• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Etika, Moral dan Agama Oleh: Ahmad Munir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus Etika, Moral dan Agama Oleh: Ahmad Munir"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Ahmad Munir Abstrak

Persoalan etika berkaitan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, alam, sesamanya dan dengan diri manusia sendiri, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Etika dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana manusia harus bertindak dalam kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tersebut akan dijawab secara aksiologis yang diupayakan oleh tindakan manusia yang dikenal dengan nilai. Sebagai makhluk hidup yang bertubuh, berbudi, berjiwa, dan memiliki ruh, manusia tidak hanya terkurung dalam tubuhnya sendiri. Ia mampu bertransendensi atas diri dan lingkungan hidupnya. Seperti sebagai subjek moral, sebagai makhluk menyejarah,dan sebagai totalitas. Etika timbul dari kepentingan sosial yang tecermin dalam adat dan kebiasaan individu. Jika setiap individu berbuat untuk memuaskan seleranya masing-masing, maka masyarakat tidak dapat berdiri. Oleh karena itu, setiap individu harus bersedia melepaskan sebagian dari kepentingannya. Dengan kepercayaan yang tulus dan pikiran yang logis, manusia harus menggambarkan dirinya sebagai hidup “di bawah pengawasan Tuhan,” dengan meneladani pada; sifat etis Tuhan, sikap etis manusia terhadap Tuhan, sikap etis manusia terhadap sesamanya. Ketiga dasar etika di atas menunjukkan bahwa pandangan al-Qur'an terhadap alam secara esensial bersifat teosentris.

Kata kunci: A.Pendahuluan

Etika adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai baik dan jahat. Etika juga disebut filsafat moral, yaitu cabang disiplin aksiologi yang berbicara dan berusaha mendapatkan kesimpulan tentang norma tindakan, serta pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Dalam konteks ini, etika menganalisa konsep-konsep seperti keharusan, kemestian, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, tanggungjawab dan lain-lain.1 Secara etis, makna "baik" mengarah pada persetujuan, anjuran, keunggulan, kekaguman dan keselarasan. Aspek-aspek tersebut bermaksud untuk menyampaikan sesuatu yang ramah, menguntungkan, disukai, jujur

Dosen STAIN Ponorogo

1Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka

(2)

dan terpuji. Sementara "kejahatan" bermakna sebaliknya, yaitu sebagai sesuatu yang secara moral jelek atau tidak dapat diterima. Unsur utama dari kejahatan pada dasarnya terletak pada prosesnya, yaitu menunda atau menolak tercapainya tujuan ideal, kebahagiaan dan kesejahteraan, baik individu maupun sosial.2

Etika berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika berkaitan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, alam, sesamanya dan dengan diri manusia sendiri, dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Meskipun etika membahas bidang dan masalah-masalah tersebut, tetapi tugas utama filosof etika bukan memberikan petunjuk praktis secara detail terhadap aturan-aturan etis, melainkan memberikan orientasi dan pengetahuan yang fundamental, krusial terhadap dilema yang menyangkut masalah kualitas baik dan buruk.3

B.Orientasi Etika

Etika dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana manusia harus bertindak dalam kehidupan? Pertanyaan ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Tirmidzi:

ﹶﻻ

ﹸﻝﻭﺰﺗ

ﺎﻣﺪﹶﻗ

ﺪﺒﻋ

ﻡﻮﻳ

ﺔﻣﺎﻴﻘﹾﻟﺍ

ﻰﺘﺣ

ﹶﻝﹶﺄﺴﻳ

ﻦﻋ

ﻩﹺﺮﻤﻋ

ﺎﻤﻴﻓ

ﻩﺎﻨﹾﻓﹶﺃ

ﻦﻋﻭ

ﻪﻤﹾﻠﻋ

ﻢﻴﻓ

ﹶﻞـﻌﹶﻓ

ﻦﻋﻭ

ﻪﻟﺎﻣ

ﻦﻣ

ﻦﻳﹶﺃ

ﻪﺒﺴﺘﹾﻛﺍ

ﻴﻓﻭ

ﻢ

ﻪﹶﻘﹶﻔﻧﹶﺃ

ﻦﻋﻭ

ﻪﻤﺴﹺﺟ

ﻢﻴﻓ

ﻩﹶﻼﺑﹶﺃ

. 4

Pada hari kiamat kedua kaki hamba senantiasa belum dapat bergerak kecuali setelah ia (hamba) ditanya tentang umurnya dia habiskan untuk apa, tentang ilmunya dalam hal apa dia mengamalkan, tentang hartanya dari mana dia memperoleh dan dalam hal apa dia membelanjakan serta tentang kesehatan badannya dalam hal apa

dia pakai. (H.R. Al-Tirmidzi)

Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tersebut akan dijawab secara aksiologis5 yang diupayakan oleh tindakan manusia yang dikenal

2 Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Harper&Row Publishers,

1981), p. 86.

3Kai Nielsen, "Problems of Ethics", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Jilid. 3, (New York: Macmillan Publishing co., Inc., 1972), p. 117.

4Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, Juz. 3, hadis nomor

2341, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), p. 234.

5 Secara bahasa, kata "aksiologi" (Inggris: axiology), berasal dari bahasa Yunani

yang berasal dari kata axios yang berarti layak, pantas, dan kata logos yang berarti ilmu atau studi. Lihat Lorens, Kamus,… p. 33.

