dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya).133

Aliran monisme menyatakan unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim disebut unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.134

A.Z.Abidin, Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Ujung Pandang menyatakan bahwa aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian strafbaar feit. Ch.J.E.Enschede dan A.Heijder melukiskan strafbaar feit sebagai een daaddader complex, sedangkan JM.Van Bemmelen tidak memberikan definisi teoritis, namun menyatakan bahwa harus dibedakan antara bestandelen (bagian inti) dan elementen (unsur) strafbaar feit.135

Bestandelen suatu strafbaar feit ialah bagian inti yang disebut oleh Undang-Undang Hukum Pidana yang harus dicantumkan di dalam surat

133

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 61.

134Ibid

.

135

(37)

tuduhan Penuntut Umum dan harus dibuktikan, sebaliknya element ialah syarat-syarat untuk dipidananya perbuatan dan pembuat berdasarkan bagian umum KUHPidana serta asas hukum umum. Apabila Van Bemmelen menggunakan istilah bestandelen dan elementen, maka D.Hazewinkel Suringa menggunakan istilah samenstellende elementen atau constitutieve bestanddelen. Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi kemampuan bertanggung jawab; kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; tidak ada alasan pemaaf.136

Sarjana hukum pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz. Pada tahun 1933, sarjana hukum pidana Jerman ini menulis buku berjudul Tut und Schuld, dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh

beliau dinamakan ”objektive schuld” oleh karena kesalahan di situ dipandang

sebagai sifat daripada kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan

136

(38)

pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.137

Pandangan tersebut diatas ajarannya diperkenalkan oleh Moeljatno, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada dalam pidato Dies Natalis VI Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1955.

Sehubungan dengan pandangan Herman Kontorowicz tersebut, Moeljatno selanjutnya menyatakan:

”Oleh karena itu, syarat-syarat untuk adanya pidana (strafvorausset zungen) yang umumnya tanpa dipikirkan dengan jelas dan sistematis, diikuti naluri yang memandangnya sebagai kualitet-kualitet handlung ibarat suatu merkmalshaufe (tumpukan syarat-syarat) sekarang hendaknya disistematisasi menurut hakikatnya syarat masing-masing dengan memerhatikan dua segi tadi yang satu dengan yang lainnya, merupakan bentuk paralel. Pada segi handlung yang boleh dinaikan pula segi objektif atau ”tat”,

ada ”tasbestandsmaszigkeit” (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya alasan pembenar (fehlen von rechtfertigungsgrunden). Pada segi handelde

yang boleh dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada ”schuld” (kesalahan) dan tidak adanya alasan pemaaf (fehlen von personalechen strafousschlieszungsgrunden). Sebagaimana hanya segi pertama sajalah yang mungkin tatbestsandsmaszig, schuldig. Sementara itu segi-segi tersebut jika dipandang sebagai kesatuan, tidak hanya berdampingan semata-mata (paralelverhaltnis), bahkan yang satu merupakan syarat bagi yang lain (bedingungsverhaltnis). Segi yang menjadi syarat adalah Tat,

yaitu ”dietrafbare handlung” dalam makna Strafgesetzbuch, yang

merupakan ”das krimenelle unrecht” sedangkan yang disyaratkan adalah segi schuld, oleh karena schuld baru ada sesudah unrecht atau sifat melawan hukumnya perbuatan, dan tak mungkin ada schuld tanpa ada unrecht.”138

137

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 22-23.

138

(39)

Sehubungan dengan adanya dua pandangan monistis dan dualistis tersebut, Sudarto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang menyatakan:

”Hemat saya pada tingkat terakhir ialah untuk menentukan adanya pidana, kedua pendirian itu tidak mempunyai perbedaan yang prinsipiil soalnya ialah apabila orang menganut pendirian yang satu hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen agar tidak ada kekacauan pengertian (begrijpsverwaring). Jadi dalam menggunakan istilah ”tindakan pidana” haruslah pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan ialah menurut pandangan yang monistis seseorang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat. Memang harus diakui bahwa untuk sistematika dan jelasnya pengertian tindak pidana, dalam arti keseluruhan syarat untuk adanya pidana (derinbegrijf der voraussetzungen der straft), pandangan dualistis itu memberikan manfaatnya. Yang penting ialah bahwa kita harus senantiasa menyadari untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat tertentu. Apakah syarat itu, demi jelasnya kita jadikan satu sebagai melekat pada perbuatan atau seperti dilakukan oleh Simons dan sebagainya, ataukah dipilih-pilih ada syarat yang melekat pada perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti yang diajukan oleh Moeljatno, itu adalah tidak prinsipiil. Yang penting ialah bahwa semua

syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya”.139

Pandangan dualistis ini memudahkan dalam melakukan sistematika unsur-unsur mana dari suatu tindakan yang masuk ke dalam perbuatan dan unsur-unsur mana yang masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga hal ini mempunyai suatu dampak positif dalam menjatuhkan suatu putusan dalam proses pengadilan (hukum acara pidana).