(3)

dengan nilai. Dalam bahasa Inggris, "nilai" disebut value yang berasal dari bahasa Latin valere, berarti berguna, mampu, berdaya, berlaku dan kuat. Menurut istilah, "nilai" dapat dipahami sebagai: 1) Kualitas, harkat suatu hal, sehingga ia dapat menjadikan sesuatu yang dapat disukai, diingini, berguna serta dapat menjadi objek kepentingan. 2) Keistimewaan yang selalu dihargai, dianggap tinggi dan dihargai sebagai kebaikan. Konsep tentang nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan dari konsep "fakta". Manusia hanya mengetahui fakta, oleh karenanya, ia mesti mencari nilai, karena sikap, tujuan serta ideal apapun pasti memiliki nilai yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini, nilai merupakan preferensi atau penilaian kepentingan.6 Menurut istilah, "nilai" adalah suatu kualitas

tertentu yang memiliki harga yang harus diapresiasikan dan dimiliki oleh manusia. Nilai tersebut bersifat normatif, objektif dan universal yang menjadi cita-cita kehidupan, baik individu maupun sosial.7 Nilai-nilai tersebut diupayakan karena dua alasan: Pertama, manusia secara intrinsik adalah berharga, harganya adalah kekudusan baik dalam arti religius maupun skuler. Kekudusan/kesucian secara religius dapat diartikan secara sederhana, yaitu sebagai yang tidak boleh dilanggar, tidak dapat dihapuskan, harus dilindungi dan harus dijaga dalam situasi apapun, sementara itu, kesucian secara sekuler sering bersifat simbolik yang didasarkan pada pertimbangan kegunaan (utilitas) yang juga harus diberikan perlindungan.

Kata "etika" berasal dari bahasa Yunani ethikos atau ethos yang berarti adat, kebiasaan dan praktik. Kata ini dalam perkembangan pemakaiannya juga menunjuk pada suatu ide (karakter) dan disposisi (kecondongan).8 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika berasal dari kata etik yang diartikan dengan kumpulan azas atau yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat tertentu. Jika kata tersebut berbentuk etika, berarti ilmu tentang apa yang baik dan buruk, serta menunjuk hak dan kewajiban moral seseorang.9

Untuk memastikan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik, dapat diketahui melalui pertimbangan-pertimbangan, di antaranya a). Dapat dipastikan bahwa setiap orang ingin hidup, meskipun dalam standar sengsara, terlebih sejahtera. Tabiat manusia

6Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), p. 714.

7M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), p.

185.

8Lorens Bagus, Kamus,…., p. 672.

9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

(4)

mempertahankan kehidupan bersifat instingtif, dipandang melebihi segalanya. b). Kehidupan seseorang yang dipandang tidak layak oleh orang lain (miskin, sakit, sengsara, dan lain-lain), yang bersangkutan masih memandang bahwa hal itu masih lebih baik dari ketiadaan kehidupan itu sendiri. c). Alam yang berhubungan dengan sarana hidup, hanyalah sebagai instrumen, bukan instrinsik. Oleh karenanya, ia bukan faktor utama penentu kualitas kehidupan. d). Alam yang bersifat instrumental, tidak dapat bernilai jika manusia tidak memiliki nilai instrinsik untuk memberikan penilaiannya.

Kedua, manusia adalah makhluk yang memiliki hak-hak kodrati. Secara umum hak ini bersifat mutlak dan universal yang diakui dan dimiliki oleh seluruh bangsa tanpa terkecuali. Hak kodrati tersebut dimiliki karena kesamaan kodrat manusia sebagai anggota dari sepesis yang sama. Di antara hak tersebut adalah hak hidup, bebas, aman, bahagia, dan hak memiliki.10 Ada tiga sistem etika yang mendominasi pemikiran etika

modern yaitu:

a. Relativisme yang menekankan bahwa tidak ada kriteria penilaian yang bersifat tunggal. Setiap orang akan mempergunakan kriterianya masing-masing yang selalu berbeda antara satu dengan yang lain. Keputusan etis dalam kelompok ini dibuat berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan pribadi. Konsentrasi penilaian oleh kelompok ini bertumpu pada sejauh mana kepentingan pribadi dapat terpuaskan.

b. Utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dipandang etis jika mampu memberikan hasil yang berupa keuntungan yang besar bagi sebagian besar orang. Keputusan etis dalam kelompok ini dibuat berdasarkan hasil atau keuntungan terbesar bagi sejumlah besar orang. Konsentrasi penilaian pada kelompok ini bertumpu pada kalkulasi untung atau rugi.

c. Universalisme yang menyatakan bahwa keputusan etis harus selalu menekankan maksud sebuah tindakan dengan tidak mengganggu dan mengurangi hak orang lain untuk bertindak dan mencapai cita-citanya. Penghormatan dan penghargaan antar individu sangat ditekankan sebagai solidaritas kemanusiaan yang sama-sama memiliki hak dan kebebasan unuk bertindak.11

10Jenny Teichman, Etika Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1998), p. 27. 11 Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka

(5)

C. Etika dan Moral

Sebagian ahli ada yang membedakan antara etika dan moral. Di dalam filsafat, kata "ethos/etika" juga disinonimkan dengan kata moralis.12 Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Dengan

demikian, yang dihasilkan oleh etika secara langsung bukan kebaikan, melainkan pengertian yang lebih mendasar dan kritis, yang selalu didasarkan pada affirmasi "untuk apa pengertian ini dicari"? Sementara, moral lebih dekat dengan sebuah ajaran, mulai dari wejangan, khotbah, patokan, kumpulan aturan baik yang berbentuk lisan maupun tulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Jika etika sumbernya dari sikap kritis dari sebuah ajaran, moral bersumber langsung dari orang (orang tua, guru, tokoh masyarakat), tulisan, dan sumber ajaran agama.13

Etika bukan merupakan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Dengan demikian, etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Yang mengatakan bahwa, bagaimana manusia harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. Etika mau memberikan pengertian dan pandangan mengapa manusia harus mengikuti ajaran moral atau bagaimana manusia dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Dengan demikian, etika bisa dikatakan sebagai "kurang" dan "lebih" ajaran moral. "Kurang" karena etika tidak berwewenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh, karena wewenang tersebut diklaim oleh kelompok yang memberikan ajaran moral. "Lebih" karena etika berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu. Dengan analogi yang sederhana, ajaran moral seperti buku petunjuk bagaimana cara memperlakukan sepeda motor dengan baik, sementara etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu sendiri.14

Sebagai makhluk hidup yang bertubuh, berbudi, berjiwa, dan berruh, manusia tidak hanya terkurung dalam tubuhnya sendiri. Ia mampu bertransendensi atas diri dan lingkungan hidupnya. Dari dimensi ini, manusia dapat dilihat dari beberapa aspek di antaranya adalah sebagai berikut:

12 "Moralis" atau moral berasal dari bahasa Latin mos atau moris, yang berarti

adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku dan kelakuan. Lorens Bagus, Kamus,… p. 672. Departemen, Kamus Besar…., p. 754.

13 Franz, Etika,…p. 15. 14Lorens, Kamus,… p. 220.

(6)

a. Sebagai subjek moral

Keunikan manusia yang terletak pada akal budinya menjadikan ia mampu mengambil keputusan dan menentukan dirinya sendiri, sekaligus menjadi tuan atas semua tindakan yang berasal dari dirinya sendiri. Sebagai subjek moral, manusia adalah subjek hak dan kewajiban karena dialah pemegangnya. Sebagai pemegang hak dan kewajiban, manusia mampu melakukan sesuatu, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Wan prestasi yang dilakukan manusia diakibatkan karena mereka terlalu mementingkan dirinya sehingga melupakan kewajiban terhadap yang lain. Kealpaan ini yang akhirnya menjadi sumber konflik dan bencana.

b. Sebagai makhluk menyejarah

Manusia adalah makhluk dinamis, hidup, tumbuh dan berkembang dalam dinamika sejarah. Manusia hidup dalam sejarah, menyejarah dan bahkan menjadi pelaku sejarah yang dapat mempengaruhi manusia lain melalui sejarahnya. Kesejarahan manusia merentang di antara keberadaan manusia kini dan proses "sedang menjadi". Dengan demikian, manusia sebagai citra Ilahi tidak bersifat statis, tetapi dinamis, dinamikanya terletak pada akal budinya. Manusia sebagai makhluk yang menyejarah, panggilan sejarah atasnya adalah panggilan Tuhan baginya. Sebagai konsekuensi dalam memberikan penilaian moral terhadap tindakan seseorang, perlu diketahui latar belakang dan sejarah tindakannya. Dengan demikian, penilaian moral terhadap tindakan seseorang lebih utuh, objektif, dan menyeluruh.

c. Sebagai totalitas

Pandangan terhadap manusia sebagai suatu kesatuan atau totalitas, merupakan titik tolok pandangan moral. Subjek moral adalah manusia yang integral dan total. Dengan demikian, tindakan manusia harus dipandang sebagai ungkapan kepribadiannya secara totalitas. Tindakan manusia yang disadari dan disengaja mencerminkan kepribadiannya. Ketika seseorang mengatakan "ya" sebagai "ya" dan "tidak" sebagai "tidak" adalah manusia yang mengungkapkan diri dan kepribadiannya dalam kejujuran yang tulus sebagai cermin dari totalitas kepribadiannya.15

Totalitas tersebut harus selalu dipertimbangkan bahwa manusia adalah makhluk yang bertubuh, berjiwa, dan berruh, yang memungkinkan pendekatannya melalui pelbagai disiplin ilmu seperti biologi, psikologi, dan antropologi. Pelbagai sudut pandang pendekatan manusia tersebut akan membantu manusia untuk mengenali dan memahami kepribadian sesamanya.16

15 Lihat surat al-Mumtahanah/60: 12.

(7)

Manusia sebagai subjek dan objek moral dapat dinilai dari berbagai dimensi. Ada yang berangkat dari dimensi empirik biologik yang disebut dengan tindakan manusia (actus hominis). Ada yang berangkat dari dimensi kepribadian dan kemanusiaan yang disebut juga tindakan manusiawi (actus

humanus). Penilaian moral adalah penilaian manusia sebagai manusia secara

utuh yang mengacu pada baik dan buruk perilaku dan perangainya, bukan sebagai pelaku atau peran terbatas.17

D. Etika dan Agama

Para ahli, sepakat bahwa etika tidak dapat menggantikan agama atau kitab suci yang memuat ajarannya. Akan tetapi etika tidak bertentangan dengan agama.18 Secara fundamental, ada dua alasan mengapa etika

diperlukan oleh orang beragama.