139

(40)

Berdasarkan uraian di atas bahwa masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana ini berarti mengenai jantungnya, demikian dikatakan oleh Idema.140 Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada trias, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana yaitu: sifat melawan hukum (unrecht); kesalahan (schuld); dan pidana (strafe).141

Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.142

Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, meskipun telah memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan (an objektive breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan

140 Ibid.

, hlm. 86.

141

Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 6.

142

(41)

pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbutan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Berlaku disini apa yang disebut asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa), culpa di sini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.143 Dalam hukum pidana Inggris, asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang

berbunyi , ”actus non facit reum, nisi mens sit rea” (an act does not make a

person guilty, unless the mind is guilty).144 Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).145

Asas tersebut di atas tercantum dalam KUHP atau dalam peraturan lain (asas tidak tertulis), akan tetapi berlakunya asas tersebut saat ini tidak diragukan lagi. Bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.4 Tahun 2004

yang bunyinya : ”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang

143

Sudarto, op.cit., hlm. 85.

144

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 63.

(42)

mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Bunyi pasal tersebut di atas jelas bahwa unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu berupa penjatuhan pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, Sudarto menyatakan untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (tatstrafrecht atau erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari tatstrafrecht, dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut

sebagai ”tat-taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada

perbuatan maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut

sebagai ”schuldstrafrecht” artinya bahwa unsur penjatuhan pidana

disyaratkan adanya kesalahan pada si pembuat.146

Untuk memberikan arti tentang kesalahan, yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain:

b.Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana

146

(43)

(schuldist der erbegrijff der vorraussezungen, die aus der straftat persolichen verwuf gegen den tater begrunden).

c.Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologist, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheidrechtens).

d.Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya, yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.147

Pendapat-pendapat tersebut di atas secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan di sini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Sudarto berpendapat untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan etis, betapa pun kecilnya. Setidaknya pembuat dapat dicela karena

147

(44)

tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.148

Mengenai kesalahan, Sudarto mengatakan pula pengertian kesalahan psikologis dan pengertian kesalahan yang normatif. Pengertian kesalahan yang psikologis bahwa kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara si pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan, hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan keadaan batin si pembuat, sedangkan yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan.

Pengertian kesalahan yang normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara pembuat dan perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat dan unsur penilaian mengenai kemampuan bertanggung jawab dan tidak hanya

148

(45)

penghapus kesalahan. Sikap batin si pembuat adalah berupa kesengajaan dan kealpaan harus tetap diperhatikan.149

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan, dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara lain adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat; hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut kesalahan; dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

Ketiga unsur tersebut menurut Roeslan Saleh merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab dan tidak adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya, karena tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula

149

(46)

dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah :

a. melakukan perbuatan pidana; b. mampu bertanggung jawab;

c. dengan kesengajaan atau kealpaan; dan d. tidak adanya alasan pemaaf.150

Kemampuan bertanggung jawab menurut Simons bisa diartikan sebagai suatu keadaan psikis yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum;

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.151 Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP dapat dilihat dalam rumusan Buku I Bab III Pasal 44 ayat (1) yang berbunyi : ”Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal

tidak boleh dihukum”.152

150

Roeslan Saleh, op.cit., hlm. 78-79.

151

Sudarto, op.cit., hlm. 95.

152

(47)

Barda Nawawi Arief sehubungan dengan masalah pertanggung jawaban pidana menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh Undang-Undang untuk tindak pidana yang bersangkutan.

Pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian, masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat Undang-Undang.153

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

153

(48)

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.154

Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab; yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Roeslan Saleh setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja.155

Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu

154

Roeslan Saleh, Tentang Tindak-Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: BPHN, 1984), hlm. 50-51.

155

(49)

sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana.

Korporasi di negara Anglo Saxon pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi, namun ada beberapa pengecualian seperti dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yaitu:

a. Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu.

b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.156

A.Z.Abidin mendukung pendapat tersebut yang menyatakan bahwa pada umumnya di Amerika Serikat dianut pendapat bahwa korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap delik-delik yang menyangkut personal violence seperti assault and battery (melakukan kekerasan terhadap orang lain) atau manslaughter (karena kelalaian menyebabkan matinya orang

156

Referensi

Dokumen terkait

4 Tekan , untuk mengirim pesan Multimedia. Catatan: Gambar dan suara yang dilindungi hak cipta tidak dapat dikirim melalui MMS. Mengirim E-mail 1 Pergi ke E-mail > Profil

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan

Kasus tersebut didakwakan dengan primair Pasal 25 ayat (1) tentang ikhtilath dengan hukuman 25 kali cambuk dan subsidair Pasal 23 ayat (1) tentang khalwat dengan hukuman 15

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

Tumis bumbu halus sampai harum masukan potongan daging aduk tambahkan sereh, lengkuas, daun jeruk, garam dan gula.. Masukkan kedalam kaldu tambahkan santan aduk-aduk

Di dalam sumber yang sama Rgveda juga ditemukan konsepsi Tuhan yang tunggal sebagai berikut “Ekam sat wiprah bahudha vadanti” hanya satu Tuhan, tapi para bijaksana

Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan Metode Drill berpengaruh positif

Dalam buku Our Common Future (buku yang pertama kali memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development), telah diingatkan tentang masalah perkotaan