a. Masalah interpretasi terhadap perintah yang termuat dalam wahyu Kitab suci agama diyakini sempurna oleh pengikutnya. Munculnya permasalahan pemahaman keagamaan bukan karena teks kitab suci, akan tetapi disebabkan problem bagaimana manusia memahami, memaknai, dan menafsirkan kitab suci yang baku yang termuat dalam wahyu. Secara hakikat, interpretasi manusia terhadap verbalitas wahyu terbatas pada pengetahuan dan kemampuan yang ada padanya. Oleh karena itu, dalam memahami wahyu kebenarannya sangat beragam sesuai dengan kapasitas dan subjektivitas masing-masing.19

Untuk memecahkan problem tersebut, perlu diadakan interpretasi yang dibahas bersama sehingga menemukan kesepakatan bahwa maksud itulah kiranya wahyu yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam kondisi ini, ilmu etika akan merangsang manusia untuk mempertanyakan kembali pandangan-pandangan moral agama yang direduksi dari verbalitas wahyu. Verbalitas wahyu tersebut sering mendapatkan catatan kritis bahwa yang selama ini dipersepsikan sebagai moral wahyu, bisa jadi hanya bias dari subjek interpretator awal yang terputus kesejarahannya bagi pembaca belakangan. Sementara yang dikehendaki oleh wahyu ternyata mengizinkan untuk dipahami dengan model interpretasi yang lain yang lebih konteks.

b. Bagaimana masalah-masalah moral baru yang tidak langsung dibahas dalam wahyu dapat dipecahkan sesuai dengan semangat ajaran agama.

17Ibid., p. 53.

18 Ahmad Amin, Al-AKhlaq, (Lajnah al-Ta‘lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1957),

p. 157. Lihat juga Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), p. 19.

19Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur

(8)

Realitas kehidupan menunjukkan, peradaban manusia berkembang seiring dengan lajunya perjalanan zaman. Watak dan perilaku manusia yang dihasilkan oleh peradaban juga berkembang tanpa batas. Banyak perilaku yang ada saat ini belum dideteksi oleh cakupan wahyu yang dipahami pada masa awal. Penyelesaian yang paling mutakhir terhadap masalah tersebut adalah melalui analogi (qiyas). Sementara analogi, nilai empirik logiknya masih terlalu dominan, karena dalam prosesnya juga ditentukan oleh rasio manusia untuk menetapkan 'illah (reason) sebagai legal formalnya. Untuk mengimbangi rasionalitas agar dapat dipertanggungjawabkan, etika sangat diperlukan.

Keberadaan etika terhadap kaum agamawan telah diilhami oleh ajaran kitab suci. Oleh karena itu, etika tidak mengadu untuk mencari mana yang menang. Etika hanyalah usaha manusia dalam memakai akal dan budi daya pikirnya untuk memecahkan masalah kehidupan, kalau mereka ingin menjadi baik dan sentosa. Akal budi adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi kehidupannya. Menggunakan dan menempatkan wahyu sebagai petunjuk dalam kehidupan bukan berarti memensiunkan akal untuk berpikir.20

E. Etika Islam

Etika timbul dari kepentingan sosial yang tecermin dalam adat dan kebiasaan individu. Etika berfungsi untuk memudahkan hubungan sesama mereka sebagai satu kelompok yang saling membantu dan menolong. Jika setiap individu berbuat untuk memuaskan seleranya masing-masing, atau hanya untuk mengejar kepentingannya tanpa mempedulikan kepentingan orang lain, maka masyarakat tidak dapat berdiri. Akhirnya, individu tidak terjamin kepentingannya, karena antara individu yang satu harus berhadapan dengan individu yang lain hingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Padahal, yang dibutuhkan individu tergantung pada hasil pekerjaan yang dilakukan oleh orang banyak sesuai dengan keterampilan masing-masing.

Oleh karena itu, setiap individu harus bersedia melepaskan sebagian dari kepentingannya dan rela meninggalkan sebagian dari keinginannya. Dengan melepaskan sebagian dari kepentingan dan keinginan secara sukarela, setiap individu akan memperoleh jaminan kemerdekaan dan keamanan yang lebih besar dari nilai kepentingan dan keinginan yang direlakan. Di dalam masyarakat, etika berasal dari dua kelompok kepentingan, yaitu kepentingan kelompok kuat, mampu serta kuasa dan kepentingan kelompok lemah. Antara kepentingan yang satu dengan yang

(9)

lain bisa berlawanan. Etika yang muliaadalah etika orang yang terpandang dan merdeka, sementara etika jahat adalah etika orang yang tidak tidak memiliki harga diri.21

Harga diri manusia akan meningkat keindahan moralnya jika ia meningkatkan rasa tanggungjawab untuk memikul akibat. Ia juga siap mengadakan perhitungan terhadap dirinya sendiri menurut batas-batas yang telah ditentukan oleh moral. Jika harga diri diukur dengan kebahagian, adakalanya orang rendahan memperoleh kebahagiaan sedang orang besar tidak mendapatkannya. Jika kemajuan diukur dengan kekayaan, ada kalanya orang yang bodoh menjadi kaya, sedang orang berilmu menjadi miskin. Jadi, hanya ada satu ukuran yang tidak akan berbeda dan tidak akan keliru, yaitu ukuran “tanggungjawab dan siap memikul akibat”. Jika membandingkan dua orang, yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling memenuhi tanggungjawabnya dan paling sadar hak dan kewajibannya. Dengan ukuran seperti itu, tidak terjadi perbedaan penilaian ketika mengukur perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa, antara manusia biadab dan manusia beradab, antara orang gila dan orang berpikir sehat menurut perbedaan keutamaannya.

Al-Qur'an menetapkan tanggungjawab individu di samping tanggungjawab kolektif. Pada tanggungjawab inilah dibebankan kewajiban

(taklif) agama dan keutamaan moral.22 Perangai yang dianjurkan al-Qur'an,

penilaiannya diukur menurut seberapa besar dorongan jiwa, atau menurut apa yang diharapkan seseorang dari dirinya secara sadar. Kewajiban yang ditunaikan tanpa paksaan orang lain, adalah kewajiban yang paling indah, mulia dan menentukan keutamaan manusia.23

Adapun orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang, mereka tidak mungkin menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, apalagi berbuat kebajikan menurut pilihannya masing-masing. Oleh karena itu, al-Qur'an tidak menganjurkan belas kasihan kepada siapapun sekuat anjuran belas kasihan yang ditekankan kepada mereka atau kepada orang-orang seperti mereka.24 Betapa banyak umat yang terkena kutukan dan ditimpa

bencana, karena mereka tidak menghiraukan nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

ﱠﻼﹶﻛ

ﻞﺑ

ﹶﻻ

ﹶﻥﻮﻣﹺﺮﹾﻜﺗ

ﻢﻴﺘﻴﹾﻟﺍ

ﹶﻻﻭ

ﹶﻥﻮﺿﺎﺤﺗ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻡﺎﻌﹶﻃ

ﹺﲔﻜﺴﻤﹾﻟﺍ

21 Mahmud ‘Abbas al-‘Aqqad, Al-Falsafah al-Qur'aniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),

p. 38.

22QS. al-An‘am/6: 164.

23Al-‘Aqqad, Al-Falsafah,… p. 41. 24 QS. al-Insan/76: 8.

(10)

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan

kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (Al-Fajr/89: 17-18)

Di samping kebaktian kepada orang yang dalam posisi lemah, al-Qur'an juga tidak melupakan tali emosional manusia terhadap karib kerabatnya. Oleh karena itu, kebaktian kepada orang tua pada saat kedua-duanya dalam keadaan lemah atau pada saat-saat mereka tidak mampu berbuat jasa, diberi kondite yang sangat positif.25 Penentuan waktu tersebut bukan semata-mata pertimbangan kelemahan orang yang berhak menerima belas kasihan dan kebajikan. Akan tetapi menjadi keutamaan sifat manusia, yaitu disiplin terhadap diri sendiri, sanggup mengendalikannya, mengutamakan urusan yang lebih penting, dan berani menentukan sikap di saat perlu.

Dalam pandangan al-Qur'an, sikap etis dalam kebajikan bukan hanya berlaku dalam kondisi normal. Prajurit musuh sebagai lawan yang kuat dalam peperangan, juga wajib diperlakukan setara dengan yang diberikan kepada orang lemah yang menyerah dan patuh.26 Keadaan terpaksa dan marah, tidak menggugurkan kewajiban yang mulia dari tanggung jawab seseorang yang mendambakan kesempurnaan, dan yang sedang melatih diri untuk memperoleh sifat-sifat utama. Orang yang marah wajib memberi maaf kepada orang yang dimarahi. Orang yang dalam keadaan terpaksa, wajib menjauhkan diri dari tindakan kekerasan dan permusuhan.27Dengan demikian, sifat-sifat utama yang ideal yang

diserukan al-Qur'an akan dapat mengangkat martabat manusia dan memperindah orang yang sedang mengendalikan nafsunya.

Oleh karena itu, sifat sabar, jujur, adil, ihsân, baik budi, penuh harap, lapang dada, dan suka memberi maaf, merupakan sifat-sifat kesempurnaan yang dikejar oleh orang-orang yang sedang berlatih mengendalikan nafsu. Etika tersebut menuntut supaya orang besar bersikap rendah hati terhadap orang kecil dan menuntut yang kecil menghormati kedudukan yang besar. Terhadap yang besar dan yang kecil, keduanya dituntut agar sama-sama menjauhkan diri dari perilaku buruk. Sebaliknya, mereka diharapkan saling memberikan perlakuan yang terbaik, berkasih sayang, memelihara kesopanan, bergaul dengan baik, dan berbicara dengan baik pula.28

Esensi dasar dari agama adalah jiwa manusia yang selalu mengkritik dan menyensor. Iman dan rasa menyerah kepada Tuhan tidak

25QS. al-Isra'/17: 23-24. 26QS. al-Baqarah/2: 190.

27QS. al-Nisa'/4: 149, al-Baqarah/2: 178, al-Nur/24: 22, al-Syura/42: 43. 28QS. al-Hujurat/49: 3. Al-‘Aqqad, Al-Falsafah,… p. 50.

(11)

menghilangkan kemerdekaan kemauan seorang mukmin yang harus bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Kewajiban (imperatif) moral dalam Islam, adalah pendorong eskatologis yang sangat istimewa membentuk manusia menghormati hukum, menjauhi yang munkar dan mengajak kepada yang baik (ma‘ruf). Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan aspek yang cenderung kepada moral pahala yang tidak pernah dihindari setiap doktrin agama.

Dalam pandangan Islam, wahyu adalah petunjuk yang dialamatkan kepada watak manusia yang mengandung watak baik dan jahat. Sanksi (hukuman) akan mendorong manusia untuk berbuat baik. Dalam hal ini, etika agama berbeda dengan moral biasa, karena tiap-tiap tindakan sosial yang dianggap sama dengan praktik ibadat, tidak dapat dilaksanakan kecuali sebagai ekspresi dari iman yang bersemayam.

Hukum Tuhan (devine law) menyempurnakan wahyu sebelum Islam dan mengatur kelakuan manusia secara definitif. Dalam bidang kebajikan perorangan, di samping keadilan dan belas kasihan, al-Qur'an menambah kode etik dan tatakrama yang mewarnai peradaban Islam. Dalam perspektif ini, Islam menetapkan bahwa kewajiban seseorang lebih tinggi dari pada haknya. Ajaran ini akan mengantarkan kepada penegakan masyarakat yang adil dan jujur. Kebajikan menjadi kewajiban dan tema sentral ajaran agama. Moral tidak untuk membentuk yuridis yang kering, karena niat menentukan kualitas tiap tindakan. Kebajikan yang dilaksanakan, harta benda yang diinfakkan, hanyalah merupakan pengembalian sebagian kecil dari pemberian Tuhan. 29

Kebajikan sosial yang menjadi dasar tindakan moral seorang muslim, bersifat kolektif. Ini merupakan sifat pokok dari etika dasar Islam. Al-Qur'an dan sunnah Nabi menunjukkan perlunya konsolidasi dan pengeratan hubungan antar ummat. Dengan begitu, ide kebajikan universal yang dilontarkan akan berkembang dan bertambah meluas ke segala aspek kehidupan. Dengan kebijakan yang bersifat kolektif, seorang muslim bukan berarti harus mengendorkan ikatan-ikatan internalnya, melainkan harus melebihkan ikatan internalnya dalam larutan kemanusiaan.30

Ada dua perintah pokok yang menghalangi kemungkinan tersebut, pertama, anjuran supaya tetap bersatu dan tidak terpecah belah.31 Kedua,

kewajiban untuk menganjurkan kebajikan dan mencegah kejahatan (al-amr

29 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1980), p. 68.

30 Al-‘Aqqad, Al-Falsafah,…. p. 40.

(12)

bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar).32 Perbedaan antara manusia sebagai individu dan manusia kolektif perlu disadari. Dua relativitas tersebut memiliki hubungan erat antara satu dan lainnya. Pertama, kolektivitas adalah suatu aspek manusia, dan kedua, masyarakat adalah kelompok yang terdiri atas manusia perorangan. Dari saling besandar (interdepence) dan rasa timbal balik, segala yang dilakukan dari segi kolektivitas harus mempunyai nilai spiritual bagi individu, sebaliknya yang bersifat individu harus memiliki nilai kolektif. 33

Kewajiban yang memancar dari prinsip yang bentuk yuridis, tidak meniadakan kesadaran perorangan untuk bersikap hormat terhadap pribadi dan harta benda orang lain. Menghormati norma-norma moral secara eksplisit merupakan syarat yang lazim untuk memperoleh keselamatan abadi. Ketika orang mukmin harus mematuhi ajaran dan hukum Tuhan dalam kehidupan sosial, tidak berarti bersifat automatik dan mekanik. Ia harus merasakan secara mendalam sebagai seorang yang telah terlibat. Orang mukmin bukan saja harus bertindak untuk diri sendiri, tetapi harus pula memerintahkan yang baik kepada orang lain. Mereka bukan saja wajib menjauhi hal yang mungkar, tetapi harus pula memerintahkan orang lain untuk menjauhinya.34

Di dalam al-Qur'an, tidak kurang dari 50 ayat yang mengaitkankata iman dengan pekerjaan yang baik. Niat, kejujuran, dan kesanggupan adalah kebajikan yang terbaik dari kehidupan moral. Ketiga-tiganya mewarnai hukum yang diwahyukan oleh Tuhan. Pertanggungjawaban seorang mukmin untuk menjauhi hal yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan selalu didasarkan pada konsep keagamaan. Dengan kepercayaan yang tulus dan pikiran yang logis, manusia harus menggambarkan dirinya sebagai hidup “di bawah pengawasan Tuhan.”35

Secara garis besar, etika Islam dirumuskan dari tiga konsep dasar. a. Sifat Etis Tuhan

Konsep ini dirumuskan dari nama-nama Tuhan yang menunjukkan keagungan serta atribut Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan sebagai kreator awal sekaligus sebagai penanggung jawab keberlangsungan seluruh kreasi-Nya. Di antara sifat-sifat Tuhan yang indah adalah Pemurah (

ﻦﻤﺣﺭ

), Penyayang (

ﻢﻴﺣﺭ

), Pengampun (

ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ

), Pemberi kedamaian (

ﻡﹶﻼـﺳ

), Adil (

ﻝﺪـﻋ

), Belas kasih (

ﻑﻭﺅﺭ

), Pemberi rizki (

ﻕﺍﺯﺭ

), Berterima kasih (

ﺭﻮﹸﻜﺷ

), Mulia (

ﻢﻳﹺﺮـﹶﻛ

),

32QS. Ali ‘Imran/3: 104, 110, 114, al-Taubah/9: 71, 112. 33Marcel, Humanisme,… p. 70.

34 Lihat Q.S. Al-Tahrim/66: 6. 35Marcel, Humanisme,… p. 80.

(13)

Bijaksana (

ﻢﻴـﻜﺣ

), Terpuji (

ﺪـﻴﻤﺣ

) dan lain-lain. Dalam kerangka moral sosial, motivasi spiritual yang timbul dari nama-nama Tuhan yang bersifat etis diharapkan dapat membentuk tindakan pribadi atau kolektif. Ide

charity (belas kasihan) dalam agama Masehi telah menyebabkan timbulnya

gerakan besar mengenai solidaritas manusia. Ide tersebut telah memberikan corak sikap kemanusiaan secaara positif. Sikap kemanusiaan ini ditegaskan al-Qur'an melalui perintah bersikap adil, karena adil sikap yang paling dekat dengan taqwa.36

ﹶﻻﻭ

ﻢﹸﻜﻨﻣﹺﺮﺠﻳ

ﹸﻥﺂﻨﺷ

ﹴﻡﻮﹶﻗ

ﻰﹶﻠﻋ

ﱠﻻﹶﺃ

ﺍﻮﹸﻟﺪﻌﺗ

ﺍﻮﹸﻟﺪﻋﺍ

ﻮﻫ

ﺏﺮﹾﻗﹶﺃ

ﻯﻮﹾﻘﺘﻠﻟ

.

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada

takwa. (al-Ma'idah/5: 8)

Persamaan antara sesama manusia, rasa tanggungjawab pribadi yang memancar dari hati nurani, sikap percaya kepada Tuhan yang transenden, diharapkan dapat mengubah masyarakat individualis yang menolak solidaritas. Sikap pasrah kepada kemauan Tuhan dan mengikuti hukum-hukum yang mengatur dan menjamin ketertiban masyarakat, tidaklah harus menjauhkan rasa kasih sayang dan belas kasihan dari hubungan antar perorangan.

Keadilan akan menilai dan memberi ganjaran atau hukuman menurut kualitas perbuatan. Rasa kasihan akan memberi menurut kebutuhan tanpa perhitungan. Keadilan digambarkan sebagai seorang wanita memegang timbangan dengan mata tertutup, rasa kasihan mungkin merupakan saudara perempuannya, yang juga tidak melihat tetapi kedua tangannya membuka lebar. Rasa sayang mungkin melukiskan permulaan keadilan dan sebaliknya keadilan menjadi hasil dari rasa sayang yang sungguh-sungguh.

Antimono (pertentangan) antara konsep keadilan dan belas kasihan

(charity) tidak didapat dalam Islam, keadilan merupakan pusat gerak

nilai-nilai moral yang pokok. Belas kasihan (charity) yang diperintahkan jangan sampai menjadi beku dan kaku sehingga kehilangan daya pendorong. Jika demikian, maka kebajikan tersebut hanya berupa kewajiban luar yang bersifat mekanik. Demikian juga, keadilan yang disuruh untuk ditegakkan jangan sampai terlalu ketat sehingga menghilangkan rasa teposeliro dan menutup kelebaran dada.37

36Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur'an, terj. Mansuruddin Djoely,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), p. 26.

37Banyak statemen al-Qur'an yang secara lahir seolah-olah bertentangan. Satu sisi

(14)

b. Sikap etis manusia terhadap Tuhan

Sifat etis Tuhan akan menjadi dasar dua etika berikutnya. Dalam perspektif al-Qur'an, Tuhan adalah bersifat etis dan bertindak terhadap manusia juga dengan cara etis. Sikap etis Tuhan akhirnya membawa implikasi yang serius, yaitu manusia juga harus bersikap dan bertindak etis terhadap sesamanya. Respon manusia terhadap perbuatan Tuhan adalah manifestasi dari sikap etis sekaligus agama.

Demikian seharusnya manusia bersikap etik terhadap sesamanya, sebagaimana sikap awal Tuhan terhadapnya. Dalam meniti sifat etis Tuhan, perbuatan manusia harus masuk dalam tiga kategori bingkai, yaitu larangan yang harus selalu dijauhi, dan perintah yang harus diupayakan, dan perbuatan netral yang harus berada pada bingkai kebolehan.38

Manusia dalam meneladani sifat-sifat Tuhan, diharapkan dapat menegakkan sifat-sifat etis tersebut pada dirinya.39 Prinsip kesamaan ukuran, dan proporsi di antara manusia mendorong kepada keindahan dalam alam dan kepada kebaikan budi pada diri manusia. Menurutdoktrin Islam, keadilan menunjukkan dasar dan tujuan dari segala wahyu Tuhan yang dapat diekspresikan dalam dua tingkat; yakni tingkat keadilan Tuhan terhadap makhluk-Nya dan tingkat keadilan manusia sesamanya.40

c. Sikap etis manusia terhadap sesamanya

Kehidupan sosial individu, dikuasai dan diatur oleh seperangkat prinsip moral tertentu yang dikenal dengan etika sosial. Etika tersebut dikembangkan dalam periode post al-Qur'an dalam yurisprudensi Islam yang berkembang hingga sekarang. Dari ketiga dasar etika di atas, antara satu dan yang lain tidaklah berjauhan, tetapi dekat dan berkelindan. Hal ini disebabkan bahwa pandangan al-Qur'an terhadap alam secara esensial bersifat teosentris. Seluruh citra Tuhan meliputi pandangan tersebut dan tidak ada satu pun yang lepas dari pemeliharaan-Nya. Dengan demikian, pada hakikatnya tidak ada konsep utama dalam al-Qur'an yang bebas dari konsep Tuhan. Etika manusia merupakan refleksi yang suram atau imitasi yang kurang sempurna dari sifat ketuhanan.41

207, Ali ‘Imran/3: 30, Taubah/9: 117, 128, Nahl/16: 7, 47, Hajj/22: 65, al-Nur/24: 20, di sisi lain Tuhan juga mengecam dan menghardiknya dengan tanpa batasan (al-Baqarah/2: 7, 10, 85, 86, 104 dan lain-lain). Pola ini di dalam al-Qur'an diulang tidak kurang dari 373 kali. Lihat Izutsu, Etika,… p. 107.

38Izutsu, Etika,… p. 27.

39Penegakan sifat etis Tuhan pada diri manusia, tidak dikehendaki untuk

menjadikan manusia berevolusi kepada substansi Tuhan. Akan tetapi citra etis Tuhan dibumikan oleh manusia dalam kehidupan sesamanya.

40 Lihat Q.S. Al-Syura/42: 15. 41Toshihiko Izutsu, Etika,…p. 27.

(15)

Prinsip keadilan yang ditekankan dengan kuat dalam agama, menunjukkan kepada pemeluknya arti konsep keadilan yang sesungguhnya. Ancaman adanya hari hisâb, kepercayaan bahwa Tuhan sebagai hakim, serta sifat Tuhan yang lain, menunjukkan pentingnya sifat kebaikan budi, rasa kasih sayang, dan murah hati. Al-Qur'an sebagai kunci khazanah etika Islam, tidak sekadar menuliskan manusia dalam konsepsi metafisik, tetapi juga menunjukkan perbuatan bajik yang harus dilakukan dan perbuatan jahat yang harus ditinggalkan. Dengan demikian, segala nilai moral dalam Islam selalu identik dengan taqwa. Dengan etika al-Qur'an yang inklusif, diharapkan mampu menjamin hak-hak manusia serta melindungi masyarakat ketika berhadapan dengan dua ideologi yang membagi dunia, yaitu liberalisme yang tak terkendalikan dan materialisme yang zhalim.42

F. Penutup

Disepakati bahwa etika tidak dapat menggantikan agama atau kitab suci yang memuat ajarannya. Akan tetapi etika tidak bertentangan dengan agama. Munculnya permasalahan keagamaan bukan karena teks kitab suci, akan tetapi disebabkan problem bagaimana manusia memahami, memaknai, dan menafsirkan kitab suci yang baku yang termuat dalam wahyu. Untuk memecahkan problem tersebut, perlu diadakan interpretasi yang dibahas bersama sehingga menemukan kesepakatan bahwa maksud itulah kiranya wahyu yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam kondisi ini, ilmu etika akan merangsang manusia untuk mempertanyakan kembali pandangan-pandangan moral agama yang direduksi dari verbalitas wahyu. Verbalitas wahyu tersebut sering mendapatkan catatan kritis bahwa yang selama ini dipersepsikan sebagai moral wahyu, bisa jadi hanya bias dari subjek interpretator awal yang terputus kesejarahannya bagi pembaca belakangan. Sementara yang dikehendaki oleh wahyu ternyata mengizinkan untuk dipahami dengan model interpretasi yang lain yang lebih konteks. Sementara masalah-masalah moral baru yang tidak langsung dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan sesuai dengan semangat ajaran agama.

42Isma‘il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pusaka, 1995), h.

(16)

Daftar Pustaka

‘Isa bin Surah, Abi ‘Isa Muhammad bin, Sunan Al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2003.

al-‘Aqqad, Mahmud ‘Abbas, Al-Falsafah al-Qur'aniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

al-Faruqi, Isma‘il Raji, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pusaka, 1995.

al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih

Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Amin, Ahmad, Al-AKhlaq, Lajnah al-Ta‘lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1957.

Angeles, Peter A., Dictionary of Philosophy, New York: Harper&Row Publishers, 1981.

Asy‘arie, Musa, Filsafat Islam, Yogyakarta: LESFI, 1999. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Beekun, Rafik Issa, Eika Bisnis Islami, terj. Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Boisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, terj. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Chang, William, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Effendi, Djohan, “Konsep Teologi” dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Fakhry, Majid, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Al-Qur'an, terj. Mansuruddin Djoely, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

(17)

Nielsen, Kai, "Problems of Ethics", dalam Paul Edwards (ed.), The

Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan Publishing co., Inc.,

1972.

Palmer, Richard E., Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Shubhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.

Suyudi, M., Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, Yogyakarta: Mikraj, 2005. Teichman, Jenny, Etika Sosial, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1998.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel indek tidak dapat berdiri sendiri, karena membutuhkan data transaksi kata setiap dokumennya, sehingga dibutuhkan pula tabel master kata untuk mempercepat proses

Hasil penelitian Jamil (2012) menunjukkan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan tugas dan fungsi BP3K. Program Balai Penyuluhan Pertanian adalah tatakelola,

memilih pilihan akademik yang disebut program peminatan, yang dilaksanakan oleh guru BK (Konselor) sekolah/ madrasah. Peminatan yang dilaksanakan di sekolah dilakukan

Uji validitas yang dikatakan oleh Sussman & Jensen dalam buku Wound Care bahwa validitas isi dari instrument model BWAT ini sudah dibuktikan oleh 9 ahli

Memainkan rekoder berdasarkan skor - memainkan melodi kaunter... Menyanyi dengan postur dan pernafasan

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa signifikansi variabel yang mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka disetiap daerah berbeda-beda dimana variabel Angkatan kerja

Tindakan terhadap Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat pada Anak Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun

Selain itu Poskestren juga melakukan upaya pemberdayaan warga pondok pesantren dan masyarakat sekitar dalam bidang kesehatan serta peningkatan lingkungan yang sehat